Kasus: kejahatan siber

  • Video: Jurus OJK Perkuat Keamanan Perbankan RI Dari Ancaman Siber

    Video: Jurus OJK Perkuat Keamanan Perbankan RI Dari Ancaman Siber

    Jakarta, CNBC Indonesia- CNBC Indonesia menggelar Fintech Forum dengan tema “Identitas Terverifikasi Jadi Benteng Keamanan Perbankan di Era Digital” pada Senin, 15 September 2025 untuk mengupas tuntas urgensi penguatan keamanan data, pentingnya peran identitas digital hingga keaslian data menghadapi tantangan kemajuan teknologi dan digitalisasi termasuk di sektor keuangan

    Kemajuan teknologi dan digitalisasi mampu mendorong peningkatan efisiensi hingga kecepatan layanan dan transaksi di sektor keuangan, meski di sisi lain perkembangan adopsi teknologi termasuk artificial intelligence (AI) turut meningkatkan ancaman kejahatan siber dengan modus yang semakin canggih mulai dari phishing, ransomware hingga penipuan investasi ilegal.

    Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK, Indah Iramadhini mengungkapkan serangan siber menjadi ancaman utama sektor keuangan utamanya perbankan saat ini.

    Risiko ini tidak hanya terkait teknologi namun juga dapat mengganggu stabilitas ekonomi global. Hal ini tercermin dari risiko kebocoran data, ransomware hingga paparan data di darkweb. Data BSSN menyebutkan Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara target anomali siber dan sektor keuangan menjadi target yang paling rentan.

    Di sisi lain potensi ekonomi RI sangat besar dengan 75% dari 280 juta penduduk RI sudah terhubung dengan internet dan memanfaatkan layanan keuangan digital yang didukung sistem pembayaran digital dan E-Commerce.

    Menghadapi berbagai tantangan ini, OJK terus mendorong keseimbangan inovasi layanan perbankan dengan penguatan tata kelola bidang informasi teknologi dan keamanan siber.

    Selengkapnya simak dialog Shafinaz Nachiar bersama Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK, Indah Iramadhini dengan Deputi Bidang Keamanan Siber dan sandi Pemerintah dan Pembangunan Manusia (BSSN), Sulisyo serta CEO Privy, Mashall Pribadi dan Anggota Bidang IT & Operations Perbanas, Y.B Hariantono dalam Fintech Forum, CNBC Indonesia (Senin, 15/09/2025)

  • Video Demo Viral Ternyata Modus Penipuan Baru, Kenali Ciri-cirinya

    Video Demo Viral Ternyata Modus Penipuan Baru, Kenali Ciri-cirinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Modus penipuan online kembali marak seiring adanya demonstrasi besar-besaran di berbagai kota dalam beberapa hari terakhir. Pelaku kejahatan siber diketahui menyebarkan file berisi video demo yang sebenarnya merupakan spam.

    Penipuan ini diungkapkan oleh akun Instagram @cyberity.network yang mengunggah tangkapan layar menampilkan chat video demo besar-besar.

    File itu berbentuk APK dengan besaran 78 MB dan pesan cara membuka video. Untuk itu, jangan pernah unduh file dalam format APK apapun yang dikirim lewat berbagai platform.

    Akun tersebut mengingatkan untuk berhati-hati pada penipuan tersebut. Para penipu telah memanfaatkan momen untuk melakukan aksinya.

    “Teman-teman selalu berhati-hati ya. Penipu sudah mulai beraksi dengan memanfaatkan momen. Modusnya berbagi video demo yang ternyata APK spam,” tulis akun @cyberity.network, dikutip Kamis (11/9/2025).

    Peringatan yang sama juga diunggah oleh akun X Bank Syariah Indonesia (BSI). Akun itu mengingatkan munculnya file APK yang dikirim melalui chat, email, hingga media sosial.

    Bukan hanya video demo, file tersebut juga dikatakan dapat menyamar seperti undangan, tagihan pajak, hingga resi paket.

    Saat diinstall, maka file bisa meretas data pribadi. Selain itu juga bisa merusak sistem ponsel korbannya.

    BSI juga menuliskan beberapa tips saat menerima file APK. Salah satunya adalah hanya mengunduh dari Play Store atau situs resmi.

    Berikutnya tidak asal klik file yang diterima. Meskipun file dikirimkan oleh orang yang kita kenal atau terdekat.

    Pastikan telah mengaktifkan fitur keamanan di ponsel. Terakhir adalah sebarkan edukasi pada orang sekitar.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Geng Hacker Paling Berbahaya Ngaku Pensiun, Sudah Tobat?

    Geng Hacker Paling Berbahaya Ngaku Pensiun, Sudah Tobat?

    Jakarta

    Sejumlah geng ransomware paling berbahaya di dunia tiba-tiba mengumumkan “pensiun dini” dari dunia kejahatan siber. Melalui sebuah surat terbuka yang diposting di forum gelap BreachForums, kelompok-kelompok peretas ini mengklaim akan berhenti beroperasi setelah bertahun-tahun melancarkan serangan ke berbagai perusahaan dan institusi global.

    Pengumuman tersebut menyebutkan bahwa mereka sudah mencapai “target” dan akan menikmati hasil rampasan yang dikumpulkan selama ini. Mereka juga menegaskan, bila ada serangan yang dikaitkan dengan mereka setelah ini, kemungkinan besar dilakukan sebelum pengumuman resmi tersebut.

    “Kami akan menikmati golden parachutes dengan jutaan yang sudah terkumpul,” tulis pernyataan itu, seperti dikutip detikINET dari Techspot, Rabu (17/9/2025).

    Daftar Panjang Geng yang ‘Bubar’

    Dalam postingan itu tercantum lebih dari selusin nama geng siber terkenal, termasuk Scattered Spider, Lapsus$, IntelBroker, Trihash, Yurosh, WyTroZz, Pertinax, hingga Yukari. Kelompok-kelompok ini dikenal lihai mengeksploitasi kelemahan multi-factor authentication dan teknik social engineering.

    Serangan mereka pernah membuat Jaguar Land Rover lumpuh akibat ransomware dan juga menimpa ritel Inggris Marks & Spencer.

    Meski mengejutkan, banyak pakar keamanan siber meragukan pengumuman ini. Mereka menilai pengumuman tersebut bisa jadi hanya strategi rebranding agar lolos dari tekanan aparat penegak hukum.

    Beberapa tahun terakhir, aparat memang berhasil menangkap anggota geng ransomware, termasuk tokoh terkenal IntelBroker yang ditangkap di Prancis. Ia diidentifikasi sebagai Kai Logan West setelah penyidik berhasil melacak dompet Bitcoin yang terkait dengan identitas resminya, sebuah kesalahan fatal yang menyeretnya ke balik jeruji besi.

    Bisa Jadi Muncul dengan Nama Baru

    Pakar menilai, meskipun geng ini mengaku bubar, kemungkinan besar mereka akan muncul kembali dengan nama baru atau alias segar. Praktik seperti ini memang kerap dipakai kelompok kejahatan siber untuk menghindari investigasi yang sedang berlangsung.

    Untuk saat ini, pengumuman ini bisa dianggap sebagai jeda langka dalam lanskap kejahatan siber global. Namun apakah benar-benar pensiun atau hanya ganti wajah, jawabannya baru bisa dilihat dari tren serangan ransomware dalam beberapa bulan mendatang.

    (asj/asj)

  • Risk Governance, Perisai Bisnis Digital di Tengah Badai Siber

    Risk Governance, Perisai Bisnis Digital di Tengah Badai Siber

    Bisnis.com, JAKARTA – Sebuah organisasi kini rata-rata menghadapi lebih dari 1.600 serangan siber setiap pekan secara global (Check Point Research, Q2/2024).

    Di Indonesia, lebih dari 11 juta anomali lalu lintas siber tercatat hanya dalam semester pertama 2023 (BSSN). Tak hanya kerap terjadi, serangan-serangan ini juga sulit terdeteksi, dengan rata-rata waktu identifikasi ancaman mencapai lebih dari 200 hari, menurut laporan industri siber global.

    Sehingga, risk governance bukan lagi pilihan. Dia telah menjadi fondasi utama untuk bertahan dan menang, di medan baru bisnis digital saat ini.

    Digitalisasi bisnis ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi menjanjikan efisiensi dan peningkatan kinerja melalui pendayagunaan teknologi. Layanan menjadi cepat, efektif, dan efisien. Namun, di sisi lain muncul ancaman serius, kejahatan siber.

    Menurut Vishal Chawla (2022), belanja keamanan siber global diproyeksikan mencapai US$1,75 triliun periode 2021—2025. Di AS, kerugian akibat kejahatan siber pernah mencapai US$1 miliar per bulan. Kerugian fraud bisa melebihi US$3 untuk setiap dolar AS yang dicuri.

    Kasus mencolok pada 2016, peretas nyaris mencuri US$1 miliar melalui sistem SWIFT dengan malware dan rekayasa kredensial. Di Indonesia, BSSN mencatat lebih dari 11 juta anomali traffic siber pada semester I/2023. OJK mencatat gangguan siber berdampak besar secara finansial dan reputasi.

    Modus kejahatan kian kompleks mulai dari phishing, social engineering, hingga eksploitasi celah aplikasi.

    Perluasan kanal digital, terutama layanan daring, meningkatkan eksposur risiko siber. Keamanan siber kini bukan persoalan teknis semata, tetapi fondasi ketahanan bisnis dan kepercayaan publik. Tata kelola risiko siber pun jadi prioritas strategis.

    Tanpa pendekatan terstruktur, perusahaan hanya menunggu giliran terkena gelombang serangan yang kian deras.

    Masalah utama bukan hanya ancaman, tetapi respons internal yang tidak adaptif. Banyak institusi masih menempatkan risiko siber sebagai domain satu unit tanpa integrasi lintas fungsi.

    Model silo ini tak lagi relevan. Penjahat siber mengeksploitasi celah terlemah antar-unit yang tidak berkomunikasi. Sebagaimana Laporan Deloitte “Future of Cyber” (2022) menegaskan bahwa pendekatan kolaboratif dan terintegrasi dalam tata kelola risiko adalah kunci untuk menghadapi lanskap ancaman siber yang dinamis.

    Urgensi muncul untuk tata kelola risiko yang terintegrasi, adaptif, dan holistik Risk Governance.

    Konsep ini menata ulang arsitektur risiko siber dari hulu ke hilir, dengan tiga blok utama: pemahaman customer journey dan eksposur produk digital; internalisasi manajemen risiko fraud; dan tata kelola risiko anti-kejahatan siber terstruktur.

    MENATA ULANG

    Langkah pertama dimulai dengan memetakan bagaimana pelanggan berinteraksi dalam ekosistem digital perusahaan. Setiap titik sentuh mulai dari pembukaan rekening hingga transaksi keuangan menjadi potensi titik serangan yang harus dikenali sejak dini.

    Dengan pendekatan ini, sistem mampu mendeteksi penyimpangan perilaku transaksi dan melakukan respons otomatis dalam hitungan detik.

    Data tidak lagi hanya menjadi catatan historis, melainkan sumber prediksi yang dinamis untuk mendeteksi ancaman masa depan.

    Langkah berikutnya adalah membumikan prinsip-prinsip manajemen risiko fraud ke seluruh lini organisasi. Kebijakan di atas kertas tak lagi cukup.

    Diperlukan sistem audit, pemetaan risiko, kesadaran karyawan, serta mekanisme pelaporan yang formal dan dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip three lines of defense dihidupkan secara nyata: mulai dari pelaksana di garda depan, pengendali risiko dan kepatuhan, hingga fungsi audit internal yang memberi jaminan independen.

    Dengan pembagian peran yang jelas ini, tidak ada lagi ruang abu-abu dalam penanganan risiko.

    Namun, yang paling transformatif adalah pendekatan terhadap tata kelola. Konsep Risk Governance bukan sekadar menambah kebijakan baru, tetapi menata ulang model bisnis dan proses organisasi secara menyeluruh.

    Ini termasuk penetapan unit kerja terpusat khusus untuk pemantauan fraud, penyusunan risk appetite per produk digital, penguatan sistem deteksi fraud yang berbasis kecerdasan buatan, hingga perumusan service level agreement (SLA) dalam penanganan kasus siber.

    Tak kalah penting, seluruh mekanisme ini didukung oleh kebijakan formal, program pelatihan, dan komunikasi lintas unit yang terstruktur.

    Risk Governance bukan sekadar solusi teknis, melainkan strategi fundamental menghadapi ancaman eksistensial siber. Contoh nyata: serangan ransomware Colonial Pipeline (AS, 2021) menyebabkan kerugian US$4,4 juta dan lumpuhnya distribusi energi; kebocoran data Tokopedia (2020) berdampak pada 91 juta akun pengguna.

    Dengan tata kelola risiko terstruktur dan teknologi canggih, perusahaan bertransformasi dari reaktif menjadi proaktif dan resilien. Fraud loss ditekan, efisiensi meningkat, dan kepercayaan pelanggan terjaga. Sistem pelaporan real-time, dashbo-rd risiko, serta pembelajar-an insiden menjadi fondasi ketahanan berkelanjutan.

    Di tengah konektivitas yang makin masif, ketahanan siber bukan lagi biaya, tetapi investasi yang menentukan masa depan. Pelanggan tidak hanya mencari layanan cepat, tetapi juga ketenangan.

    Kini saatnya perusahaan Indonesia melangkah lebih jauh. Bangun budaya risiko yang adaptif, tata ulang arsitektur siber dari sekarang karena dalam ekonomi digital hanya yang siap yang akan selamat. Dan hanya yang resilien yang akan memimpin.

  • OJK Ungkap Penipuan Incar Mobile Banking, Ternyata Makin Banyak

    OJK Ungkap Penipuan Incar Mobile Banking, Ternyata Makin Banyak

    Jakarta, CNBC Indonesia – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti meningkatnya risiko penipuan dan kejahatan siber yang membayangi sektor perbankan di tengah pesatnya digitalisasi layanan keuangan.

    Hal ini disampaikan Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK, Indah Iramadhini, dalam acara Fintech Forum di CNBC Indonesia.

    Menurut Indah, serangan siber kini menjadi salah satu risiko terbesar secara global. Merujuk laporan Global Risk Report, serangan siber diprediksi akan terus menjadi ancaman utama hingga satu dekade mendatang.

    “Risiko ini tidak hanya menyangkut aspek teknologi, tetapi juga bisa berdampak pada stabilitas ekonomi secara global,” ujarnya.

    Indah menjelaskan, ancaman kejahatan digital makin nyata lewat maraknya kasus kebocoran data, ransomware, hingga jual beli data di darknet.

    Kemudian, di level nasional, di mana Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan serangan anomali siber tertinggi, sejajar dengan negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman.

    “Nah ini juga kita melihat bahwa sektor keuangan menjadi salah satu target paling rentan,” terangnya.

    Di sisi lain, penggunaan internet oleh masyarakat Indonesia makin masif. Lebih dari 75% penduduk Indonesia sudah terhubung dengan internet, dan sekitar separuhnya aktif setiap hari dengan rata-rata penggunaan 7 jam. Aktivitas ini didorong oleh pertumbuhan e-commerce serta pembayaran digital yang kian marak.

    Indah menegaskan, dalam menghadapi tantangan tersebut, OJK mendorong agar industri perbankan menyeimbangkan inovasi digital dengan penguatan tata kelola teknologi informasi serta ketahanan siber.

    “Kita melihat bahwa perlu adanya dorongan untuk akselerasi inovasi digital. Tapi, di sisi lain kita harus memperkuat tata kelola teknologi informasi dan juga memperkuat ketahanan siber” jelas Indah.

    “Jadi kedua ini harus balance, tantangan utama yang kami hadapi saat ini,” pungkasnya.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Atasi Serangan Siber, BSSN Ungkap 3 Tantangan Utama Sektor Keuangan

    Atasi Serangan Siber, BSSN Ungkap 3 Tantangan Utama Sektor Keuangan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Deputi Bidang Keamanan Siber Pemerintahan dan Pengembangan Manusia Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Sulistyo mengungkap bahwa serangan siber masih menjadi tantangan besar yang dihadapi sektor keuangan di Indonesia.

    Untuk mengatasi hal ini menurut dia terdapat tiga hal yang menjadi perhatian BSSN. Salah satunya SDM. Ia mengatakan SDM menjadi salah satu kunci mengatasi potensi terjadinya serangan siber. Semakin baik SDM, maka serangan siber di sektor keuangan bisa diminimalisir.

    “Pertama adalah bagaimana people atau sumber daya manusia yang mengelola di sisi perbankan itu atau di customer,” ungkap dia dalam Fintech Forum CNBC Indonesia, Senin (15/9/2025).

    Selain itu lanjut Sulistyo, pemanfaatan teknologi juga menjadi perhatian khusus. Contohnya penggunaan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Hal ini juga bisa menjadi ancaman. Di mana para pelaku kejahatan siber berpotensi memanfaatkan teknologi ini untuk mengelabui nasabah-nasabah perbankan.

    “Yang diincar di nasabah. Jadi faktor people atau nasabah perlu literasi dan menjadi krusial,” terang Sulistyo.

    Serangan siber dengan pemanfaatan AI dinilainya juga bisa terjadi di sistem perbankan digital. Sehingga hal ini juga menjadi atensi bagi pihaknya.

    “Tentu dengan maraknya penggunaan AI, ekosistem perbankan harus sudah mulai bagaimana kemudian AI dimanfaatkan untuk menghadapi serangan berbasis AI,” tambah Sulistyo.

    Terakhir adalah berkaitan dengan tata kelola. Menurut dia penyedia layanan perbankan dengan skala besar wajib menginvestasikan anggaran teknologi untuk menghadapi serangan siber.

    “Tetapi untuk perbankan di bawah, di daerah, itu yang menurut saya disparitas menjadi masalah,” pungkas Sulistyo.

    (dpu/dpu)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Anggota Parlemen Malaysia Diancam Pakai Video AI Cabul, Diminta Bayar Rp 1,6 M

    Anggota Parlemen Malaysia Diancam Pakai Video AI Cabul, Diminta Bayar Rp 1,6 M

    Kuala Lumpur

    Sejumlah anggota parlemen Malaysia diduga menjadi sasaran kejahatan siber yang menggunakan video cabul buatan artificial intelligence (AI). Pelaku disebut meminta uang dalam jumlah besar dengan ancaman video AI itu akan disebar jika uang tak diberikan.

    Dilansir The Star, Minggu (14/9/2025), Anggota Parlemen Sungai Petani, Mohammed Taufiq Johari, dan Anggota Dewan Kota Anggerik, Mohd Najwan Halimi, mengaku bahwa mereka menerima email berisi ancaman berisi gambar yang direkayasa dan tuntutan tebusan.

    Taufiq mengatakan dia menerima surat elektronik pada Jumat (12/9) dari akun yang tidak dikenal. Email itu berisi video palsu dan tuntutan sebesar USD 100.000 (sekitar Rp 1,6 miliar) untuk mencegah penyebarannya.

    Dia telah melaporkan kejadian ini kepada Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC) dan berencana untuk mengajukan laporan polisi guna penyelidikan menyeluruh. Najwan, yang juga merupakan Ketua Komite Pemuda, Olahraga, dan Kewirausahaan Selangor, mengatakan dirinya juga menerima ancaman serupa melalui surel disertai tangkapan layar video palsu yang mirip wajahnya.

    Para pemeras disebut menuntut tebusan dengan jumlah yang sama. Dia telah melaporkan masalah ini kepada MCMC dan kepolisian.

    Mereka menambah daftar anggota parlemen yang sudah lebih dulu diancam, yakni anggota parlemen Pandan, Datuk Seri Rafizi Ramli, anggota parlemen Subang, Wong Chen, dan anggota parlemen Kota Kinabalu, Chan Foong Hin.

    Rafizi mengatakan dia dikirimi tangkapan layar video palsu dan kode QR untuk transfer pembayaran. Kantor Chan juga mengajukan laporan kepada MCMC setelah menerima surel berisi pemerasan.

    Wong mengatakan dia merasa kurang aman sebagai legislator sekarang dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya sebagai anggota parlemen oposisi.

    “Fakta bahwa upaya pemerasan ini begitu palsu dan dieksekusi dengan sangat buruk, membuat saya semakin khawatir,” katanya.

    Penipuan ini diduga mengikuti metode yang sama, yakni menggunakan AI untuk memanipulasi video, melampirkan tangkapan layar palsu dalam surel, dan menuntut pembayaran yang besar agar materi palsu tersebut tidak menyebar secara daring. Semua anggota parlemen yang terdampak menolak untuk membayar dan mengajukan laporan kepada pihak berwenang.

    Tonton juga video “Dukun Cabul Magetan Perkosa Siswi, Sebut Korban Dihamili Makhluk Halus” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (haf/imk)

  • Bamsoet Ingatkan Ancaman AI, Tirani Algoritma, dan Muslihat Disinformasi

    Bamsoet Ingatkan Ancaman AI, Tirani Algoritma, dan Muslihat Disinformasi

    Jakarta

    Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Dosen Tetap Program Pascasarjana Doktor Hukum Universitas Borobudur,Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan ancaman terbesar bagi stabilitas sosial Indonesia di era digital. Menurutnya, hal ini tidak lagi hanya datang dari kerumunan massa di jalan, melainkan juga dari percikan yang meledak di ruang siber.

    Dia mengatakan disinformasi berupa unggahan singkat, komentar spontan, dan tagar populer yang dirancang dengan bantuan algoritma, kecerdasan buatan (AI) dan muslihat disinformasi kini terbukti mampu memanipulasi emosi publik dan menggerakkan ribuan orang. Bahkan memicu kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran.

    “Kalau dulu kerusuhan lahir dari demonstrasi fisik, sekarang cukup dari satu narasi palsu di dunia maya. Deepfake dan manipulasi visual membuat kebohongan tampak seolah fakta. Inilah wajah baru ancaman yang kita hadapi,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Minggu (14/9/2025).

    Hal tersebut disampaikannya saat menjadi penguji internal dalam ujian sidang terbuka disertasi mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Mayjen TNI AD Endro Satoto, dengan judul ‘Konstruksi Norma Dalam Upaya Perlindungan Korban Terhadap Siber Global Di Indonesia Yang Berkemanfaatan’, di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (13/9).

    Ketua DPR RI ke-20 ini mencontohkan kasus tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tertabrak kendaraan aparat pada tanggal 28 Agustus lalu, menjadi bukti nyata. Video amatir yang direkam warga beredar luas hanya dalam hitungan menit.

    Reaksi publik mengalir deras, menciptakan gelombang simpati sekaligus amarah yang akhirnya menambah tensi dan menaikan eskalasi demonstrasi di lapangan. Data dari LAB 45 pimpinan Mantan Gubernur Lemhanas, Andi Widjajanto mencatat, sepanjang Oktober 2024 hingga 5 September 2025, terjadi 218 aksi massa, terdiri dari 156 demonstrasi, 49 amok, dan 13 aksi anarkis.

    Dari total itu, 121 aksi menargetkan instansi pemerintah dan fasilitas umum, termasuk perusakan kantor pemerintah, pembakaran hingga penjarahan. Kasus Affan membuktikan bahwa percikan di ruang digital bisa bertransformasi jadi amuk di dunia nyata. Kondisi ini diperparah dengan
    algoritma media sosial yang tidak netral.

    Konten yang provokatif diprioritaskan, sementara klarifikasi tenggelam. Ditambah dengan muslihat disinformasi dengan kecerdasan buatan yang mampu memproduksi konten palsu dalam jumlah masif, menjadikan ancaman yang bisa mengikis legitimasi negara dan memperdalam distrust masyarakat.

    “Hari ini kita hidup dalam era ketika realitas publik bukan lagi dibangun oleh fakta, melainkan oleh algoritma. Algoritma media sosial yang seharusnya membantu kita menemukan informasi, justru menjadi muslihat disinformasi dengan memprioritaskan konten yang provokatif karena paling banyak menghasilkan klik dan interaksi. Akibatnya, satu video bisa langsung memicu kemarahan massal sebelum kebenarannya sempat diverifikasi,” jelas Bamsoet.

    Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini memaparkan, laporan dari Global Disinformation Index (GDI) menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap penyebaran hoaks politik. Data Kementerian Komunikasi dan Digital mencatat, sepanjang tahun 2024 terdapat lebih dari 11.000 konten hoaks yang berhasil diidentifikasi, dengan 32 persen diantaranya terkait isu politik dan pemilu. Bahkan, survei Katadata Insight Center pada awal 2025 mengungkap 7 dari 10 pengguna internet di Indonesia mengaku kesulitan membedakan mana berita asli dan palsu.

    Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di India, dalam beberapa tahun terakhir, puluhan kasus persekusi dan kekerasan massa dipicu oleh hoaks yang beredar di grup WhatsApp. Di Amerika Serikat, teknologi voice cloning bahkan sudah dipakai untuk menipu perusahaan, dimana suara CEO dipalsukan untuk memerintahkan transfer uang sehingga menimbulkan kerugian jutaan dolar. FBI melalui Internet Crime Complaint Center (IC3) mencatat kerugian akibat kejahatan siber, termasuk penipuan berbasis kecerdasan buatan, telah mencapai lebih dari USD 10 miliar pada tahun 2023 dan terus meningkat.

    “Bayangkan skala risikonya bila semua itu dikombinasikan dengan konteks politik atau isu identitas yang sensitif. Disinformasi berbasis kecerdasan buatan bisa menggerakkan emosi massa dalam sekejap. Yang lebih berbahaya lagi, masyarakat semakin sulit membedakan mana fakta, mana rekayasa. Kita menghadapi fenomena yang disebut ‘liar’s dividend’, ketika orang bisa saja mengklaim bukti nyata sebagai palsu hanya karena publik sudah terbiasa mendengar kata deepfake,” papar Bamsoet.

    Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Unpad (PADIH Unpad) ini juga menegaskan, krisis yang dipicu algoritma, kecerdasan buatan ataupun disinformasi, tidak bisa dihadapi dengan cara biasa. Pemerintah dan DPR harus menyiapkan langkah-langkah luar biasa. Diantaranya, pembuatan regulasi algoritma. Pemerintah harus mengatur kewajiban platform digital untuk membuka transparansi cara algoritma bekerja, terutama dalam mengatur konten politik dan keamanan publik. Platform harus diwajibkan memberi laporan transparansi berkala tentang bagaimana konten disebarkan dan apa dampaknya pada masyarakat.

    Kedua, pembuatan Undang-Undang Keamanan Digital dan Anti-Disinformasi. Undang-undang ini harus mengatur secara jelas penggunaan kecerdasan buatan dalam produksi konten digital. Konten yang dihasilkan kecerdasan buatan wajib diberi watermark dan metadata yang tidak bisa dihapus, sehingga masyarakat bisa menilai keaslian informasi.

    “Ketiga, penguatan literasi digital dan fact-checking nasional. Pemerintah harus menggandeng organisasi lokal serta komunitas kampus untuk membangun sistem verifikasi cepat terhadap berita hoaks. Literasi digital wajib dimasukkan ke kurikulum sekolah dan digalakkan lewat kampanye publik berskala nasional,” urai Bamsoet.

    Lebih lanjut, Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, perlu dilakukan revisi UU ITE dan integrasi dengan regulasi kecerdasan buatan. Undang-undang yang ada perlu diperbaharui agar lebih tepat membedakan antara konten asli dengan konten manipulatif berbahaya. Regulasi kecerdasan buatan juga harus diintegrasikan agar ada payung hukum jelas tentang tanggung jawab produsen teknologi maupun pengguna.

    “Teknologi harus jadi alat pemberdayaan, bukan pemecah belah. Karenanya, kita wajib memastikan regulasi yang dibuat harus seimbang. Kita tidak boleh membiarkan disinformasi merusak demokrasi, tetapi kita juga tidak boleh menjadikan regulasi sebagai alat membungkam kritik rakyat. Yang kita perlukan adalah aturan yang adil, transparan, dan akuntabel,” pungkas Bamsoet.

    Sebagai informasi, turut hadir sebagai penguji antara lain Promotor Prof. Faisal Santiago; Ko-Promotor Dr. Sulhan; Penguji Internal Prof. Ade Saptomo dan Penguji Eksternal Prof. Ibnu Sina Chandranegara.

    (akd/akd)

  • 26 Medsos yang Sempat Diblokir di Nepal hingga Picu Ricuh, Instagram-YouTube Cs

    26 Medsos yang Sempat Diblokir di Nepal hingga Picu Ricuh, Instagram-YouTube Cs

    Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah Nepal sempat melakukan pemblokiran terhadap 26 platform media sosial. Larangan tersebut kini telah dicabut lantaran memicu demonstrasi besar-besaran di sana.  

    Adapun daftar media sosial tersebut antara lain Facebook, Messenger, Instagram, YouTube, WhatsApp, X (sebelumnya Twitter), LinkedIn, Snapchat, Reddit, Discord, Pinterest, Signal, Threads, WeChat, Quora, Tumblr, Clubhouse, Mastodon, Rumble, VK, Line, IMO, Zalo, Soul, Hamo Patro, dan BeReal. 

    Menurut laporan Kathmandu Post, Rabu (10/9/2025) pemblokiran tersebut awalnya dilakukan karena sejumlah platform besar tidak mematuhi kewajiban registrasi dengan pemerintah. 

    Tenggat waktu pendaftaran selama tujuh hari telah berakhir pada pekan lalu. 

    Perdana Menteri Nepal KP Sharma Oli yang kini telah mundur dari jabatannya, menekankan langkah tersebut bukan soal sensor, melainkan masalah kedaulatan dan penegakan hukum.

    “Kemandirian bangsa lebih penting daripada kehilangan pekerjaan segelintir orang. Tidak bisa diterima jika ada pihak yang melawan hukum, mengabaikan konstitusi, dan meremehkan martabat serta kedaulatan negara,” kata Oli dikutip dari laman The Economic Times.

    Tidak semua platform terkena dampak larangan. Beberapa aplikasi masih beroperasi karena telah memenuhi aturan registrasi, seperti halnya Viber, TikTok, Wetalk, hingga Nimbuzz.  

    Sementara itu, Telegram dan Global Diary sedang dalam proses pendaftaran dan berpotensi segera kembali tersedia secara resmi.

    Pemerintah berdalih sudah sejak lama meminta perusahaan media sosial mendirikan entitas hukum di Nepal. Namun, kritik menyebut pemblokiran ini terlalu tergesa-gesa, apalagi rancangan undang-undang yang menjadi dasar kebijakan Operation, Use, and Regulation of Social Media in Nepal belum disahkan oleh parlemen.

    Sebelumnya, Nepal diguncang gelombang protes besar yang menyebabkan belasan orang tewas dan memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur dari jabatannya.

    Aksi ini dipicu protes pemblokiran media sosial, namun itu hanya sebagai pemicu. Alasan utama gelombang protes ini mirip dengan demonstrasi besar di Indonesia beberapa waktu lalu, yakni ketidakpuasan terhadap pemerintah dan maraknya korupsi di Nepal.

    Pemerintah Nepal pekan lalu memutuskan memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Alasannya, untuk menekan penyalahgunaan platform digital seperti penyebaran ujaran kebencian, hoaks, hingga kejahatan siber. Namun, kebijakan itu justru menyulut kemarahan publik, khususnya generasi muda.

    Sekitar 90% dari 30 juta penduduk Nepal terhubung dengan internet, sehingga pemblokiran tersebut dinilai membatasi ruang berekspresi dan menambah daftar panjang kekecewaan publik atas maraknya korupsi serta terbatasnya lapangan kerja.

    Kritikus menilai kebijakan itu bukan sekadar soal regulasi, melainkan upaya membungkam kampanye antikorupsi yang kian menguat. Walau larangan tersebut dicabut pada Senin malam, amarah massa terlanjur meledak.

    Senin lalu, bentrokan pecah di Kathmandu dan sejumlah kota lain. Polisi menembakkan gas air mata, meriam air, hingga peluru karet untuk membubarkan ribuan pengunjuk rasa. Sedikitnya 19 orang tewas dalam satu hari, dan jumlah korban jiwa meningkat menjadi 22 orang pada Selasa. Sejumlah demonstran berhasil menembus pagar gedung parlemen, memaksa aparat memberlakukan jam malam di sekitar pusat pemerintahan.

    Gelombang aksi tak berhenti. Selasa, massa membakar gedung parlemen di Kathmandu, markas partai politik, serta rumah beberapa tokoh, termasuk mantan perdana menteri Sher Bahadur Deuba. Laporan menyebutkan tiga orang tambahan tewas dan puluhan lainnya terluka. Rumah sakit kewalahan menangani korban dengan luka tembak dan cedera akibat peluru karet.

    Panglima Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, menyatakan bahwa demonstran telah melakukan penjarahan dan pembakaran, serta memperingatkan bahwa semua institusi keamanan, termasuk militer, siap turun tangan penuh jika kerusuhan berlanjut.

    Meski begitu, ia juga menyerukan dialog dengan para pengunjuk rasa sebagai jalan menuju penyelesaian politik atas krisis terburuk Nepal dalam beberapa dekade terakhir.

    Pemblokiran Medsos Bukan Isu Utama

    Kerusuhan besar di Nepal tidak semata-mata dipicu oleh pemblokiran media sosial. Melansir India Times, salah satu unggahan panjang di platform Reddit yang ditulis oleh seorang warga Nepal mengungkap bahwa larangan itu hanyalah pemicu dari ketidakpuasan yang jauh lebih dalam atas praktik korupsi, nepotisme, dan jurang ketidaksetaraan ekonomi.

    Menurut unggahan tersebut, pemerintah beralasan bahwa pembatasan akses berkaitan dengan masalah pajak dan registrasi. Namun, dugaan sebenarnya adalah upaya penyensoran, yakni memberi ruang bagi pemerintah untuk menghapus kritik di dunia maya sekaligus menjerat para pengkritik dengan hukuman penjara.

  • AS Nyatakan Perang Melawan Operasi Penipuan Siber Asean Usai Rugi Rp16 Triliun

    AS Nyatakan Perang Melawan Operasi Penipuan Siber Asean Usai Rugi Rp16 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat melalui Departemen Keuangan (U.S. Treasury) resmi menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah jaringan besar operasi kejahatan siber di Asia Tenggara (Asean), yang sepanjang tahun lalu telah menipu warga Amerika hingga lebih dari US$10 miliar atau sekitar Rp16,1 triliun. 

    Sanksi ini menargetkan 19 individu dan entitas di Myanmar (Burma) dan Kamboja, yang terungkap melakukan penipuan daring dengan modus mulai dari investasi kripto palsu hingga penipuan asmara atau romance baiting. 

    Amerikas Serikat menegaskan bahwa operasi kejahatan yang dilakukan pelaku kejahatan siber Asia Tenggara terkenal kejam.  Mereka memperbudak, memperdagangkan manusia secara ilegal, dan tak segan menggunakan tindak kekerasan demi memaksa korban bertindak sebagai pelaku penipuan daring. 

    Para korban dijebak dengan janji pekerjaan, lalu disekap, diancam, bahkan dikurung di kompleks “scam farms” yang beroperasi di bawah perlindungan kelompok bersenjata, seperti Karen National Army di Myanmar.

    Wakil Menteri Keuangan untuk Terorisme dan Intelijen Keuangan, John K. Hurley mengatakan industri penipuan siber di Asia Tenggara tidak hanya mengancam kesejahteraan dan keamanan finansial warga Amerika, tetapi juga menjadikan ribuan orang sebagai korban perbudakan modern.

    “Pada 2024, warga Amerika yang tidak menaruh curiga kehilangan lebih dari $10 miliar akibat penipuan yang berbasis di Asia Tenggara, dan di bawah kepemimpinan Presiden Trump dan Menteri Bessent, Departemen Keuangan akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memerangi kejahatan keuangan terorganisir,” kata John dikutip dari laman resmi, Rabu (10/9/2025).

    Treasury AS menyoroti bahwa kerugian finansial warga Amerika akibat pusat-pusat scam di Asia Tenggara melonjak hingga 66% pada 2024 dibanding tahun sebelumnya.

    Pelaku scam menargetkan korban lewat platform daring dengan tipu daya persahabatan, asmara, hingga penawaran investasi di situs kripto tiruan. Mereka bahkan merekrut tenaga kerja yang mahir berbahasa Inggris demi memperluas target korban internasional. 

    Aljazeera melaporkan bahwa OFAC (Office of Foreign Assets Control) memberikan sanksi pada sembilan target yang terkait dengan Karen National Army di Myanmar, termasuk sejumlah perusahaan energi, holding, dan pengembang properti yang bersinergi dengan aktor utama seperti She Zhijiang — arsitek sekaligus pengelola kompleks Yatai New City.

    Bleeping Computer mengungkap sembilan nama aktor dan perusahaan yang telah mendapat sanksi dari OFAC serta sepuluh target lain yang terkait dengan berbagai jaringan kejahatan terorganisir di Kamboja sebagai berikut: 

    1. Tin Win – Menguasai properti yang menjadi lokasi pusat scam dan menjalankan perusahaan energi yang memasok listrik ke situs penipuan  

    2.Saw Min Min Oo – Pejabat KNA yang mengelola perusahaan-perusahaan afiliasi KNA yang terlibat dalam operasi scam  

    3.Chit Linn Myaing Co., Ltd (CLM Co.) – Perusahaan induk KNA; mitra Myanmar Yatai; mendukung operasi scam  

    4.Chit Linn Myaing Toyota Company Limited – Perusahaan afiliasi KNA yang terkait dengan operasi pusat scam  

    5.Chit Linn Myaing Mining & Industry Company Limited – Perusahaan afiliasi KNA yang terlibat dalam aktivitas terkait scam  

    6.Shwe Myint Thaung Yinn Industry & Manufacturing Company Limited – Bermitra dengan pemasok listrik untuk mendukung operasi scam di Shwe Kokko  

    7.She Zhijiang – Otak di balik Yatai New City, ditangkap di Thailand karena pelanggaran HAM  

    8.Yatai International Holdings Group Limited (Yatai IHG) – Perusahaan utama She Zhijiang, pemilik mayoritas Myanmar Yatai  

    9.Myanmar Yatai International Holding Group Co., Ltd – Usaha patungan antara Yatai IHG dan CLM Co., memiliki/mengoperasikan kompleks scam Yatai New City  

    10.T C Capital Co. Ltd. – Pemilik Golden Sun Sky Casino and Hotel serta lokasi scam mata uang virtual dan pencucian uang  

    11.Dong Lecheng – Pendiri T C Capital, dihukum karena pencucian uang di Tiongkok  

    12.K B Hotel Co. Ltd. – Pemilik kompleks scam berisi blok kantor, hotel, dan kasino yang mempekerjakan tenaga kerja secara paksa  

    13.Xu Aimin – Co-founder K B Hotel, dihukum di Tiongkok atas perjudian daring ilegal dan juga terkait pencucian uang  

    14.K B X Investment Co. Ltd. – Perusahaan properti Kamboja milik Xu Aimin  

    15.Chen Al Len – Direktur Heng He Bavet dan anggota dewan K B Hotel  

    16.Su Liangsheng – Co-direktur Heng He Bavet dan anggota dewan M D S Heng He  

    17.Heng He Bavet Property Co. Ltd. – Pemilik Heng He Casino dan terlibat scam mata uang virtual serta kerja paksa  

    18.M D S Heng He Investment Co. Ltd. – Pengembang kompleks scam di Provinsi Pursat  

    19.HH Bank Cambodia plc – Lembaga keuangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Chen dan Su; mendukung aktivitas scam  

    Sanksi yang dijatuhkan didasarkan pada pelanggaran terhadap Perintah Eksekutif 13851 (kejahatan lintas negara), 13694 (ancaman siber), 13818 (pelanggaran HAM), dan 14014 (aktor destabilisasi di Burma).