Kasus: kasus suap

  • Setahun Prabowo – Gibran, Ini Sejumlah OTT dan Kasus yang Ditangani oleh KPK

    Setahun Prabowo – Gibran, Ini Sejumlah OTT dan Kasus yang Ditangani oleh KPK

    Bisnis.com, JAKARTA – Memasuki satu tahun kepemimpinan Prabowo-Gibran menandai lahirnya berbagai kebijakan dan tatanan baru di berbagai sektor. Tentunya hal ini tidak luput dari upaya pencegahan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Lembaga antirasuah ini merupakan salah satu tombak dalam pencegahan, pendidikan, dan penindakan korupsi di tengah dinamika yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun daerah. 

    Dibentuk pada tahun 2002, KPK telah menangani berbagai modus korupsi, mulai dari mark-up, suap, penggelapan dana jabatan, hingga pemerasan yang dilakukan oleh pihak kelas kakap maupun kelas teri dari sektor swasta dan pemerintah.

    Melansir laman kpk.go.id, sepanjang tahun 2024 KPK telah menangani 68 perkara pengadaan barang/jasa, 63 perkara gratifikasi/suap, 16 kasus pemerasan, 6 kasus TPPU, dan 1 kasus merintangi proses KPK. 

    Sepanjang tahun 2025, KPK telah menangani 21 perkara pengadaan barang/jasa, 16 kasus gratifikasi/suap, dan 6 kasus pemerasan/pungutan. Prabowo-Gibran akan genap memimpin Indonesia pada 20 Oktober 2025. Sejumlah OTT dilakukan oleh KPK dalam periode ini.

    Berikut sejumlah perkara yang ditangani KPK, dihimpun dari catatan Bisnis:

    1. Perkara dugaan pungli Pilkada 2024

    KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap tujuh orang di lingkungan Pemprov Bengkulu pada Sabtu, 23 November 2024. KPK menduga adanya tindak pidana korupsi berupa pemungutan dana untuk kepentingan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu.

    Pada Minggu, 24 November 2024, KPK menangkap Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, dan menetapkannya sebagai tersangka.

    2. Perkara pemotongan anggaran Ganti Uang (GU)

    KPK melakukan OTT terhadap penyelenggara negara di wilayah Pekanbaru, Riau, pada Senin (2/12/2024) dan menetapkan tiga orang tersangka. Salah satunya adalah Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa.

    KPK menyita bukti uang senilai Rp6,8 miliar. Uang tersebut diduga berasal dari pemotongan anggaran GU di Bagian Umum Sekretariat Daerah (Setda) Pekanbaru sejak Juli 2024.

    3. Penetapan tersangka Hasto

    KPK menetapkan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, sebagai tersangka pada 24 Desember 2024 dalam kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) DPR RI yang melibatkan Harun Masiku.

    Hasto memerintahkan Nur Hasan, penjaga Rumah Aspirasi di Jalan Sutan Syahrir No. 12A yang biasa digunakan sebagai kantor oleh Hasto untuk menelepon Harun Masiku agar merendam ponselnya dalam air dan segera melarikan diri.

    Dia juga diduga mengumpulkan sejumlah orang terkait perkara Harun Masiku dan mengarahkan agar mereka tidak memberikan keterangan yang sebenarnya saat dipanggil KPK.

    4. Perkara suap proyek Dinas PUPR Ogan Komering Ulu

    KPK menggelar operasi senyap di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, pada 15 Maret 2025, terkait suap proyek di lingkungan Dinas PUPR. 

    KPK mengamankan Rp2,6 miliar serta sejumlah barang bukti lainnya. Pada 16 Maret, KPK menetapkan tersangka:

    Nopriansyah, Kepala Dinas PUPR OKU
    Ferlan Juliansyah, Anggota DPRD OKU
    M. Fahrudin, Ketua Komisi III DPRD OKU
    Umi Hartati, Ketua Komisi II DPRD OKU
    M. Fauzi alias Pablo, pihak swasta
    Ahmad Sugeng Santoso, pihak swasta

    KPK mengendus pengondisian nilai proyek, di mana fee proyek yang semula dalam APBD 2025 sebesar Rp48 miliar disepakati naik menjadi Rp96 miliar.

  • 9
                    
                        Kala Para Wakil Tuhan Berjualan Perkara…
                        Nasional

    9 Kala Para Wakil Tuhan Berjualan Perkara… Nasional

    Kala Para Wakil Tuhan Berjualan Perkara…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim Djuyamto berulang kali menatap ke ujung ruangan di depannya: kemegahan meja dan kursi majelis hakim.
    Pada sisi singgasana itu, berderet dua baris tempat duduk untuk jaksa dan terdakwa dalam posisi yang lebih rendah.
    Saban Rabu, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) itu datang ke Ruang Hatta Ali, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Meski mengantongi lisensi hakim tindak pidana korupsi, kehadiran Djuyamto bukan untuk mengadili.
    Djuyamto menjadi hakim kedelapan yang diseret ke dalam jeruji besi dan diadili Kejaksaan Agung (Kejagung) selama setahun terakhir, sejak Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik pada 20 Oktober 2024.
    Selain Djuyamto, tujuh orang lainnya adalah tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya: Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
    Lalu, eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Surabaya, Rudi Suparmono.
    Menyusul mereka, hakim Agam Syarief Baharudin, Ali Muhtarom, dan eks Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta menyusul ke dalam bui.
    Puluhan tahun mengadili, hakim-hakim itu mendapat giliran untuk dihakimi. Para “wakil Tuhan di bumi” itu memperjualbelikan putusan pengadilan.
    Akibatnya, seperti Djuyamto yang kini setiap Rabu dihadirkan ke pengadilan, mereka menanti ketua majelis hakim membacakan vonis.
    Tahun pertama pemerintahan Prabowo menjadi musim “menghakimi para hakim”.
    Begitu panjang dan banyaknya orang-orang yang dibui membuat riwayat jual beli perkara di pengadilan itu bisa diceritakan menjadi dua babak.
    Babak pertama dalam riwayat wakil Tuhan yang khilaf ini datang dari timur Pulau Jawa, dari gerilya dengan maksud jahat untuk membebaskan pelaku pembunuhan Dini Serra Afrianti, Gregorius Ronald Tannur.
    Dengan dalih keyakinan anaknya tidak bersalah, ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur dan pengacaranya, Lisa Rachmat bersekongkol untuk menyuap hakim.
    Atas bantuan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang berperan sebagai makelar kasus (Markus) Zarof Ricar, Lisa mendapat akses untuk bertemu Ketua PN Surabaya saat itu, Rudi Suparmono.
    Lisa meminta formasi hakim disusun sesuai keinginannya. Dari sana, ia lalu bergerak menghubungi Erintuah, Mangapul, dan Heru satu per satu.
    Pengacara itu lalu memberikan uang dengan jumlah total Rp 4,6 miliar agar mereka menjatuhkan putusan bebas dalam perkara Ronald Tannur.
    Putusan pun diketok. Dakwaan jaksa dinyatakan tidak terbukti dan Ronald Tannur melenggang pulang.
    Meski targetnya tercapai, Lisa menyadari kasus Ronald Tannur tidak berhenti. Jaksa mengajukan kasasi ke MA.
    Lisa pun lanjut bergerilya, kembali berkontak dengan Zarof Ricar dan memintanya untuk mengkondisikan majelis kasasi.
    Tak tanggung-tanggung, ia menyiapkan uang Rp 6 miliar dengan pembagian Rp 5 miliar untuk hakim agung dan Rp 1 miliar sebagai fee jasa markus Zarof.
    Mantan pejabat elite di MA itu pun menyanggupi. Ia menemui Hakim Agung Soesilo dan menyampaikan permintaan Lisa.
    Namun, belum sempat kasasi itu diadili dan uangnya sampai pada majelis, penyidik Kejagung menangkap Erintuah dan kawan-kawan.
    Penangkapan lalu berkembang hingga ke Zarof Ricar.
    Menggelar operasi senyap, penyidik menemukan uang dan emas senilai lebih dari Rp 1 triliun di rumah Zarof.
    Harta benda itu terdiri dari uang dalam berbagai pecahan valuta asing (valas) senilai Rp 915 miliar dan Rp 51 kilogram emas batangan.
    Benda berharga tersebut dibungkus pada kantong-kantong berbeda dan ditandai dengan keterangan nomor perkara kasus-kasus di pengadilan.
    Meski pada akhirnya disimpulkan sebagai gratifikasi yang dianggap suap, penyidikan tidak dilanjutkan untuk mengungkap siapa hakim-hakim yang melakukan transaksi lewat Zarof.
    Namun demikian, kasus Zarof menjadi catatan publik bagaimana mengerikannya praktek jual beli perkara di pengadilan.
    Setelah berbulan-bulan menjalani persidangan, Erintuah dan kawan-kawan akhirnya diadili.
    Erintuah dan Mangapul dihukum 7 tahun penjara sementara Heru 10 tahun. Lalu, Rudi Suparmono 7 tahun, Lisa Rachmat 14 tahun, dan Meirizka 3 tahun penjara.
    Sementara, hukuman untuk Zarof Ricar paling berat: 16 tahun penjara.
    Majelis hakim menyebutkan, tindakan Zarof sangat meruntuhkan kepercayaan publik pada pengadilan.
    “Perbuatan terdakwa mencederai nama baik serta menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga Mahkamah Agung,” kata Hakim Rosihan dengan terisak di ruang sidang Hatta Ali, Rabu (18/6/2025).
    Dari penanganan kasus suap Ronald Tannur, penyidik menemukan indikasi penyuapan vonis lepas kasus korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah.
    Penyidikan dilakukan dan berujung pada Djuyamto, Agam, dan Ali Muhtarom masuk bui.
    Ketiganya didakwa menerima suap Rp 21,9 miliar untuk membebaskan terdakwa korporasi kasus ekspor CPO.
    Dalam perkara itu, Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar. Kemudian, Ali dan Agam masing-masing Rp 6,2 miliar.
    Sementara itu, Arif menerima Rp 15,7 miliar dan Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, Rp 2,4 miliar.
    Dalam kasus itu, suap tidak diberikan langsung kepada para hakim. Pengacara terdakwa korporasi, Ariyanto, menyerahkan uang suap lewat Wahyu.
    Adapun Ariyanto mewakili korporasi di bawah Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sesuai pesanan, Djuyamto dan anggotanya membebaskan para terdakwa korporasi itu pada 19 Maret 2025.
    Saat ini, perkara mereka masih bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Dalam pemeriksaan, Djuyamto dan Arif mengaku bersalah menerima suap dari Ariyanto.
    Pengakuan disampaikan saat keduanya diperiksa sebagai saksi mahkota.
    “Kalau boleh dikatakan, (kasus ini) 75 persen sudah terang benderang. Saya sudah mengaku bersalah, sudah menerima uang,” kata Djuyamto dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).
    Pada hari yang sama, Arif juga mengaku menerima uang haram dari pengacara terdakwa korporasi.
    Meski demikian, Arif mengaku tidak memberikan arahan tertentu kepada majelis hakim yang mengadili.
    “Mengenai ada uang, itulah salah saya dan khilaf saya, saya akui memang seperti itu,” ujar Arif.
    Terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) pada Oktober 2024, Sunarto langsung diguncang rentetan penahanan hakim.
    Belum selesai kasus Ronald Tannur, giliran Djuyamto dan kawan-kawan ditahan penyidik.
    Bak dipercaya memegang nakhoda saat badai, raut dan ucapan Sunarto seperti campuran marah, kecewa, dan rasa sedih.
    Berkali-kali Sunarto menebarkan peringatan keras kepada hakim-hakim yang bergaya hidup hedon dengan uang korupsi.
    Menurut Sunarto, publik mengetahui dengan jelas pendapatan sah hakim hanya berkisar Rp 27 juta.
    Oleh karena itu, seharusnya mereka malu ketika membeli dan menggunakan mobil mewah miliaran rupiah dan barang-barang branded.
    “Kalau enggak malu, apa tidak takut sama Tuhan, minimal takut sama wartawan. Difoto arlojinya Rp 1 miliar, apa tidak malu saudara-saudara?” kata Sunarto geran dalam acara pembinaan pimpinan pengadilan dan para hakim se-Jakarta di Gedung MA, Jakarta, Jumat (23/5/2025).
    “Gajinya Rp 27 juta, Rp 23 juta, pakai LV, pakai Bally, pakai Porsche, enggak malu,” lanjutnya.
    Tidak hanya itu, Sunarto pun menyatakan telah meminta jejaring sosial untuk melacak pegawai pengadilan atau hakim yang membawa mobil mewah ke kantor.
    Mereka akan melaporkan dan akhirnya kemewahan itu akan ditelusuri apakah bersumber dari pendapatan sah untuk kemudian disampaikan ke Badan Pengawas MA.
    “Setelah kita analisis dengan pendapatannya, maka Badan Pengawasan berkewajiban untuk melaporkan ke penegak hukum,” ujar Sunarto.
    Meski demikian, Sunarto tak patah arang. Ia mencoba memperbaiki kondisi kesejahteraan hakim yang dinilai buruk karena 13 tahun tidak mengalami kenaikan.
    Tak cuma bikin kepala Sunarto pusing, kasus korupsi di lingkungan MA juga membuat anggota DPR RI heran dan berang.
    Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil menyampaikan kritiknya dengan sarkas saat mencecar calon hakim agung pada MA, Annas Mustaqim yang menjalani fit and proper test.
    Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyinggung bagaimana suap nasib kelembagaan MA jika hakim yang diduga seharusnya menerima jatah Rp 915 miliar dan 51 kilogram diungkap.
    “Belum lagi ada peristiwa Zarof yang mengumpulkan uang dari kasus ini, kasus ini, kalaulah dibuka misalnya, dibuka hakim mana saja, kasus apa saja, barangkali roboh itu gedung Mahkamah Agung, barangkali, tapi itulah kenyataan potret kita lihat saat ini,” kata Nasir, di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
    Nasir pun menggali mempertanyakan bagaimana MA memperbaiki kondisi tersebut.
    “Sehingga orang akan semakin lebih percaya kepada pengadilan,” ujar Nasir.
    Di tengah gonjang-ganjingnya dunia peradilan, ratusan hakim muda mogok kerja.
    Mereka protes pemerintah tidak menaikkan gaji dan tunjangan hakim sejak 13 tahun.
    Setelah mendengar banyak masukan, Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan gaji hakim.
    “Saya Prabowo Subianto, Presiden Indonesia ke-8, hari ini mengumumkan bahwa gaji-gaji hakim akan dinaikkan demi kesejahteraan para hakim dengan tingkat kenaikan bervariasi sesuai golongan,” kata Prabowo di acara pengukuhan calon hakim di Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Kamis (12/6/2025).
    Prabowo menyebut, kenaikan gaji paling tinggi mencapai 280 persen dan diberlakukan untuk hakim yang paling junior.
    “Di mana kenaikan tertinggi mencapai 280 persen dan golongan yang naik tertinggi adalah golongan junior, paling bawah,” kata Prabowo disambut tepuk tangan meriah.
     
    Membaca situasi tersebut, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola mengatakan, peringatan Ketua MA memang patut diapresiasi.
    Namun, kata Alvin, hakim yang korupsi tidak hanya didorong kondisi gaji yang kurang.
    Para pemegang palu pengadilan itu korup karena sistem pengawasan di pengadilan yang lemah.
    Maraknya hakim dan aparatus pengadilan yang tersandung suap menunjukkan bahwa integritas sistemik di lembaga pengadilan mengalami krisis. Alvin tidak sepakat jika kasus itu hanya persoalan personal hakim.
    “Penyakit ini terus muncul akibat banyak problem tata kelola peradilan, belum kuatnya pengawasan internal, dan kultur birokrasi yang permisif terhadap penyalahgunaan kewenangan,” ujar Alvin saat dihubungi
    Kompas.com
    , Jumat (17/10/2025).
    Selama penjatuhan sanksi yang setengah hati, proses hukum tertutup, dan laporan kekayaan yang disembunyikan, menurutnya, sulit berharap publik bisa percaya pada lembaga peradilan.
    Pihaknya memandang, pencegahan korupsi bisa dilakukan di lembaga peradilan mulai dengan mempublikasikan kekayaan hakim secara berkala.
    “Rekrutmen berbasis merit, digitalisasi proses peradilan, serta sinergi aktif MA–KY–KPK dalam pengawasan,” tegasnya.
    Senada dengan Alvin, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenurrohman memandang, kenaikan gaji hakim bukan jawaban tunggal dari
    judicial corruption
    atau korupsi di lembaga peradilan.
    Menurut Zaenur, dibandingkan aparatur Kejaksaan Agung dan Polri, pendapatan sah hakim sebenarnya masih lebih baik.
    “Hakim masih salah satu yang paling sejahtera,” kata Zaenur saat dihubungi, Jumat.
    Menurutnya, tindakan yang paling penting untuk menanggulangi korupsi itu adalah dengan memastikan pengawasan berjalan dengan benar.
    Pengawasan dilakukan dari pimpinan MA ke bawah atau vertikal maupun secara horizontal, yakni sesama pegawai.
    “Ini melulu soal kesejahteraan semata,” ujar Zaenur.
    Ia memandang, korupsi di pengadilan bisa terjadi karena mereka memiliki kesempatan untuk melakukan perbuatan rasuah tinggi.
    Oleh karena itu, tindakan yang paling tepat adalah mendorong pengawasan berjalan.
    Bahkan, bila perlu diberikan insentif bagi orang-orang yang melaporkan korupsi hakim dan aparatur pengadilan.
    Selain itu, pimpinan pengadilan yang gagal mengendalikan bawahannya juga harus disanksi berupa pencopotan.
    “Setiap pimpinan pengadilan yang gagal melakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggotanya harus dicopot,” kata dia.
    Di luar itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus memprioritaskan kasus rasuah di lembaga peradilan.
    KPK harus mengawasi dan memastikan program pencegahan korupsi di lembaga pengadilan berjalan efektif.
    “Itu menjadi tugas dari KPK tugas KPK itu kan dua ya penindakan dan pencegahan nah yang pencegahan ini saya belum lihat program KPK untuk pencegahan saya belum lihat,” ujar Zaenur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Periksa Pramugari, Gali Keterangan Korupsi Dana Operasional Papua
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 Oktober 2025

    KPK Periksa Pramugari, Gali Keterangan Korupsi Dana Operasional Papua Nasional 16 Oktober 2025

    KPK Periksa Pramugari, Gali Keterangan Korupsi Dana Operasional Papua
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa seorang pramugari untuk mendalami informasi penggunaan uang yang diduga terkait korupsi dana penunjang operasional di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.
    Materi tersebut didalami KPK saat memeriksa dua saksi terkait perkara tersebut, yaitu Freelance Flight Attendant atau Pramugari RDG Airlines, Selvi Purnama Sari, dan Marwan Suminta selaku Wiraswasta, penjaga kos Wisma Feris Bogor, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (16/10/2025).
    “Penyidik mendalami terkait dengan penggunaan-penggunaan uang yang berasal dari dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan dana operasional di Papua, termasuk penggunaan-penggunaan uang tersebut untuk pembelian aset di sejumlah tempat,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo.
    Budi mengatakan, saksi atas nama Tamara Anggraeny selaku cabin manager RDG Airlines mangkir dari panggilan hari ini, sehingga akan dilakukan pemanggilan ulang.
    “Sedangkan untuk saksi atas nama TA, cabin manager RDG Airlines tidak hadir. Nanti kami akan cek apakah ada surat permohonan penjadwalan ulangnya atau tidak. Tentu nanti jika masih dibutuhkan keterangannya, penyidik akan melakukan pemanggilan ulang,” ujarnya.
    Sebelumnya, KPK memanggil Freelance Flight Attendant atau Pramugari RDG Airlines Selvi Purnama Sari sebagai saksi terkait kasus suap dana penunjang operasional di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua pada Kamis (16/10/2025).
    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis.
    Selain itu, KPK turut memanggil dua saksi lainnya, yaitu Tamara Anggraeny Cabin Manager RDG Airlines dan Marwan Suminta selaku Wiraswasta, Penjaga Kos Wisma Feris Bogor.
    Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut aliran uang kasus korupsi penyalahgunaan dana penunjang operasional dan program peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah Provinsi Papua tahun 2020-2022.
    KPK menduga aliran uang hasil korupsi tersebut digunakan untuk pembelian
    private jet
    atau jet pribadi.
    “Penyidik menduga aliran dana dari hasil tindak pidana korupsi tersebut salah satunya digunakan untuk pembelian
    private jet
     (jet pribadi) yang saat ini keberadaannya di luar negeri,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis (12/6/2025).
    KPK juga mengungkapkan bahwa kerugian negara dalam kasus korupsi tersebut mencapai Rp 1,2 triliun.
    “Kerugian keuangan negara dalam perkara ini cukup besar, Rp 1,2 triliun,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (11/6/2025).
    Budi mengatakan, tersangka dalam perkara ini adalah Dius Enumbi (DE) selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu Kepala Daerah Provinsi Papua dan Lukas Enembe (almarhum) selaku Gubernur Papua.
    Dia mengatakan, KPK mengupayakan perampasan aset dari pihak Lukas Enembe dalam rangka
    asset recovery
    atau pemulihan kerugian keuangan negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ahli dari Hasto Khawatir Pasal Perintangan Penyidikan UU Tipikor Seret Pers
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 Oktober 2025

    Ahli dari Hasto Khawatir Pasal Perintangan Penyidikan UU Tipikor Seret Pers Nasional 15 Oktober 2025

    Ahli dari Hasto Khawatir Pasal Perintangan Penyidikan UU Tipikor Seret Pers
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, mengungkap potensi Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyeret lembaga pers ke ranah pidana.
    “Jangan sampai kemudian perbuatan yang tidak melawan hukum, seperti misalnya mengajukan gugatan keperdataan, perbuatan-perbuatan pers di dalam menyampaikan satu proses peradilan pidana, atau perbuatan misalnya melakukan pra-peradilan dianggap sebagai perbuatan yang menghalang-halangi penyidikan,” kata Eva dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).
    Hal ini disampaikan Eva dalam sidang perkara uji materi nomor 136/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
    Padahal menurut Eva, secara hukum, saluran terkait upaya pembelaan diri dari praperadilan hingga narasi-narasi di media massa adalah saluran resmi untuk mengevaluasi jalannya proses persidangan.
    Dia memberikan contoh di Amerika Serikat,
    obstruction of justice
    atau perintangan penyidikan sah dilakukan sebagai upaya menghindari diri dari penuntutan tanpa melawan aturan hukum.
    Pelaku bisa diseret dengan pasal perintangan penyidikan jika motifnya memang ada dan dilakukan dengan cara melawan hukum.
    “Kalau seorang pelaku melakukan upaya-upaya itu, apakah serta-merta itu juga menjadi satu tindak pidana yang dilakukan olehnya?” kata Eva.
    Sebab itu ada asas
    self-incrimination
     atau hak membela diri yang merujuk pada hak ingkar seorang pelaku kejahatan di persidangan.
    Eva menekankan, pasal perintangan penyidikan dalam UU Tipikor ini harus diberikan penambahan klausul seperti yang diinginkan Hasto, yakni adanya unsur melawan hukum dalam upaya perintangan penyidikan.
    “Rasanya frasa melawan hukum itu semestinya menjadi sesuatu yang harus dimasukkan ketika kita membaca norma Pasal 21 (UU Tipikor) dalam rumusannya yang sekarang,” tandasnya.
    Adapun gugatan ini dilayangkan oleh Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, menggugat Pasal 21 UU Tipikor karena dinilai ancaman pidananya lebih tinggi dari pidana pokok.
    Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.
    “Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan obstruction of justice ini proporsional, dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
    Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi kasus suap, seperti merusak barang bukti, diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
    “Nah ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.
    Selain itu, mereka juga meminta adanya penambahan frasa “secara melawan hukum” dalam pasal tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ibu Nadiem Singgung Kasus Tom Lembong dan Hasto Usai Gugatan Ditolak

    Ibu Nadiem Singgung Kasus Tom Lembong dan Hasto Usai Gugatan Ditolak

    Bisnis.com, JAKARTA — Ibunda Nadiem Makarim, Atika Algadri menyatakan anaknya telah diperlakukan seperti mantan Mendag Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

    Hal tersebut disampaikan oleh Atika usai majelis hakim pada PN Jakarta Selatan (PN Jaksel) memutuskan untuk menolak praperadilan Nadiem Makarim, Senin (13/10/2025).

    “Nadiem hanya salah satu contohnya, sebab terlalu banyak orang-orang lain yang diperlakukan seperti ini kan; ada Pak Hasto; Tom Lembong, banyak sekali,” tutur Atika.

    Dia juga mengaku kecewa atas putusan hakim yang menolak praperadilan terkait gugatan sah atau tidaknya penetapan tersangka Nadiem Makarim.

    Namun demikian, dia tetap percaya bahwa Nadiem Makarim adalah orang yang jujur dan akan terus berjuang dalam proses hukum perkara Chromebook.

    “Saya tahu anak saya anak yang jujur. dan dia akan berjuang mengungkapkan kejujurannya, yang saya harapkan penegak hukum juga menegakkan prinsip yg sama. untuk menegakkan kepastian hukum, menegakkan kebenaran dan kejujuran. untuk bangsa ini,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, Tom Lembong telah menghirup udara bebas usai mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto. Tom Lembong resmi bebas dari perkara korupsi importasi gula pada Jumat malam (1/8/2025).

    Sementara itu, Hasto Kristiyanto juga telah dibebaskan oleh Presiden Prabowo Subianto melalui amnesti. Adapun, Hasto sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi terkait kasus suap Harun Masiku.

  • Digugat Praperadilan Anggota DPRD Jatim, KPK: Penetapan Tersangka Sudah Sesuai Prosedur

    Digugat Praperadilan Anggota DPRD Jatim, KPK: Penetapan Tersangka Sudah Sesuai Prosedur

    Digugat Praperadilan Anggota DPRD Jatim, KPK: Penetapan Tersangka Sudah Sesuai Prosedur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghormati langkah Anggota DPRD Jawa Timur sekaligus pihak swasta dari Kabupaten Gresik, Hasanuddin yang mengajukan gugatan praperadilan terkait status tersangka ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
    Hasanuddin adalah tersangka terkait kasus suap dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) Provinsi Jawa Timur periode 2019-2022.
    “KPK tentu menghormati hak hukum seorang tersangka yang mengajukan pra peradilan untuk menguji aspek formil dalam penyidikan suatu perkara,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dihubungi, Minggu (12/10/2025).
    Budi memastikan, penetapan tersangka dalam kasus ini dilakukan berdasarkan alat bukti yang sah dan memenuhi prosedur administrasi.
    “Dalam perkara ini, kami pastikan bahwa penetapan tersangka telah dilakukan berdasarkan kecukupan alat bukti yang sah, termasuk keabsahan prosedural dan administrasinya,” ujarnya.
    Sebelumnya, Hasanuddin menggugat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan
    Gugatan yang terdaftar dengan nomor 126/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL ini dilayangkan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka oleh KPK.
    “Sah atau tidaknya penetapan tersangka,” demikian klasifikasi perkara yang dimuat dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan, dikutip pada Minggu (12/10/2025).
    Laman SIPP PN Jaksel tak menampilkan petitum lengkap yang diajukan oleh pemohon Hasanuddin.
    “Sidang pertama: Senin, 13 Oktober 2025,” demikian keterangan di SIPP PN Jakarta Selatan.
    KPK diketahui telah menetapkan 21 orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait Pengurusan Dana Hibah untuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dari APBD Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2021–2022 pada 2 Oktober 2025.
    Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, perkara ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) terhadap STS (Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak) periode 2019-2024).
    “Setelah dilakukan serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, maka berdasarkan kecukupan alat bukti, KPK kemudian menetapkan 21 orang sebagai Tersangka,” kata Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, saat itu.
    Asep mengatakan, empat tersangka penerima yaitu Kusnadi (Ketua DPRD Jatim); Achmad Iskandar (Wakil Ketua DPRD Jatim; Anwar Sadad (Wakil Ketua DPRD Jatim); dan Bagus Wahyudyono (Staf AS dari Anggota DPRD).
    Kemudian, tujuh belas tersangka pemberi hadiah yaitu, Mahud (Anggota DPRD Jatim 2019-2024); Fauzan Adima (Wakil Ketua DPRD Sampang 2019-2024); Jon Junadi (Wakil Ketua DPRD Probolinggo 2019-2024); Ahmad Affandy, Ahmad Heriyadi, Abdul Motollib (Swasta Semarang); Moch. Mahrus (Swasta Probolinggo).
    Selanjutnya, A. Royan dan Wawan Kristiawan (Swasta Tulungagung); Ra. Wahid Ruslan dan Mashudi (Swasta Bangkalan); M. Fathullah dan Achmad Yahya (Swasta Pasuruan); Ahmad Jailani (Swasta Sumenep); Hasanuddin (Swast Gresik); Jodi Pradana Putra (Swasta Blitar); dan Sukar (Kepala Desa dari Kabupaten Tulungagung).
    Asep mengatakan, dari 21 tersangka, sebanyak lima tersangka dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan di Rutan Cabang KPK, Merah Putih.
    Mereka yang ditahan KPK adalah pemberi suap kepada Ketua DPRD Jatim Kusnadi yaitu, Hasanuddin, Jodi Pradana Putra, Sukar, dan Wawan Kristiawan.
    “Terhadap keempat Tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 2 sampai dengan 21 Oktober 2025 di Rutan Cabang KPK, Merah Putih,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Bidik WN India Guna Usut Kasus Izin Tambang di Kutai Kartanegara

    KPK Bidik WN India Guna Usut Kasus Izin Tambang di Kutai Kartanegara

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan warga negara asal India bernama Sankalp Jaithalia, Kamis (9/10/2025). Namun keberadanya masih dicari oleh penyidik. 

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan Sankalp diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan gratifikasi batu bara di lingkungan pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. 

    “Sampai dengan saat ini penyidik juga masih terus mencari keberadaan yang bersangkutan termasuk juga penyidik mencari keberadaan dari tim pengacaranya,” kata Budi, Kamis (9/10/2025).

    Budi mengatakan kehadiran Sankalp dibutuhkan untuk memberikan keterangan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan gratifikasi metrik ton batu bara di wilayah Kutai Kertanegara ini.

    Lembaga antirasuah akan mendalami terkait dengan pengelolaan tambang yang dilakukan oleh Sankalp ataupun perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan WN India tersebut.

    “Dalam pengelolaan tambang itu juga penyidik tentu akan mendalami bagaimana pembayaran-pembayaran PNBB-nya,” tuturnya.

    Budi menyebut korupsi tidak hanya terjadi di sektor pembiayaan, tapi dapat dilakukan di sektor penerimaan. Oleh karenanya, penyidik akan menelusuri kepatuhan pembayaran atau penyetoran PNBB dari pihak-pihak terkait atau para pengelola tambang.

    Perlu diketahui  bahwa perkara ini menyeret mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari (RW). Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi pada 2017.

    Satu tahun kemudian, Majelis hakim pengadilan tipikor Jakarta Pusat telah memvonis Rita 10 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan dan dicabut hak politiknya 5 tahun. Sebab, hakim mengungkapkan bahwa Rita terbukti menerima Rp110 miliar terkait izin proyek tambang.

  • KPK Cari Keberadaan WN India Sankalp Jaithalia Terkait Kasus Rita Widyasari
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Oktober 2025

    KPK Cari Keberadaan WN India Sankalp Jaithalia Terkait Kasus Rita Widyasari Nasional 9 Oktober 2025

    KPK Cari Keberadaan WN India Sankalp Jaithalia Terkait Kasus Rita Widyasari
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencari keberadaan Warga Negara Asing (WNA) asal India, Sankalp Jaithalia, terkait kasus gratifikasi Metric Ton Batu Bara di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara yang menjerat mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari (RW).
    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, hari ini penyidik memanggil Sankalp Jaithalia sebagai saksi terkait perkara tersebut.
    “Sampai dengan saat ini penyidik juga masih terus mencari keberadaan yang bersangkutan, termasuk juga penyidik mencari keberadaan dari tim pengacaranya,” kata Budi, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (9/10/2025).
    Budi mengatakan, keterangan Sankalp Jaithalia dalam perkara Rita Widyasari sangat dibutuhkan penyidik, khususnya terkait pengelolaan tambang di perusahaan milik WNA India tersebut dan mekanisme pembayaran pajaknya.
    “Apakah sudah dilakukan secara patuh atau belum, sehingga ini juga kaitannya dengan penerimaan negara bukan pajak dari sektor tambang,” ujar dia.
    Budi menuturkan, kasus korupsi di sektor anggaran tidak hanya sebatas pembiayaan pengadaan barang dan jasa, melainkan juga ke pos-pos penerimaan.
    “Sehingga dalam perkara dugaan gratifikasi metrik ton batu bara ini, KPK juga akan menelusuri kepatuhan pembayaran atau penyetoran PNBP dari pihak-pihak terkait atau para pengelola tambang,” ucap dia.
    Rita Widyasari merupakan terpidana kasus penerimaan gratifikasi dan suap senilai Rp 110 miliar terkait perizinan kelapa sawit di Kutai Kartanegara.
    Dia divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 6 Juli 2018.
    Kini, Rita tengah menjalani vonis 10 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor dan dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA).
    Mahkamah Agung diketahui menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Rita Widyasari pada 16 Juni 2021.
    Sehingga, anak kedua dari Bupati Kukar periode 2001-2010, Syaukani Hasan Rais, ini harus tetap menjalani vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan.
    Tak berhenti sampai di situ, Rita yang juga terseret dalam kasus suap penyidik KPK, Stephanus Robin Pattuju, mengaku pernah memberikan uang sebesar Rp 60,5 juta kepada Robin.
    Namun, dalam kesaksiannya, Rita mengaku memberikan uang tersebut di luar kesepakatan Rp 10 miliar untuk mengurus pengembalian aset dan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) terkait perkara suap dan gratifikasi tahun 2017.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Periksa Komisaris Inhutani V dalam Kasus Suap Pengelolaan Hutan di Lampung

    KPK Periksa Komisaris Inhutani V dalam Kasus Suap Pengelolaan Hutan di Lampung

    Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Raffles Brotestes Panjaitan, Komisaris PT Inhutani V periode 2022 hingga saat ini, sebagai saksi dalam dugaan suap pengelolaan kawasan hutan milik Inhutani V.

    Selain Raffles, KPK juga memanggil Kamsiya seorang pegawai swasta. Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.

    “Hari ini Kamis (09/10), KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi terkait dugaan TPK dalam Pengelolaan Kawasan Hutan di Kawasan Inhutani V,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Kamis (9/10/2025).

    Budi mengatakan pemeriksaan kali ini untuk menganalisis keterangan saksi guna mengembangkan perkara suap yang terjadi di Provinsi Lampung. 

    Salah satu materi yang akan didalami adalah peran saksi dalam kasus tersebut. Mulai dari pengetahuannya mengenai aliran dana atau aset lainnya.

    “Kita tunggu perkembangannya seperti apa peran-peran yang bersangkutan dalam konstruksi perkara ini apakah secara aktif melakukan tindakan-tindakan yang kemudian juga terkait dengan perkara ini termasuk juga apakah juga mendapatkan aliran uang aliran aset yang diduga berasal dari dugaan tindakan korupsi ini kita tunggu,” jelas Budi kepada wartawan. 

    Sebelumnya, KPK telah menetapkan Direktur Utama Inhutani V Dicky Yuana Rady sebagai tersangka suap perizinan pengelolaan kawasan hutan di Provinsi Lampung. 

    Akan hal tersebut, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengusut kasus ini untuk menemukan barang bukti maupun pihak-pihak yang terlibat dalam kasus yang menyeret perusahaan BUMN tersebut.

    “Tentu kita akan lihat apakah juga pengurusan, ya pengurusan lahan ini, kerja sama lahan ini. Apakah anak perusahaannya saja atau juga mengalir uangnya ke induk perusahaannya dalam hal ini perhutani,” kata Asep saat ditanya wartawan apakah akan mengusut jajaran Perhutani, Kamis (14/8/2025).

    Pasalnya, Perhutani memiliki anak perusahaan Inhutani mulai dari 1,2,3, dan 4. Menurutnya tidak menutup kemungkinan anak perusahaan lainnya menerima aliran dana itu.

    Dalam perkara ini, KPK menetapkan 3 tersangka, yaitu; Direktur PT INH V Dicky Yuana Rady (DIC); Direktur PT PML Djunaidi (DJN); dan staf perizinan SB Grup Aditya (ADT).

    “Tim KPK juga mengamankan sejumlah barang bukti, berupa uang tunai senilai SGD189.000 (atau sekitar Rp2,4 miliar – kurs hari ini), uang tunai senilai Rp8,5 juta, 1 (satu) unit mobil RUBICON di rumah DIC; serta 1 (satu) unit mobil Pajero milik Sdr. DIC di rumah ADT,” kata Asep.

  • Tentang BO yang Disebut KPK Bak Genderuwo

    Tentang BO yang Disebut KPK Bak Genderuwo

    Jakarta

    Ketua KPK Setyo Budiyanto sempat menyinggung BO (Beneficial Ownership) Gateway atau pemilik manfaat. Setyo menyebut BO seperti genderuwo. Apa maksudnya?

    Pernyataan soal BO disampaikan oleh Setyo saat sambutan dalam acara peluncuran aplikasi BO Gateway yang dibuat oleh Direktorat Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum (Kemenkum) yang terlaksana Senin (6/10), di kantor Kemenkum. BO diibaratkan seperti genderuwo atau seperti sosok manusia berpengaruh tapi jarang terlihat ataupun diketahui keberadaannya.

    “Kita berbicara tentang BO atau pemilik manfaat. Pemilik manfaat ini bukan perusahaan, bukan ras, bukan juga badan hukum. Tapi dia manusia yang berada di balik layar, orang-orang yang sembunyi dari perusahaannya, tapi dia punya pengaruh yang luar biasa,” ujar Setyo.

    Berkaca dari hal tersebut, Setyo pun mengungkapkan saat berdinas di Kementerian Pertanian (Kementan), sempat mengibaratkan sosok BO sebagai genderuwo. Dia mengatakan, meski tak pernah terlihat, sosok BO banyak ditakuti.

    “Dulu, saat saya di Kementerian Pertanian, Pak, saya sampaikan, ‘sering kali pejabat-pejabat itu takut sama genderuwo’, saya sampaikan gitu. Wujudnya nggak ada, tapi namanya menakutkan, kira-kira seperti itu,” jelas Setyo.

    Dia juga mengatakan BO ini bergerak dengan menggunakan orang di sekitarnya sebagai kaki tangan. Dia menyebut tidak sedikit pihak yang turut mengikuti hingga akhirnya memperkuat si BO itu sendiri.

    “Orang sembunyi di belakang layar supaya orang tidak takut, tapi kemudian di samping-sampingnya mereka ini banyak pengikut-pengikutnya, banyak orang-orang yang memanfaatkan segala macam pada titik modal, investasi, titik pengaruh, dan lain-lain yang kemudian semakin memperkuat si pemilik manfaat untuk melakukan banyak tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang luar biasa,” imbuhnya.

    Dia pun berharap kehadiran BO Gateway ini bisa mempermudah segala kegiatan yang diperlukan oleh aparat penegak hukum menyangkut data korporasi.

    “Dengan caranya yang kita lakukan ini, mudah-mudahan segala sesuatunya yang berhubungan dengan korporasi, entitas, dan lain-lain akan lebih mudah,” pungkasnya.

    Apa Itu BO?

    Beneficial ownership atau kepemilikan manfaat mungkin masih awam terdengar. Namun, dalam beberapa kasus terutama korupsi, istilah ini cukup lazim karena sering menjadi celah yang dimanfaatkan.

    Ringkasnya si pemilik manfaat ini biasanya tidak tercatat secara administratif pada korporasi, tetapi mendapatkan manfaat atau keuntungan yang didapat korporasi dalam menjalankan bisnis. Nah, pemerintah sebenarnya sudah membuat regulasi mengenai hal ini, yaitu pada Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Terorisme (selanjutnya disebut Perpres BO).

    Perpres BO itu mengatur pelaporan data pemilik manfaat secara pribadi atau self-declaration. Namun langkah itu belum optimal sehingga Kemenkum meluncurkan aplikasi sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Hukum Nomor 2 Tahun 2025 tentang Verifikasi dan Pengawasan Pemilik Manfaat Korporasi.

    Melalui aplikasi itu, sistem verifikasi BO disebut akan lebih akurat. Selain itu, Kemenkum mengenalkan prototipe BO gateway yang dirancang sebagai sistem terintegrasi yang akan memfasilitasi pertukaran dan verifikasi data BO secara digital antar kementerian dan lembaga.

    “Dengan sistem BO gateway yang dikembangkan itu tidak sekadar hanya orang mendaftar untuk pemilik manfaat, tetapi akan ada kolaborasi lintas kementerian untuk memastikan bahwa pemilik manfaat itu adalah benar-benar orang yang menerima manfaat atas pendaftaran dari BO yang dilakukan,” tutur Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas saat memberi sambutan di Grha Pengayoman, Kemenkum, Jakarta Selatan, Senin (6/10).

    “Dengan ketersediaan data BO yang akurat melalui BO gateway, kita membekali aparat penegak hukum dengan instrumen yang presisi untuk melakukan follow the money hingga ke akar-akarnya,” imbuh Supratman.

    Contoh Kasus Libatkan BO

    Meskipun disebut seperti genderuwo, ternyata ada beberapa kasus yang melibatkan Beneficial Ownership atau BO. Ada juga BO yang pernah ditangkap oleh KPK.

    Berikut ini daftar kasus yang melibatkan BO sebagai tersangkanya:

    Kasus Suap Emirsyah Satar

    Salah satu kasus yang melibatkan beneficial owner dan diusut KPK ialah kasus suap mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar. Pada 2017, KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap Emirsyah Satar dan pengusaha Soetikno Soedarjo.

    KPK menyebutkan Soetikno merupakan beneficial owner dari Connaught International Pte Ltd. Saat itu, KPK menyebut Soetikno memberi suap 1,2 juta euro dan USD 180 ribu kepada Emirsyah terkait pengadaan mesin pesawat.

    Keduanya telah divonis bersalah karena terbukti terlibat suap terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC. Emirsyah telah divonis 8 tahun penjara dan Soetikno 6 tahun penjara.

    Kasus Korupsi Pengadaan Lahan Rumah DP Rp 0

    KPK pernah menjerat Rudy Hartono Iskandar sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan lahan rumah DP Rp 0 di Munjul, Cipayung, Jakarta Timur. Saat persidangan, Rudy disebut sebagai beneficial owner dari PT Adonara Propertindo. Rudy telah divonis 7 tahun penjara dalam kasus itu.

    Rudy kembali dijerat sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan lahan proyek rumah DP Rp 0 di Pulo Gebang, Jakarta Timur. Dalam kasus ini, Rudy juga dijatuhi vonis 7 tahun penjara.

    Kasus Suap Eks Hakim MK

    Pada 2017, KPK menetapkan Basuki Hariman, yang disebut beneficial owner dari PT Impexindo Pratama, PT Cahaya Timur Utama, PT Cahaya Sakti Utama, dan CV Sumber Laut Perkara, sebagai tersangka. Basuki saat itu dijerat sebagai tersangka kasus suap mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar.

    Saat itu, Basuki divonis 7 tahun penjara. Dia saat itu dinyatakan bersalah menyerahkan uang USD 50 ribu kepada Kamaludin yang disebut orang dekat Patrialis terkait judicial review (JR) UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK. Hakim saat itu berkesimpulan, dari total USD 50 ribu yang diberikan kepada Kamaludin, USD 10 ribu telah diserahkan kepada Patrialis.

    Kasus Korupsi Eks Dirut ASDP

    KPK menetapkan Adjie sebagai tersangka kasus korupsi pembelian PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP. Dalam dakwaan, Adjie disebut sebagai beneficial owner PT Jembatan Nusantara.

    Jaksa mengatakan perkara ini telah memperkaya Adjie Rp 1,25 triliun. Kasus ini masih dalam tahap persidangan.

    Halaman 2 dari 4

    (maa/rfs)