Kasus: kasus suap

  • Duduk Perkara Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Jadi Tersangka Suap hingga Gratifikasi

    Duduk Perkara Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Jadi Tersangka Suap hingga Gratifikasi

    Duduk Perkara Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Jadi Tersangka Suap hingga Gratifikasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan duduk perkara kasus suap pengurusan jabatan serta proyek RSUD Ponorogo dan penerimaan lainnya di Pemkab Ponorogo yang menjerat Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko.
    Dalam perkara ini,
    KPK
    menetapkan empat tersangka, yaitu Bupati Ponorogo
    Sugiri Sancoko
    ; Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo; Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo; dan Sucipto selaku rekanan
    RSUD Ponorogo
    .
    Diketahui, keempat tersangka terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK di Ponorogo, pada Jumat (7/11/2025).
    KPK mengatakan, kasus ini bermula pada awal 2025.
    Saat itu, Yunus Mahatma selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Harjono Ponorogo, mendapatkan informasi bahwa dirinya akan diganti.
    Dia mengatakan, pergantian tersebut akan dilakukan oleh Sugiri selaku Bupati Ponorogo.
    Yunus kemudian langsung berkoordinasi dengan Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo untuk menyiapkan sejumlah uang yang akan diberikan kepada Sugiri Sancoko, dengan tujuan agar posisinya tidak diganti.
    “Pada Februari 2025, dilakukan penyerahan uang pertama dari YUM (Yunus) kepada SUG (Sugiri) melalui ajudannya, sejumlah Rp 400 juta,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (9/11/2025) dini hari.
    Kemudian, pada periode April-Agustus 2025, Yunus juga melakukan penyerahan uang kepada Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
    Selanjutnya, pada November 2025, Yunus kembali menyerahkan uang senilai Rp 500 juta melalui kerabat Sugiri Sancoko.
    Dengan demikian, total uang yang telah diberikan Yunus dalam tiga klaster penyerahan uang tersebut mencapai Rp 1,25 miliar, dengan rincian yaitu, untuk Sugiri Sancoko sebesar Rp 900 juta dan Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
    “Di mana, dalam proses penyerahan uang ketiga pada hari Jumat, 7 November 2025 tersebut, Tim KPK kemudian melakukan kegiatan tangkap tangan. Tim mengamankan sejumlah 13 orang,” tutur dia.
    Asep mengungkapkan, sebelum adanya operasi senyap, pada 3 November, Sugiri meminta uang kepada Yunus senilai Rp 1,5 miliar.
    Kemudian pada 6 November, ia kembali menagih uang.
    Selanjutnya, pada 7 November 2025, teman dekat Yunus berkoordinasi dengan pegawai Bank Jatim untuk mencairkan uang senilai Rp 500 juta.
    Uang tersebut untuk diserahkan kepada Sugiri melalui kerabatnya.
    “Uang tunai sejumlah Rp 500 juta tersebut kemudian diamankan oleh Tim KPK sebagai barang bukti dalam kegiatan tangkap ini,” kata dia.
    Asep mengatakan, Tim KPK juga menemukan dugaan suap terkait paket pekerjaan di lingkungan RSUD Ponorogo.
    Dia mengatakan, pada 2024, terdapat proyek pekerjaan RSUD Ponorogo senilai Rp 14 miliar.
    Dari nilai tersebut, Sucipto selaku rekanan RSUD Harjono memberikan
    fee
    kepada Yunus sebesar 10 persen atau senilai Rp 1,4 miliar.
    “YUM (Yunus) kemudian menyerahkan uang tersebut kepada SUG (Sugiri) melalui ADC Bupati Ponorogo dan ELW selaku adik dari Bupati Ponorogo,” kata dia.
    Selain itu, Tim KPK juga menemukan dugaan tindak pidana korupsi penerimaan lainnya (gratifikasi) yang dilakukan Sugiri.
    “Bahwa pada periode 2023-2025, diduga SUG (Sugiri) menerima uang senilai Rp 225 juta dari YUM (Yunus). Selain itu, pada Oktober 2025, SUG (Sugiri) juga menerima uang sebesar Rp 75 juta dari EK selaku pihak swasta,” ujar dia.
    Asep mengatakan, para tersangka dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak hari Sabtu, 8 November 2025, sampai dengan 27 November 2025.
    “Penahanan dilakukan di Rumah Tahanan Negara Cabang Merah Putih, KPK,” tutur dia.
    Atas perbuatannya, Sugiri dan Yunus diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU TPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Yunus, dalam hal pengurusan jabatan, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, dan/atau Pasal 13 UU TPK.
    Sedangkan terhadap Sugiri, bersama-sama dengan Agus Pramono, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU TPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sucipto, dalam hal paket pekerjaan di lingkungan Pemkab Ponorogo, diduga melakukan perbuatan TPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, dan/atau Pasal 13 UU TPK.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Duduk Perkara Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Jadi Tersangka Suap hingga Gratifikasi

    KPK Tetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Jadi Tersangka Suap Pengurusan Jabatan

    KPK Tetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Jadi Tersangka Suap Pengurusan Jabatan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sebagai tersangka kasus suap pengurusan jabatan serta proyek RSUD Ponorogo dan penerimaan lainnya di Pemkab Ponorogo, pada Minggu (9/11/2025) dini hari.
    Sugiri Sancoko
    sebelumnya terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan
    KPK
    di Ponorogo, pada Jumat (7/11/2025).
    KPK juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka, yaitu Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo, Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo, dan Sucipto selaku rekanan RSUD Ponorogo.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 4 orang sebagai tersangka, yaitu SUG (Sugiri Sancoko selaku
    Bupati Ponorogo
    ), AGP (Agus Pramono selaku Sekda Ponorogo), YUM (Yunus Mahatma selaku Dirut RSUD Dr. Harjono Ponorogo), dan SC (Sucipto selaku Rekanan RSUD),” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu.
    Asep mengatakan, kasus ini bermula pada awal 2025, ketika Yunus Mahatma selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Harjono Ponorogo mendapatkan informasi bahwa dirinya akan diganti.
    Dia mengatakan, pergantian tersebut akan dilakukan oleh Sugiri selaku Bupati Ponorogo.
    Oleh karena itu, Yunus langsung berkoordinasi dengan Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo untuk menyiapkan sejumlah uang yang akan diberikan kepada Sugiri Sancoko dengan tujuan agar posisinya tidak diganti.
    “Pada Februari 2025, dilakukan penyerahan uang pertama dari YUM (Yunus) kepada SUG (Sugiri) melalui ajudannya, sejumlah Rp 400 juta,” ujar dia.
    Kemudian, pada periode April-Agustus 2025, Yunus juga melakukan penyerahan uang kepada Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
    Selanjutnya, pada November 2025, Yunus kembali menyerahkan uang senilai Rp 500 juta melalui kerabat Sugiri Sancoko.
    Dengan demikian, total uang yang telah diberikan Yunus dalam tiga klaster penyerahan uang tersebut mencapai Rp 1,25 miliar, dengan rincian yaitu, untuk Sugiri Sancoko sebesar Rp 900 juta dan Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
    “Di mana, dalam proses penyerahan uang ketiga pada hari Jumat, 7 November 2025 tersebut, Tim KPK kemudian melakukan kegiatan tangkap tangan. Tim mengamankan sejumlah 13 orang,” tutur dia.
    Asep mengungkapkan, sebelum adanya operasi senyap, pada 3 November, Sugiri meminta uang kepada Yunus senilai Rp 1,5 miliar.
    Kemudian pada 6 November, ia kembali menagih uang.
    Selanjutnya, pada 7 November 2025, teman dekat Yunus berkoordinasi dengan pegawai Bank Jatim untuk mencairkan uang senilai Rp 500 juta.
    Uang tersebut untuk diserahkan kepada Sugiri melalui kerabatnya.
    “Uang tunai sejumlah Rp 500 juta tersebut kemudian diamankan oleh Tim KPK sebagai barang bukti dalam kegiatan tangkap ini,” kata dia.
    Asep mengatakan, Tim KPK juga menemukan dugaan suap terkait paket pekerjaan di lingkungan RSUD Ponorogo.
    Dia mengatakan, pada 2024, terdapat proyek pekerjaan RSUD Ponorogo senilai Rp 14 miliar.
    Dari nilai tersebut, Sucipto selaku rekanan RSUD Harjono memberikan
    fee
    kepada Yunus sebesar 10 persen atau sekitar Rp 1,4 miliar.
    “YUM (Yunus) kemudian menyerahkan uang tersebut kepada SUG (Sugiri) melalui ADC Bupati Ponorogo dan ELW selaku adik dari Bupati Ponorogo,” kata dia.
    Selain itu, Tim KPK juga menemukan dugaan tindak pidana korupsi penerimaan lainnya (gratifikasi) yang dilakukan Sugiri.
    “Bahwa pada periode 2023-2025, diduga SUG (Sugiri) menerima uang senilai Rp 225 juta dari YUM (Yunus). Selain itu, pada Oktober 2025, SUG (Sugiri) juga menerima uang sebesar Rp 75 juta dari EK selaku pihak swasta,” ujar dia.
    Asep mengatakan, para tersangka dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak hari Sabtu, 8 November 2025 sampai dengan 27 November 2025.
    “Penahanan dilakukan di Rumah Tahanan Negara Cabang Merah Putih, KPK,” tutur dia.
    Atas perbuatannya, Sugiri dan Yunus diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU TPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Yunus, dalam hal pengurusan jabatan, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, dan/atau Pasal 13 UU TPK.
    Sedangkan terhadap Sugiri, bersama-sama dengan Agus Pramono, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU TPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sucipto, dalam hal paket pekerjaan di lingkungan Pemkab Ponorogo, diduga melakukan perbuatan TPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, dan/atau Pasal 13 UU TPK.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mantan Presiden Argentina Cristina Kembali Diadili Atas Kasus Suap

    Mantan Presiden Argentina Cristina Kembali Diadili Atas Kasus Suap

    Jakarta

    Mantan presiden Argentina Cristina Kirchner kembali diadili atas kasus dugaan menerima suap jutaan dolar. Dia saat ini tengah menjalani hukuman tahanan rumah selama enam tahun atas kasus penipuan.

    Dilansir kantor berita AFP, Kamis (6/11/2025), Kirchner, seorang tokoh dominan dan kontroversial dalam politik Argentina selama lebih dari dua dekade, menjabat dua periode dari tahun 2007-2015. Dia telah dihukum atas skema penipuan yang melibatkan proyek-proyek publik di Patagonia yang diduga menguntungkan sekutu.

    Kirchner, 72 tahun, semula merupakan ibu negara dari tahun 2003-2007, ketika mendiang suaminya, Nestor Kirchner, menjabat sebagai presiden.

    Perempuan itu menggantikan suaminya setelah masa jabatannya berakhir. Dia kemudian menjabat sebagai wakil presiden untuk Alberto Fernandez dari tahun 2019 hingga 2023, ketika President Javier Milei menjabat.

    Kirchner dituduh memimpin sebuah perusahaan kriminal yang menerima suap dari para pengusaha sebagai imbalan atas pemberian kontrak-kontrak negara.

    Delapan puluh tujuh orang didakwa dalam kasus ini, termasuk seorang mantan menteri dan beberapa menteri junior.

    Skandal yang disebut “buku catatan” ini bermula dari catatan yang disimpan oleh seorang sopir pemerintah tentang suap tunai, yang ia klaim telah disalurkan dari para pengusaha kepada pejabat pemerintah antara tahun 2003-2015.

    Kirchner ditempatkan dalam tahanan rumah dengan monitor pergelangan kaki elektronik pada bulan Juni lalu, setelah dinyatakan bersalah atas “pemerintahan yang curang” sebagai presiden. Dia menegaskan bahwa ia adalah korban dari upaya pengadilan yang bermotif politik.

    Tidak jelas apakah ia akan hadir di persidangan terbaru ini melalui konferensi video dari rumahnya di Buenos Aires, ibu kota Argentina.

    Ia menghadapi ancaman hukuman antara enam dan 10 tahun penjara, jika terbukti bersalah di akhir persidangan yang diperkirakan akan berlangsung lama.

    Pengacaranya meragukan kredibilitas catatan-catatan dalam buku catatan sopir tersebut, dengan mengatakan bahwa catatan-catatan tersebut telah diubah lebih dari 1.500 kali.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Daftar Gubernur Riau yang Terjerat Kasus Korupsi, Terbaru Abdul Wahid

    Daftar Gubernur Riau yang Terjerat Kasus Korupsi, Terbaru Abdul Wahid

    Bisnis.com, JAKARTA — Abdul Wahid kini resmi menjadi Gubernur Riau yang keempat tersandung kasus korupsi. Hal ini menambah daftar kasus rasuah yang dilakukan Kepala Daerah Provinsi Riau.

    Abdul Wahid bersama Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M.Nursalam ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (5/11/2025) terkait kasus pemerasan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

    “Kami menyampaikan rasa keprihatinan kita bersama. Sebab, upaya penindakan atas dugaan tindak pidana korupsi ini merupakan kali keempat yang terjadi di wilayah Provinsi Riau, ” kata Wakil Ketua Johanis Tanak dalam konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Sebelum Abdul Wahid, KPK juga mencatat tiga Gubernur Riau yang melakukan tindak pidana korupsi, berikut rinciannya:

    1. Saleh Djasit 

    Saleh merupakan Gubernur Riau periode 1998-2003 yang perdana melakukan tindak pidana korupsi terkait mark-up pengadaan 20 mobil pemadam kebakaran menjadi Rp15,2 miliar. Uang tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2003.

    Proses hukum berlangsung pada tahun 2007 sampai 2008. Politikus Golkar itu terbukti merugikan negara sebesar Rp5,6 miliar. Dia divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan.

    Dia merupakan purnawirawan perwira TNI AD dengan pangkat akhir Letnan Jenderal. Dia juga pernah menjadi Danrem dan Pangkostrad.

    2. Rusli Zainal

    Rusli Zainal menjabat dua kali periode sejak 2003 hingga 2013. Kader Partai Golkar ini melakukan korupsi terkait gratifikasi untuk menerbitkan izin pemanfaatan hutan tanaman industri kepada 12 perusahaan.

    Kasus kedua adalah suap proyek pembangunan infrastruktur untuk penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau. Dia divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, adapun atas kedua perkara tersebut negara rugi Rp265 miliar.

    Sebelum menjadi gubernur, Rusli pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Indragiri Hilir (1991-2001) dan setelahnya menjadi Bupati hingga 2003.

    3. Annas Maamun

    Gubernur Riau periode 2014-2019 melakukan korupsi suap dan gratifikasi terkait alih fungsi lahan hutan di Provinsi Riau. Dia menerima suap dari pengusaha agar merubah kebijakan status lahan perusahaan yang tercantum dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau.

    Kasus yang terjadi pada 2014 tak lama dari dirinya dilantik sebagai Kepala Provinsi Riau. Pada tahun 2015, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta (subsider 6 bulan kurungan). Lalu, Mahkamah Agung memperberat hukuman menjadi 7 tahun penjara setelah jaksa mengajukan kasasi.

    Namun Annas memperoleh Grasi dari Presiden ke-7 Jokowi pada tahun 2019. Meski begitu, pada 2022, Annas kembali terjerat ditangkap KPK karena kasus suap anggota DPRD Riau terkait pengesahan APBD 2014-2015. Dia divonis 1 tahun penjara. 

    Annas pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Rokan Hilir periode 1999-2004 kemudian menjadi Bupati Rokan Hilir sampai 2014.

  • 9
                    
                        Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan
                        Nasional

    9 Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan Nasional

    Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Panitera Muda Nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan menangis saat membacakan nota pembelaan atau pledoi pribadinya.
    Wahyu memohon agar majelis hakim dapat memberikan vonis ringan karena ia punya empat anak yang masih kecil.
    Diketahui, Wahyu dituntut 12 tahun penjara karena dinilai berperan aktif dalam
    kasus suap hakim
    pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO).
    “Kiranya yang mulia dapat menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada saya agar saya dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, menata kembali kehidupan, dan membesarkan anak-anak saya dengan baik,” ujar Wahyu dengan suara bergetar dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).
    Wahyu mengatakan, saat ini, ia merupakan ayah dari empat orang anak. Mereka berusia 12 tahun, 7 tahun, 2 tahun, dan 1 tahun.
    Anak Wahyu yang paling kecil masih belajar untuk mengenali wajah ayahnya. Pasalnya, ketika Wahyu ditahan Kejaksaan Agung pada April 2025 lalu, anak bungsu Wahyu ini baru berusia 4 bulan.
    Wahyu mengatakan, anak-anaknya masih kecil dan membutuhkan sosok ayah untuk mengawal proses tumbuh dan kembangnya.
    Ia mengaku, selama ini selalu berdoa agar anak-anaknya kelak bisa memahami kalau ayah mereka sedang berjuang untuk menebus dosanya.
    Sambil menangis, Wahyu memohon agar majelis hakim dapat memberikan vonis ringan agar ia bisa membesarkan anak-anaknya.
    “Kiranya yang mulia dapat menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada saya agar saya dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, menata kembali kehidupan, dan membesarkan anak-anak saya dengan baik,” kata Wahyu sambil terisak.
    Dalam pledoinya, Wahyu menyinggung kalau dirinya hanya perantara, bukan pengambil keputusan untuk penanganan perkara korupsi CPO.
    “Yang mulia, di dalam perkara ini, saya hanyalah sebagai perantara, bukan pengambil keputusan dan bukan pihak yang menikmati keuntungan besar,” kata Wahyu.
    Ia mengaku tidak berani menolak pihak-pihak yang memberikan arahan kepada, termasuk Ariyanto selaku pengacara korporasi CPO.
    Namun, ia mengaku bersalah dan sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya.
    Wahyu mengaku khilaf telah melakukan tindak pidana yang mencederai citra penegakan hukum di Indonesia, terutama di lingkup pengadilan.
    “Saya sadar sepenuhnya bahwa perbuatan saya telah mencederai kehormatan lembaga peradilan, tempat saya mengabdi,” katanya.
    Wahyu mengaku menyesal telah menerima suap dan ia memohon maaf kepada Mahkamah Agung, warga pengadilan di seluruh Indonesia, masyarakat, serta keluarganya.
    Dalam kasus ini, Wahyu Gunawan dituntut 12 tahun penjara dengan dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.
    Wahyu merupakan jembatan antara pihak korporasi dengan pihak pengadilan.
    Ia diketahui lebih dahulu mengenal Ariyanto yang merupakan pengacara korporasi CPO. Pada saat yang sama, Wahyu juga mengenal dan cukup dekat dengan Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
    Karena peran aktifnya, Wahyu pun kecipratan uang suap senilai Rp 2,4 miliar.
    Tapi, jaksa menuntut agar uang suap itu dikembalikan dalam bentuk uang pengganti. Jika tidak, harta benda Wahyu akan disita untuk negara. Ia juga diancam pidana tambahan kurungan 6 tahun penjara.
    Adapun, Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Karena menerima uang suap, Arif juga dituntut untuk membayarkan uang pengganti sesuai jumlah suap yang diterimanya, senilai Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Lalu, majelis hakim penerima suap yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Para hakim juga dituntut untuk membayar uang pengganti sesuai total uang suap yang diterimanya.
    Djuyamto selaku ketua majelis hakim dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Dalam kasus ini, para terdakwa diduga telah menerima suap dengan total uang mencapai Rp 40 miliar.
    Kelima terdakwa diyakini telah melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Terbitkan Sprindik Baru Kasus Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang

    KPK Terbitkan Sprindik Baru Kasus Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang

    KPK Terbitkan Sprindik Baru Kasus Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum terkait kasus dugaan korupsi minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Trading Limited (PETRAL)/Pertamina Energy Service Pte. Ltd. (PES) periode tahun 2009-2015.
    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan sprindik umum diterbitkan setelah ditemukan adanya kerugian keuangan negara dalam perkara tersebut.
    Meski demikian, dia belum mengungkapkan jumlah kerugian negara dalam perkara tersebut.
    “Oleh karena itu, KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK) baru,” kata Budi dalam keterangannya, Senin (3/11/2025).
    Budi mengatakan kerugian negara ditemukan setelah KPK melakukan pengembangan dua kasus. 
    Pertama
    , kasus suap pengadaan katalis di PT Pertamina (Persero) tahun anggaran 2012-2014 dengan salah satu tersangka Direktur Pengolahan PT Pertamina Chrisna Damayanto.
    Kedua
    , kasus pengadaan minyak mentah serta produk jadi kilang pada periode 2012-2014 dengan tersangka Bambang Irianto selaku Direktur PETRAL.
    “Dalam penyidikan dua perkara tersebut, penyidik menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi lainnya berupa kerugian negara yang diakibatkan dari pengadaan minyak mentah dan produk jadi kilang pada periode 2009-2015,” ujarnya.
    Budi mengatakan dalam penyidikan ini, KPK juga sudah melakukan pemeriksaan kepada beberapa saksi dan pihak terkait, serta telah mempelajari sejumlah dokumen terkait perkara tersebut.
    Diberitakan sebelumnya, Bambang Irianto yang juga merupakan eks Managing Director Pertamina Energy Services Pte Ltd telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap sebesar 2,9 juta Dollar AS.
    “(Bambang) diduga telah menerima uang sekurang-kurangnya US 2,9 juta Dollar atas bantuan yang diberikannya kepada pihak Kernel Oil terkait dengan kegiatan perdagangan produk kilang dan minyak mentah kepada PES atau PT PERTAMINA (Persero) di Singapura dan pengiriman kargo,” kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, Selasa (10/9/2019) lalu.
    Dalam kasus ini, Bambang disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Marcella Santoso dan Suaminya Kompak Minta Dibebaskan dari Kasus Suap Hakim dan TPPU

    Marcella Santoso dan Suaminya Kompak Minta Dibebaskan dari Kasus Suap Hakim dan TPPU

    Marcella Santoso dan Suaminya Kompak Minta Dibebaskan dari Kasus Suap Hakim dan TPPU
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pasangan pengacara sekaligus terdakwa Ariyanto dan Marcella Santoso memohon dibebaskan dalam kasus dugaan suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penyuapan hakim pemberi vonis lepas kepada korporasi crude palm oil (CPO).
    Permohonan ini disampaikan oleh pengacara Marcella dan Ariyanto saat membacakan nota pembelaan atau eksepsi terhadap dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU).
    “Mohon kiranya majelis hakim berkenan menjatuhkan putusan sela dengan amar, memerintahkan JPU untuk melepaskan terdakwa Ariyanto (dan Marcella) dari tahanan,” ujar pengacara kedua terdakwa, Sugiono dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (29/10/2025).
    Kedua terdakwa ini memohon agar majelis hakim dapat menghentikan perkara Marcella Santoso dan Ariyanto, sekaligus memerintahkan Kejaksaan Agung untuk mengembalikan aset dan harta mereka yang kini disita.
    Dalam eksepsinya, terdakwa menyoroti beberapa aspek yang membuat mereka yakin kalau dakwaan JPU tidak layak untuk diperiksa dalam proses pembuktian. Salah satu yang ditegaskan adalah surat dakwaan tidak lengkap, kabur, dan tidak jelas.
    Pengacara terdakwa mencontohkan, ada satu uraian dakwaan yang tidak sinkron dengan berita acara pemeriksaan (BAP) saat para terdakwa ini masih diperiksa di tahap penyidikan sebagai tersangka.
    Marcella mengklaim, dirinya tidak pernah ditanya soal uang Rp 28 miliar yang dalam dakwaan disebut JPU sebagai salah satu unsur TPPU. Sementara, dakwaan menyebutkan uang Rp 28 miliar ini merupakan bagian dari TPPU dengan total Rp 52,53 miliar.
    “Dari berita acara pemeriksaan (BAP) Marcella Santoso, yang pada waktu itu berstatus tersangka, penyidikan Kejaksaan Agung tidak pernah menanyakan materi pemeriksaan terkait ada tidak adanya uang Rp 28 miliar apakah berada dalam penguasaan Marcella Santoso dan Ariyanto atau tidak,” lanjut kubu terdakwa.
    Perbedaan keterangan antara proses penyidikan dan uraian dakwaan dinilai menjadi satu ketidakjelasan.
    “Uraian surat dakwaan
    a quo
    tidak sinkron dengan hasil pemeriksaan dengan tahap penyidikan,” lanjut pengacara terdakwa.
    Pihak Marcella pun mengutip buku “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan Jilid II” karya M. Yahya Harahap.
    Dalam buku itu disebutkan, rumusan dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan menyebabkan dakwaan itu palsu dan tidak benar sehingga tidak bisa digunakan JPU untuk menuntut terdakwa.
    Lebih lanjut, tidak sinkronnya hasil penyidikan dengan uraian dakwaan membuat rumusan dakwaan menjadi tidak jelas dan kabur. Sehingga, fakta dan peristiwa yang ditemukan dalam penyidikan tidak bisa dijelaskan secara tegas dalam dakwaan.
    “Berdasarkan uraian di atas, surat dakwaan
    a quo
    tidak konsisten dan tidak sinkron dengan hasil pemeriksaan penyidikan sehingga majelis hakim yang terhormat berkenan menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima,” lanjut pengacara terdakwa.
    Jaksa mendakwa, Marcella Santoso bersama-sama dengan Ariyanto, dan Social Security License Wilmar Group Muhammad Syafei telah melakukan TPPU senilai Rp 52,53 miliar.
    Uang TPPU ini diduga berasal dua sumber, yaitu dari proses suap kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO). Serta, dari fee lawyer penanganan perkara CPO.
    “Terdakwa Marcella Santoso telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Ariyanto, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang, surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaan, yaitu yang diketahuinya atau patut diduga hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) berupa uang dalam bentuk USD (senilai) Rp 28 miliar yang dikuasai oleh Marcella Santoso, Ariyanto, M Syafei,” ujar Jaksa Andi Setyawan saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
    Selain menyamarkan uang yang terkait dari proses suap, Marcella dkk diduga juga menyamarkan uang senilai Rp 24,5 miliar yang merupakan legal fee atau pendapatan sebagai penasehat hukum terdakwa korporasi.
    “Dan, legal fee sebesar Rp 24.537.610.150,9 yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi dalam perkara memberi, menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi supaya perkara korupsi korporasi minyak goreng tersebut diputus dengan putusan onslag dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan,” lanjut jaksa.
    Para terdakwa diduga menyamarkan uang hasil TPPU ini dengan menyamarkan kepemilikan aset menggunakan nama perusahaan.
    “(Para terdakwa) menggunakan nama perusahaan dalam kepemilikan aset dan mencampurkan uang hasil kejahatan dengan uang yang diperoleh secara sah,” lanjut jaksa.
    Atas perbuatannya, para terdakwa diancam dengan Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Selain didakwa melakukan TPPU, ketiga terdakwa bersama dengan Junaedi Saibih juga diduga telah didakwa telah memberikan uang suap senilai Rp 40 miliar kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas atau ontslag dalam kasus pemberian fasilitas ekspor kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO).
    Uang suap ini kemudian dibagikan ke lima orang dari kluster pengadilan, sudah lebih dahulu dituntut dalam berkas perkara lain.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sementara, Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan terlibat dalam proses nego dengan Ariyanto yang merupakan perwakilan dari perusahaan.
    Arif dan Wahyu juga berkomunikasi dan mempengaruhi majelis hakim untuk memutus perkara sesuai permintaan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Muhammad Syafei.
    Pemberian uang suap Rp 40 miliar ini dilakukan beberapa kali. Ariyanto disebutkan berulang kali menemui Wahyu Gunawan dan Muhammad Arif Nuryanta untuk membahas soal pengurusan kasus.
    Sementara, Marcella, Junaedi, dan Syafei mengatur dari sisi korporasi. Mulai dari menyusun rencana untuk mencapai vonis lepas hingga menyiapkan uang suap untuk para hakim.
    Dalam kasus suap, Marcella Santoso dkk didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a, dan/atau Pasal 13 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Eks Ketua PN Jaksel Dituntut 15 Tahun Pidana di Kasus Suap Vonis CPO

    Eks Ketua PN Jaksel Dituntut 15 Tahun Pidana di Kasus Suap Vonis CPO

    Bisnis.com, JAKARTA — Jaksa penuntut umum (JPU) telah menuntut eks Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta 15 tahun penjara dalam kasus dugaan suap vonis lepas perkara crude palm oil (CPO) korporasi.

    Jaksa menilai bahwa Arif telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap secara bersama-sama dalam perkara itu.

    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 tahun,” ujar Arif di PN Jakarta Pusat, Rabu (29/10/2025).

    Arif juga diminta untuk membayar denda Rp500 juta dalam perkara ini. Selain pidana badan, Arif juga dituntut untuk membayar uang pengganti Rp15,7 miliar.

    Namun, apabila Arif tidak dapat membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 6 tahun pidana.

    “Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa yang pengganti sebesar Rp 15,7 miliar,” imbuhnya.

    Sekadar informasi, kasus ini bermula saat majelis hakim yang dipimpin oleh Djuyamto memberikan vonis lepas terhadap tiga grup korporasi yang terjerat dalam kasus korupsi ekspor CPO. Tiga grup atau korporasi tersebut, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas. 

    Adapun, uang suap tersebut diberikan oleh Advokat Ariyanto, Junaedi Saibih, dan Marcella Santoso serta M Syafei selaku perwakilan dari Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

    Pada intinya, vonis lepas atau onslag itu telah menolak tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta agar ketiga grup korporasi dibebankan denda dan uang pengganti sekitar Rp17,7 triliun. 

  • Eks Panitera PN Jakut Dituntut 12 Tahun Bui di Kasus Suap Vonis Lepas Migor

    Eks Panitera PN Jakut Dituntut 12 Tahun Bui di Kasus Suap Vonis Lepas Migor

    Jakarta

    Mantan panitera muda perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara Wahyu Gunawan dituntut hukuman penjara dalam kasus suap vonis lepas perkara minyak goreng (migor). Jaksa menyakini Wahyu bersalah menerima suap secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.

    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Wahyu Gunawan oleh karena itu dengan pidana penjara selama 12 tahun dikurangi sepenuhnya dengan lamanya terdakwa ditahan, dengan perintah agar terdakwa tetap dilakukan penahanan,” ujar jaksa saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (29/10/2025).

    Jaksa menuntut Wahyu membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa juga menuntut Wahyu membayar uang pengganti Rp 2,4 miliar subsider 6 tahun kurungan.

    Jaksa meyakini Wahyu melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Jaksa mengatakan perbuatan Wahyu telah mencederai kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan.

    Sebagai informasi, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi migor diketuai hakim Djuyamto dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, Ali menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.

    Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan. Dalam surat dakwaan jaksa, dari total suap Rp 40 miliar, Arif didakwa menerima bagian Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.

    (mib/haf)

  • Intip Garasi Wakil Ketua DPRD Tersangka Korupsi Proyek Dinas PU

    Intip Garasi Wakil Ketua DPRD Tersangka Korupsi Proyek Dinas PU

    Jakarta

    KPK menetapkan tersangka baru kasus suap dan pemotongan anggaran pada proyek di Dinas PUPR Ogan Komering Ulu (OKU). Wakil Ketua DPRD OKU, Parwanto menjadi salah satu dari empat orang yang ditetapkan tersangka. Menilik sisi lain dari Parwanto, simak kekayaan dan isi garasinya.

    Dikutip dari Laporan Harta Penyelenggara Negara (LHKPN), Rabu (29/10/2025), Parwanto terakhir kali menyampaikan hartanya pada 21 Februari 2025 saat menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD OKU. Dia memiliki harta sebesar Rp 7.057.921.027 (Rp 7 miliaran).

    Isi Garasi Parwanto

    Sebagian besar hartanya merupakan aset tanah dan bangunan sebesar Rp 8,2 miliar, harta bergerak lainnya Rp 25 juta, isi garasi Rp 420 juta, kas dan setara kas Rp 9.118.503, dan hutang Rp 1,5 miliaran.

    Lebih rinci soal isi garasi, Parwanto tercatat hanya mendaftarkan dua kendaraan bermotor, antara lain:

    1. Mobil, Mitsubishi Pajero tahun 2017 senilai Rp 400 juta
    2. Motor, Yamaha B3F-F A/T tahun 2018 senilai Rp 20 juta

    Dua kendaraan bermotor itu statusnya diperoleh atas hasil sendiri.

    Wakil Ketua DPRD OKU ditetapkan tersangka

    Dikutip dari detikNews, ada empat tersangka baru kasus proyek di Dinas PUPR OKU:

    1. Wakil Ketua DPRD OKU, Parwanto
    2. Anggota DPRD OKU, Robi Vitergo
    3. Ahmad Thoha alias Anang, swasta
    4. Mendra SB, swasta

    Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto membenarkan identitas keempat tersangka baru tersebut.

    “Benar,” kata Fitroh saat dimintai konfirmasi soal identitas para tersangka, Selasa (28/10/2025).

    Sebagai informasi, KPK awalnya menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan pemotongan anggaran pada proyek di Dinas PUPR OKU. Para tersangka terdiri atas anggota DPRD OKU, Kepala Dinas PUPR OKU dan pihak swasta. Keenam tersangka itu telah menjalani proses persidangan

    Kasus ini berawal saat tiga anggota DPRD OKU menagih fee proyek yang telah disepakati sejak Januari 2025 ke Nopriansyah selaku Kepala Dinas PUPR OKU karena sudah mendekati Lebaran. Nopriansyah pun menjanjikan fee yang diambil dari sembilan proyek di OKU tersebut cair sebelum Lebaran.

    Pada 13 Maret 2025, Nopriansyah menerima uang Rp 2,2 miliar dari Fauzi selaku pengusaha. Nopriansyah juga telah menerima Rp 1,5 miliar dari Ahmad. Uang itu diduga akan dibagikan kepada anggota DPRD OKU. Pada 15 Maret, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap para tersangka itu. KPK mengamankan uang Rp 2,6 miliar dan mobil Fortuner dari OTT itu.

    (riar/dry)