Kasus: kasus suap

  • Terungkap Hakim Pembebas Ronald Tannur Ingin Bunuh Diri Sebelum Akui Suap

    Terungkap Hakim Pembebas Ronald Tannur Ingin Bunuh Diri Sebelum Akui Suap

    Jakarta

    Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Erintuah Damanik, mengaku sempat mencoba bunuh diri. Erintuah mengatakan dia sempat ingin bunuh diri sebelum akhirnya mengakui menerima duit untuk vonis bebas Gregorius Ronald Tannur.

    Dalam kasus ini, jaksa mendakwa tiga hakim PN Surabaya menerima suap Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu atau setara Rp 3,6 miliar terkait vonis bebas Ronald Tannur atas kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Ketiga hakim itu ialah Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul.

    Kasus ini bermula dari jeratan hukum untuk Ronald Tannur atas kematian kekasihnya Dini Sera Afrianti. Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja, kemudian berupaya agar anaknya bebas.

    Dia pun meminta pengacara bernama Lisa Rahmat mengurus perkara itu. Lisa Rahmat kemudian menemui mantan pejabat MA Zarof Ricar untuk mencarikan hakim PN Surabaya yang dapat menjatuhkan vonis bebas kepada Ronald Tannur.

    Singkat cerita, suap diberikan dan Ronald Tannur bebas. Belakangan, terungkap bahwa vonis bebas itu diberikan akibat suap.

    Jaksa juga telah mengajukan kasasi atas vonis Ronald Tannur. MA mengabulkan kasasi itu dan Ronald Tannur telah divonis 5 tahun penjara.

    Kini, giliran Erintuah dihadirkan sebagai saksi mahkota atau terdakwa yang saling bersaksi untuk terdakwa lainnya, Heru Hanindyo. Dalam sidang vonis bebas Ronald Tannur, Erintuah merupakan hakim ketua dengan Mangapul dan Heru sebagai anggota.

    “Apa yang mendorong saudara untuk mengakui semua perbuatan saudara saat itu?” tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (25/3/2025).

    “Jadi sebagaimana yang diterangkan oleh Pak Heru, saya pernah mau bunuh diri, Pak. Saya mau bunuh diri akhirnya kemudian nggak jadi, terus saya baca Alkitab, Pak. Kebetulan saya Nasrani, saya baca Alkitab. Dari hasil kontemplasi saya itu, Pak, akhirnya kemudian, udah, saya lebih baik saya melakukan apa yang saya lakukan, daripada menyembunyikan sesuatu yang busuk tetapi nanti berdampak kepada anak-anak dan istri saya,” jawab Erintuah.

    Dia mengaku takut keluarganya terkutuk. Dia berharap masalah yang terjadi berakhir pada dirinya.

    “Karena dalam Alkitab saya dikatakan bahwa itu adalah kutuk, Pak. Hentikan kutuk ini sampai di sini, jangan sampai ke anak-anak-cucu saya. Itulah kemudian yang mendorong saya dan kemudian ketika saya di BAP penyidikan, Pak, saya tunjukkan ayat-ayat Alkitab itu kepada penyidik, saya mengaku,” ujar Erintuah.

    Jaksa kemudian mendalami pembicaraan Erintuah dengan Heru. Erintuah mengatakan Heru bersikeras tak mau mengakui penerimaan duit terkait vonis bebas Ronald Tannur.

    “Jadi waktu itu Heru menyatakan fight, Bangm ya, fight, fight, dia bilang. Pokoknya jangan mengaku atau nanti kita ngajukan praperadilan karena penangkapan ini tidak sah karena ini bukan OTT gitu,” jawab Erintuah.

    “Terus terhadap penerimaan uang? terdakwa Heru ada menyampaikan?” tanya jaksa.

    “Ya itu namanya fight, Pak, fight, jangan mengaku,” jawab Erintuah.

    Erintuah mengaku menyampaikan hasil kontemplasi pembacaan Alkitab itu ke Mengapul. Dia mengatakan Mangapul lalu ikut mengakui penerimaan duit terkait vonis bebas Ronald Tannur ini.

    “Saya bilang, kebetulan kalau saya sama dia pak, kebetulan dia marga ibu saya, saya bilang, ‘Lae, terserah kalau kau mau ngaku apa tidak, silakan, tapi aku akan mengaku karena itu hasil kontemplasi saya dan ini ayat-ayat yang saya’. Saya tunjukkan, Pak, ayat-ayat waktu itu, ini ayat-ayatnya hasil kontemplasi saya dan saya harus mengaku, saya bilang. Baru kemudian dia ngaku, baru kemudian Mangapul ngaku,” ujar Erintuah.

    Tawaran dari Hakim Heru

    Foto: Sidang kasus suap vonis bebas Ronald Tannur (Mulia/detikcom)

    Erintuah juga menyebut Heru pernah menawarkan jaminan biaya sekolah anak. Dia mengatakan Heru meminta dirinya tak menyebut nama Heru dalam kasus suap vonis bebas Ronald Tannur.

    Hal itu disampaikan Erintuah saat bertanya ke Heru. Kali ini, Heru dihadirkan sebagai saksi mahkota atau terdakwa yang saling bersaksi untuk terdakwa lainnya, Erintuah dan Mangapul.

    Dalam sidang vonis bebas Ronald Tannur, Erintuah merupakan hakim ketua dengan Mangapul dan Heru sebagai anggota. Heru membantah pernah meminta Erintuah untuk menyebutkan jika dia yang membuat putusan vonis Ronald.

    Erintuah kemudian menyebut Heru menawarkan untuk membiayai sekolah hingga pernikahan anaknya asal nama Heru tak disebut terkait penerimaan duit vonis bebas Ronald. Heru membantah mengatakan hal tersebut.

    “Apakah saudara pernah menemui saya, bertemu kita pada saat sidang pertama di lantai ground dan meminta kepada saya untuk tidak menyebut-nyebut namamu, katakan nanti bang, ‘Memang saya mau diserahkan uang, tetapi saya tidak mau. Nanti biaya anak-anakmu untuk kuliah atau nikah saya tanggung’?” tanya Erintuah.

    “Saya tidak pernah menanyakan seperti itu,” jawab Heru.

    Heru juga membantah pernah menemui istri Erintuah. Mendengar itu, Erintuah mengatakan istrinya bisa dihadirkan dalam persidangan jika diperlukan keterangannya.

    “Apakah hal yang sama juga pernah saudara katakan kepada istri saya?” tanya Erintuah.

    “Saya tidak pernah ketemu sama istri bapak,” jawab Heru.

    Heru kemudian membantah dirinya berada di ruang kerja Mangapul saat pembagian duit terkait vonis bebas Ronald Tannur. Heru membantah menyerahkan uang ke Erintuah.

    “Ketika di ruangan Pak Mangapul, apakah, sekali lagi saya tanya, sebetulnya sudah ditanya, nurani saudara yang menjawab, apakah saudara hadir nggak di situ dalam pembagian itu?” tanya Erintuah.

    “Saya tidak pernah melihat,” jawab Heru.

    “Apakah setelah itu saudara ada menyerahkan uang sama saya 500 dolar Singapura di luar itu, karena merasa bahwa bagian saya belum memadai?” tanya Erintuah.

    “Saya nggak pernah,” jawab Heru.

    Hakim Heru Jelaskan Duit yang Disita

    Foto: Heru Hanindyo (Mulia Budi/detikcom)

    Hakim Heru juga menjelaskan soal uang tunai yang ditemukan penyidik Kejaksaan Agung RI saat melakukan penggeledahan. Heru mengaku terbiasa menyimpan uang tunai dalam tas untuk kebutuhan sehari-hari.

    “Pernah dilakukan penggeledahan ya oleh penyidik ya?” tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

    “Betul,” jawab Heru.

    Heru lalu memberikan penjelasan. Heru mengatakan uang USD 2.200 di rumahnya merupakan uang pulang dari dinas luar negeri.

    “Saya jelaskan. Ada uang, Yang Mulia, USD 2.200 itu uang pulang dari dinas luar negeri. Ada uang 100 ribu Yen pecahan 10 ribu, itu uang yang saya pakai biasanya kalau transit di Haneda atau di Jepang,” jawab Heru.

    Heru mengatakan uang SGD 9.100 merupakan uang titipan dari kakaknya, Ambar, untuk dibelikan tas. Namun, dia batal membelikan tas itu karena tak ada outlet premium di Spanyol.

    “Kemudian, ada uang 9.100 dolar Singapura, itu uangnya kakak saya, dititip, ‘tolong belikan saya tas di premium outlet’, karena kalau saya dinas ke US atau saya dinas ke Austria atau Swiss itu ada namanya premium outlet. Premium outlet itu harganya murah, free tax,” kata Heru.

    Sepulang dari dinas luar negeri, Heru mengaku tidak sempat bertemu dengan kakak iparnya. Heru juga mengatakan dirinya pergi ke Bali dan kakaknya kembali menitip untuk dibelikan kain Bali yang sama seperti di rumahnya.

    Heru mengaku membelikan dua kain Bali untuk kakaknya tersebut. Dia mengklaim sisanya akan dikembalikan ke kakaknya dan diletakkan di atas koper Heru.

    “Saya belikan dua, uang itu saya taruh di atas meja di bawah koper saya yang baru saja pulang dari Eropa, nanti saya bilang sama saudara saya, ‘Mas Muh, kalau nanti datang Mbak Ambar atau suaminya, tolong ini kasihkan ya, ini ada uangnya, uangnya kemarin nggak jadi terbelikan, nanti kalau dia mampir ke sini tolong sampaikan dan berikan’,” imbuh Heru.

    Heru mengaku terbiasa menyimpan uang tunai untuk keperluan sehari-hari. Uang itu disimpan dalam empat tas dan satu koper.

    “Terus kemudian saya terbiasa menaruh uang untuk kehidupan sehari hari, makan, Go-Jek, Go-Food, itu ada 4 tas saya, satu koper, koper kabin merek Tumi warna hitam, di situ pasti ada uang pecahan Rp 100 ribu dan pecahan Rp 50 ribu. Jadi start awalnya pasti Rp 15 juta,” ujar Heru.

    “Kemudian di ransel, di ransel saya itu juga sama ada yang Rp 100 ribu, ada Rp 50 ribu. Kemudian, di tas kerja saya, itu tas hijau biasanya bisa jadi ransel atau jadi tenteng, itu juga sama, saya biasanya saya taruh Rp 100 ribuan, Rp 50 ribuan, itu yang biasa saya taruh ke kantor,” ujar Heru.

    Sementara uang tunai yang berada di dalam koper, menurut Heru, merupakan uang hasil bagi usaha warung milik orang tuanya. Dia mengatakan jumlah uang dalam tas dan koper itu sudah berkurang karena sudah digunakan.

    “Nah kemudian, di dalam koper hitam saya itu ada uang cash Rp 70 juta, di mana Rp 20 juta itu udah memang ada sekitar 30 atau 40 itu memang saya selalu memang ada uang cash. Rp 50 juta saya dapat itu waktu sebelumnya saya ke Bali, saya minta uang yang dibagi hasil dari warungnya orang tua,” ujar Heru.

    Dia menjelaskan momen ketika penyidik melakukan penggeledahan. Heru menjelaskan mengapa terdapat uang yang berada di mobil.

    “Itu saya digeledah, Yang Mulia, hari Rabu, tanggal 23. Saya berpikir hari Jumat setelah apel, saya berangkat. Kenapa ada di mobil? Mobil itu selalu saya taruh kalau nggak di bandara, di Stasiun Pasar Turi,” katanya.

    “Jadi kalau pulangnya langsung, atau malam, sudah ada pakai mobil itu. Itulah uang-uang yang bisa saya sampaikan yang digeledah. Jadi yang di koper itu maupun di tas apa, pasti sudah berkurang jumlahnya karena sudah digunakan untuk kebutuhan sehari-hari,” tambah Heru.

    Halaman 2 dari 3

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kasus Suap Dinas PUPR, KPK Geledah Kantor Pemkab hingga DPRD OKU

    Kasus Suap Dinas PUPR, KPK Geledah Kantor Pemkab hingga DPRD OKU

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melanjutkan proses hukum atas kasus dugaan suap proyek di Dinas PUPR Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan Sumsel. Tim penyidik KPK melakukan penggeledahan secara maraton pada 19-24 Maret 2025 di berbagai lokasi strategis.

    “Penggeledahan dilakukan di sejumlah lokasi, termasuk kantor PUPR OKU, kompleks perkantoran Pemkab OKU, rumah dinas bupati, kantor DPRD OKU, hingga Bank Sumsel Babel KCP Baturaja,” ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika, di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (25/3/2025).

    Lokasi Penggeledahan dan Barang Bukti yang Disita

    Beberapa lokasi lain yang turut digeledah meliputi kantor Dinas Perkim, kantor Dinas Perpustakaan dan Arsip, kantor BCA KCP Baturaja, serta rumah para tersangka. Dari penggeledahan tersebut, penyidik menemukan dan menyita berbagai dokumen serta barang elektronik yang relevan dengan perkara.

    Barang bukti kasus suap proyek di Dinas PUPR Pemkab OKU yang disita meliputi, dokumen pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD OKU 2025, dokumen kontrak untuk sembilan proyek pekerjaan, dan voucer penarikan uang.

    “Bukti-bukti tersebut diduga memiliki keterkaitan erat dengan kasus dugaan suap proyek di Dinas PUPR OKU,” jelas Tessa.

    Sebelumnya, KPK telah menetapkan enam tersangka dalam kasus ini setelah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada Sabtu (15/3/2025).

    Tersangka penerima suap meliputi, Kepala Dinas PUPR OKU Nopriansyah, Ketua Komisi III DPRD OKU M Fahrudin, Anggota Komisi III DPRD OKU Ferlan Juliansyah, dan Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati. Sementara itu, dua tersangka pemberi suap berasal dari pihak swasta, yaitu M Fauzi alias Fablo dan Ahmad Sugeng Santoso.

    Kasus ini diduga terkait suap proyek di Dinas PUPR Pemkab OKU, yang melibatkan sejumlah pejabat penting dan pihak swasta. Barang bukti yang disita akan menjadi kunci dalam mengungkap lebih lanjut aliran dana serta modus korupsi yang dilakukan.

  • Sidang Suap Vonis Bebas Ronald Tannur, Ahli Hukum Sebut Pelanggaran Etik Hakim dan Pidana Tidak Sama – Halaman all

    Sidang Suap Vonis Bebas Ronald Tannur, Ahli Hukum Sebut Pelanggaran Etik Hakim dan Pidana Tidak Sama – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), Eva Achjani Zulfa, mengatakan jika seorang hakim tidak bisa dicap melakukan tindakan pidana meski melanggar kode etik hakim.

    Hal tersebut diungkapkan Eva Achjani Zulfa saat menjadi saksi ahli meringankan atau a de charge untuk hakim Pengadilan Negeri Surabaya non-aktif, Heru Hanindyo yang menjadi terdakwa dalam sidang kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (21/3/2025).

    Eva Achjani Zulfa menyebut jika norma etik hakim dan hukum pidana berada dalam koridor yang berbeda.

    “Ya tidak serta merta, kita berbicara dalam konteks norma etik, tentunya dengan konteks dalam hukum pidana itu sesuatu yang berbeda. Karena ketika kita bicara soal etiknya, kita bicara soal moralitas,” kata Eva di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (21/3/2025).  

    Eva menjelaskan, pelanggaran etik lebih berkaitan dengan moralitas dan standar perilaku profesi, sedangkan tindak pidana harus memenuhi unsur yang diatur dalam undang-undang.

    Dengan demikian, lanjut Eva, meskipun hakim dinyatakan melanggar kode etik, hal tersebut tidak otomatis berarti si hakim telah melakukan tindak pidana atau tindak pidana korupsi.

    Proses hukum harus dilakukan secara terpisah untuk menentukan apakah ada unsur pidana dalam perbuatannya.

    “Apakah kemudian sikap, tindak gitu ya, itu berkaitan dengan moralitas, kemudian dia dianggap melanggar etik. Apakah juga misalnya dalam konteks hukum pidana itu sudah menggambarkan bahwa dia memenuhi unsur seperti yang ada di dalam norma pasal di dalam undang-undang pidana, itu tetap harus diputus secara tersendiri. Jadi, saya kira tidak serta merta (melakukan tindak pidana),” jelasnya.

    3 Hakim PN Surabaya Didakwa Terima Suap Rp 1 M dan 308 Ribu Dolar Singapura

    Sebelumnya, Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas terpidana Ronald Tannur menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).

    Dalam sidang perdana tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.

    Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaya yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.

    Dalam dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.

    “Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.

    Ronald Tannur saat ditangkap jaksa (kiri) dan Ronald Tannur usai divonis bebsa PN Surbaya (kanan). (Kolase Tribunnews.com)

    Lebih lanjut Jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.

    Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.

    Selain itu keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dolar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.

    “Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.

    Tak hanya uang di atas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dolar Singapura.

    “Padahal, diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.

    Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    FOTO: KASUS SUAP HAKIM – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, hadir sebagai ahli meringankan dalam sidang kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dengan terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (21/3/2025). Dalam sidang itu Eva mengatakan jika hakim tidak bisa dicap melakukan tindak pidana meski melanggar etik hakim.

  • Bacakan Eksepsi, Hasto Ngaku Ada Utusan Pejabat Negara Minta PDIP Tak Pecat Jokowi – Halaman all

    Bacakan Eksepsi, Hasto Ngaku Ada Utusan Pejabat Negara Minta PDIP Tak Pecat Jokowi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menyebut nama Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) saat membacakan eksepsi atas dakwaan kasus suap dan perintangan penyidikan terkait penggantian antarwaktu anggota DPR untuk Harun Masiku, Jumat (21/3/2025). 

    Hasto mengaku menerima ancaman akan ditersangkakan jika PDIP memecat Jokowi.

    Ancaman itu, kata Hasto, disampaikan oleh utusan dari pejabat negara. 

    Ia tak merinci siapa sosok yang dimaksud.

    Yang jelas, menurut dia, orang itu datang antara 4 Desember 2024 sampai dengan 15 Desember 2025.

    Hal itu disampaikan Hasto saat membacakan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (21/3/2025).

    Pada periode 4-15 Desember 2024 menjelang pemecatan Bapak Jokowi oleh DPP PDI Perjuangan setelah mendapat laporan dari Badan Kehormatan Partai.”

    “Pada periode itu, ada utusan yang mengaku dari pejabat negara, yang meminta agar saya mundur, tidak boleh melakukan pemecatan, atau saya akan ditersangkakan dan ditangkap,” ucap Hasto dalam sidang, Jumat. 

    Setelah mendapat ancaman itu, PDIP mengumumkan pemecatan kader-kadernya termasuk Jokowi. 

    Baru setelah sepekan lebih, dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. 

    “Akhirnya pada tanggal 24 Desember 2024, yakni satu minggu setelah pemecatan para kader Partai pada pagi harinya dibocorkan terlebih dahulu ke media, pada sore menjelang malam, saya ditetapkan sebagai tersangka,” jelasnya. 

    Sejatinya, Hasto mengaku menerima intimidasi sejak Agustus 2023 hingga masa Pemilu 2024.

    “Bahwa sejak Agustus 2023 Saya telah menerima berbagai intimidasi dan semakin kuat pada masa-masa setelah pemilu Kepala daerah tahun 2024,” kata Hasto.

    Hasto mengklaim puncak intimidasi yang dia terima terjadi saat PDIP memecat Jokowi.

    Menurutnya, keputusan itu membuat kasus Harun Masiku dikaitkan dengan dirinya dan PDIP.

    Ia mengatakan berbagai tekanan juga terjadi pada proses penyelidikan hingga tahap pelimpahan berkas kasus ini. 

    Sebelumnya, soal dugaan adanya sosok utusan ini diungkap Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus. 

    Ia mengatakan ada utusan yang datang dan meminta PDIP tak memecat Jokowi dari partai.

    Deddy menyebut, permintaan itu disampaikan oleh seorang utusan yang disebutnya memiliki kewenangan.

    Selain meminta Hasto mundur, utusan itu juga meminta PDIP tak melakukan pemecatan Jokowi.

    “Sekitar tanggal 14 Desember, itu ada utusan yang menemui kami, memberitahu bahwa Sekjen harus mundur lalu jangan pecat Jokowi,” kata Deddy di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Rabu (12/3/2025).

    Tak hanya itu, Deddy menuturkan bahwa utusan tersebut juga menyampaikan terdapat 9 orang kader PDIP ditarget aparat penegak hukum.

    “Dan menyampaikan ada sekitar 9 orang dari PDIP yang menjadi target dari pihak kepolisian dan KPK,” ujarnya.

    “Jadi, itu lah salah satu dan itu disampaikan oleh orang yang sangat berwenang,” ucapnya menambahkan.

    Tanggapan Jokowi soal Sosok Utusan 

    Jokowi mengaku tak memiliki kepentingan menyuruh utusan untuk datang ke PDIP dan meminta dirinya tak dipecat. 

    Ia justru meminta lebih baik PDIP mengungkap siapa sosok yang dimaksud. 

    “Nggak ada (komentar). Ya harusnya disebutkan siapa biar jelas. Nggak ada,” kata Jokowi di kediaman Sumber, Banjarsari, Jumat (14/3/2025), dikutip dari TribunSolo.com. 

    “Kepentingannya apa saya mengutus untuk itu. Coba logikanya,” lanjutnya. 

    Jokowi mengaku selama ini banyak diam ketika difitnah, dijelekkan hingga dimaki. 

    Namun, ia menegaskan bahwa sikap diamnya itu ada batasnya. 

    “Saya udah diam loh ya. Difitnah saya diam. Dijelekkan saya diam. Dimaki-maki saya diam. Tapi ada batasnya,” tuturnya.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul Di Solo, Jokowi Jawab Klaim PDIP Soal Utusan Agar Tak Dipecat : Saya Difitnah Diam Tapi Ada Batasnya.

    (Tribunnews.com/Milani/Fersianus Waku) (TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin) 

  • KPK Bawa Satu Koper Dokumen dari Kantor DPRD OKU

    KPK Bawa Satu Koper Dokumen dari Kantor DPRD OKU

    BATURAJA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membawa satu koper berisi dokumen sitaan hasil penggeledahan di kantor DPRD Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Penggeledahan ini  terkait kasus suap sembilan proyek di Dinas PUPR.

    Kepala Bagian (Kabag) Persidangan DPRD OKU, Ikbal Ramadhan membenarkan hari ini pihaknya menerima dan memfasilitasi tim dari KPK.

    Petugas dari KPK dengan seragam rompi khusus bertuliskan KPK mendatangi gedung DPRD OKU sekitar pukul 10.00 WIB.

    Tim KPK melakukan penggeledahan di beberapa ruangan antara lain ruang Badan Anggaran (Banggar), Badan Musyawarah (Banmus) dan Bagian Persidangan Sekretariat DPRD OKU serta ruang Bagian Umum dan Keuangan Sekretariat DPRD OKU.

    Setelah melakukan penggeledahan selama beberapa jam, tim dari KPK membawa satu koper berisi sejumlah dokumen yang berkaitan dengan pembahasan APBD 2025.

    “Mereka sudah melakukan pemeriksaan di beberapa ruangan seperti ruang Banmus, Banggar, beberapa ruang fraksi dan ruangan sekretariat. Tim KPK juga meminta beberapa dokumen yang diperlukan terkait pembahasan APBD 2025,″ jelas Ikbal dilansir ANTARA, Kamis, 20 Maret.

    Saat proses penggeledahan, tidak ada satu pun anggota dewan yang hadir karena sedang melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah di Indonesia.

    “Para unsur pimpinan dan anggota dewan tidak berada di tempat karena sedang melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah,” jelas Ikbal.

    KPK sebelumnya menetapkan tiga anggota DPRD OKU, Sumatera Selatan sebagai tersangka atas kasus suap proyek yang ada di Dinas PUPR OKU.

    Ketiganya adalah Anggota Komisi III DPRD OKU (FJ), Ketua Komisi III DPRD OKU (FH) dan Ketua Komisi II DPRD OKU (UH).

    KPK juga menetapkan Kepala Dinas PUPR OKU (Nov) sebagai tersangka bersama dua orang tersangka dari kalangan swasta, yaitu MFZ dan ASS.

    Kasus ini mencuat setelah sejumlah anggota DPRD OKU yaitu FJ, FH, dan UH diduga meminta jatah pokok pikiran (pokir) dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) OKU tahun 2025.

    KPK mengungkap jatah pokir tersebut disepakati untuk dialihkan menjadi proyek fisik yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) OKU dengan nilai awal mencapai Rp40 miliar.

    Namun, akibat keterbatasan anggaran, jumlah tersebut dikurangi menjadi Rp35 miliar, dengan besaran fee proyek tetap disepakati sebesar 20 persen atau senilai Rp7 miliar.

    Setelah kesepakatan tersebut, anggaran Dinas PUPR OKU mengalami lonjakan drastis dari Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar yang diduga akibat adanya kompromi politik terkait jatah proyek bagi anggota DPRD.

    Dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada Sabtu (15/3/2025) tersebut, KPK menyita uang tunai sebesar Rp2,6 miliar dari para pelaku yang sudah ditetapkan sebagai tersangka untuk dijadikan barang bukti.

  • Kasus Dugaan Suap Proyek, KPK Geledah Kantor Bupati OKU Sumsel – Halaman all

    Kasus Dugaan Suap Proyek, KPK Geledah Kantor Bupati OKU Sumsel – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah sejumlah lokasi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan (Sumsel), Rabu (19/3/2025).

    Beberapa lokasi yang digeledah yakni kantor bupati dan kantor Dinas PUPR.

    “Betul hari ini ada giat penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik terkait perkara tangkap tangan di Kab. Ogan Komering Ulu,” kata Juru Bicara KPK , dalam keterangannya, Rabu.

    Tessa mengatakan saat ini penggeledahan masih berlangsung.

    KPK sebelumnya mengungkap dugaan adanya keterlibatan Bupati OKU Teddy Meilwansyah dalam kasus suap proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) tahun anggaran 2024–2025.

    Dalam jumpa pers Minggu (16/3/2025), KPK mengumumkan 6 dari 8 orang yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) sebagai tersangka.

    Empat tersangka selaku penerima suap yaitu Kepala Dinas PUPR Kabupaten OKU Nopriansyah (NOV), Ketua Komisi III DPRD OKU M. Fahrudin (MFR), Anggota Komisi III DPRD OKU Ferlan Juliansyah (FJ) dan Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati (UH).

    Sedangkan dua tersangka dari pihak swasta yaitu M. Fauzi alias Pablo (MFZ) dan Ahmad Sugeng Santoso (ASS).

    Dua orang lainnya yakni A dan S dipulangkan karena tidak ada bukti mengenai keterlibatan mereka dalam kasus tersebut berdasarkan pemeriksaan selama 1×24 jam (KUHAP).

    Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan, menjelang lebaran, pihak DPRD OKU yang diwakili FJ, MFR dan UH menagih jatah fee proyek kepada NOP sesuai dengan komitmen.

    NOP kemudian menjanjikan akan memberikan itu sebelum Hari Raya Idulfitri melalui pencairan uang muka 9 proyek yang sudah direncanakan sebelumnya.

    “Pada kegiatan ini, patut diduga bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh, pertemuan dilakukan antara anggota dewan, kemudian Kepala Dinas PUPR juga dihadiri oleh pejabat bupati dan Kepala BPKD,” kata Setyo.

    Fee proyek tersebut merupakan opsi lainnya dari permintaan awal anggota DPRD OKU mengenai uang pokok pikiran atau “pokir”. 

    Dalam sesi tanya jawab, Setyo menegaskan pihaknya akan menginvestigasi lebih dalam tentang peran bupati.

    “Memang kami sedang melakukan investigasi lebih mendalam lagi dari penanganan perkara yang saat ini terhadap enam orang tersangka. Itu nanti kami lakukan investigasi lebih mendalam terhadap pihak-pihak yang terindikasi terlibat,” ucap Setyo menjawab pertanyaan mengenai peran bupati dan wakil bupati OKU.

    Berdasarkan informasi yang diperoleh Tribunnews, Teddy Meilwansyah tidak diketahui keberadaannya saat hendak dimintai keterangan tim penyelidik KPK setelah melaksanakan OTT.

    Sementara itu, fee sebagaimana tersebut di atas berdasarkan sembilan proyek yang ada di Dinas PUPR Kabupaten OKU.

    Yakni rehabilitasi rumah dinas bupati sekitar Rp8,3 miliar dengan penyedia CV RF; rehabilitasi rumah dinas wakil bupati senilai Rp2,4 miliar dengan penyedia CV RE; pembangunan Kantor Dinas PUPR Kabupaten OKU senilai Rp9,8 miliar dengan penyedia CV DSA.

    Kemudian pembangunan jembatan di Desa Guna Makmur senilai Rp983 Juta dengan penyedia CV GR; peningkatan jalan poros Desa Tanjung Manggus, Desa Bandar Agung senilai Rp4,9 miliar dengan penyedia CV DSA; peningkatan jalan Desa Panai Makmur-Guna Makmur senilai Rp4,9 miliar dengan penyedia CV ACN.

    Peningkatan jalan Unit 16 Kedaton Timur senilai Rp4,9 miliar dengan penyedia CV MDR Coorporation; peningkatan jalan Letnan Muda M. Sidi Junet senilai Rp4,8 miliar dengan penyedia CV BH; dan peningkatan jalan Desa Makarti Tama sebesar Rp3,9 miliar dengan penyedia CV MDR Coorporation.

    Para tersangka sudah dilakukan penahanan 20 hari pertama di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK cabang C1 dan K4.

    FJ, FMR dan UH ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK cabang C1. Sedangkan NOP, MFZ dan ASS ditahan di Rutan KPK cabang K4.

  • Kakak Kandung Hakim yang Vonis Bebas Ronald Tannur Jadi Saksi Sidang Tanpa Disumpah – Halaman all

    Kakak Kandung Hakim yang Vonis Bebas Ronald Tannur Jadi Saksi Sidang Tanpa Disumpah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Arif Budi Harsono hadir sebagai saksi meringankan atau A de Charge untuk adiknya Heru Hanindyo dalam sidang kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (18/3/2025).

    Akan tetapi dalam sidang ini, Arif tidak diambil sumpah lantaran memiliki ikatan keluarga dengan terdakwa Heru.

    Mulanya, Ketua Majelis Hakim Teguh Santoso menanyakan Arif apakah mengenal terdakwa Heru.

    Arif pun mengaku bahwa Heru merupakan adik kandungnya.

    “Heru adalah adik kandung saya,” ujar Arif.

    Mendengar pernyataan itu, Hakim Teguh pun menanyakan sikap dari Jaksa Penuntut Umum.

    Saat itu Jaksa mengatakan, Arif memang masuk dalam berkas perkara pemeriksaan terdakwa Heru Hanindyo.

    Akan tetapi Jaksa merasa keberatan apabila Arif bersaksi di persidangan, karena kakak Heru itu kerap hadir saat sidang sebelumnya.

    “Untuk Pak Arif Budi ini memang ada di berkas memang. Tapi karena hadir di setiap sidang, mohon izin kami keberatan kalau beliau sebagai saksi,” terang Jaksa.

    “Setiap sidang saya perhatikan beliau hadir terus,” timpal Hakim Teguh membenarkan.

    Mendengar hal itu, tim penasihat hukum Heru Hanindyo berpendapat bahwa dihadirkannya Arif sebagai saksi hari ini tidak berkaitan dengan persidangan di masa lalu.

    Alhasil mereka pun meminta agar Arif tetap diizinkan untuk bersaksi lantaran bakal menjelaskan terkait harta warisan Heru Hanindyo.

    “Karena ini salah satu dari kami adalah ada beberapa harta warisan, bagaimana mungkin kami bisa membuktikan itu harta warisan tanpa membawa keluarga Yang Mulia. Kalau misalnya itu saya serahkan kepada Yang Mulia, tapi kami ingin agar saksi didengar dalam persidangan ini,” jelas penasihat hukum.

    3 Hakim PN Surabaya Didakwa Terima Suap Rp 1 M dan 308 Ribu Dolar Singapura

    Sebelumnya, Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas terpidana Ronald Tannur menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).

    Dalam sidang perdana tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.

    Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.

    Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.

    “Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.

    Lebih lanjut Jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.

    Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.

    Selain itu keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dolar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.

    “Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.

    Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dolar Singapura.

    “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.

    Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • MAKI Nilai Aksi DPRD OKU Tagih Fee Jelang Lebaran Menantang KPK

    MAKI Nilai Aksi DPRD OKU Tagih Fee Jelang Lebaran Menantang KPK

    Jakarta

    Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyoroti aksi ketiga anggota DPRD Ogan Komering Ulu (OKU) yang menagih fee sehari usai KPK memberi peringatan kepada penyelenggara negara. Ia menilai tindakan tersebut seolah-olah menantang KPK.

    “Mereka kesannya malah menantang KPK karena KPK sudah memberikan edaran untuk tidak menerima gratifikasi itu kembali lagi suap. Menurut saya itu kurang ajar,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Senin (17/3/2025).

    Boyamin mengaku terkejut mengetahui jatah pokir yang diminta DPRD sebesar 20%. Padahal, kata dia, semestinya DPRD berperan sebagai pengawas.

    “Kalau sudah dipalak itu 20% gitu oleh oknum DPRD sama dengan yang ngawasi malah menyuruh korupsi gitu, bukan hanya sekedar pagar makan tanaman, ini malah pagar menyuruh tanamannya mati gitu. Jadi itu yang paling kaget saya apa dari kasus di OKU itu” tegasnya.

    “Apalagi ini dilakukan menjelang Lebaran dengan alasan THR, masa sesuatu yang ibadah sakral itu habis puasa dan lebaran harusnya ini beribadah dan melakukan sedekah gitu, eh ini malah memalak, melakukan korupsi, memeras pemborong dengan nilai yang begitu fantastis,” sambungnya.

    Boyamin mendorong agar Anggota DPRD OKU yang kini tersangka kasus suap meminta jatah pokir Rp 40 miliar dari proyek Dinas PUPR dihukum berat. Ia memandang hukuman yang mesti dijatuhkan minimal 20 tahun penjara.

    “Menurut saya sangat keterlaluan dan mestinya ini dihukum berat nanti. Jangan hanya 5 tahun, 10 tahun, ini minimal 20 tahun atau seumur hidup ini karena pola korupsinya yang sudah keterlaluan,” jelasnya.

    “Inilah yang menurut saya mudah-mudahan KPK nanti bisa melakukan pencegahan yang lebih baik lah bukan hanya sekedar menindak hukum jadi, belajar di kasus OKU ini KPK harus kita paksa untuk membuat mekanisme supaya anggaran-anggaran baik pusat maupun daerah bisa dikelola lebih baik supaya tidak dicuri lagi,” tegasnya.

    Seperti diketahui, KPK mengungkap tiga anggota DPRD OKU yang menjadi tersangka suap dan pemotongan anggaran proyek menagih fee ke Kadis PUPR OKU menjelang hari raya Idul Fitri atau Lebaran. Ternyata, permintaan fee itu terjadi sehari usai KPK memberi peringatan kepada para penyelenggara negara.

    – Ferlan Juliansyah (FJ) selaku Anggota Komisi III DPRD OKU

    – M Fahrudin (MFR) selaku Ketua Komisi III DPRD OKU

    – Umi Hartati (UH) selaku Ketua Komisi II DPRD OKU

    – Nopriansyah (NOP) selaku Kepala Dinas PUPR OKU

    – M Fauzi alias Pablo (MFZ) selaku swasta

    – Ahmad Sugeng Santoso (ASS) selaku Swasta

    KPK menyebut tiga anggota DPRD OKU itu menagih fee proyek yang telah disepakati sejak Januari 2025 ke Nopriansyah karena sudah mendekati Lebaran. Nopriansyah pun menjanjikan fee yang diambil dari sembilan proyek di OKU tersebut cair sebelum Lebaran.

    “Menjelang hari raya Idul Fitri pihak DPRD yang diwakili oleh saudara FJ (Ferlan Juliansyah) yang merupakan anggota dari Komisi III, kemudian saudara MFR (M Fahrudin), kemudian saudari UH (Umi Hartati), menagih jatah fee proyek kepada saudara NOP (Nopriansyah) sesuai dengan komitmen yang kemudian dijanjikan oleh saudara NOP akan diberikan sebelum hari raya Idul Fitri,” ujar Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (16/3).

    Pada 13 Maret 2025, Nopriansyah menerima uang Rp 2,2 miliar dari Fauzi selaku pengusaha. Nopriansyah juga telah menerima Rp 1,5 miliar dari Ahmad. Uang itu diduga akan dibagikan ke Anggota DPRD OKU.

    Pada 15 Maret, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap para tersangka itu. KPK pun mengamankan uang Rp 2,6 miliar dan mobil Fortuner dari OTT itu.

    Menurut KPK, OTT itu terjadi sehari setelah KPK menerbitkan surat edaran tentang pencegahan dan pengendalian gratifikasi terkait hari raya atau SE nomor 7 tahun 2025. KPK pun menganggap kelakuan para tersangka itu ironi.

    “Hal ini menjadi ironis, di saat sehari sebelumnya KPK menerbitkan surat edaran tentang pencegahan dan pengendalian gratifikasi terkait hari raya (SE Nomor 7 Tahun 2025),” ujar tim Jubir KPK, Budi Prasetyo, kepada wartawan, Senin (17/3/2025).

    (taa/aud)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Klaim Sepihak Ronald Tannur di Sidang Perkara Ibu Suap Hakim

    Klaim Sepihak Ronald Tannur di Sidang Perkara Ibu Suap Hakim

    Jakarta

    Gregorius Ronald Tannur menjadi saksi sidang kasus suap vonis bebas di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ronald meminta maaf kepada ibundanya, Meirizka Widjaja dan mengaku hancur melihat Meirizka menjadi terdakwa gara-gara berupaya membebaskan dirinya.

    Gregorius Ronald Tannur memasuki ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, pukul 10.25 WIB, Senin (17/3/2025). Ronald mengenakan masker hitam dan kemeja putih.

    Duduk sebagai terdakwa dalam sidang kasus suap vonis bebas Ronald Tannur, mantan Pejabat Mahkamah Agung (MA) yang juga dikenal makelar kasus, Zarof Ricar, ibunda Ronald, Meirizka Widjaja serta pengacara Ronald, Lisa Rachmat. Saat memasuki ruang sidang, Ronald langsung duduk di samping Meirizka di kursi pengunjung sidang. Keduanya tampak mengobrol.

    Kuasa hukum Meirizka kemudian menanyakan kedekatan Ronald dan Meirizka. Ronald langsung terisak saat menjawab pertanyaan kuasa hukum Meirizka.

    “Bagaimana hubungan dari saudara saksi dan juga hubungan dari Ibu Meirizka sedekat apa?” tanya kuasa hukum Meirizka.

    “Mungkin dari semua anak-anak Ibu Meirizka Widjaja, mungkin saya paling dekat dengan Ibu Meirizka Widjaja karena kami ke mana-mana selalu berdua,” jawab Ronald dengan terisak.

    Kuasa hukum Meirizka menanyakan perasaan Ronald saat melihat Meirizka duduk sebagai terdakwa dalam kasus ini. Ronald mengaku hancur.

    “Ya hancur, Pak, apalagi yang bisa saya katakan,” jawab Ronald.

    Ronald mengaku menyesal. Dia mengatakan, jika saat itu tak meninggalkan rumah dan pergi bersama Dini, dia dan Meirizka tak akan menjadi terdakwa.

    Ronald lalu meminta maaf ke Meirizka.

    “Maaf ya, Ma,” jawab Ronald.

    Meirizka sendiri didakwa memberi suap agar Ronald divonis bebas dalam kasus tewasnya Dini Sera. Suap itu diberikan kepada tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang mengadili Ronald.

    Sementara Zarof Ricar didakwa menerima gratifikasi Rp 915 miliar dan 51 kg emas selama 10 tahun menjadi pejabat MA. Selain itu, Zarof didakwa terlibat menjadi makelar perkara dalam vonis bebas Ronald Tannur. Ronald sendiri telah dihukum 5 tahun penjara dalam tingkat kasasi. Dia sedang menjalani hukuman penjara.

    Klaim Sekeluarga Taat Hukum

    Foto: Ari Saputra

    Ronald Tannur mengatakan ia dan keluarganya merupakan rakyat Indonesia yang taat hukum. Ronald mengatakan perkara suap ini merupakan kasus hukum pertama yang ia hadapi.

    Ronald menyebut tak pernah menggunakan jasa Lisa Rachmat sebagai pengacara sebelumnya.

    “Apakah sebelumnya pernah menggunakan jasa dari terdakwa Lisa Rachmat?” tanya kuasa hukum Lisa.

    “Tidak pernah sama sekali Pak, saya tidak pernah tersandung apapun masalah hukum karena saya adalah rakyat Indonesia yang taat hukum,” jawab Ronald.

    “Atau mungkin dari keluarganya saksi menggunakan jasa consultant hukum atau consultant ini dari Ibu Lisa?” tanya kuasa hukum Lisa.

    “Tidak pernah sama sekali Pak, kami semua satu sekeluarga adalah masyarakat yang taat hukum dan tidak pernah dihukum sama sekali Pak,” jawab Ronald.

    Ronald mengatakan perkara suap vonis bebas terkait kasus kematian Dini Sera ini merupakan masalah hukum pertama yang dihadapi. Dia mengatakan perkara hukum ini juga kali pertama yang dihadapi keluarganya.

    “Apakah perkara ini adalah perkara yang pertama kali?” tanya kuasa hukum Lisa.

    “Betul, perkara pertama kali pada pribadi saya sendiri dan keluarga saya, ini perkara kami yang pertama kali,” jawab Ronald.

    “Yang berkaitan dengan permasalahan hukum?” tanya kuasa hukum Ronald.

    “Betul,” jawab Ronald.

    Sebut Hubungan dengan Dini Sebatas FWB

    Foto: Jaksa menghadirkan Gregorius Ronald Tannur sebagai saksi sidang kasus suap vonis bebas Ronald di Pengadilan Tipikor Jakarta. (Mulia/detikcom).

    Ronald Tannur mengatakan status hubunganya dengan almarhum Dini Sera Afrianti hanya teman dekat. Kepada hakim, Ronald mengaku tidak berpacaran dengan Dini.

    “Hubungan dengan korban Dini sera seperti apa?” tanya hakim anggota Sigit Herman Binaji.

    “Dulu adalah teman dekat dan profesional Pak, kami sempat punya hubungan tapi hubungan kami bukan pacar Pak,” jawab Ronald.

    “Kekasih atau bukan?” tanya hakim.

    “Bukan,” jawab Ronald.

    “Itu di basement ribut-ribut terus ini, itu kan, jadi bukan kekasih, temen deket gitu?” tanya hakim.

    “Teman dekat,” jawab Ronald.

    Ronald mengatakan status hubunganya dengan Dini seperti teman tapi mesra (TTM). Dia mengatakan hubunganya dengan Dini merupakan friends with benefits (FWB).

    “Maksudnya teman dekat seperti apa?” tanya hakim.

    “Saya, mungkin kalau dengan bahasa gaulnya sekarang bisa lebih TTM, FWB,” jawab Ronald.

    “TTM teman tapi mesra?” tanya hakim.

    “Iya, apa, friends with benefit, saya kurang bisa menjelaskan dengan bahasa sekarang Pak,” jawab Ronald.

    Ronald mengakui sering pergi bersama Dini. Dia menuturkan hubungan kedekatannya dengan Dini hanya berlangsung 2,5 bulan.

    Ngaku Tak Patungan

    Foto: Ari Saputra

    Ronald Tannur mengaku tak mengeluarkan duit untuk membayar jasa pengacaranya, Lisa Rachmat, senilai Rp 1 miliar. Ronald juga mengaku tak tahu transferan duit dari Meirizka ke Lisa untuk mengatur vonis.

    Mulanya, hakim anggota Purwanto S Abdullah menanyakan pendapat Ronald soal nilai duit Rp 1 miliar untuk membayar pengacara. Ronald menyebutkan nominal itu tergolong cukup besar.

    Hakim lalu menanyakan sumber uang Rp 1 miliar untuk membayar jasa Lisa tersebut. Ronald meyakini uang itu merupakan tabungan ibunya.

    “Sepertinya itu dari hasil tabungan ibu saya selama bertahun tahun bekerja, Pak,” jawab Ronald.

    Ronald mengaku bekerja dengan berjualan online, kripto, dan saham. Dia mengaku tak ikut patungan membayar Rp 1 miliar untuk jasa Lisa.

    “Saya 3 tahun belakangan sempat jualan online dan saya juga sempat sedikit bermain saham dan mata uang kripto,” ujar Ronald.

    “Dari nilai jasa itu, ada dari Saudara tidak atau dari Bu Saudara saja?” tanya hakim.

    “Tidak ada sama sekali dari saya,” jawab Ronald.

    Jaksa juga mendalami Ronald soal transferan duit dari Meirizka ke Lisa. Ronald mengaku tak tahu soal transferan tersebut.

    “Ada transferan 16 Oktober 2023 dari Saudari Meirizka ke Lisa Rachmat sebesar Rp 500 juta, saksi pernah mengetahui?” tanya jaksa.

    “Tidak pernah, Pak,” jawab Ronald.

    “Yang kedua tanggal 30 Oktober 2023 Saudara Lisa menerima transferan lagi dari Meirizka sebesar 50 ribu dolar Singapura?” tanya jaksa.

    “Tidak pernah tahu, Pak,” jawab Ronald.

    “Terkait 5 Desember 2023 Saudara Lisa Rachmat menerima transfer dari Meirizka Widjaja sebesar Rp 250 juta Saudara mengetahui?” tanya jaksa.

    “Tidak tahu,” jawab Ronald.

    Ronald mengatakan bayaran untuk jasa Lisa saat mendampinginya sebagai pengacara sebesar Rp 1 miliar. Ronald mengatakan ibunya membayar Lisa dengan cara dicicil dan masih ada utang Rp 50 juta.

    “Saya tidak pernah mengetahui transferan dari ibu saya kepada Saudara Lisa Rachmat. Tetapi ketika saya sudah divonis bebas oleh PN Surabaya di tanggal 24 atau 27 Juli 2024 silam, ibu saya pernah membicarakan bahwa masih mempunyai utang sebesar Rp 50 juta kepada Ibu Lisa Rachmat dan sudah membayar fee kepada Lisa Rachmat sebesar Rp 1 miliar dengan cara dicicil,” kata Ronald.

    Ronald juga mengaku tak tahu soal transferan duit Rp 5 miliar dari Meirizka ke Lisa. Diketahui, Meirizka didakwa menyuap hakim PN Surabaya untuk membebaskan Ronald Tannur serta menyiapkan uang untuk menyuap hakim pada tingkat kasasi agar Ronald tetap divonis bebas.

    “Kalau ini yang saya bacakan tadi kan hampir Rp 5 miliar, bukan Rp 1 miliar lagi kan. Saksi mengetahui tidak itu?” tanya jaksa.

    “Tidak mengetahui,” jawab Ronald.

    Halaman 2 dari 4

    (idn/fas)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Profil Dirdik Jampidsus Abdul Qohar, Ungkap Kasus Tom Lembong hingga Suap 3 Hakim PN Surabaya

    Profil Dirdik Jampidsus Abdul Qohar, Ungkap Kasus Tom Lembong hingga Suap 3 Hakim PN Surabaya

    loading…

    Dirdik Jampidsus Abdul Qohar kini memimpin para penyidik pidsus Kejagung dalam pengusutan berbagai kasus korupsi. Foto/Dok. SindoNews

    JAKARTA – Jaksa Abdul Qohar kini memimpin para penyidik pidana khusus (pidsus) Kejagung dalam pengusutan berbagai kasus korupsi. Saat ini posisinya sebagai direktur penyidikan pada Jampidsus atau dirdik Jampidsus.

    Selama menjadi dirdik Jampidsus, telah banyak kasus korupsi besar yang berhasil diungkap. Mulai kasus impor gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan Tom Lembong hingga suap tiga hakim PN Surabaya .

    Dalam kasus Tom Lembong, Abdul Qohar mengatakan penetapan seseorang menjadi tersangka tak harus menerima duit hasil korupsi. Karena kebijakan yang dikeluarkan eks mendag saat itu mengakibatkan terjadinya kerugian negara terkait impor gula.

    “Ya inilah (aliran dana) yang sedang kita dalami, karena untuk menetapkan sebagai tersangka ini kan tidak harus seseorang itu mendapat aliran dana,” kata Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar kepada wartawan, Kamis (31/10/2024).

    Qohar membeberkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurutnya, dalam dua pasal itu dijelaskan bahwa korupsi tidak hanya soal memperkaya diri sendiri.

    “Artinya di dalam dua pasal ini, seseorang tidak harus mendapatkan keuntungan. Ketika memenuhi unsur bahwa dia salah satunya menguntungkan orang lain atau korporasi, akibat perbuatan melawan hukum, akibat perbuatan menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya, karena jabatannya, dia bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” paparnya.

    Selain itu, Abdul Qohar bersama jajaran penyidik Jampidsus berhasil menangkap sejumlah hakim PN Surabaya, dan eks pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricard terkait kasus suap dan gratifikasi yang menjerat terpidana Ronald Tannur.

    Abdul Qohar mengatakan, ibunda Ronald Tannur yakni Meirizka terbukti telah bersekongkol dengan kuasa hukum Ronald, Lisa Rachmat, untuk menyuap para hakim PN Surabaya yang kini ketiga hakim tengah menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

    “Tersangka MW, ibu Ronald, awalnya menghubung LR (Lisa Rachmat) untuk minta yang bersangkutan bersedia menjadi kuasa hukum Ronald Tannur. Lalu LR bertemu dengan tersangka MW di kafe Excelso Surabaya untuk membicarakan peristiwa Ronald,” katanya pada Senin, 4 Desember 2024.

    Lisa menjadi tangan kanan Meirizka sebagai penyambung duit suap untuk hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Meirizka kemudian memberikan uang permulaan senilai Rp 1,5 miliar kepada Lisa. Pengacara itu lalu mengurus semua proses hukum untuk meloloskan Ronald Tannur dari hukuman penjara. Adapun uang haram ini digelontorkan secara bertahap selama proses persidangan perkara itu di PN Surabaya.

    Tak berhenti sampai di situ, pengembangan penyidikan juga menjerat mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar. Zarof ditetapkan sebagai tersangka karena perannya sebagai penghubung antara pengacara Ronald dan hakim agung untuk penanganan perkara kasasi di Mahkamah Agung.

    Abdul Qohar dilantik menjadi dirdik Jampidsus pada 29 Agustus 2024. Sebelumnya dia menjabat direktur penuntutan pada Jampidsus Kejagung. Abdul Qohar pernah menjabat sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Gorontalo pada 18 Oktober 2017. Ia juga sempat menjabat sebagai Wakajati Nusa Tenggara Barat.

    (poe)