Kasus: kasus suap

  • KPK Jadwal Ulang Pemanggilan Kasi Pidsus Kejari Kolaka Yayan Alfian terkait Suap RSUD Koltim

    KPK Jadwal Ulang Pemanggilan Kasi Pidsus Kejari Kolaka Yayan Alfian terkait Suap RSUD Koltim

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menjadwal ulang pemanggilan Yayan Alfian selaku Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Kolaka terkait dugaan suap pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kolaka Timur (Koltim).

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan penjadwalan ulang dilakukan karena Yayan tak hadir. Pemeriksaannya perlu dikoordinasikan kepada pihak Kejaksaan Agung (Kejagung).

    “Masih dikoordinasikan kembali nanti akan dijadwalkan ulang,” kata Budi saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Sabtu, 20 September.

    Sementara pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan Yayan dimintai keterangan karena diduga mengetahui dugaan suap pembangunan RSUD Kolaka Timur. Dia dipanggil pada Kamis, 18 September.

    “Ya, tentunya yang bersangkutan (dipanggil karena, red) ada kaitannya dengan perkara yang sedang kita tangani,” kata Asep kepada wartawan yang dikutip Jumat, 19 September.

    Asep belum memerinci kaitan antara kasus suap itu dengan Yayan. Dia hanya memastikan sosok ini mengetahui praktik lancung yang sedang diusut.

    Adpun Yayan sudah pernah dimintai keterangan pada 28 Agustus tapi tak dijelaskan soal hadir atau tidaknya oleh KPK.

    Pemeriksaan Yayan ketika itu dijadwalkan di Ditreskrimum Polda Sultra. Dia diperiksa bersama sejumlah saksi lain, salah satunya Ageng Adrianto yang merupakan pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Koltim.

    “Jadi aparat penegak hukum itu, apakah aparat penegak hukum itu kemudian melakukan pengawasan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang sedang dilakukan atau juga ada kaitannya kemungkinan dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan. Jadi kan ada pekerjaannya, untuk mendapatkan pekerjaan itu kan ada proses-prosesnya pasti ada kaitannya,” ungkap Asep.

    “Karena tidak mungkin kami memanggil seseorang untuk diminta keterangan sebagai saksi apabila tidak ada kaitannya dengan perkara,” sambung dia.

    Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis sebagai tersangka dugaan suap pembangunan rumah sakit umum daerah (RSUD) bersama empat orang lainnya. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis, 7 Agustus 2025.

    Abdul Azis diduga meminta fee proyek sebesar 8 persen atau Rp9 miliar dari pembangunan RSUD Kolaka Timur yang nilainya mencapai Rp126,3 miliar.

    Kemudian ditetapkan juga empat tersangka, yakni PIC Kementerian Kesehatan untuk Pembangunan RSUD Andi Lukman Hakim, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Pembangunan RSUD Kolaka Timur Ageng Dermanto, perwakilan dari PT Pilar Cerdas Putra (PCP) Deddy Karnady, dan KSO PT PCP Arif Rahman.

    Deddy Karnady dan Arif Rahman sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.

    Sementara Abdul Azis, Ageng Dermanto, dan Andi Lukman sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

  • Cerita Istri Siri Hakim Kasus CPO Temukan Uang Valas Setara Rp 2 M Usai Geledah Apartemen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 September 2025

    Cerita Istri Siri Hakim Kasus CPO Temukan Uang Valas Setara Rp 2 M Usai Geledah Apartemen Nasional 17 September 2025

    Cerita Istri Siri Hakim Kasus CPO Temukan Uang Valas Setara Rp 2 M Usai Geledah Apartemen
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Istri siri dari hakim nonaktif Agam Syarif Baharudin, Imma Selviana, mengaku pernah menemukan uang tunai dalam mata uang asing saat menggeledah apartemen Agam.
    Hal ini disampaikan Imma saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi
    crude palm oil
    (CPO).
    “Kalau saya geledah apartemen (milik Agam) itu kira-kira seminggu setelah tanggal 7 Desember 2024,” ujar Imma, saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (17/9/2025).
    Imma mengatakan, pada saat itu, ia dan Agam dalam proses cerai.
    Ia hendak mengantarkan pakaian Agam ke apartemennya.
    Namun, karena terbawa emosi, Imma akhirnya menggeledah isi apartemen itu.
    “Dapat uang (valas) itu? Berapa jumlahnya?” tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU).
    Imma mengatakan, uang yang ditemukannya dalam bentuk pecahan 100 Dollar Amerika Serikat.
    Jumlahnya baru ia ketahui saat menukar uang di
    money changer
    .
    Penukaran ini terjadi pada bulan Februari 2025 dan berjumlah kurang lebih Rp 2 miliar.
    Di hadapan majelis hakim, Imma mengaku merupakan istri kedua Agam.
    Mereka menikah secara siri pada tahun 2023.
    Imma mengaku, keberadaannya disembunyikan Agam dari istri pertamanya.
    Selama menikah, Imma mengaku diberikan uang nafkah Rp 5 juta per bulan oleh Agam.
    Namun, sekitar tiga bulan sekali, Imma juga mengaku mendapatkan uang Dollar Amerika Serikat dari Agam.
    “Ada pemberian uang dollar Amerika Serikat bisa 2-3 kali sebulan, bisa 50-70 lembar, kalau kita konversi, per lembar 100 Dollar Amerika Serikat, kurs Rp 16.000, ini Rp 110 juta, ini BAP saudara?” tanya jaksa.
    Imma mengatakan, BAP yang dibacakan jaksa ada sedikit kesalahan.
    Uang valuta asing ini diterimanya tiga bulan sekali, bukan sebulan tiga kali.
    Jaksa pun membacakan BAP Imma yang lain, masih soal penerimaan uang valuta asing.
    “BAP lain, ada keterangan, pada bulan Oktober atau November 2024, saya pernah diberikan uang dollar sebanyak 200 lembar pecahan 100 USD. Kemudian saya tukarkan ke
    money changer
    , seluruhnya berjumlah Rp 300 juta?” tanya jaksa.
    Imma membenarkan ia pernah menerima uang yang disebutkan jaksa.
    “Ibu enggak pernah tanya ini uang apa? Pak Agam kan hakim, gaji rupiah?” tanya jaksa.
    Imma mengaku tidak pernah menanyakan pemberian Agam.
    Ia mengatakan, selama menikah, justru Agam yang lebih dahulu menjelaskan asal uang tersebut.
    “Setiap dikasih uang, saya tidak pernah bertanya uang apa dan dari mana. Tapi, beliau ketika memberikan uang, beliau yang selalu bilang duluan. ‘Abi ada rezeki’, paling bilang ‘Ada kawan bantu kerjaan’,” ujar Imma.
    Imma mengatakan, uang yang diberikan Agam selama ini dimasukkan ke reksa dana.
    Saat hendak diperiksa penyidik, dana yang sudah terkumpul hingga Rp 3,3 miliar ini sempat dijual sebagian.
    Ia mengaku, sempat panik dan tiba-tiba menjual reksa dana ini dengan total nilai Rp 1 miliar.
    Imma mengatakan, uang reksa dana yang dijualnya itu merupakan hasil jerih payahnya berusaha, bukan dari pemberian Agam.
    Namun, uang hasil usahanya dan pemberian Agam masuk dalam rekening yang sama.
    Dana senilai Rp 2,3 miliar ini juga sudah dibekukan oleh Kejaksaan Agung sejak Agam ditetapkan sebagai salah satu tersangka kasus suap.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jaksa Cecar Saksi Kasus Suap Vonis Lepas Migor: Anda Pernah Buang HP?

    Jaksa Cecar Saksi Kasus Suap Vonis Lepas Migor: Anda Pernah Buang HP?

    Jakarta

    Jaksa menghadirkan M Syafei sebagai saksi kasus dugaan suap hakim untuk vonis lepas perkara dugaan korupsi ekspor minyak goreng (migor). Syafei sempat dicecar apakah pernah membuang handphone (HP)-nya.

    Syafei disebut menjabat Head Social Security and License Wilmar Group saat kasus ini terjadi. Syafei juga telah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan suap vonis lepas migor dengan terdakwa korporasi.

    “Apakah di periode itu saudara pernah membuang alat komunikasi Saudara berupa HP?” tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (17/9/2025).

    “Waktu itu kita jalan pak, jatuh, ya udah,” jawab Syafei.

    “Udah nggak diambil?” tanya jaksa.

    “Ternyata balik, dapat lagi, saya serahkan sama penyidik Pak,” jawab Syafei.

    Terdakwa dalam sidang ini ialah mantan Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta; mantan Panitera Muda Perdata PN Jakut, Wahyu Gunawan; hakim pengadil perkara korupsi migor, Djuyamt, Agam Syarief Baharudin, dan hakim Ali Muhtarom.

    Jaksa lalu mencecar Syafei alasan mengganti nomor handphone saat perkara ini diusut. Syafei mengaku saat itu mengganti nomor karena banyak menghubungi.

    “Ya karena banyak Pak, banyak orang hubungi, masalah-masalah kebun, masyarakat ini, jadi saya ganti aja Pak,” jawab Syafei.

    “Tidak ada informasi penting di nomor lama?” tanya jaksa.

    “Tidak ada Pak,” jawab Syafei.

    Jaksa kemudian mencecar alasan Syafei menitipkan HP ke rekan kerjanya bernama Tara. Jaksa mempertanyakan mengapa Syafei tak menyerahkan langsung HP ke penyidik saat digeledah.

    “Waktu itu saya bilang, ‘Tolong bu pegang, saya mau naik’,” jawab Syafei.

    “Betul, kenapa saksi serahkan? Kenapa tidak saksi serahkan kepada penyidik langsung?” cecar jaksa.

    “Waktu ditanya saya bilang ada sama bu Tara, langsung Pak karena saya waktu itu langsung dibawa gitu Pak,” jawab Syafei.

    “Iya, alasan saksi apa?” tanya jaksa.

    “Nggak ada, kami biasa Pak, titip barang di bawah, titip ini, biasa,” jawab Syafei.

    Syafei membantah menitipkan HP karena dalam keadaan bingung saat digeledah penyidik. Dia mengaku langsung memberitahu penyidik jika HP itu dititipkan ke Tara.

    “Apakah waktu saksi menitipkan saksi dalam keadaan bingung dan galau?” tanya jaksa.

    “Nggak Pak, nggak,” jawab Syafei.

    Sebagai informasi, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi migor diketuai hakim Djuyamto dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, Ali menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.

    Total suap yang diterima diduga sebesar Rp 40 miliar. Uang suap itu diduga diberikan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut.

    Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.

    Dalam surat dakwaan jaksa, dari total suap Rp 40 miliar, Arif didakwa menerima bagian Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.

    Halaman 2 dari 3

    (mib/haf)

  • KPK Panggil Wasekjen PDIP, Saksi Kasus Suap Proyek Kereta Api di DJKA Jatim

    KPK Panggil Wasekjen PDIP, Saksi Kasus Suap Proyek Kereta Api di DJKA Jatim

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Yoseph Aryo Adhi Dharmo, Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP Perjuangan.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan Yosep diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalur kereta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) wilayah Jawa Timur.

    “Hari ini KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi dugaan tindak pidana korupsi (TPK) terkait pembangunan jalur kereta api di lingkungan DJKA Wilayah Jawa Timur,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (15/9/2025).

    Selain Yoseph, KPK juga memanggil dua saksi lainnya yakni Linawati Staf di Koordinator Pengadaan Transportasi darat dan Kereta Api Kementerian Perhubungan, dan Zulfikar Tantowi Kepala Bagian Pengadaan Barang Dan Jasa pada Biro LPPBMN.

    Budi belum dapat merincikan materi pemeriksaan kepada para saksi.

    Dalam perkara ini, KPK menemukan adanya rekayasa menentukan perusahaan untuk memenangkan tender guna menggarap proyek pembangunan kereta api. 

    Adapun beberapa penyelenggara yang diduga terlibat kasus ini yaitu DJKA dan Kemenhub yang menerima suap dari pengusaha. KPK memperkirakan komitmen fee yang diberikan sekitar 5% sampai 10% dari nilai proyek.

    Diketahui, kasus tersebut naik kepermukaan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 11 April 2023 di Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Wilayah Jawa Bagian Tengah DJKA Kemenhub.

    KPK telah menjerat 10 orang tersangka yang langsung ditahan terkait dengan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan dan pemeliharaan jalur rel kereta api di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. 

  • Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 September 2025

    Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO Nasional 11 September 2025

    Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pengacara sekaligus tersangka kasus suap hakim, Marcella Santoso, membantah uang puluhan miliar yang tersimpan di brankas di rumahnya merupakan uang yang berkaitan dengan perkara
    crude palm oil
    (CPO) atau kasus minyak goreng (migor).
    Hal ini disampaikan Marcella saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi CPO.
    Dalam sidang, jaksa memperlihatkan sebuah foto tumpukan uang di dalam brankas.
    “Saya akan tunjukkan gambar-gambar terkait uang-uang yang disimpan dalam bentuk USD dalam brankas yang nilainya bisa puluhan miliar. Pertanyaannya, uang apa ini? Dan dari mana asal uang ini, dan untuk kebutuhan apa?” tanya salah satu jaksa saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
    Marcella mengatakan, uang yang ditunjukkan dalam foto adalah uang kas perusahaannya.
    Ia mengaku, perusahaannya selalu punya uang kas dalam bentuk mata uang asing.
    “Itu uang saya, Pak. Saya selalu punya kas dalam bentuk USD,” jawab Marcella.
    Ia pun merujuk pada berita acara pemeriksaan (BAP).
    Marcella menyebutkan, uang-uang itu berasal dari
    success fee
    dari beberapa perkara.
    Salah satu yang paling besar nilainya mencapai Rp 50 miliar.
    “Saya sudah sampaikan di BAP, salah satu dari sumber yang paling besar itu adalah
    success fee
    dari klien saya, nilainya sekitar lebih dari Rp 50 miliar,” jelas Marcella.
    Marcella menjelaskan, uang
    success fee
    ini terkadang ditarik oleh suaminya, Ariyanto, yang juga pengacara di law firm yang sama.
    “(Uang di foto brankas) ini
    success fee
    termasuk perkara migor?” tanya jaksa lagi.
    Marcella menegaskan, uang dalam brankas bukan uang terkait kasus migor.
    “Ini campuran, ini tidak ada
    success fee
    perkara migor, Pak. Saya belum menagih
    success fee
    dan saya tidak ada
    success fee,
    ini tidak ada kaitannya,” kata Marcella.
    Jaksa kembali mencecar Marcella terkait keberadaan mata uang asing dalam jumlah banyak ini.
    Atas pertanyaan jaksa, Marcella menjelaskan bahwa suaminya terbiasa menarik uang hasil pendapatan mereka dari bank.
    Kemudian, uang ini ditukar ke dalam Dolar Amerika Serikat dan disimpan sampai dibutuhkan nanti.
    “Pak Ari, karena dia suka menarik dari bank, kemudian dia belikan dollar, karena dollar menurut dia harganya lebih stabil,” jelas Marcella.
    Pada kasus ini, Marcella merupakan pengacara dari tiga korporasi CPO.
    Ia juga telah menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap hakim.
    Namun, berkasnya belum dilimpahkan ke pengadilan.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Terungkap di Sidang Suap Vonis Lepas Migor soal Tawaran Sejuta Dolar AS

    Terungkap di Sidang Suap Vonis Lepas Migor soal Tawaran Sejuta Dolar AS

    Jakarta

    Kasus suap hakim terkait vonis lepas terdakwa korporasi minyak goreng (migor) tengah bergulir. Tawaran suap senilai USD 1 juta terungkap dalam sidang.

    Hal itu disampaikan oleh mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Rudi Suparmono. Dia mengungkap tawaran itu disampaikan oleh seseorang bernama Agusrin Maryono.

    Rudi Suparmono diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap vonis lepas perkara minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/9/2025). Duduk sebagai terdakwa ialah hakim Muhammad Arif Nuryanta, panitera Wahyu Gunawan, hakim Djuyamto, hakim Agam Syarief Baharudin, dan hakim Ali Muhtarom.

    Rudi mengatakan Agusrin meminta bantuan terkait perkara minyak goreng. Rudi mengklaim Agusrin tak menjelaskan detail bantuan yang diminta.

    “Sepemahaman saudara kata atau makna mohon dibantu itu seperti apa?” tanya jaksa.

    “Saat itu saya nggak nanya secara langsung keinginannya apa, karena memang beliau juga nggak lama di ruangan, hanya itu saja. Dan kemudian saya tidak mencermati itu sebagai sesuatu yang kemudian harus A, harus B, harus C. Saya hanya tahu itu mohon dibantu saja,” jawab Rudi.

    Rudi mengatakan Agusrin datang lagi menemuinya dan memberikan tawaran. Dia menyebutkan Agusrin menawarkan USD 1 juta atau setara Rp 16,3 miliar berdasarkan kurs saat ini untuk membantu perkara minyak goreng.

    “Saat itu beliau menawarkan ke saya uang 1 juta dolar (USD),” jawab Rudi.

    “Apa permintaannya pak?” tanya jaksa.

    “Bantuan tadi,” jawab Rudi.

    Jaksa mendalami permintaan bantuan yang diinginkan Agusrin dengan tawaran USD 1 juta tersebut. Rudi mengaku tak berkomentar apapun saat itu.

    “Konteks dibantunya apa? Diputus bebas misalkan?” tanya jaksa.

    “Ndak ada sama sekali, nggak bicara soal itu,” jawab Rudi.

    “Jadi kalau dibantu itu 1 juta USD pemahaman saudara masak tidak bertanya pak?” tanya jaksa.

    “Saat itu saya tidak kejar untuk bertanya, saya hanya mendengar saja apa yang disampaikan,” jawab Rudi.

    “1 juta USD kan cukup besar pak,” ujar jaksa.

    “Betul, cukup besar, dan saat itu saya tidak komentar apa pun,” jawab Rudi.

    Nyesal Tak Lapor soal Tawaran Suap

    Rudi mengaku mendapat tawaran USD 1 juta itu dari seseorang bernama Agusrin Maryono. Dia mengatakan Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta (MAN) lalu menyerahkan kepadanya untuk menyikapi tawaran tersebut. Saat kasus itu terjadi Rudi merupakan Ketua PN Jakpus dan Arif Wakil Ketua PN Jakpus.

    “Setelah Saudara bertemu Agusrin dan ada tawaran 1 juta USD untuk membantu perkara migor ya, Pak, apakah saudara pada saat itu berkoordinasi atau memanggil Waka PN, Pak? Pada saat itu Terdakwa MAN,” tanya jaksa.

    “Sejatinya kan saya dari awal udah ngomong nggak tahu persis itu perkara, makanya saya harus tahu kejelasan itu perkara apa. Saya bertemu dengan Pak Arif waktu itu saya ke ruangan beliau kalau nggak salah,” jawab Rudi.

    “Bapak ke ruangan Pak Arif?” tanya jaksa.

    “Kalau nggak salah saya ke ruangan beliau, untuk memastikan tadi itu dan saat saya bertanya beliau posisinya dalam kondisi biasa, artinya nggak menerangkan apapun tentang itu, diserahkan ke saya,” jawab Rudi.

    Rudi mengatakan tidak menyampaikan ke Arif terkait nominal tawaran USD 1 juta tersebut. Dia mengatakan hanya menyampaikan ke Arif bila Agusrin datang menemuinya dan meminta agar perkara minyak goreng ‘dibantu’.

    Rudi mengaku memilih untuk tidak menindaklanjuti tawaran Agusrin tersebut. Dia memahami jika tindakannya saat mencari tahu soal perkara tersebut ke Arif adalah salah.

    “Nah, ini kan jawaban-jawaban yang bias ya, Pak ya, monggo, silakan, Pak, pemahaman Saudara pada saat Pak MAN menyampaikan itu apa, Pak? Artinya tawaran itu boleh Bapak tindak lanjuti atau seperti apa?” tanya jaksa.

    “Intinya diserahkan ke saya untuk memilih, saya tidak diarahkan untuk milih A atau B. Maka kemudian saya sikapi itu dengan pilihan saya, untuk tidak menindaklanjuti,” jawab Rudi.

    “Saudara kan saat itu ya sebagai pejabat, mohon maaf, di lingkungan peradilan harusnya kan tahu itu, Pak, itu hal yang bernuansa negatif ya, Pak. Kenapa saudara tidak menolak tegas pada saat itu? Untuk mengingatkan misalkan Pak MAN saat itu untuk tidak bermain-main dengan perkara yang ditangani?” tanya jaksa.

    “Saya akui saat itu memang saya ingin kejelasan lalu bertanya, tidak lebih dari itu, hanya untuk bertanya dulu posisinya seperti apa. Itu memang secara jabatan tidak dibenarkan, paham,” jawab Rudi.

    Jaksa mendalami apakah Rudi tidak membuat laporan terkait upaya suap melalui tawaran yang diberikan Agusrin. Rudi mengaku tidak melapor dan hanya menyimpan hal itu untuk dirinya sendiri.

    “Saudara tidak mencoba membuat laporan misalkan upaya penyuapan seperti itu?” tanya jaksa.

    “Saya keep untuk saya saja,” jawab Rudi.

    “Kemudian, pada masa jabatan saudara, ini kan perkara migor bergulir, Pak, ya. Kemudian pada akhirnya perkara migor itu putus pada saat saudara masih menjabat atau setelah saudara tidak menjabat lagi?” tanya jaksa.

    “Saya sudah meninggalkan PN Pusat,” jawab Rudi.

    Sebagai informasi, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi migor diketuai hakim Djuyamto dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, Ali menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.

    Total suap yang diterima para terdakwa diduga sebesar Rp 40 miliar. Uang suap itu diduga diberikan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut. Mereka juga sudah menjadi tersangka.

    Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.

    Rudi sendiri merupakan terdakwa kasus suap terkait vonis bebas Ronald Tannur dalam kasus tewasnya Dini Sera yang diadili di PN Surabaya. Saat suap vonis bebas Ronald terjadi, Rudi merupakan Ketua PN Surabaya. Kini, Rudi juga telah divonis 7 tahun penjara.

    Halaman 2 dari 3

    (ygs/ygs)

  • Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 September 2025

    Marcella Bantah Beri Tas dan Sepatu ke Istri Wahyu Gunawan Si Panitera Nasional 11 September 2025

    Marcella Bantah Beri Tas dan Sepatu ke Istri Wahyu Gunawan Si Panitera
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengacara sekaligus tersangka kasus suap hakim, Marcella Santoso, membantah pernah memberikan oleh-oleh berupa tas dan sepatu kepada istri dari Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
    Hal ini diungkapkan Marcella saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi crude palm oil (CPO).
    “Saya enggak pernah beri oleh-oleh, yang mulia. Saya enggak tahu kenapa istri Wahyu bilang saya. Apakah nama saya digunakan atau bagaimana, saya enggak tahu,” ujar Marcella dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
    Hakim Ketua, Effendi, menyebutkan bahwa dalam sidang sebelumnya, istri Wahyu mengaku menerima oleh-oleh ini dari Marcella saat ia berkunjung ke rumah Wahyu.
    Kunjungan ini terjadi saat istri Wahyu baru saja melahirkan.
    Marcella dan suaminya, Ariyanto Bakri, disebutkan berkunjung untuk menengok istri Wahyu.
    Kunjungan ini terjadi saat istri Wahyu baru saja melahirkan. Marcella dan suaminya, Ariyanto disebutkan berkunjung untuk menengok istri Wahyu.
    “Istri Wahyu bilang dia habis melahirkan?” tanya hakim.
    “Saya enggak tahu kapan dia melahirkan,” jawab Marcella.
    Saat dicecar hakim, Marcella mengaku pernah ke rumah Wahyu untuk menagih utang.
    “Pernah (ke rumah Wahyu) karena klien saya diutangin 5 juta Dolar dan katanya (Wahyu) sudah enggak punya aset dan segala macem, enggak bisa bayar, rumahnya ngontrak,” jelas Marcella.
    Pernyataan Marcella ini dibantah Wahyu di ujung sidang. Ia menegaskan, Marcella dan Ariyanto datang ke rumahnya untuk menengok istrinya.
    “Itu enggak benar, Yang Mulia, yang datang ke rumah nagih utang. Padahal, ke rumah ini nengok istri saya baru lahiran,” tegas Wahyu.
    Ia membenarkan kalau pernah diberikan oleh-oleh berupa tas dan sepatu dari Marcella.
    “Itu oleh-oleh (berupa tas dan sepatu). Ada, saya akui itu ada, betul, walaupun saya tidak pakai juga,” kata Wahyu lagi.
    Pada kasus ini, Marcella merupakan pengacara dari tiga korporasi CPO. Ia juga telah menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap hakim. Namun, berkasnya belum dilimpahkan ke pengadilan.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sidang Vonis Lepas CPO, Marcella Bersaksi soal Rp60 M dan Ancaman Panitera
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 September 2025

    Sidang Vonis Lepas CPO, Marcella Bersaksi soal Rp60 M dan Ancaman Panitera Nasional 10 September 2025

    Sidang Vonis Lepas CPO, Marcella Bersaksi soal Rp60 M dan Ancaman Panitera
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengacara sekaligus tersangka kasus suap hakim, Marcella Santoso, mengaku baru mendengar soal uang Rp60 miliar saat suaminya, Ariyanto Bakri atau Ary Bakri, sedang melakukan
    video call
    dengan Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
    Hal ini diungkapkan Marcella saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi CPO.
    “Ari lagi nyetir, ada telepon masuk, saya di samping Ari. Awalnya saya enggak catat. Tapi, kemudian… Di situ saya pertama kali dengar bahwa ada 20×3,” ujar Marcella saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
    Baik Marcella maupun JPU tidak menyebutkan secara spesifik kapan
    video call
    ini dilakukan.
    Namun, berdasarkan keterangan para saksi dalam persidangan, video call ini terjadi saat berkas perkara CPO korporasi ini sudah masuk ke dalam Pengadilan Tipikor di PN Jakpus, tetapi belum diputus.
    Dalam
    video call
    yang sama, Marcella mengaku mendengar ancaman dari Wahyu kepada Ari.
    Ancaman ini ditujukan pada klien Marcella yang merupakan korporasi yang menjual minyak goreng.
    “Terus muncul, (dalam
    video call
    dengan Wahyu) jangan harap klien bisa juga jual minyak lagi,” jelas Marcella.
    Rangkaian video call ini pernah disinggung juga oleh Ariyanto saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang pada Rabu (27/8/2025).
    Pada sidang itu, Ariyanto mengaku tidak mengurus langsung perkara ini.
    Pihak yang tercatat menjadi kuasa hukum pihak korporasi adalah Marcella Santoso, istri Ariyanto.
    Dalam video call itu, Wahyu menegaskan bisa membereskan perkara yang tengah berjalan ini.
    “Kemudian, dia (Wahyu) bilang, ‘Lebih baik, lo kasih gue saja kerjaan ini karena kerjaan ini, pasti gue pegang bisa beres,’” ujar Ariyanto menirukan ucapan Wahyu.
    Uang Rp 60 miliar itu merupakan permintaan dari Wahyu Gunawan.
    Awalnya, korporasi CPO hanya menyiapkan Rp 20 miliar.
    Namun, Arif Nuryanta melalui Wahyu Gunawan meminta agar uang suap ini ditambah agar bisa dibagikan kepada tiga majelis hakim yang memutus perkara.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, didakwa menerima Rp 15,7 miliar; Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Marcella Klaim Sempat Dengar Eks Ketua PN Jakpus Arif Nuryanta Jaga Kasus CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 September 2025

    Marcella Klaim Sempat Dengar Eks Ketua PN Jakpus Arif Nuryanta Jaga Kasus CPO Nasional 10 September 2025

    Marcella Klaim Sempat Dengar Eks Ketua PN Jakpus Arif Nuryanta Jaga Kasus CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengacara sekaligus tersangka kasus suap hakim, Marcella Santoso, mengaku pernah mendengar bahwa Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan menjaga kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO) atau bahan bakar minyak goreng (migor).
    Hal ini disampaikan Marcella saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi CPO.
    “Disampaikan, Pak Arif ini orangnya sangat
    respectful
    . Dia sangat materi hukum sekali, berwibawa sekali dan dia akan menjaga,” ujar Marcella saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
    Marcella mengaku memahami kata “menjaga” ini dalam konteks yang berbeda dari jaksa.
    “Menjaga dalam pemahaman saya, ini bukan pakai duit. Tapi menjaga katanya orangnya sangat materi hukum sekali,” katanya.
    Marcella mengaku tidak mengenal Arif secara pribadi. Pernyataan-pernyataan dari atau tentang Arif didengar Marcella dari suaminya, Ariyanto Bakri atau Ary Bakri.
    Ariyanto, yang juga pengacara, mengenal pejabat pengadilan, salah satunya M Arif Nuryanta.
    Di hadapan majelis hakim, Marcella mengaku sudah berulang kali mengingatkan Ariyanto untuk tidak melakukan suap dalam kasus CPO korporasi yang tengah ditangani Marcella dan rekan-rekannya.
    “Saya pun tanya ke Pak Ari, lu pakai duit ya atau apa. Dia enggak pernah jawab jelas,” kata Marcella lagi.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Rutan KPK Penuh, Anak Eks Gubernur Kaltim Ditahan di Rutan Pondok Bambu

    Rutan KPK Penuh, Anak Eks Gubernur Kaltim Ditahan di Rutan Pondok Bambu

    Jakarta

    KPK telah menahan anak Mantan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak terkait kasus suap izin usaha pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur. Namun karena rutan KPK penuh, penahanan Dayang dititipkan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.

    “Di mana penahanan dilakukan di Rutan Pondok Bambu yang memang khusus untuk rutan perempuan,” kata Jubir KPK Budi Prasetyo di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (10/9/2025).

    Budi mengungkap rutan KPK penuh lantaran ada beberapa tersangka baru yang ditahan. Budi mengatakan titip rawat penahanan itu sebagai solusi penuhnya rutan KPK.

    “Karena memang yang pertama, kondisi Rutan di KPK sedang penuh karena memang ada beberapa tersangka baru juga yang dilakukan penahanan di Rutan KPK Merah Putih maupun di Rutan C-1,” kata dia.

    “Ini menjadi solusi ketika rutan KPK saat ini dalam kondisi penuh,” imbuhnya.

    Dalam kasus ini, Dayang mendapat uang Rp 3,5 miliar. Uang itu didapat dari Rudy Ong Chandra selaku pengusaha untuk mengurus perpanjangan enam izin usaha pertambangannya.

    Rudy Ong sendiri telah ditahan KPK lebih dulu pada Senin (21/8). Sedangkan terhadap tersangka lain, mantan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak (AFI), proses penyidikan kepadanya dihentikan karena telah meninggal dunia.

    (ial/wnv)