Kasus: kejahatan siber

  • Android Vs iOS, Mana yang Lebih Aman?

    Android Vs iOS, Mana yang Lebih Aman?

    Jakarta

    Mengenai keamanan smartphone, banyak pengguna yang masih bingung antara memilih perangkat Android atau iOS. Lantas, mana yang lebih aman di antara keduanya?

    Keamanan adalah salah satu hal penting bagi pengguna smartphone. Sebab, semakin maraknya kejahatan siber membuat orang-orang khawatir soal data pribadinya, sehingga ingin mencari smartphone yang aman.

    Namun, beberapa orang masih kebingungan saat memilih smartphone antara perangkat berbasis Android atau iOS. Di antara keduanya, mana yang lebih aman? Simak pembahasannya dalam artikel ini.

    Android atau iOS, Mana yang Lebih Aman?

    Jurnalis Cybernews, Ernestas Naprys pernah melakukan sebuah eksperimen untuk menguji sistem operasi mana yang lebih aman. Ia menggunakan sebuah iPhone SE dan sebuah ponsel Android merek Samsung, tapi tidak disebutkan model apa. Kedua HP tersebut kemudian di-factory reset sebelum dilakukan pengujian.

    Kedua ponsel tersebut lalu diunduh 100 aplikasi teratas di App Store dan Play Store Jerman, kemudian didiamkan sambil menghitung berapa kali ponsel tersebut menghubungi server yang berada di luar negeri, serta di mana lokasi server tersebut. Ia menggunakan layanan private DNS dari NextDNS untuk memantau sambungan servernya.

    Selama lima hari, Naprys menyebut jika iPhone menghubungi server eksternal rata-rata 3.308 setiap harinya, sedangkan ponsel Android hanya menghubungi 2.323 server setiap hari ketika didiamkan selama tiga hari.

    Meski iPhone lebih banyak menghubungi server, tapi bukan berarti perangkat iOS berbahaya. Menurut Cybernews, server-server yang dihubung iPhone ini berasal dari sejumlah negara yang tergolong aman. Sementara itu, server yang dihubungi oleh Android rata-rata berasal dari negara yang tidak bersahabat dalam hal keamanan siber.

    Sebanyak 60% server yang dihubungi oleh iPhone adalah server punya Apple yang merupakan bagian dari proses kerja iOS. Sedangkan hanya 24% dari server yang dihubungi Android merupakan milik Google, sementara sisanya milik pihak ketiga.

    Sebagai contoh, iPhone menghubungi server di Rusia milik Alibaba satu kali setiap harinya, sementara Android menghubungi server di Rusia 13 kali setiap hari. Bahkan, pernah tercatat ada 39 kali sambungan ke server tersebut dalam periode tiga hari.

    Selama pengujian, iPhone sama sekali tidak menghubungi server yang berlokasi di China. Sementara itu, Android rata-rata menghubungi server di China lima kali setiap harinya.

    Cybernews meyakini jika hal tersebut ada kaitannya dengan daftar 100 aplikasi teratas yang diunduh di App Store dan Play Store. Mengapa?

    Soalnya, 100 aplikasi teratas di App Store tidak ada yang masuk kategori adware, sementara di Android kebanyakan aplikasi tersebut tergolong adware, seperti aplikasi senter, generator prank, dan PDF viewer yang dianggap mencurigakan.

    Dari pengujian tersebut, Apple dinilai punya kebijakan lebih ketat untuk para developer yang memasukkan aplikasinya ke App Store daripada kebijakan Google untuk aplikasi Android di Play Store.

    Naprys juga membandingkan aplikasi TikTok di iPhone dan Android. Di iPhone, TikTok hanya mencoba menghubungi server 36 kali selama lima hari. Sedangkan di perangkat Android, TikTok mencoba menghubungi server 800 kali setiap harinya.

    Begitupun dengan Facebook, percobaan menghubungi ke server di iPhone hanya 20 kali per hari. Sementara di Android hampir mencapai 200 kali setiap harinya.

    Namun sebaliknya, Snapchat lebih aktif di iPhone dengan 100 permintaan setiap hari, sedangkan di perangkat Android tidak mencoba menghubungi server tersebut sama sekali.

    Secara geografis, lokasi server yang paling banyak dihubungi dalam waktu per hari yaitu:

    Amerika Serikat: 679 kaliSwedia: 468 kaliJerman: 136 kaliIrlandia: 96 kaliPolandia: 79 kali.

    Pada umumnya, aktivitas jaringan yang lebih tinggi dapat dikategorikan sebagai aktivitas mencurigakan. Bisa berarti aplikasi yang tidak berfungsi semestinya atau proses-proses nakal yang berjalan di background, termasuk aktivitas berbahaya.

    Perlu diingat, catatan DNS memang tidak dapat memberikan gambaran yang lengkap terhadap aktivitas ponsel karena hanya mengungkap server apa yang dihubungi dan seberapa sering server tersebut dihubungi. Jadi, data yang dikirim atau diterima server tersebut tidak bisa diketahui.

    Dari hasil pengujian keamanan oleh Cybernews, tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan soal mana perangkat yang lebih aman antara Android atau iOS. Pengguna bisa mempertimbangkan saja dari temuan uji coba yang dilakukan Cybernews dan kemana preferensi akan berlabuh: iPhone atau Android.

    “Tanpa meneliti setiap paket data dengan teliti di aplikasi iPhone, tidak mungkin untuk mengetahui hal tersebut. Ini bisa saja hanya berisi laporan crash atau bisa juga berisi data rahasia anda,” tulis mereka.

    Penjelasan mereka soal ponsel Android yang diuji juga kurang lebih sama. Namun, ada satu hal yang dianggap cukup berbahaya, yakni terlalu banyak aplikasi yang meminta akses-akses privasi, termasuk akses ke jaringan internet.

    “Tanpa meneliti setiap paket data dengan teliti di aplikasi iPhone, tidak mungkin untuk mengetahui hal tersebut. Ini bisa saja hanya berisi laporan crash atau bisa juga berisi data rahasia anda,” jelasnya.

    Pihak Cybernews juga mengkonfirmasi jika aktivitas pengiriman data yang berisi lokasi, diagnostik, dan berbagai data lainnya dikategorikan sebagai aktivitas yang dapat dipercaya, selama perusahaan yang ada di balik aplikasi tersebut juga bisa dipercaya.

    (ilf/fds)

  • Anggota Komisi I: Penyalahgunaan AI untuk Pelecehan Seksual Bentuk Baru Kejahatan, Harus Diperangi – Halaman all

    Anggota Komisi I: Penyalahgunaan AI untuk Pelecehan Seksual Bentuk Baru Kejahatan, Harus Diperangi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PAN Farah Puteri Nahlia, mengecam keras dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud) dengan modus penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mengedit foto-foto perempuan menjadi konten asusila. 

    Sampai saat ini, jumlah korban yang melapor sebanyak 37 mahasiswi.

    “Kasus ini sangat memprihatinkan. Ini membuktikan bahwa pelecehan seksual tidak lagi terbatas pada ruang fisik. Dunia digital kini menjadi medan baru kekerasan terhadap perempuan. Penyalahgunaan AI untuk merendahkan martabat perempuan bukan sekadar pelanggaran teknologi, tapi bentuk baru kejahatan seksual yang tidak bisa dibiarkan,” kata Farah kepada wartawan Rabu (30/4/2025).

    Farah menyoroti bahwa kasus ini terjadi di tengah maraknya isu pelecehan seksual terhadap perempuan di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir, yang menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan seksual masih menjadi tantangan besar.

    “Maraknya kasus pelecehan seksual menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan masih menghadapi tantangan besar, terutama di ruang-ruang yang seharusnya aman. Kita perlu memastikan bahwa setiap individu merasa terlindungi dan dihormati, baik di dunia nyata maupun digital,” ucapnya.

    Farah mengungkapkan bahwa pelecehan seksual dapat meninggalkan luka yang mendalam bagi para korban, baik secara psikologis, fisik, sosial, maupun politik. 

    Menurutnya, dampak traumatis ini dapat menghambat korban untuk berpatisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat.

    “Kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelecehan seksual, juga memiliki implikasi terhadap keamanan nasional, karena menciptakan ketidakstabilan sosial dan menghambat pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas,” ujar Farah.

    Sebagai anggota Komisi I DPR RI yang membidangi urusan pertahanan, keamanan, luar negeri, komunikasi, dan informatika, Farah menegaskan bahwa Komisi I memiliki peran strategis dalam memastikan penyalahgunaan teknologi seperti AI tidak menjadi alat kejahatan, termasuk untuk pelecehan seksual.

    “Penyalahgunaan teknologi, termasuk AI, untuk melakukan pelecehan seksual adalah bentuk kejahatan yang harus diperangi. Saya akan terus mendorong penguatan regulasi dan pengawasan terkait kejahatan siber dan perlindungan data pribadi, termasuk dalam konteks pencegahan pelecehan seksual berbasis teknologi,” ucap Farah.

    Lebih lanjut, Farah menyampaikan dukungan terhadap berbagai program pemerintah dan inisiatif masyarakat sipil dalam meningkatkan literasi digital dan etika bermedia, termasuk Program Prioritas (PP) Tunas dari Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi (Kemkomdigi), serta gerakan nasional literasi digital oleh Siberkreasi, Japelidi, Klinik Digital, dan berbagai komunitas warga lainnya.

    “Kita tidak bisa hanya mengandalkan regulasi. Perlu ada gerakan bersama untuk membangun kesadaran kritis masyarakat agar mampu menggunakan teknologi secara etis, bijak, dan bertanggung jawab. Literasi digital harus menjadi benteng utama dalam melindungi masyarakat, terutama perempuan dan anak, dari kejahatan siber,” kata Farah.

    Farah berharap kasus di Universitas Udayana ini menjadi momentum bagi seluruh pihak—pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, media, dan masyarakat—untuk bekerja sama membangun ruang digital yang aman, inklusif, dan manusiawi bagi semua.

     

     

     

  • Modus Telepon Penipu Mudah DIketahui, Kenali Tanda Vishing

    Modus Telepon Penipu Mudah DIketahui, Kenali Tanda Vishing

    Jakarta, CNBC Indonesia – Vishing jadi salah satu modus penipuan yang banyak dilakukan pelaku kejahatan siber. Mereka akan menggunakannya agar bisa membajak HP atau menguras rekening para korbannya.

    Vishing sendiri merupakan phising suara dengan tujuan membuat korbannya menyerahkan akses atau informasi pribadi. Korban akan dipancing mengklik link atau download file dengan malware di dalamnya agar tujuan pelaku didapatkan.

    Jadi Anda perlu tetap waspada jika mendapati telepon dari orang yang tidak dikenal. Ada sejumlah ciri-ciri yang bisa Anda pelajari agar tidak terjebak kejahatan vishing.

    Berikut beberapa ciri dari kejahatan vishing:

    1. Mengaku dari Pemerintah atau Perusahaan Besar

    Salah satu yang patut diwaspadai jika Anda mendapatkan telepon yang mengaku berasal dari pemerintah atau perusahaan besar. Para pelaku akan berusaha mengintimidasi korbannya untuk mendapatkan yang diinginkan.

    2. Menawarkan Kesepakatan atau Hadiah Tertentu

    Anda juga jangan langsung percaya dengan tawaran hadiah tertentu. Karena bisa saja itu kejahatan yang menggunakan modus vishing.

    3. Tidak Tahu Nama Anda

    Anda patut curiga jika orang yang menelepon tidak tahu nama. Biasanya mereka akan menggunakan sapaan umum untuk menyebut nama orang yang dihubungi.

    4. Klaim Utang yang Belum Dibayar

    Ciri lainnya adalah penelepon yang menyebut ada utang yang belum dibayar. Mereka akan menggunakan intimidasi untuk mengancam dengan denda atau hukuman penjara.

    5. Meminta Informasi Sensitif

    Jangan pernah memberikan informasi pribadi yang sensitif seperti nomor KTP atau kartu kredit pada orang lain. Karena bisa jadi ini menjadi cara mereka mengumpulkan data dan melakukan kejahatannya.

    Perusahaan layanan seperti asuransi atau sekolah juga seharusnya sudah mengantongi beberapa informasi. Jika tidak maka jangan sampai tertipu untuk melakukan verifikasi informasi.

    6. Perangkat Terinfeksi Malware

    Jangan langsung percaya jika Anda mendapatkan telepon yang mengaku perangkat terinfeksi malware atau virus. Anda juga jangan langsung menginstall software jarak jauh seperti AnyDesk atau TeamViewer.

    7. Ada Jeda Saat Menelepon

    Waspada jika Anda mendapati telepon yang dilakukan memiliki jeda. Karena para pelaku menggunakan panggilan otomatis untuk menghubungkan korban.

    (dem/dem)

  • Pencuri Informasi Lewat Email di 2024 Naik 84%

    Pencuri Informasi Lewat Email di 2024 Naik 84%

    Bisnis.com, JAKARTA – Laporan terbaru IBM bertajuk X-Force Threat Intelligence Indeks 2025 mencatat peningkatan pengiriman email yang mengandung infostealer (teknik pencurian informasi) sebesar 84% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan ini mengindikasikan strategi para pelaku guna memperbesar skala pencurian identitas.

    Laporan ini menunjukkan tren dan pola serangan baru dan yang sedang berlangsung, berdasarkan penanganan insiden, dark web, dan sumber intelijen lainnya.

    Temuan Utama dalam X-Force Threat Intelligence Index 2025 Tahun lalu, 70% serangan yang ditangani IBM X-Force menargetkan sektor infrastruktur penting pada organisasi, dan lebih dari seperempatnya terjadi karena celah keamanan yang dimanfaatkan para peretas.

    Adapun, semakin banyak pelaku kejahatan siber memilih mencuri data (18%) daripada mengenkripsinya (11%), karena teknologi deteksi semakin canggih dan meningkatnya upaya penegak hukum yang mendorong para peretas bergerak lebih cepat untuk segera kabur.

    Lebih jauh diungkapkan, sekitar 1 dari 3 insiden yang terjadi sepanjang 2024 melibatkan pencurian kredensial, karena para peretas semakin gencar mengejar berbagai cara untuk mendapatkan, mencuri dan menjual informasi login dengan cepat.

    Masih tahun lalu, IBM X-Force menemukan peningkatan pengiriman email phishing yang membawa infostealers. Data awal 2025 menunjukkan lonjakan lebih lanjut sebesar 180% dibandingkan dengan 2023. 

    Lonjakan ini sebagian disebabkan oleh pemanfaatan AI oleh pelaku untuk membuat email phishing dalam skala besar.

    Phishing terhadap kredensial dan adanya infostealers telah menjadikan serangan identitas semakin murah, mudah diperluas, dan sangat menguntungkan bagi para pelaku kejahatan. 

    Infostealers memungkinkan pencurian data secara cepat, mempersingkat waktu yang dibutuhkan pelaku berada dalam sistem target, serta meninggalkan jejak forensik yang minim.

    Global Managing Partner untuk Cybersecurity Services di IBM Mark Hughes menyebut penjahat siber sering kali masuk tanpa merusak apa pun—mereka memanfaatkan celah identitas dari lingkungan hybrid cloud yang kompleks, yang memberikan banyak titik akses bagi mereka. 

    “Bisnis perlu berhenti mengandalkan pencegahan ad-hoc, yang bersifat reaktif, tidak terstruktur, dan hanya dilakukan saat masalah muncul, dan mulai fokus pada langkah-langkah proaktif,” kata Hughes dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (25/4/2025). 

    Langkah-langkah proaktif yang dimaksud meliputi memodernisasi sistem otentikasi, menutup celah multi-factor authentication (MFA), dan melakukan threat hunting secara real-time untuk menemukan ancaman tersembunyi, sebelum data yang sensitif terekspos.

  • Maling Bobol Rekening Rp 269 Triliun, Begini Modusnya

    Maling Bobol Rekening Rp 269 Triliun, Begini Modusnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kejahatan siber menjadi momok menyeramkan di seluruh dunia. Banyak orang sudah jadi korban penipuan dengan beragam modus.

    FBI melaporkan kejahatan siber global mencatat kerugian sebesar US$16 miliar (Rp269 triliun) sepanjang 2024. Kerugian itu naik sepertiga dibandingkan 2023.

    Kerugian paling besar berasal dari penipuan dengan teknologi minim alias tak terlalu canggih. Misalnya penipu menyamar sebagai investor yang membujuk korban untuk berinvestasi bodong.

    Modus lain, pegawai perusahaan terkecoh dengan email palsu yang meminta mereka menransfer dana dalam jumlah besar ke rekening bank penipu.

    Penipuan berkedok dukungan teknis (technical support scam) dan hubungan romantis (romance scam) juga menyebabkan kerugian hingga ratusan juta dolar AS, menurut laporan FBI, dikutip dari Reuters, Kamis (24/4/2025).

    Angka kerugian yang dilaporkan merupakan hasil penghimpunan Pusat Pelaporan Kejahatan Internet milik FBI. Lembaga tersebut khusus menangani laporan peretasan atau penipuan digital.

    FBI mengatakan lembaga tersebut menerima hampir 860.000 laporan penipuan sepanjang 2024.

    Kerugian dari kejahatan siber sejatinya susah dikalkulasi. Namun, angka yang dibeberkan FBI merupakan salah satu yang paling komprehensif.

    FBI mengakui angka tersebut bisa jadi lebih kecil dari kenyataan di lapangan. Sebagian dikarenakan penipuan bersifat ransomware yang menargetkan perusahaan tak termasuk dalam laporan yang masuk ke FBI.

    Laporan yang masuk ke FBI juga datang dari berbagai belahan dunia, tak cuma di Amerika Serikat (AS). Kendati demikian, FBI mengatakan mayoritas memang merupakan laporan penipuan yang terjadi di AS.

    (fab/fab)

  • Urgensi Kolaborasi Keamanan Siber Global

    Urgensi Kolaborasi Keamanan Siber Global

    Bisnis.com, SINGAPURA – Kolaborasi antarnegara dan kalangan pebisnis keamanan siber global memiliki peran amat penting di tengah transformasi pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang kian masif di berbagai sektor.

    Dalam transformasi digital, urgensi kebudayaan siber menjadi fondasi dalam pengembangannya. Setidaknya, hal itulah yang diungkapkan oleh Head of Cybersecurity United Emirat Arab (UEA) Mohamed Al Kuawaiti. Dia menjelaskan bahwa urgensi terkait keamanan siber tak terlepas dari maraknya serangan siber yang ditemukan.

    Bahkan, imbuhnya, kejahatan, terorisme, hingga perang di dunia siber kini tak lagi memedulikan siapa sasaran. Dalam artian, imbuhnya, baik pemerintah, perusahaan rintisan (startup), hingga individu dapat menjadi target aksi kejahatan siber.

    “Budaya keamanan siber tak terlepas dari segala hal yang kita lakukan. Ini tak hanya berkaitan dengan praktek di seluruh dunia, tetapi juga untuk ekosistem hebat yang saat ini hadir di tengah-tengah kita,” katanya saat membuka ajang GITEX Asia 2025 x Ai Everything Singapore di Marina Bay Sands, Singapura, Rabu (23/4/2025).

    Oleh sebab itu, dia memandang bahwa keamanan siber telah menjadi pilar utama dalam upaya pelindungan keamanan hingga kemakmuran suatu wilayah. Untuk itu, dia menilai bahwa pengembangan keamanan siber perlu dilakukan guna menyukseskan berbagai strategi keamanan siber yang telah dilakukan oleh berbagai negara.

    Senada, Komisaris Cybersecurity Agency Singapura David Koh memandang perlunya kerja sama berbagai negara dalam memperkuat posisinya terutama untuk negara kecil dan berkembang, dalam hal pemanfaatan keamanan siber.

    Dia mencontohkan bahwa Singapura dan Malaysia tengah memimpin dalam kolaborasi tersebut. Selain itu, Koh juga meyakini bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya juga dapat saling mendukung dalam hal penguatan kerja sama keamanan siber.

    “Di dunia siber, kita perlu bekerja sama untuk memperkuat dan mengembangkan kerangka normatif,” katanya dalam kesempatan yang sama.

    Hal ini lantaran peretas yang acapkali mengeksploitasi kerentanan pada perangkat informasi dan teknologi yang dimiliki. Untuk itu, imbuhnya, negara-negara dengan pemikiran yang sama perlu bersatu guna menemukan solusi atas tantangan ancaman keamanan siber.

    Sementara itu, EVP Dubai World Trade Center Trixie LohMirmand menambahkan bahwa GITEX Asia 2025 menjadi momentum untuk menciptakan hubungan baru, mengembangkan aliansi baru, serta ide-ide guna mengembangkan teknologi di berbagai aspek kehidupan.

    “Inilah yang kami cita-citakan. Kami terus bekerja keras untuk memperluas ekosistem global sehingga kita memiliki peluang yang lebih baik untuk semua orang, khususnya bagi usaha kecil menengah dan perusahaan rintisan agar lebih dapat berkembang,” jelasnya.

  • Awas Akun Google Dibajak dan Disadap, Begini Cara Mengeceknya

    Awas Akun Google Dibajak dan Disadap, Begini Cara Mengeceknya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pengguna internet perlu mewaspadai ancaman kejahatan siber yang marak bertebaran. Salah satu yang menjadi sasaran adalah akun Google.

    Pasalnya, akun Google menyimpan banyak informasi sensitif. Misalnya rekam jejak pencarian informasi di browser, verifikasi untuk akun di platform lain seperti media sosial dan layanan keuangan, rekam jejak lokasi, dll.

    Jangan sampai akun Google dibobol, karena bisa turut mengancam keamanan akun-akun lain. 

    Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah mengecek secara berkala perangkat apa saja yang masuk ke akun Google. Anda bisa melihat akses tidak sah ke platform email ataupun media seperti foto dan video.

    Setelah menemukan perangkat lain yang mengakses akun, Anda bisa langsung mengeluarkan dan menutup aksesnya.

    Namun perlu diingat juga soal layanan dan aplikasi ketiga yang tidak digunakan namun diambil alih peretas. Karena bisa jadi keduanya menyalahgunakan izin yang diberikan.

    Untuk melihat perangkat apa saja yang sudah mengakses akun Google Anda, berikut caranya dikutip dari PC World:

    PC

    1. Buka laman layanan Google seperti Search atau Gmail

    2. Klik ikon profil

    3. Pilih Manager Your Google Account

    4. Tekan tombol Security

    5. Scroll ke Your Devices dan klik Manage all Devices

    6. Lihat daftar perangkat yang mengakses akun, jika ada yang tidak dikenali klik dan pilih Sign Out

    Aplikasi Google

    1. Buka aplikasi Google

    2. Klik ikon profil

    3. Masuk ke menu Manage Your Google Account

    4. Pilih Security

    5. Scroll layar menuju ke Your Devices dan klik Manage All Devices

    6. Jika ada perangkat yang tidak dikenali masuk ke akun, klik Sign Out

    Nah, itu dia cara mengecek apakah akun Google dibajak atau disadap orang lain. Semoga informasi ini membantu dan selalu jaga keamanan digital Anda!

    (fab/fab)

  • Awas Dapat Panggilan dari Nomor Ini, Jangan Telepon Balik

    Awas Dapat Panggilan dari Nomor Ini, Jangan Telepon Balik

    Jakarta

    Sering dapat telepon dari nomor tidak jelas? Kalau bisa, jangan diangkat atau ditelpon balik, karena hal ini bisa saja modus penipuan wangiri.

    Penipuan wangiri membuat orang penasaran untuk menelepon kembali panggilan tak terjawab dari nomor luar negeri yang tidak dikenal. Penipuan tersebut sudah ada sejak lama dan pertama kali muncul di Jepang sekitar tahun 2000 silam.

    Melansir situs resmi Kementerian Komunikasi dan Digital (dulunya Kementerian Komunikasi dan Informatika), kasus serupa juga pernah terjadi di Indonesia pada 2016.

    Saat itu beberapa pelanggan operator seluler kerap menerima panggilan telepon dari luar negeri dengan kode area atau +77.

    Komdigi pun menjelaskan, jika seseorang menelepon kembali nomor asing, pulsa dapat tersedot karena itu merupakan panggilan internasional. Jika nomor tersebut adalah layanan premium, korbannya mungkin akan dikenakan biaya tambahan, yang sebagian besar masuk ke kantong penipu.

    Bukan hanya itu, kerugian selain hilangnya uang dalam bentuk pulsa, korban juga kehilangan data atau nomor telepon disebarkan ke organisasi kejahatan siber.

    Komdigi menyarankan untuk memeriksa awalan nomor dari panggilan tak terjawab. Jika berasal dari luar negeri, periksa kembali apakah nomor tersebut dikenal atau tidak. Jika tidak, sebaiknya jangan menelepon kembali.

    Diketahui, Setiap negara memiliki kode nomor yang berbeda. Misalnya, kode Indonesia adalah +62, Kongo +24, dan India +91.

    Meskipun penipuan ini bukan hal baru, peringatan tersebut masih relevan. Jangan sembarangan menerima telepon atau menelepon balik nomor yang tidak dikenal. Jika penasaran, kamu dapat mencari informasi nomor asing itu di mesin pencari.

    Semoga informasi ini membantu dan kita semua terhindar dari jeratan penipu tukang kuras rekening!

    (jsn/jsn)

  • Risiko Kejahatan Siber Meningkat di Tengah Perang Tarif Amerika Serikat

    Risiko Kejahatan Siber Meningkat di Tengah Perang Tarif Amerika Serikat

    Bisnis.com, JAKARTA – Kaspersky, perusahaan penyedia solusi keamanan digital, mewanti-wanti pengguna internet ihwal kemungkinan eksploitasi oleh pelaku kejahatan daring di tengah situasi tarif Amerika Serikat. Risiko penipuan disebut-sebut meningkat dalam situasi keuangan yang tidak stabil.

    Terdapat 3 area utama yang dikatakan berpotensi dieksploitasi. Pertama, penipuan belanja daring. Eksploitasi di area ini kemungkinan meningkat karena penipu memanfaatkan peningkatan permintaan barang yang diperkirakan akan menjadi lebih mahal.

    “Pelaku kejatahan siber mungkin membuat situs web palsu yang meyakinkan atau mengirim email penipuan canggih yang mempromosikan ‘diskon pratarif,” kata Pakar Keamanan di Kaspersky Threat Research Roman Dedenok, dikutip Senin (21/4/2025). 

    Roman menambahkan konsumen yang tergesa untuk mendapatkan harga lebih rendah dikatakan secara tidak sadar dapat berujung pada pemberian informasi keuangan kepada operator penipu yang menyebabkan kerugian finansial atau pencurian identitas.

    Kedua, lanjutnya, gangguan rantai pasok dapat memaksa bisnis dan konsumen untuk segera mencari pemasok alternatif, sering kali dengan proses pemeriksaan yang kurang ketat. Hal ini menciptakan peluang bagi produk palsu untuk memasuki pasar.

    Kekhawatiran ini baru-baru ini disorot oleh penemuan Kaspersky tentang varian canggih dari Trojan Triada yang sudah terpasang sebelumnya pada ponsel pintar Android palsu yang dijual melalui pengecer yang tidak sah.

    Beroperasi pada level firmware, malware ini memberi penyerang kendali penuh atas perangkat, memungkinkan pencurian aset kripto, pembajakan akun media sosial, dan pengalihan panggilan tidak sah— menggarisbawahi risiko serius yang ditimbulkan oleh rantai pasokan yang disusupi.

    Ketiga, volatilitas pasar membuka pintu bagi penipuan investasi. Dalam hal ini, penipu dapat menyamar sebagai lembaga keuangan sah, menjanjikan keuntungan tinggi yang ‘terjamin’ berdasarkan pengetahuan orang dalam, atau meluncurkan kampanye phishing dan situs web palsu untuk mencuri informasi sensitif.

    “Misalnya, unggahan media sosial yang tidak terverifikasi tentang potensi jeda tarif baru-baru ini memicu lonjakan pasar sementara senilai multi-triliun dolar sebelum didebatkan—menunjukkan seberapa cepat informasi yang salah dapat menyebar dan memicu potensi skema pump-and-dump,” kata Roman.

    Untuk membantu mengurangi risiko ini, Kaspersky mengatakan konsumen harus melakukan beberapa hal. Meliputi verifikasi keabsahan penjual sebelum melakukan pembelian, menggunakan metode pembayaran yang menawarkan perlindungan penipuan.

    Untuk investor, dianjurkan harus melakukan uji tuntas yang menyeluruh, mengandalkan sumber informasi yang bereputasi baik, dan terakhir; serta bersikap skeptis terhadap penawaran yang tidak diminta yang menjanjikan keuntungan yang sangat besar.

  • Keamanan Siber Berbasis AI Sudah Jadi Kebutuhan

    Keamanan Siber Berbasis AI Sudah Jadi Kebutuhan

    Bisnis.com, JAKARTA – Keamanan siber berbasis kecerdasan buatan (AI) dinilai bisa menjadi mitigasi risiko serangan siber seperti phishing hingga ransomware yang bisa menjadi penghambat perkembangan ekonomi digital di Indonesia.

    Country Director Fortinet Indonesia, Edwin Lim mengatakan Tanah Air merupakan salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, yang diramal mencapai lebih dari US$200 miliar pada 2030.

    Namun, lanjutnya, seiring dengan percepatan digitalisasi, risiko dunia maya juga kian meningkat. Perluasan platform digital, lingkungan komputasi awan (cloud), dan perangkat yang saling terhubung menciptakan permukaan serangan yang lebih luas bagi para pelaku kejahatan siber.

    Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat hampir 330 juta anomali lalu lintas siber sepanjang tahun 2024. Jika tidak ditangani, insiden ini bisa menimbulkan gangguan sistem, kebocoran data, kerusakan reputasi, hingga hilangnya kepercayaan publik.

    “Pelaku kejahatan siber sekarang beroperasi dalam jaringan yang terorganisasi dengan baik, menggunakan alat canggih, layanan digital, dan teknik berbasis AI untuk menembus sistem keamanan tradisional,” ujarnya.

    Mulai dari serangan phishing yang sangat tertarget, penipuan menggunakan deepfake, hingga ransomware yang melumpuhkan infrastruktur penting—lanskap ancaman digital terus berkembang pesat.

    Lingkungan cloud, yang kini menjadi kunci bagi kelincahan dan skalabilitas bisnis, juga membawa tantangan baru. Konfigurasi yang salah, kontrol akses yang lemah, dan kebijakan keamanan yang terfragmentasi dapat dimanfaatkan sebagai celah masuk oleh penyerang.

    “Dalam kondisi saat ini, membangun dan menjaga kepercayaan digital tidak cukup dengan pendekatan reaktif. Diperlukan strategi keamanan siber yang terintegrasi—menggabungkan teknologi canggih, proses verifikasi yang kuat, dan intelijen ancaman secara real-time,” katanya.

    Solusi keamanan berbasis AI, contohnya, memiliki peran krusial dalam menganalisis data dalam jumlah besar, mendeteksi anomali, dan merespons ancaman dengan lebih cepat.

    Ke depan, lanjutnya, pengamanan ekonomi digital Indonesia memerlukan pendekatan menyeluruh—menggabungkan teknologi, kebijakan, pengembangan talenta, dan kolaborasi di setiap lini.

    “Keamanan siber saat ini bukan hanya kebutuhan teknis, tapi merupakan penentu utama kesejahteraan Indonesia ke depan,” ujarnya.