Kasus: kasus suap

  • Pengacara PDIP Donny Tri Istiqomah Belum Ditahan hingga Hasto Dapat Amnesti, KPK Bilang Begini  

    Pengacara PDIP Donny Tri Istiqomah Belum Ditahan hingga Hasto Dapat Amnesti, KPK Bilang Begini  

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini belum menahan satu tersangka kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR Donny Tri Istiqomah.

    Pengacara dari PDI Perjuangan (PDIP) diketahui ditetapkan jadi tersangka sejak Desember 2024 bersama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang sudah dapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.

    Lalu kapan Donny akan ditahan?

    Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan upaya paksa terhadap Donny tinggal menunggu waktu. Tapi, dia belum bisa memerinci kapan waktunya.

    “Nanti saya akan cek kapan gitu,” kata Setyo kepada wartawan di Jakarta, Senin, 6 Agustus.

    Setyo menerangkan penyidik mungkin masih perlu untuk memeriksa saksi lain atau mempertimbangkan beberapa hal. Karena itu, penahanan belum kunjung dilakukan hingga saat ini.

    “Mungkin Pak Deputi (Penindakan dan Eksekusi, red) masih mempertimbangkan beberapa hal yang perlu diprioritaskan,” tegasnya. 

    “Tapi pastinya itu menjadi bagian urutan dalam proses penyidikan saja. Mungkin nunggu waktu,” sambung Setyo yang pernah menjabat sebagai Direktur Penyidikan KPK.

    Adapun Donny Tri Istiqomah terakhir menjalani pemeriksaan pada 3 Februari lalu. Waktu itu, ia dipanggil dalam statusnya sebagai saksi meski sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 24 Desember 2024.

     

    Diberitakan sebelumnya, KPK mengembangkan kasus suap pergantian antar waktu (PAW) yang menjerat eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan buronannya, Harun Masiku. Dua orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka, yakni Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Donny Tri Istiqomah yang merupakan kader PDIP sekaligus pengacara.

    Hasto juga jadi tersangka perintangan penyidikan. Ia diduga berusaha menghalangi proses hukum, salah satunya dengan meminta Harun untuk merusak ponselnya dan kabur setelah operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan.

    Dalam kasus ini, Hasto divonis 3,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Tapi, dia belum menjalankan masa hukumannya karena mendapat pengampunan atau amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.

  • KPK Beberkan Peran 21 Tersangka Kasus Suap Dana Hibah Pokmas Jatim

    KPK Beberkan Peran 21 Tersangka Kasus Suap Dana Hibah Pokmas Jatim

    Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan 21 tersangka dalam kasus dugaan suap dana hibah Kelompok Masyarakat (Pokmas) di Jawa Timur tahun 2019-2022.

    Para tersangka terdiri atas pemberi dan penerima dana. Penyaluran dana hibah diperoleh dari APBD Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022.

    “Dari 21 orang, empat tersangka merupakan pihak penerima, yakni KUS selaku Ketua DPRD Jatim periode 2019-2024, AS selaku Wakil Ketua DPRD Jatim 2019-2024, AI selaku Wakil Ketua DPRD Jatim 2019-2024, dan BGS selaku staf AS,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (2/10/2025).

    Perkara ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan terhadap Wakil Ketua DPRD Jawa Timur periode 2019-2024, Sahat Tua P. Simanjuntak, pada Desember 2022.

    Pada Kamis (2/10/2025), KPK menangkap dan menahan 4 tersangka pemberi suap yang merupakan koordinator lapangan (Korlap). Adapun seharusnya satu tersangka ditahan bernama A. Royan (AR), tapi berhalangan karena sakit. Penyaluran dana diberikan kepada eks Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi (KUS).

    Asep menyampaikan terjadi pengkondisian penyaluran dana Pokmas di beberapa daerah melalui Korlap dari total dana yang diterima KUS untuk hibah Pokmas Rp398,7 miliar

    “Pada rentang 2019 – 2022, saudara KUS telah menerima komitmen fee secara transfer melalui rekening istrinya dan staf pribadinya ataupun tunai yang berasal dari beberapa Korlap mencapai total Rp32,2 miliar,” kata Asep dalam Konferensi Pers, Kamis (2/10/2025).

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, 21 tersangka tersebut terdiri atas:

    Tersangka penerima suap
    1. Ketua DPRD Jatim 2019-2024 Kusnadi (KUS)
    2.Wakil Ketua DPRD Jatim 2019-2024 Anwar Sadad (AS)
    3.Wakil Ketua DPRD Jatim 2019-2024 Achmad Iskandar (AI)
    4.Staf Anwar Sadad, Bagus Wahyudiono (BGS)

    Tersangka pemberi suap
    1.Anggota DPRD Jatim 2019-2024 Mahfud (MHD)
    2.Wakil Ketua DPRD Sampang 2019-2024 Fauzan Adima (FA)
    3.Wakil Ketua DPRD Probolinggo 2019-2024 Jon Junaidi (JJ)
    4.Pihak swasta dari Sampang, Ahmad Heriyadi (AH)
    5.Pihak swasta dari Sampang, Ahmad Affandy (AA)
    6.Pihak swasta dari Sampang, Abdul Motollib (AM)
    7.Pihak swasta dari Probolinggo, atau saat ini anggota DPRD Jatim 2024-2029 Moch. Mahrus
    8.Pihak swasta dari Tulungagung, A. Royan (AR)
    9.Pihak swasta dari Tulungagung, Wawan Kristiawan (WK)
    10.Mantan Kepala Desa dari Tulungagung, Sukar (SUK)
    11.Pihak swasta dari Bangkalan, Ra Wahid Ruslan (RWR)
    12. Pihak swasta dari Bangkalan, Mashudi (MS)
    13.Pihak swasta dari Pasuruan, M. Fathullah (MF)
    14.Pihak swasta dari Pasuruan, Achmad Yahya (AY)
    15.Pihak swasta dari Sumenep, Ahmad Jailani (AJ)
    16.Pihak swasta dari Gresik, atau saat ini anggota DPRD Jatim 2024-2029 Hasanuddin (HAS)
    17.Pihak swasta dari Blitar, Jodi Pradana Putra (JPP)

  • 1
                    
                        KPK Beberkan Keterkaitan Abdul Halim, La Nyalla, dan Khofifah di Kasus Dana Hibah Jatim
                        Nasional

    1 KPK Beberkan Keterkaitan Abdul Halim, La Nyalla, dan Khofifah di Kasus Dana Hibah Jatim Nasional

    KPK Beberkan Keterkaitan Abdul Halim, La Nyalla, dan Khofifah di Kasus Dana Hibah Jatim
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan keterkaitan eks Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, anggota DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dalam kasus suap dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) Provinsi Jawa Timur periode 2019-2022.
    Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, Abdul Halim Iskandar sempat menjabat sebagai Anggota DPRD Jawa Timur pada periode 2019-2024 sebelum akhirnya ditunjuk sebagai eks Mendes PDTT oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
    Asep mengatakan, tempus atau waktu dugaan korupsi dana hibah Jatim itu terjadi saat Abdul Halim masih menjabat sebagai anggota DPRD sehingga penyidik melakukan upaya paksa seperti penggeledahan dan pemeriksaan.
    “Jadi, untuk mantan Menteri Desa ini, yang bersangkutan itu pernah menjadi anggota DPRD Jawa Timur. Tentunya masih di lingkup waktu tersebut sehingga kami juga membutuhkan informasi terkait dengan masalah pokir ini. Seperti itu,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
    Sementara itu, KPK mengatakan, La Nyalla sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jatim.
    Asep mengatakan, KPK mendalami program-program yang dilakukan KONI yang berkaitan dengan dana hibah pokir tersebut.
    “Jadi, ada (dana hibah) yang dititipkan di beberapa SKPD (satuan kerja perangkat daerah). Makanya termasuk ke dinas-dinasnya tersebut kita memanggil kepala dinas maupun wakil kepala dinas dan juga beberapa pejabat struktural di dinas tersebut untuk mengonfirmasi terkait dengan penerimaan pokir dimaksud,” ujar dia.
    Sedangkan untuk Gubernur Jawa Timur Khofifah, KPK menggali keterangan keterkaitan dana hibah yang digunakan DPRD dengan pihak pemerintah daerah (pemda).
    Asep mengatakan, KPK menelusuri alur aturan pembagian dana hibah pokir tersebut dan pertemuan antara Pemprov Jatim dan DPRD terkait dana yang dikorupsi tersebut.
    “Jadi, kami juga menyusuri asal dana pokir ini. Menyusuri bagaimana pembagiannya, pengaturannya, dan lain-lainnya. Seperti itu, bagaimana pertemuan-pertemuan antara eksekutif dengan legislatif. Bagaimana pembagiannya, presentasinya, dan lain-lainnya,” ucap dia.
    Sebelumnya, KPK menetapkan 21 tersangka terkait kasus dugaan suap pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) Provinsi Jawa Timur tahun 2019-2022.
    “Setelah dilakukan serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, maka berdasarkan kecukupan alat bukti, KPK kemudian menetapkan 21 tersangka,” kata Asep.
    Asep mengatakan, dari puluhan tersangka itu terdapat beberapa nama, yaitu eks Ketua DPRD Jawa Timur Kusnadi dan Anwar Sadad selaku Anggota DPR RI yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Jatim.
    Dia mengatakan, kasus suap ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Sahat Tua P Simanjuntak selaku Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2019-2024.
    Selanjutnya, KPK menahan empat tersangka pemberi suap terhadap Kusnadi.
    Mereka adalah Hasanuddin, yang merupakan Anggota DPRD Jatim periode 2024-2029 dan sebelumnya berstatus pihak swasta dari Kabupaten Gresik, Jatim; Jodi Pradana Putra selaku pihak swasta dari Kabupaten Blitar, Jawa Timur; Sukar, yang merupakan eks Kepala Desa dari Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur; dan Wawan Kristiawan selaku pihak swasta dari Tulungagung.
    “Terhadap keempat tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 2 sampai dengan 21 Oktober 2025 di Rutan Cabang KPK, Merah Putih,” ujar dia.
    Atas perbuatannya, empat tersangka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1
                    
                        KPK Beberkan Keterkaitan Abdul Halim, La Nyalla, dan Khofifah di Kasus Dana Hibah Jatim
                        Nasional

    1 KPK Beberkan Keterkaitan Abdul Halim, La Nyalla, dan Khofifah di Kasus Dana Hibah Jatim Nasional

    KPK Beberkan Keterkaitan Abdul Halim, La Nyalla, dan Khofifah di Kasus Dana Hibah Jatim
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan keterkaitan eks Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, anggota DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dalam kasus suap dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) Provinsi Jawa Timur periode 2019-2022.
    Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, Abdul Halim Iskandar sempat menjabat sebagai Anggota DPRD Jawa Timur pada periode 2019-2024 sebelum akhirnya ditunjuk sebagai eks Mendes PDTT oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
    Asep mengatakan, tempus atau waktu dugaan korupsi dana hibah Jatim itu terjadi saat Abdul Halim masih menjabat sebagai anggota DPRD sehingga penyidik melakukan upaya paksa seperti penggeledahan dan pemeriksaan.
    “Jadi, untuk mantan Menteri Desa ini, yang bersangkutan itu pernah menjadi anggota DPRD Jawa Timur. Tentunya masih di lingkup waktu tersebut sehingga kami juga membutuhkan informasi terkait dengan masalah pokir ini. Seperti itu,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
    Sementara itu, KPK mengatakan, La Nyalla sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jatim.
    Asep mengatakan, KPK mendalami program-program yang dilakukan KONI yang berkaitan dengan dana hibah pokir tersebut.
    “Jadi, ada (dana hibah) yang dititipkan di beberapa SKPD (satuan kerja perangkat daerah). Makanya termasuk ke dinas-dinasnya tersebut kita memanggil kepala dinas maupun wakil kepala dinas dan juga beberapa pejabat struktural di dinas tersebut untuk mengonfirmasi terkait dengan penerimaan pokir dimaksud,” ujar dia.
    Sedangkan untuk Gubernur Jawa Timur Khofifah, KPK menggali keterangan keterkaitan dana hibah yang digunakan DPRD dengan pihak pemerintah daerah (pemda).
    Asep mengatakan, KPK menelusuri alur aturan pembagian dana hibah pokir tersebut dan pertemuan antara Pemprov Jatim dan DPRD terkait dana yang dikorupsi tersebut.
    “Jadi, kami juga menyusuri asal dana pokir ini. Menyusuri bagaimana pembagiannya, pengaturannya, dan lain-lainnya. Seperti itu, bagaimana pertemuan-pertemuan antara eksekutif dengan legislatif. Bagaimana pembagiannya, presentasinya, dan lain-lainnya,” ucap dia.
    Sebelumnya, KPK menetapkan 21 tersangka terkait kasus dugaan suap pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) Provinsi Jawa Timur tahun 2019-2022.
    “Setelah dilakukan serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, maka berdasarkan kecukupan alat bukti, KPK kemudian menetapkan 21 tersangka,” kata Asep.
    Asep mengatakan, dari puluhan tersangka itu terdapat beberapa nama, yaitu eks Ketua DPRD Jawa Timur Kusnadi dan Anwar Sadad selaku Anggota DPR RI yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Jatim.
    Dia mengatakan, kasus suap ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Sahat Tua P Simanjuntak selaku Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2019-2024.
    Selanjutnya, KPK menahan empat tersangka pemberi suap terhadap Kusnadi.
    Mereka adalah Hasanuddin, yang merupakan Anggota DPRD Jatim periode 2024-2029 dan sebelumnya berstatus pihak swasta dari Kabupaten Gresik, Jatim; Jodi Pradana Putra selaku pihak swasta dari Kabupaten Blitar, Jawa Timur; Sukar, yang merupakan eks Kepala Desa dari Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur; dan Wawan Kristiawan selaku pihak swasta dari Tulungagung.
    “Terhadap keempat tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 2 sampai dengan 21 Oktober 2025 di Rutan Cabang KPK, Merah Putih,” ujar dia.
    Atas perbuatannya, empat tersangka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1
                    
                        KPK Beberkan Keterkaitan Abdul Halim, La Nyalla, dan Khofifah di Kasus Dana Hibah Jatim
                        Nasional

    Duduk Perkara Kasus Dana Hibah Jatim yang Jerat Eks Ketua DPRD hingga Anggota DPR

    Duduk Perkara Kasus Dana Hibah Jatim yang Jerat Eks Ketua DPRD hingga Anggota DPR
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengumumkan 21 tersangka terkait kasus suap dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2019-2022 pada Kamis (2/10/2025).
    KPK langsung menahan empat orang dari total 21 tersangka di Rumah Tahanan (Rutan) Gedung Merah Putih, Jakarta, untuk 20 hari ke depan.
    Keempat tersangka adalah Hasanuddin, Jodi Pradana Putra, Sukar, dan Wawan Kristiawan.
    “Setelah dilakukan serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, maka berdasarkan kecukupan alat bukti, KPK kemudian menetapkan 21 orang sebagai tersangka,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.
    Asep mengatakan, 21 tersangka dalam perkara dana hibah Pemprov Jatim ini terdiri dari dua klaster, yaitu pihak penerima suap dan pihak pemberi suap.
    Pihak penerima suap yaitu Kusnadi (Ketua DPRD Jatim); Achmad Iskandar (Wakil Ketua DPRD Jatim); Anwar Sadad (Wakil Ketua DPRD Jatim, sekarang Anggota DPR RI); dan Bagus Wahyudyono (Staf AS dari Anggota DPRD).
    Lalu, sebanyak 17 tersangka lainnya berada di klaster pemberi suap.
    Mereka di antaranya, Mahud (Anggota DPRD Jatim 2019-2024); Fauzan Adima (Wakil Ketua DPRD Sampang 2019-2024); Jon Junadi (Wakil Ketua DPRD Probolinggo 2019-2024); Ahmad Affandy, Ahmad Heriyadi, Abdul Motollib (Swasta Semarang); Moch Mahrus (Swasta Probolinggo); A Royan dan Wawan Kristiawan (Swasta Tulungagung); Ra Wahid Ruslan dan Mashudi (Swasta Bangkalan); M Fathullah dan Achmad Yahya (Swasta Pasuruan); Ahmad Jailani (Swasta Sumenep); Hasanuddin (Swasta Gresik); Jodi Pradana Putra (Swasta Blitar); dan Sukar (Kepala Desa dari Kabupaten Tulungagung).
    KPK mengatakan, keempat tersangka yang ditahan KPK adalah koordinator lapangan (korlap) yang memegang dana hibah untuk kelompok masyarakat (Pokmas).
    Hasanuddin memegang dana hibah Pokmas untuk enam daerah di Jatim, yaitu Kabupaten Gresik, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Pacitan.
    Jodi Pradana Putra memegang dana hibah Pokmas untuk Kabupaten Blitar, Kota Blitar, dan Kabupaten Tulungagung.
    Sedangkan Sukar, A Royan, dan Wawan Kristiawan bertugas memegang dana Pokmas untuk Kabupaten Tulungagung.
    “Masing-masing Koordinator Lapangan (Korlap) membuat proposal permohonan dana hibah dengan menentukan jenis pekerjaannya sendiri, membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) sendiri, dan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) sendiri,” ujar Asep.
    KPK mengatakan, keempat tersangka mengetahui bahwa dana hibah diberikan rutin setiap tahun, sehingga mereka sengaja memberikan ijon terlebih dahulu kepada Anggota DPRD agar dana hibah dicairkan ke daerah mereka.
    “Untuk mendapatkan proyek tersebut, mendapatkan ya atau proposalnya tersebut disetujui. Nah, para korlap ini pada akhirnya memberikan sejumlah uang. Jadi, istilahnya diijon dulu nih, kepada anggota dewan, maka terjadilah penyuapan,” tutur dia.
    KPK menemukan terjadinya kesepakatan pembagian
    fee
    antara eks Ketua DPRD Kusnadi dengan para Korlap.
    Rinciannya, sebanyak 15-20 persen atau Rp 79,7 miliar diberikan untuk Kusnadi; korlap mendapat 5-10 persen; pengurus pokmas mendapat 2,5 persen; dan admin pembuatan proposal dan LPJ mendapat sekitar 2,5 persen.
    “Sehingga dana pokir yang betul-betul digunakan untuk program masyarakat hanya sekitar 55 persen sampai 70 persen dari anggaran awal,” kata dia.
    KPK mengatakan, dana hibah yang telah disetujui dicairkan melalui rekening di Bank Jatim atas nama Kelompok Masyarakat atau Lembaga yang mengajukan proposal.
    Dari pencairan tersebut, seluruh dananya diambil oleh para Korlap.
    Para Korlap kemudian membagi jatah kepada pengurus Pokmas serta admin pembuatan dan LPJ.
    “Sedangkan untuk Kusnadi (sudah) diberikan di awal atau sebagai ijon,” tutur dia.
    KPK menduga, selama periode 2019-2022, Kusnadi menerima
    fee
    dari beberapa Korlap melalui rekening istrinya dan staf pribadi, dan dalam bentuk tunai sebanyak Rp 32,2 miliar.
    Rinciannya, dari Jodi Pradana Putra sebesar Rp 18,6 miliar, dari Hasanuddin Rp 11,4 miliar, dari Sukar, Wawan, dan A Royan sebesar Rp 2,1 miliar.
    Atas perbuatannya, empat tersangka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Kesulitan Periksa Saksi Kasus Suap PLTU-2 Cirebon: Ada di Korea

    KPK Kesulitan Periksa Saksi Kasus Suap PLTU-2 Cirebon: Ada di Korea

    Jakarta

    KPK mengakui kesulitan dalam memeriksa saksi terkait perkara suap perizinan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon 2. Kesulitan yang dialami dikarenakan para saksi berada di Korea.

    “Jadi ini tim kalau tidak salah beberapa waktu yang lalu sudah ke Korea. Agak kesulitannya memang, sebagian besar dari saksi yang dari Hyundai, dari Hyundai itu sudah kembali ke Korea,” ungkap Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025).

    Asep menjelaskan pihak perusahaan kontrakan pembangunan PLTU Cirebon 2 juga sudah kembali ke Korea. Meski begitu, pihaknya tetap melakukan komunikasi dengan pihak kontraktor.

    Dia juga mengatakan KPK masih melakukan pendalaman terhadap salah satu tersangka yakni Herry Jung. Asep menyebut masih mendalami terkait peran yang dimiliki oleh Herry Jung.

    “Kemudian terkait juga dengan masalah, kita sedang mendalami kembali peran-peran dari Herry Jung. Apakah Herry Jung ini memberikan sesuatu itu menyuap? Atau dia diminta oleh Sunjaya ini?” terang Asep.

    Terkait pemeriksaan terhadap Herry Jung, KPK terakhir kali memeriksa sebagai tersangka di gedung Merah Putih pada Senin (26/5). Herry Jung sendiri telah ditetapkan tersangka oleh KPK sejak 2019. Tapi hingga kini belum ditahan.

    Selain Herry Jung, KPK memanggil Sunjaya Purwadisastra dalam kasus ini. Dia tercatat sebagai Bupati Cirebon periode 2014-2019.

    Kasus ini merupakan pengembangan kasus OTT, sebelumnya KPK melakukan OTT pada 24 Oktober 2019 yang menetapkan Sunjaya dan Sekretaris Dinas PUPR Cirebon Gatot Rachmanto sebagai tersangka suap jual beli jabatan di Kabupaten Cirebon.

    Dalam periode 2014-2019, Sunjaya tercatat menerima uang senilai Rp 64 miliar dan telah menyamarkan harta hasil kejahatannya melalui TPPU senilai Rp 37 miliar.

    Sunjaya pun dinyatakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan kesatu.

    Kemudian, Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan kedua alternatif pertama.

    (azh/azh)

  • KPK Sita Aset Eks Ketua DPRD Jatim Kusnadi: Ada Lima Bidang Tanah dan Mobil Pajero

    KPK Sita Aset Eks Ketua DPRD Jatim Kusnadi: Ada Lima Bidang Tanah dan Mobil Pajero

    KPK Sita Aset Eks Ketua DPRD Jatim Kusnadi: Ada Lima Bidang Tanah dan Mobil Pajero
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah aset eks Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi, yang diduga berasal dari hasil korupsi.
    Hal ini disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, saat mengumumkan 21 tersangka kasus suap dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) Provinsi Jawa Timur di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
    “Dalam perkara ini, KPK juga telah melakukan penyitaan terhadap aset-aset milik KUS (Kusnadi),” kata Asep.
    Sejumlah aset yang disita KPK adalah 3 bidang tanah dengan total luas mencapai 10.566 m² di Kabupaten Tuban; 2 bidang tanah beserta bangunan dengan total luas 2.166 m² di Kabupaten Sidoarjo; dan 1 unit mobil merek Mitsubishi Pajero.
    Dalam perkara ini, KPK menetapkan 21 tersangka terkait kasus dugaan suap pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) Provinsi Jawa Timur tahun 2019-2022.
    “Setelah dilakukan serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, maka berdasarkan kecukupan alat bukti, KPK kemudian menetapkan 21 tersangka,” kata Asep.
    Asep mengatakan, dari puluhan tersangka itu terdapat beberapa nama, yaitu eks Ketua DPRD Jawa Timur Kusnadi dan Anwar Sadad selaku Anggota DPR RI yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Jatim.
    Dia juga menjelaskan bahwa kasus suap ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Sahat Tua P.
    Simanjuntak selaku Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2019-2024.
    Selanjutnya, KPK menahan empat tersangka pemberi suap terhadap Kusnadi.
    Mereka adalah Hasanuddin, yang merupakan Anggota DPRD Jatim periode 2024-2029 dan sebelumnya berstatus pihak swasta dari Kabupaten Gresik, Jatim; Jodi Pradana Putra selaku pihak swasta dari Kabupaten Blitar, Jawa Timur; Sukar, yang merupakan eks Kepala Desa dari Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur; dan Wawan Kristiawan selaku pihak swasta dari Tulungagung.
    “Terhadap keempat tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 2 sampai dengan 21 Oktober 2025 di Rutan Cabang KPK, Merah Putih,” ujarnya.
    Atas perbuatannya, empat tersangka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.
    Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK Nasional 2 Oktober 2025

    Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sidang uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau pasal perintangan penyidikan bergulir dengan agenda mendengar keterangan Presiden atau Pemerintah, dan DPR.
    Sidang ketiga perkara 136/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto itu digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
    Keterangan pertama yang didengarkan adalah dari DPR yang saat itu diwakili oleh Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta.
    Wayan Sudirta hadir secara daring, membacakan alasan DPR bernada dukungan atas gugatan Hasto yang meminta agar ancaman hukuman penjara pelaku perintangan penyidikan kasus korupsi lebih ringan daripada yang diatur saat ini.
    Dalam Pasal 21 UU Tipikor dijelaskan, ancaman hukuman maksimal pelaku
    obstruction of justice
    kasus korupsi adalah 12 tahun.
    Hal ini dinilai kontradiktif dengan ancaman hukuman pidana pokok yang bisa lebih ringan, seperti kasus suap misalnya.
    Sudirta menilai, akan terjadi disparitas antara ancaman hukuman perintangan penyidikan dengan pidana pokok.
    Kader PDI-P ini kemudian merujuk beberapa negara lain, di mana ancaman pidana perintangan penyidikan harus lebih kecil dari pidana pokoknya.
    “Dengan merujuk Jerman, Belanda, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat, ancaman hukuman
    obstruction of justice
    secara spesifik merujuk pada dan kurang dari bahkan hingga seperempat ancaman pidana tindak pidana awal atau pokok,” kata dia.
     
    Alasan lain, politikus PDI-P ini mengatakan Pasal 21 ini harus dimaknai bukan merupakan bagian tindak pidana korupsi.
    Karena itu, dia khawatir pasal tersebut justru digunakan untuk mengancam pihak lain yang bukan merupakan pelaku tindak pidana korupsi.
    “Pasal ini akan digunakan untuk mengancam pihak lain yang tidak merupakan bagian dari pelaku tindak pidana korupsi,” ucap Sudirta.
    Setelah memperkuat argumennya, Sudirta tiba pada permohonan agar Mahkamah Konstitusi menuruti keinginan Hasto agar ancaman maksimal pidana perintangan kasus korupsi dikurangi jadi tiga tahun.
    “Menyatakan bahwa Pasal 21 UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung, penyidikan penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi,” kata Sudirta.
    “Dan atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak semestinya dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta, dan paling banyak Rp 600 juta,” sambung dia.
    Tak seperti DPR, pemerintah sebagai pembentuk undang-undang mempertahankan argumennya atas pembuatan Pasal 21 UU Tipikor tersebut.
    Mereka tetap bertahan dan meminta agar permohonan Hasto ditolak, bukan hanya dari sisi permohonan, tetapi juga kedudukan hukumnya.
    Sikap pemerintah ini disampaikan Kuasa Presiden yang diwakili Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak.
    “Menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau
    legal standing
    ,” kata Leonard.
    “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima,” tutur Leonard.
    Selain meminta MK menolak permohonan Hasto, Leonard juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 yang digugat Hasto telah sesuai dengan konstitusi.
    “Menyatakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 24 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28E UUD 1945,” kata dia.
     
    Mendengar sikap dua lembaga pembentuk undang-undang yang berbeda yakni antara pemerintah dan DPR, Hakim Konstitusi Saldi Isra angkat bicara.
    Dia menyebut, tak biasanya DPR yang dikenal galak mempertahankan produk legislasi mereka tiba-tiba menyetujui revisi undang-undang lewat jalur gugatan di MK.
    Karena pembentuk undang-undang seyogianya memiliki kewenangan merevisi kapan pun undang-undang yang dianggap tidak sesuai.
    Tapi kali ini berbeda, DPR menyetujui permintaan Hasto agar Pasal 21 UU Tipikor direvisi normanya untuk mengurangi ancaman pidana pelaku kejahatan perintangan penyidikan kasus korupsi.
    “Ini memang agak jarang-jarang suasananya terjadi ada pemberi keterangan (dari DPR-RI) yang setuju dengan permohonan pemohon,” kata Saldi Isra.
    Dia juga langsung menyindir kuasa hukum Hasto yang hadir dalam sidang tersebut, jika cerdas maka tak perlu ada lagi sidang lanjutan uji materi Pasal 21 UU Tipikor tersebut.
    Karena, DPR sudah menyatakan dukungan untuk mengubah Pasal 21 UU Tipikor sesuai keinginan Hasto.
    Pihak Hasto seharusnya langsung tancap gas ke Senayan, membawa proposal revisi UU Tipikor.
    “Sebetulnya kalau kuasa hukum pemohon cerdas, sudah saatnya ini datang ke DPR, biar DPR saja yang mengubahnya, tidak perlu melalui Mahkamah Konstitusi, biar komprehensif sekalian,” ucap Saldi.
    Di akhir kata, Saldi meminta agar DPR segera mengirimkan pernyataan tertulis agar menjadi pertimbangan hakim dalam uji materi UU Tipikor tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    10 Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan Hasto terhadap UU Tipikor Nasional

    Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan Hasto terhadap UU Tipikor
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilayangkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
    Kuasa Presiden yang diwakili Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, memohon agar MK menolak gugatan tersebut secara keseluruhan.
    “Menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau
    legal standing
    ,” kata Leonard dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
    “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima,” tutur Leonard.
    Selain meminta MK menolak permohonan Hasto, Leonard juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 yang digugat Hasto telah sesuai dengan konstitusi.
    “Menyatakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 24 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28E UUD 1945,” katanya.
    Permintaan pemerintah ini berseberangan dengan DPR RI yang menilai permohonan tersebut perlu dikabulkan oleh MK.
    Dalam persidangan yang sama, I Wayan Sudirta sebagai perwakilan DPR RI menyatakan permohonan Hasto terkait ancaman maksimal pidana dalam Pasal 21 UU Tipikor yang dikurangi dari 12 tahun menjadi 3 tahun harus dikabulkan oleh MK.
    Alasannya senada, karena ancaman hukuman 12 tahun penjara dinilai lebih tinggi dari pidana pokok seperti kasus suap.
    Adapun gugatan ini dilayangkan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menggugat Pasal 21 UU Tipikor karena dinilai ancaman pidananya lebih tinggi dari pidana pokok.
    Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.
    “Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan
    obstruction of justice
    ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, 13 Agustus lalu.
    Untuk diketahui,
    obstruction of justice
    mensyaratkan adanya tindak pidana pokok yang menjadi obyek perintangan.
    Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi kasus suap seperti merusak barang bukti diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
    “Nah ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • UU Tipikor yang Digugat Hasto Disebut Bisa Digunakan Mengancam Pihak yang Tidak Korupsi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        1 Oktober 2025

    UU Tipikor yang Digugat Hasto Disebut Bisa Digunakan Mengancam Pihak yang Tidak Korupsi Nasional 1 Oktober 2025

    UU Tipikor yang Digugat Hasto Disebut Bisa Digunakan Mengancam Pihak yang Tidak Korupsi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Perwakilan DPR menyebut, Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bisa digunakan untuk mengancam pihak yang bukan merupakan pelaku korupsi.
    Hal ini disampaikan Anggota Komisi III DPR Wayan Sudirta, sebagai perwakilan DPR dalam sidang perkara nomor 136/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal DPP PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto, Rabu (1/10/2025).
    Sudirta mengatakan, Pasal 21 terkait perintangan penyidikan dalam kasus korupsi harus dimaknai bukan merupakan bagian dari tindak pidana korupsi.
    Oleh sebab itu, dia khawatir pasal tersebut justru digunakan untuk mengancam pihak lain yang bukan merupakan pelaku tindak pidana korupsi.
    “Pasal ini akan digunakan untuk mengancam pihak lain yang tidak merupakan bagian dari pelaku tindak pidana korupsi,” ucap Sudirta, dalam sidang yang ia hadiri melalui daring, Rabu.
    Hal ini diperkuat dengan ancaman pidana yang dinilai bisa lebih tinggi dari pidana pokok seperti kasus suap.
    Sudirta menilai, akan terjadi disparitas antara ancaman hukuman perintangan penyidikan dengan pidana pokok.
    Dia kemudian merujuk beberapa negara lain, di mana ancaman pidana perintangan penyidikan harus lebih kecil dari pidana pokoknya.
    “Dengan merujuk Jerman, Belanda, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat, ancaman hukuman
    obstruction of justice
    secara spesifik merujuk pada dan kurang dari bahkan hingga seperempat ancaman pidana tindak pidana awal atau pokok,” kata dia.
    DPR meminta agar MK mengabulkan gugatan Hasto agar ancaman hukuman perintangan penyidikan kasus korupsi maksimal 3 tahun dari sebelumnya maksimal 12 tahun.
    Adapun gugatan ini dilayangkan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menggugat Pasal 21 UU Tipikor karena dinilai ancaman pidananya lebih tinggi dari pidana pokok.
    Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut, ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.
    “Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan
    obstruction of justice
    ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
    Untuk diketahui,
    obstruction of justice
    mensyaratkan adanya tindak pidana pokok yang menjadi obyek perintangan.
    Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi kasus suap, seperti merusak barang bukti, diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
    “Nah, ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.