JAKARTA – Munculnya gerakan stop tot tot wuk wuk belakangan ini adalah bentuk kegeraman masyarakat atas praktik penyalahgunaan atribut kendaraan tersebut.
Belakangan ini media sosial tengah ramai dengan gerakan stop tot tot wuk wuk, yang menggambarkan bunyi sirene dan strobo yang kerap digunakan pejabat di Indonesia di jalan raya maupun jalan tol.
Penggunaan aksesoris kendaraan itu dinilai menyalahi aturan dan menganggu kenyamanan berkendara. Bentuk protes ini muncul dalam berbagai cara, mulai dari poster digital yang tersebar di media sosial, hingga stiker sindiran yang ditempel pada kendaraan pribadi.
Salah satu stiker yang ramai beredar berbunyi, “Pajak kami ada di kendaraanmu. Stop berisik di jalan Tot Tot Wuk Wuk!”
Artis Bertrand Antolin termasuk yang vokal menyuarakan kegeramannya atas penggunaan sirene dan strobo secara ilegal. Ia bahkan sering disebut mewakili suara rakyat yang muak dengan penggunaan sirene dan strobo tersebut.
Sejumlah anggota kepolisian patwal di kawasan Nusa Dua, Badung, Bali, Oktober 2018. (ANTARA /FIKRI YUSUF)
Menciptakan Ketidakadilan
Keluhan masyarakat utamanya diarahkan kepada kendaraan pejabat yang menggunakan pengawalan, meski tidak dalam situasi darurat. Bahkan, tidak sedikit juga kendaraan berpelat sipil yang memakai strobo maupun sirene.
“Kalau lagi panas-panas, macet, terus bunyi-bunyian itu kedengarannya puyeng banget, bikin emosi aja. Kita sama-sama bayar pajak, masa iya harus minggur buat pejabat yang cuma mau rapat atau urusan biasa,” kata seorang pengendara asal Jakarta, yang mengaku kesal setiap mendengar suara sirene di jalan.
Menanggapi keresahan warganet di media sosia. Istana angkat bicara. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan, pejabat publik harus menjaga kepatutan dan tidak menggunakan fasilitas sirene dan strobo secara berlebihan. Aturan memang membolehkannya pada kondisi tertentu, tetapi penerapannya harus menghargai ketertiban umum.
”Jangan digunakan untuk sesuatu yang melampaui batas-batas wajar dan tetap kita harus memperhatikan dan menghormati pengguna jasa yang lain,” ujar Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Politisi Partai Gerindra ini juga mencontohkan Presiden Prabowo Subianto yang tidak selalu memakai sirene saat berkendara. “Bapak presiden sering ikut bermacet-macet, kalau pun lampu merah juga berhenti, ketika tidak ada sesuatu yang sangat terburu-buru mencapai tempat tertentu,” ucap Prasetyo.
Pengamat transportasi Djoko Setijoworno menuturkan, alasan paling mendasar dari penolakan masyarakat adalah adanya penyalahgunaan sirene dan rotator atau yang dikenal sebagai strobo di jalanan. Masyarakat sering melihat kendaraan pribadi atau pejabat yang bukan dalam keadaan darurat menggunakan stroboe untuk menembus kemacetan.
Hal ini, kata Djoko, menimbulkan persepsi bahwa strobo adalah simbol hak istimewa, bukan lagi sebagai alat untuk keselamatan publik.
“Penggunaan yang tidak pada tempatnya ini menciptakan rasa tidak adil dan memicu kemarahan,” tutur Djoko dalam keterangan yang diterima VOI.
Menurunkan Kepercayaan Masyarakat
Tak hanya menimbulkan kecemburuan sosial, penggunaan rotator ternyata juga berdampak langsung pada kenyamanan warga, menurut Djoko. Suara sirene yang nyaring, terutama pada malam hari atau di lingkungan padat penduduk, kerap mengganggu waktu istirahat masyarakat.
Lebih jauh, penggunaan sirene dan strobo secara sembarangan juga berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem darurat.
“Saat mendengar sirene, masyarakat tidak lagi yakin apakah itu benar-benar situasi darurat atau hanya kendaraan yang ingin mencari jalan pintas. Akibatnya, ketika ada situasi darurat yang nyata, respons masyarakat untuk memberikan jalan mungkin tidak secepat atau setanggap seharusnya,” imbuhnya.
Mengacu pada Pasal 134 dan 135 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkatan Jalan, sirene dan lampu isyarat (strobo) merah atau biru dperbolehkan untuk kendaraan yang mendapat hak utama, yaitu kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas, ambulans yang mengangkut orang sakit, dan kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan lalu lintas.
Selain itu, penggunaannya diperbolehkan pula untuk pengawalan kendaraan pimpinan lembaga negara serta kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara, iring-iringan pengantar jenazah, dan konvoi atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Polri.
Pendistribusian logistik Pilkada Serentak 2024 dari Gudang Logistik KPU Situbondo, jawa Timur, dikawal mobil patwal Polres Situbondo. Sabtu (23/11/2024). (ANTARA/HO-Humas Polres Situbondo)
Gerakan anti sirene dan strobo ilegal muncul tak lama setelah aksi protes besar-besaran rakyat Indonesia atas adanya berbagai tunjangan, termasuk tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, untuk anggota DPR. Jika dihitung-hitung, total pendapatan anggota dewan mencapat Rpp200-an juta per bulan.
Angka ini dinilai terlalu fantastis, memunculkan ketimpangan yang cukup lebar dengan rakyat, yang mayoritas tengah mengalami kesulitan finansial.
Perasaan ketidakadilan juga kemudian ditumpahkan kepada para pejabat yang memanfaatkan penggunaan sirene dan strobo ilegal yang sering digunakan untuk membelah kemacetan, bahkan tak jarang menerobos lampu merah, sehingga menciptakan ketidakadilan di jalan raya.
“Penolakan ini tidak hanya sekadar ketidaknyamanan, tetapi memiliki dampak serius,” tutur Djoko.
“Intinya, penggunaan sirene dan rotator yang tidak sesuai aturan menciptakan ketidakadilan, mengganggu ketenangan, dan pada akhirnya merusak esensi dari tujuannya sebagai alat keselamatan,” kata dia menambahkan.