Kasus: kasus suap

  • Kejagung Dalami Sumber Duit Suap Rp 60 M Selain Wilmar di Kasus Vonis Lepas

    Kejagung Dalami Sumber Duit Suap Rp 60 M Selain Wilmar di Kasus Vonis Lepas

    Jakarta

    Kejaksaan Agung (Kejagung) menyampaikan masih terus mendalami keterlibatan korporasi-korporasi dalam kasus suap Rp 60 miliar di balik vonis ontslag atau lepas terdakwa korporasi pada perkara korupsi minyak goreng. Saat ini baru terkuak duit pelicin itu berasal dari Head of Social Security and License Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY).

    “Jadi itulah yang saat ini sedang kami kembangkan ya,” kata Qohar dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025) malam. Qohar menjawab pertanyaan tentang apakah ada perusahaan lain selain Wilmar yang terlibat memberikan duit pelicin Rp 60 miliar itu.

    Qohar masih belum dapat menjelaskan lebih detail mengenai asal-usul suap. Dia menegaskan proses penyidikannya masih berjalan.

    “Penyidikan terus berjalan dengan waktu yang sangat cepat. Tiga hari penyidik sudah menetapkan 8 orang tersangka,” ucap dia.

    Karena itu, Qohar meminta masyarakat untuk bersabar menunggu kepastian lainnya terkait perkara itu. Dia berjanji akan menyampaikan perkembangan kasus secara terbuka.

    “Tentu pekerjaan yang sangat singkat dan tentu pekerjaan yang sangat cepat. Untuk itu saya minta para teman-teman bersabar, Setiap perkembangan pasti akan kami sampaikan,” kata Qohar.

    “Dari korporasi, sampai saat ini belum. Kan saya bilang Ini kan nanti dikembangkan terus ya. Baru tiga hari, harus sabar,” tutur Qohar.

    “Penyidik kita itu jumlahnya sangat terbatas. Yang ditangani sangat banyak. Teman-teman jurnalis minta semuanya cepat selesai. Berarti harus sabar ya, pasti akan kita sampaikan,” imbuh dia.

    Adapun kini total ada 8 tersangka dalam perkara ini. Berikut rinciannya:

    1.⁠ ⁠Muhammad Arif Nuryanto (MAN) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)
    2.⁠ ⁠Djuyamto (DJU) selaku ketua majelis hakim
    3.⁠ ⁠Agam Syarif Baharudin (ASB) selaku anggota majelis hakim
    4.⁠ ⁠Ali Muhtarom (AM) selaku anggota majelis hakim
    5.⁠ ⁠Wahyu Gunawan (WG) selaku panitera
    6.⁠ ⁠Marcella Santoso (MS) selaku pengacara
    7.⁠ ⁠Ariyanto Bakri (AR) selaku pengacara
    8. Muhammad Syafei (MSY) selaku Head of Social Security and License Wilmar Group

    Awalnya ada 3 korporasi yang sejatinya sedang diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group dalam perkara dugaan korupsi minyak goreng atau migor itu. Ketiganya memberikan kuasa pada Marcella dan Ariyanto. Secara mengejutkan, majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam, dan Ali menjatuhkan putusan ontslag atau lepas yang artinya bahwa perbuatan yang dilakukan 3 korporasi itu bukanlah tindak pidana.

    Dari pengusutan kejaksaan ditemukan adanya informasi dugaan suap di balik putusan itu. Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanto diketahui sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Waka PN Jakpus) yang memiliki wewenang menunjuk hakim yang mengadili perkara.

    Singkatnya terjadi kongkalikong antara pihak Marcella-Ariyanto dengan Muhammad Arif Nuryanto. Duit suap Rp 60 miliar mengalir ke Arif Nuryanto dan sebagian di antaranya dialirkan ke 3 majelis hakim. Sedangkan Wahyu Gunawan selaku panitera menjadi perantara suap.

    (ond/fca)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Jadi Tersangka Baru Kasus Suap Vonis Lepas CPO, Ini Peran Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei – Halaman all

    Jadi Tersangka Baru Kasus Suap Vonis Lepas CPO, Ini Peran Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei sebagai tersangka baru kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

    Usai ditetapkan sebagai tersangka, alhasil terungkap peran dari Syafei dalam kasus yang turut melibatkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Djuyamto dan kawan-kawan itu.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, Syafei diketahui berperan menyediakan uang kepada pengacara tiga korporasi CPO, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri yang telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.

    Qohar mengatakan fakta itu diperoleh bermula dari adanya pertemuan antara Arianto dengan tersangka Wahyu Gunawan yang merupakan panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

    Kata Qohar, Wahyu menyampaikan pada Arianto yang mengharuskan agar perkara minyak goreng atau CPO itu diurus.

    “Jika tidak, putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan Penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Selasa (15/4/2025).

    Masih dalam pertemuan tersebut, Wahyu lanjut Qohar juga menyampaikan pada Arianto untuk segera menyiapkan biaya kepengurusan perkara tersebut.

    Atas permintaan dari Wahyu itu, Arianto lantas menyampaikan hasil pertemuannya kepada Marcella Santoso yang kemudian ditindaklanjuti dengan bertemu Syafei.

    Qohar menjelaskan, pertemuan antara Marcella dan Syafei terjadi di rumah makan Daun Muda di Jalan Walter Mongonsidi, Jakarta Selatan.

    “MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh dari AR dimana saat itu WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya,” jelas Qohar.

    Setelah mendapat informasi dari Marcella, Syafei pun mengatakan bahwa telah dibentuk tim yang disiapkan untuk mengurus perkara tersebut.

    Selang dua pekan, Ariyanto kemudian kembali dihubungi oleh Wahyu Gunawan. Saat itu Wahyu menekankan pada Arianto agar perkara tersebut segera diurus.

    Usai memperoleh informasi itu, Arianto lantas kembali menyampaikannya kepada Marcella Santoso.

    “Kemudian MS kembali bertemu lagi dengan MSY di tempat makan Daun Muda, di tempat yang sama dengan pertemuan tadi,” ucapnya.

    “Dan saat itu MSY memberitahukan atau mengatakan bahwa biaya yang disediakan korporasi sebesar Rp 20 miliar,” katanya.

    Berdasarkan hasil pertemuan dengan Syafei, Marcella kemudian menggelar pertemuan dengan Arianto, Wahyu dan tersangka sekaligus mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta di Rumah Makan Layer Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.

    Dalam pertemuan itu Arif Nuryanta mengultimatum Marcella dan Arianto bahwa perkara minyak goreng tersebut tidak bisa diputus bebas.

    “Tetapi bisa diputus Onslag dan yang bersangkutan dalam hal ini MAN atau Muhammad Arif Nuryanta meminta agar uang Rp 20 miliar dikalikan jadi tiga sehingga jumlah totalnya Rp 60 miliar,” ujar Qohar.

    Setelah pertemuan tersebut, Wahyu Gunawan menyampaikan lagi kepada Arianto untuk segera menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar seperti yang diminta Arif.

    Arianto kemudian menyampaikan kepada Marcella dan lalu dilanjutkan lagi kepada Syafei.Saat Marcella menghubungi Syafei, pegawai Wilmar Group itu pun menyanggupi dan akan menyiapkan uang tersebut dalam bentuk dollar Amerika Serikat (USD) atau Dollar Singapura (SGD).

    Syafei kemudian menghubungi Marcella dan menyatakan bahwa uang suap tersebut telah siap untuk diantar.

    “Selanjutnya MS memberikan nomor Hp AR ke MSY untuk pelaksanaan penyerahan. Setelah ada komunikasi antara AR dan MSY, kemudian AR bertemu dengan MSY diperkirakan SCBD dan selanjutnya MSY menyerahkan uang tersebut kepada AR,” jelasnya.

    KASUS SUAP – Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025). Ia menyampaikan pihaknya kembali menetapkan satu orang tersangka baru dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. (Tangkap layar kanal YouTube KEJAKSAAN RI)

    Usai menerima uang dari Syafei, Arianto langsung mengantarkannya ke rumah Wahyu Gunawan di Cluster Ebonny Jalan Eboni 6 Blok AE, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

    Setelah menerima uang, Wahyu lantas menyerahkannya kepada Arif Nuryanta dan ia mendapat jatah sebesar 50.000 USD atau setara Rp 800 juta (kurs rupiah saat ini).

    “Kemudian berdasarkan keterangan saksi dan dokumen baik yang diperoleh hari ini maupun dua hari lalu, penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY dimana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group,” jelas Qohar.

    Untuk informasi, Kejaksaan Agung sebelumnya telah menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. 

    Ketujuh orang itu yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat. 

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin. 

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. 

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut.

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut. 

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya. 

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan. 

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya. 

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs. 

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

  • Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap awal mula kasus suap vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi CPO yang menyeret hakim pengadilan terjadi.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu sebagai Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat bertemu dengan pengacara terdakwa yang kini juga tersangka kasus suap, yakni Ariyanto.

    Dalam pertemuan itu, Wahyu mengancam putusan perkara ini bisa dihukum maksimal, bahkan lebih jika tidak memberikan uang.

    “Di mana pada saat itu Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng harus diurus jika tidak putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    “Dalam pertemuan tersebut Wahyu Gunawan juga menyampaikan agar Ariyanto yang dalam hal ini selaku penasihat korporasi untuk menyiapkan biaya pengurusannya,” sambungnya.

    Atas permintaan itu, Ariyanto pun menghubungi rekannya, Marcella Santoso. Selanjurnya, Marcella bertemu Muhammad Syafei atau MSY yang merupakan tim Legal PT Wilmar Group sebagai terdakwa korporasi.

    Pertemuan itu dilakukan di sebuah rumah makan, yakni Daun Muda Soulfood by Peresthu – Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan untuk membahas permintaan tersebut. Namun, Syafei berdalih sudah ada yang mengurus.

    “Sekitar 2 minggu kemudian, AR dihubungi oleh WG. Pada saat itu WG menyampaikan kembali agar perkara ini segera diurus. Setelah mendapat info tersebut kemudian AR menyampaikan kembali kepada MS. Kemudian MS kembali bertemu lagi dengan MSY di tempat makan Daun Muda, di tempat yang sama dengan pertemuan tadi,” tuturnya.

    Awalnya, Syafei menyebut perusahaan hanya menyanggupi membayar Rp20 miliar.

    Setelahnya, Ariyanto bertemu dengan Wahyu dan Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.

    “Dalam pertemuan tersebut Muhammad Arif Nuryanta mengatakan bahwa perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas. Ini sebagai permintaan yang pertama tadi kepada WG dan ini jawabannya,” tuturnya.

    “Tetapi bisa diputus onslag dan ybs dalam hal ini MAN atau Muhammad Arif Nuryantah meminta agar uang Rp20 miliar itu dikali 3 sehingga jumlahnya total Rp60 miliar,” imbuhnya.

    Singkat cerita, Syafei menyanggupi permintaan Rp60 miliar tersebut dan uangnya akan diserahkan ke Wahyu di rumahnya di Cluster Eboni Jalan Eboni 6 Blok AE, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

    Setelahnya, uang itu diserahkan kepada Arif dan Wahyu mendapat komisi perantara sebesar 50.000 USD.

    Dalam kasus ini, Syafei pun ditetapkan sebagai tersangka. Dia pun menjadi tersangka ke-8 dalam perkara ini.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO.

    Ketujuh orang itu, yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat.

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari.

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut.

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut.

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya.

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan.

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya.

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs.

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

     

  • Bertambah 1 Lagi, Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi CPO Jadi 8 Orang

    Bertambah 1 Lagi, Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi CPO Jadi 8 Orang

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan satu tersangka baru dalam kasus suap terkait vonis lepas korporasi terdakwa korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO. Total tersangka saat ini sudah delapan orang.

    Sosok tersangka baru yang diumumkan Kejagung malam ini, adalah Muhammad Syafei (MSY) yang merupakan social security legal Wilmar Group.

    “Berdasarkan keterangan saksi dan dokumen, penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Qohar mengatakan MSY langsung ditahan di Rumah Tahanan Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan terhitung hari ini untuk kebutuhan penyidikan.

    Dalam perkara ini, MSY berperan sebagai pihak yang menyiapkan dana sebesar Rp 60 miliar untuk menyuap hakim agar memvonis bebas terdakwa kasus korupsi ekspor CPO.

    Ada tiga perusahaan yang terlibat dalam kasus korupsi ekspor CPO, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Ketiga perusahaan itu divonis lepas oleh majelis hakim pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.

    Belakangan terungkap hakim yang memvonis lepas ketiga terdakwa korporasi yang terlibat korupsi CPO itu diduga menerima suap Rp 60 miliar.

    Kejagung sejauh ini sudah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor CPO. Selain Muhammad Syafei, tujuh 

    tersangka lain, adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan  Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara Wahyu Gunawan, kuasa hukum korporasi Marcella Santoso, dan Ariyanto Bakri. 

    Kemudian tiga tersangka lagi merupakan majelis hakim yang memvonis lepas tiga terdakwa korporasi yang melakukan korupsi dalam ekspor CPO, yakni Djuyamto (ketua majelis hakim), Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom.

  • Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    BREAKING NEWS: Kejagung Tambah 1 Tersangka Suap Vonis Lepas Kasus Korupsi CPO – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan satu orang tersangka baru dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO.

    Penetapan tersangka ini dilakukan setelah penyidik Jampidsus Kejagung menemukan alat bukti yang cukup

    Adapun tersangka baru ini, yakni Head and Social Security Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY).

    “Sehingga malam ini, menetapkan 1 orang tersangka atas nama MSY di mana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Adapun pasal yang disangkakan kepada yang bersangkutan yaitu melanggar Pasal 6 Ayat 1 huruf a, juncto Pasal 5 Ayat 1, juncto Pasal 13, juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat 1 di Tap UU Hukum Pidana.

    “Terhadap tersangka dilakukan penahanan 20 hari ke depan, terhitung mulai hari ini di rutan Salemba Cabang Kejagung RI,” ucapnya.

    Untuk informasi, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. 

    Ketujuh orang itu yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat. 

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin. 

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. 

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut. 

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut. 

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya. 

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan. 

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya. 

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs. 

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

  • Mercy hingga Brompton Disita dari Penggeledahan Kasus Suap Vonis Lepas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Mercy hingga Brompton Disita dari Penggeledahan Kasus Suap Vonis Lepas Nasional 15 April 2025

    Mercy hingga Brompton Disita dari Penggeledahan Kasus Suap Vonis Lepas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ) menggeledah sejumlah tempat terkait
    kasus suap hakim
    Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam
    kasus ekspor CPO
    minyak goreng. Dari penggeledahan, Kejagung menyita mobil mewah hingga sepeda Brompton.
    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan hasil penggeledahan ini dalam jumpa pers di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025) malam.
    “Tim penyidik jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus RI telah melakukan penggeledahan pada 3 tempat di 2 provinsi,” kata Abdul Qohar.
    Dia menjelaskan, timnya telah menemukan sejumlah barang bukti dari penggeledahan di 3 tempat-2 provinsi itu. Barang itu berupa dokumen hingga kendaraan.
    “Tim menemukan barang bukti berupa dokumen, kemudian telah melakukan penyitaan untuk 2 unit mobil Mercedes Benz, 1 mobil merek Honda CRV, dan 4 sepeda Bromptom,” kata Abdul Qohar.
    Sebagaimana diberitakan sebelumnya, ada empat hakim yang menjadi tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO untuk tiga perusahaan. Mereka adalah:
    1. Muhammad Arif Nuryanta (MAN)

    2. Agam Syarif Baharuddin (ASB)

    3. Ali Muhtarom (AM)

    4. Djuyamto (DJU)
    Kejagung menduga ketiga tersangka itu menerima suap dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu
    ontslag
    atau putusan lepas.
    Abdul Qohar menjelaskan, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto pertama kali menerima suap dari Arif sebesar Rp 4,5 miliar yang dibagi rata untuk ketiganya.
    Selanjutnya uang suap tahap kedua diberikan Arif kepada hakim Djuyamto. Uang suap diberikan dalam mata uang dolar Amerika Serikat senilai Rp 18 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pak Lurah di Sleman Jadi Tersangka Setelah Sewakan Tanah Kelurahan Jadi Tempat Dugem

    Pak Lurah di Sleman Jadi Tersangka Setelah Sewakan Tanah Kelurahan Jadi Tempat Dugem

    TRIBUNJATENG.COM – Seorang lurah di Sleman Yogyakarta ditahan dan jadi tersangka setelah menyewakan tanah kelurahan menjadi tempat dugem.

    Dia menjadi tersangka dugaan kasus korupsi suap oleh seorang pengusaha.

    Kejaksaan Negeri Sleman menetapkan tersangka dan melakukan penahanan terhadap satu orang lurah dan satu orang pengusaha. 

    Keduanya ditetapkan tersangka dan ditahan dalam kasus dugaan suap pemanfaatan tanah kas desa (TKD) di Padukuhan Kronggahan, Trihanggo, Gamping, Sleman.  

    Diketahaui, tanah kas desa tersebut disewa dan hendak dijadikan tempat hiburan malam.

    Pada September 2024, Warga Dusun Kronggahan, Trihanggo, Gamping, Kabupaten Sleman, menolak pembangunan kelab malam di wilayahnya.

    “Tadi memang ada kegiatan penetapan tersangka dan penahanan,” ujar Kasi Pidsus Kejari Sleman, Indra Saragih saat dihubungi, Selasa (15/04/2025).

    Indra mengatakan, Lurah Trihanggo, berinisial PFY dan pengusaha berinisial ASA ditetapkan tersangka dan ditahan.

    Lurah Trihanggo inisial PFY ditahan di Rutan Yogyakarta.

    Sedangkan inisial ASA ditahan di Lapas Cebongan, Sleman.

    “Pemanfaatan tanah kas desa, jadi ada suap di situ. Kasus suap, penyidikan kami sejak bulan November,” ucapnya.

    Indra Saragih menyampaikan, modus yang digunakan yakni dari pihak pengusaha menyerahkan sejumlah uang kepada lurah.

    Uang yang diserahkan tersebut sebagai uang sewa tanah kas desa (TKD).

    “Uang yang diserahkan dari pihak swasta itu totalnya Rp 316 juta, cuma modusnya dianggap itu sebagian sebagai uang sewa.”

    “Padahal untuk sewa tanah kas desa harus izin gubernur, permohonan izin baru bisa dialih fungsikan,” tuturnya.

    Tanah kas desa tersebut rencananya akan dimanfaatkan sebagai tempat hiburan malam.

    Tanah kas desa ini ada di Padukuhan Kronggahan 1, Kalurahan Trihanggo, Kapanewon Gamping, Kabupaten Gamping.

    “Pemanfaatan tanah kas desa harus ada sewa, sewa antara pihak yang memanfaatkan dengan pihak kalurahan.”

    “Tapi sewa itu baru bisa sepanjang ada izin gubernur. Kalau nggak ada izin gubernur, mana bisa sewa,” tuturnya.

    Selain itu besaran uang sewa tanah kas desa tersebut tidak melalui mekanisme yang ada.

    Perhitungan uang sewa hanya berdasarkan perhitungan sendiri.

    “Dia menggunakan dasar perhitungan biaya sewa itu hanya berdasarkan perhitungan sendiri, tanpa perhitungan dari ahli.”

    “Jadi harus ada penilaian terhadap luas tanah kalau mau disewa per meter berapa, itu dijadikan dasar untuk membuat perjanjian sewa. Itu tidak dilalui, itu tidak ada,” ungkapnya.

    Tersangka PFY dIsangkakan Pasal 5 ayat (2) huruf a atau Pasal 5 ayat (2) huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan PIdana Korupsi.

    Sedangkan ASA sangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun Tahun 1999 tentang Pemberantasan PIdana Korupsi.

    Setelah ini Kejari Sleman akan kembali meminta keterangan keduanya sebagai tersangka. Setelah itu berkas akan dikirimkan ke Penuntut Umum.

    “Setelah ini dilakukan pemberkasan penyidikan, nanti akan dimintai keterangan sebagai tersangka, baru kemudian berkas dikirim ke penuntut umum,” pungkasnya. (*)

  • Kejagung Telusuri Aliran Dana Rp 60 Miliar dalam Kasus Suap Ekspor CPO

    Kejagung Telusuri Aliran Dana Rp 60 Miliar dalam Kasus Suap Ekspor CPO

    Jakarta, Beritasatu.com — Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menelusuri dugaan aliran dana sebesar Rp 60 miliar dari pengacara Ariyanto Bakri (AR) dalam kasus suap terkait putusan perkara ekspor crude palm oil (CPO). Kasus suap ekspor CPO ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk aparat peradilan.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa pihaknya masih menyelidiki secara mendalam untuk memastikan asal dana tersebut.

    “Apakah dana itu murni berasal dari AR atau ada pihak lain yang terlibat, itu yang sedang didalami oleh penyidik,” ujar Harli kepada wartawan, Selasa (15/4/2025).

    Menurut keterangan sementara, uang tersebut diduga berasal dari Ariyanto Bakri dan diserahkan oleh Wahyu Gunawan (WG) kepada pihak-pihak lain, termasuk Djumyanto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom.

    “WG menyatakan telah menyerahkan Rp 60 miliar kepada MAN karena menerima dana dari AR. Bahkan informasinya awalnya hanya Rp 20 miliar, tetapi MAN menyebutkannya menjadi tiga kali lipat,” kata Harli terkait kasus suap ekspor CPO ini.

    Harli menambahkan, para tersangka akan terus diperiksa guna mendalami lebih lanjut aliran dana yang mencurigakan tersebut. Kejagung juga membuka kemungkinan untuk memanggil saksi-saksi baru.

    “Keterangan dari para tersangka sangat penting untuk memastikan ke mana saja uang tersebut mengalir,” lanjutnya.

    Dalam kasus ekspor CPO ini, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, yaitu Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Marcella Santoso (MS), Ariyanto Bakri (AR) pengacara, Wahyu Gunawan (WG), panitera muda PN Jakarta Utara, Djumyanto (hakim), Agam Syarif Baharudin (hakim), dan Ali Muhtarom (hakim).

    Kasus suap ekspor CPO ini menjadi sorotan publik karena menyoroti dugaan korupsi di sektor peradilan dan tata niaga ekspor sawit yang menjadi salah satu komoditas utama Indonesia.

  • Hakim Disuap dalam Kasus CPO, Peran Pengawasan KY Dipertanyakan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Hakim Disuap dalam Kasus CPO, Peran Pengawasan KY Dipertanyakan Nasional 15 April 2025

    Hakim Disuap dalam Kasus CPO, Peran Pengawasan KY Dipertanyakan
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota
    Komisi III
    DPR Hinca Panjaitan mengatakan, empat hakim yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (
    CPO
    ) menandakan banyaknya hakim yang mempunyai naluri berdagang.
    Ia melihat, banyak hakim saat ini yang melihat keadilan dapat menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.
    “Pada realitasnya banyak hakim yang berkompromi dengan naluri dagang. Akhirnya, keadilan jadi komoditas, seolah bisa dijual dan dibeli. Menurut saya, suap terjadi karena pelaku melihat manfaat ekonomi yang melebihi risiko,” ujar Hinca lewat keterangan tertulisnya, Selasa (15/4/2025).
    Hinca mengatakan, suap terhadap hakim dapat disebabkan dua hal, yakni kekosongan moralitas atau longgarnya pengawasan
    Secara khusus, Hinca menyoroti pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial (KY) di lingkungan peradilan yang ia beri nilai nol besar.
    “Sudah saatnya kita mengevaluasi kelembagaan Komisi Yudisial, atau pahitnya kita bubarkan saja. Kalau Komisi Yudisial tak mampu memantau hakim, buat apa dipertahankan? Lebih jujur rasanya kita mengakui bahwa mereka gagal,” ujar Hinca.
    Di samping itu, ia juga menanggapi wacana dinaikkannya gaji hakim untuk mencegah terjadinya praktik suap.
    Menurutnya, praktik suap tetap dapat terjadi di lingkungan peradilan dengan caranya tersendiri.
    “Maka godaan suap akan tetap menemukan jalannya. Kita bisa menambah angka pendapatan setinggi langit, tetapi bila peluang lolos dari hukuman lebih menggoda, akhirnya transaksi hitam menjadi pilihan rasional,” ujar politikus Partai Demokrat itu.
    Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO untuk tiga perusahaan besar pada Minggu (13/4/2025) malam.
    Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat. Lalu hakim PN Jakarta Selatan,
    Djuyamto
    (DJU).
    Kejagung menduga ketiga tersangka menerima suap dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
    Muhammad Arif Nuryanta
    (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu onslag atau putusan lepas.
    Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menjelaskan, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto pertama kali menerima suap dari Arif sebesar Rp 4,5 miliar yang dibagi rata untuk ketiganya.
    Suap senilai Rp 4,5 miliar diberikan Arif dengan pesan agar perkara ekspor CPO diatasi.
    “Uang bila dirupiahkan Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB dimasukkan ke dalam goodie bag. Kemudian setelah keluar dari ruangan uang tadi dibagi kepada tiga orang, yaitu masing-masing ASB sendiri, kepada AM, dan juga kepada DJU,” ujar Qohar dalam konferensi persnya, Senin (14/4/2025) dini hari.
    Selanjutnya uang suap tahap kedua diberikan Arif kepada hakim Djuyamto. Uang suap diberikan dalam mata uang dolar Amerika Serikat senilai Rp 18 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4 Hakim Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Korupsi CPO, Ini Sosoknya!

    4 Hakim Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Korupsi CPO, Ini Sosoknya!

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan empat orang hakim sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait vonis lepas dalam perkara korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng yang disidangkan di pengadilan negeri Jakarta Pusat.

    Selain para hakim, kasus ini juga menyeret tiga perusahaan besar yang diduga terlibat dalam praktik korupsi tersebut, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Berikut profil keempat hakim yang menjadi tersangka:

    Hakim Tersangka Kasus Korupsi CPO

    1. Muhammad Arif Nuryanta

    Muhammad Arif Nuryanta merupakan aparatur sipil negara di lingkungan Mahkamah Agung dengan pangkat pembina utama muda golongan IV/C. Berdasarkan informasi dari situs resmi pengadilan negeri Jakarta Selatan, Arif saat ini menjabat sebagai ketua pengadilan negeri Jakarta Selatan sejak dilantik pada 6 November 2024.

    Arif dikenal memiliki perjalanan karier yang panjang di dunia peradilan. Ia pernah dipercaya sebagai ketua PN Bangkinang pada 2016, lalu melanjutkan kiprahnya sebagai hakim di PN Banjarbaru, ketua PN Tebing Tinggi.

    Selain itu, ia juga pernah menjabat ketua PN Purwokerto, hakim PN Jakarta Selatan, ketua PN Pekanbaru, hingga menjabat sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat sebelum akhirnya menjadi ketua PN Jakarta Selatan.

    2. Djuyamto

    Djuyamto saat ini bertugas sebagai hakim tingkat pertama di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Ia lahir di Sukoharjo pada 18 Desember 1967 dan merupakan lulusan ilmu hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo tahun 1992.

    Gelar magister diperolehnya pada 2020, dan pada tahun-tahun berikutnya ia meraih gelar doktor dari fakultas hukum di kampus yang sama.

    Djuyamto mengawali kariernya sebagai hakim di PN Tanjungpandan tahun 2002. Ia juga pernah bertugas di PN Temanggung dan pengadilan negeri Karawang.

    Tahun 2013, ia menjabat sebagai hakim yustisial dan panitera pengganti di Mahkamah Agung. Kariernya berlanjut sebagai ketua PN Dompu di NTB, lalu pindah ke Pengadilan Tinggi Bandung, dan sejak 2019 menjadi hakim di PN Jakarta.

    3. Agam Syarief Baharuddin

    Agam merupakan salah satu hakim dalam perkara korupsi minyak goreng di PN Jakarta Pusat. Lulusan sarjana hukum dari Universitas Syiah Kuala ini meraih gelar magister hukum dari Universitas Sebelas Maret pada 2009.

    Ia memulai karier sebagai hakim di PN Sukoharjo pada 2009. Pada 2017, Agam diangkat menjadi ketua PN Demak dan menjabat selama lima tahun. Pada 2021, ia dimutasi ke PN Jakarta Timur sebagai hakim.

    4. Ali Muhtarom

    Ali Muhtarom adalah hakim ad hoc tindak pidana korupsi di PN Jakarta Pusat. Ia lahir pada 35 Agustus 1972 dan memulai kariernya sebagai hakim adhoc di PN Kupang pada 2017. Pada 2020, ia dipindahkan ke PN Jakarta Pusat dan bertugas hingga saat ini.

    Namanya menjadi sorotan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap vonis lepas terkait perkara korupsi minyak goreng yang tengah bergulir.

    Jerat Hukum

    Ali Muhtarom, Agam Syarief Baharuddin, dan Djuyamto dijerat dengan Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf b, juncto Pasal 6 ayat (2), juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sementara itu, kasus korupsi Arif Nuryanta dijerat dengan pasal yang lebih kompleks, yakni Pasal 12 huruf c, juncto Pasal 12 huruf b, juncto Pasal 6 ayat 2, juncto Pasal 12 huruf a, juncto Pasal 5 ayat 2, juncto Pasal 11, juncto Pasal 18 UU Tipikor, dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.