Kasus: HAM

  • Menteri HAM Natalius Pigai Dorong Kejahatan Korupsi Masuk Kriteria Pelanggaran HAM

    Menteri HAM Natalius Pigai Dorong Kejahatan Korupsi Masuk Kriteria Pelanggaran HAM

    Bisnis.com, Jakarta — Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai berencana melekatkan pasal pelanggaran HAM dan tindak pidana korupsi.

    Menurut Pigai, seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi juga bakal dikenakan pasal pelanggaran HAM nantinya. Hal itu akan direalisasikan Pigai setelah pihaknya merevisi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

    “Di dalam undang-undang ini saya ingin memasukkan HAM dan Korupsi. Jadi, korupsi akan masuk dalam domain hak asasi manusia,” tuturnya di Jakarta, Kamis (3/7/2025).

    Pigai berpandangan bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang terstruktur, sistematis dan massif, merugikan banyak masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

    “Kalau korupsi ini kriteria terencana, masif, sistematis, dan mengorbankan orang pada saat anggaran atau uang negara butuh untuk menyelamatkan orang,” katanya.

    Maka dari itu, Pigai mengemukakan bahwa kriteria HAM dan korupsi akan dipertegas ke dalam Peraturan Presiden (Perpres). Pigai juga menyebut pihaknya bakal melibatkan ahli pidana untuk memperkuat landasan hukumnya.

    “Soal diskusi tentang siapa tahu ada ahli-ahli lain yang memberikan masukan untuk memberi penguatan supaya ada korelasi antara korupsi dengan hak asasi manusia,” ujarnya.

  • Natalius Pigai Usul Revisi UU HAM: Sudah 24 Tahun, Banyak yang Tak Update

    Natalius Pigai Usul Revisi UU HAM: Sudah 24 Tahun, Banyak yang Tak Update

    Natalius Pigai Usul Revisi UU HAM: Sudah 24 Tahun, Banyak yang Tak Update
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM)
    Natalius Pigai
    mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
    Pigai menilai undang-undang tersebut sudah berusia lebih dari dua dekade dan banyak isinya yang tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
    “Terkait dengan revisi Undang-undang 39 tahun 1999. Mengapa harus revisi? Karena memang sudah 24 tahun. Karena itu banyak hal yang tidak
    up to date
    dengan perkembangan hak asasi manusia, baik yang berkembang di seluruh dunia maupun juga di Indonesia,” kata Pigai dalam konferensi pers di Gedung
    Kementerian HAM
    , Jakarta, Kamis (3/7/2025).
    Dia menyebut revisi ini merupakan bagian dari langkah penguatan instrumen HAM yang sejalan dengan visi “
    Indonesia Emas 2045
    ” di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
    “Salah satu fondasi yang harus diperkuat adalah bidang hak asasi manusia. Maka tentu instrumen-instrumen HAM harus diperkuat, direvitalisasi. Kalau tidak ada, kita buat yang baru. Kalau yang bagus, kita pertahankan,” ujarnya.
    Salah satu poin penting dalam revisi yang diusulkan adalah menyesuaikan perubahan pola pelanggaran HAM.
    Pigai menjelaskan bahwa aktor pelanggar HAM kini tidak hanya datang dari negara (
    state actors
    ), tetapi juga dari kalangan non-negara seperti korporasi maupun individu.
    “Selama ini pelaku pelanggaran HAM adalah negara. Tapi sekarang mengalami pergeseran ke
    non-state actors
    dan individual,” kata dia.
    Ia menambahkan, dalam konteks HAM modern, aktor seperti korporasi perlu dimasukkan dalam regulasi karena berpotensi melakukan pelanggaran HAM berskala besar, termasuk lewat aktivitas bisnis yang eksploitatif.
    “Di Indonesia, isu bisnis dan HAM baru masuk ke dalam Perpres. Sementara pelaku bisnis belum diatur dalam
    UU HAM
    ,” ucapnya.
    Demikian pula dengan pelaku individu yang melakukan pelanggaran HAM secara terencana, sistematis, dan dalam skala luas.
    Menurut Pigai, mereka juga perlu diakomodasi sebagai aktor dalam UU yang baru.
    Pigai menyampaikan bahwa Kementerian HAM saat ini telah menyusun draf awal
    revisi UU HAM
    dan sudah mencapai sekitar 60 persen.
    Selain itu, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan naskah akademik juga telah disiapkan.
    “Kami tidak ingin buru-buru menyelesaikan 70 atau 80 persen karena kami ingin 40 persen sisanya dibuka untuk uji publik,” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kubu Jokowi Siap Hadiri Gelar Perkara Khusus Terkait Ijazah Palsu di Bareskrim

    Kubu Jokowi Siap Hadiri Gelar Perkara Khusus Terkait Ijazah Palsu di Bareskrim

    Bisnis.com, JAKARTA — Kubu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara terkait gelar perkara khusus perkara tudingan ijazah palsu yang digelar Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim).

    Kuasa Hukum Jokowi, Rivai Kusumanegara menyatakan bahwa pihaknya siap menghadiri gelar perkara khusus tersebut apabila dilibatkan oleh Bareskrim Polri.

    “Kami siap menghadiri gelar perkara khusus nanti dan akan memberikan sejumlah tanggapan dan pendapat hukum terhadap perkara tersebut,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (3/7/2025).

    Kemudian, dia berpandangan bahwa gelar perkara khusus yang diajukan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) itu dinilai berlebihan.

    Sebab, kata Rivai, Bareskrim sudah melakukan penyelidikan dengan memeriksa saksi dan alat bukti yang menunjukan bahwa ijazah Jokowi terbukti sah dan asli.

    “Dalam pandangan kami gelar perkara khusus ini berlebihan karena pada intinya penyelidikan telah selesai dengan hasil tidak terbuktinya pengaduan yang diajukan TPUA,” imbuhnya.

    Di lain sisi, Rivai mengatakan dalam kegiatan gelar perkara khusus ini kliennya tidak perlu hadir karena bisa diwakilkan oleh kuasa hukumnya.

    “Kalau pemeriksaan tentu beliau hadir, seperti sebelumnya. Kalau sekedar gelar perkara cukup kami saja,” pungkas Rivai.

    Diberitakan sebelumnya, Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan bahwa giat gelar perkara khusus terkait ijazah Jokowi bakal digelar pada Rabu (9/7/2025).

    Nama-nama yang baru terungkap bakal hadir dalam gelar perkara itu adalah Roy Suryo, Rismon Hasiholan, pihak Komnas HAM hingga DPR. 

    “Gelar perkara khusus yang dimohonkan itu dilakukan ralat untuk dilaksanakan tanggal 9. Karena kan harus mengundang meminta untuk menghadirkan nama-nama yang diminta itu,” tutur Trunoyudo.

  • Bareskrim Bakal Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi Pekan Depan

    Bareskrim Bakal Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi Pekan Depan

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri bakal melakukan gelar perkara khusus terkait dengan perkara tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo.

    Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan gelar perkara khusus itu merupakan permintaan dari pelapor yakni Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) pada akhir Juni.

    “Jadi terdahulu surat pendumas kemudian ditindaklanjuti tanggal 30 Juni yang lalu perihal undangan gelar perkara khusus,” ujar Trunoyudo kepada wartawan, Kamis (3/7/2025).

    Dia menambahkan, pendumas yakni TPUA kemudian mengajukan surat permohonan terkait dengan pihak-pihak yang perlu dilibatkan dalam gelar perkara khusus ini.

    Selanjutnya, pihak Bareskrim sejatinya bakal melakukan gelar perkara khusus itu pada pekan ini. Namun, kata Truno, pendumas telah melakukan ralat terkait pihak yang ingin dihadirkan dalam perkara ini.

    Nama yang dihadirkan itu mulai dari Roy Suryo, Rismon Hasiholan, pihak Komnas HAM hingga DPR RI. Dengan demikian, gelar perkara khusus itu bakal dilakukan atau dijadwalkan pada Rabu (9/7/2024).

    “Maka tindak lanjut itu untuk mengundang nama dalam pelibatan gelar perkara khusus yang dimohonkan itu dilakukan ralat untuk dilaksanakan tanggal 9. Karena kan harus mengundang meminta untuk menghadirkan nama-nama yang diminta itu,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, gelar perkara khusus ini muncul atas keberatan pihak pelapor yakni TPUA terhadap kesimpulan yang menyatakan ijazah Jokowi adalah asli.

    Adapun, pernyataan Bareskrim soal ijazah Jokowi asli ini telah diumumkan pada Kamis (22/5/2025). Kala itu, Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro.

    Menurutnya, bahwa keaslian ijazah Jokowi dilakukan berdasarkan dengan penelitian laboratorium forensik. Pihaknya juga sempat menganalisa alat mesin ketik yang digunakan dalam skripsi tersebut. 

    “Dari peneliti tersebut maka antara bukti dengan pembanding adalah identik atau dari satu produk yang sama,” ujar Djuhandhani.

  • Kapan Setya Novanto Dapat Bebas? Usai Hukumannya Disunat dan Dapat Remisi

    Kapan Setya Novanto Dapat Bebas? Usai Hukumannya Disunat dan Dapat Remisi

    Kapan Setya Novanto Dapat Bebas? Usai Hukumannya Disunat dan Dapat Remisi
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Ketua DPR yang terlibat dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP divonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018.
    Namun, mantan ketua umum Partai
    Golkar
    itu dapat bebas lebih cepat detelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari
    Setya Novanto
    ihwal vonis hukumannya.
    Setya Novanto dapat bebas lebih cepat setelah hukuman penjaranya disunat dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara oleh MA.
    “Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan,” demikian keterangan dari putusan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang dikutip dari laman resmi MA, Rabu (2/7/2025).
    Selain masa hukuman penjara, MA juga mengurangi masa pencabutan hak politik atau hak untuk menduduki jabatan publik mantan Ketua DPR Setya Novanto dari 5 tahun menjadi 2 tahun 6 bulan.
    “Pidana tambahan mencabut hak terpidana untuk menduduki jabatan publik selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan,” demikian keterangan putusan tersebut.
    Selain putusan MA itu, Setya Novanto bisa bebas lebih cepat setelah ia mendapatkan sejumlah remisi khusus maupun umum.
    Pertama, Setya Novanto bersama 270 narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi khusus Idul Fitri pada 2023.
    Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat saat itu, Kusnali mengungkap bahwa Setya Novanto mendapatkan remisi satu bulan.
    Remisi kedua terjadi pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Republik Indonesia. Setya Novanto mendapatkan remisi umum selama tiga bulan.
    Setelah itu, Setya Novanto kembali mendapatkan remisi Idul Fitri pada 2024 selama 30 hari atau satu bulan. Remisi terakhir diterimanya pada Idul Fitri 2025, yang waktunya berkisar antara 15 hari sampai dua bulan.
    Berikut daftar remisi yang diterima Setya Novanto:
    Jika merujuk vonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018, Setya Novanto seharusnya baru bisa bebas pada sekitar tahun 2033.
    Adapun jumlah jumlah remisi yang didapatkan Setya Novanto adalah berkisar antara 5 sampai 6 bulan.
    Jika ditambah putusan MA yang mengabulkan permohonan pengajuan kembali itu, Setya Novanto setidaknya dapat bebas pada rentang antara 2029 hingga 2031.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menbud Fadli Zon Tegaskan Komitmen Keterbukaan dalam Penulisan Sejarah Nasional – Page 3

    Menbud Fadli Zon Tegaskan Komitmen Keterbukaan dalam Penulisan Sejarah Nasional – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, menegaskan komitmen Kementerian Kebudayaan untuk memastikan proses penulisan sejarah nasional dilakukan secara terbuka, ilmiah, dan inklusif.

    Hal ini disampaikan saat menghadiri Rapat Kerja bersama Komisi X DPR RI di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (2/7/2025).

    “Dalam waktu dekat, tentu akan kita lakukan uji publik karena penulisan sejarah ini sangat terbuka untuk didiskusikan,” ujar Menteri Kebudayaan.

    Fadli Zon menekankan bahwa program penulisan sejarah bukan merupakan inisiatif baru, melainkan kelanjutan dari upaya penyempurnaan narasi sejarah nasional yang telah lama tidak diperbarui.

    “Saya ingin menegaskan bahwa penulisan sejarah ini bukan sebuah program baru tapi kelanjutan. Memang ada beberapa buku sejarah yang pernah diterbitkan, namun masih terdapat beberapa kekurangan dan sudah terlampau cukup lama tidak diperbaharui. Terakhir sejarah kita ditulis pada era Habibie, sehingga sudah 26 tahun tidak ada sejarah yang diperbaharui kembali. Inilah yang menjadi landasan penulisan sejarah tersebut,” jelasnya.

    Menurut Fadli Zon, sejarah memiliki arti penting sebagai identitas bangsa dan menjadi momentum strategis untuk mendidik generasi muda agar tidak melupakan jati diri di tengah derasnya arus globalisasi.

    “Sejarah ini penting dan merupakan identitas bangsa dan penulisan sejarah ini menjadi momentum yang tepat untuk mengedukasi generasi muda supaya jangan lupa akan sejarah, dan sejarah sebagai jati diri bangsa di tengah arus globalisasi yang kuat,” tegasnya.

    Ia menambahkan bahwa penulisan sejarah nasional akan menggunakan perspektif Indonesia sentris dengan tujuan memperkuat kepentingan nasional.

    “Sejarah ini tentu ditulis dengan perspektif Indonesia sentris untuk kepentingan nasional,” ujar Fadli Zon.

    Dalam masa kolonialisme, misalnya, ia menguraikan, kepentingan nasional kita adalah aspek perjuangan melawan penjajah, bukan lama penjajahannya. Selain itu, Menteri Kebudayaan juga mengungkapkan niat untuk memperkaya narasi sejarah dengan memasukkan temuan-temuan arkeologi terbaru yang menunjukkan betapa panjangnya sejarah peradaban nusantara.

    “Awal sejarah peradaban Indonesia dan berbagai temuan arkeologis terbaru juga ingin kita masukkan ke dalam penulisan sejarah ini yang dimulai dari 1,8 juta tahun lalu dengan berdasarkan pada artefak-artefak yang ditemukan di Indonesia. Sehingga kita bisa menjadi salah satu peradaban tertua di dunia yang memang diakui oleh dunia internasional,” jelasnya.

     

    Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, lagi-lagi jadi sorotan. Ia mengklaim bahwa kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998 hanyalah rumor tanpa bukti. Sejumlah aktivis perempuan dan HAM pun menuntutnya meminta maaf, pasalnya laporan TGPF kasus kerusuhan…

  • Komisi XIII DPR ke Riau terkait RUU perlindungan saksi dan korban

    Komisi XIII DPR ke Riau terkait RUU perlindungan saksi dan korban

    “Komisi XIII DPR RI ingin mendapat masukan terkait penguatan kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban maupun masukan terhadap substansi pokok materi muatan pasal per pasal dalam Perubahan kedua Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban,”

    Pekanbaru, (ANTARA) – Komisi XIII DPR Republik Indonesia melaksanakan kunjungan kerja ke Provinsi Riau untuk menyerap aspirasi terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

    Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Dewi Asmara di Kantor Wilayah Kementrian Hukum Provinsi Riau, Kota Pekanbaru, Rabu mengatakan pihaknya ingin mendapatkan masukan secara langsung aspirasi dari berbagai pihak yang selama ini berinteraksi dengan korban dan saksi-saksi tindak pidana.

    “Komisi XIII DPR RI ingin mendapat masukan terkait penguatan kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban maupun masukan terhadap substansi pokok materi muatan pasal per pasal dalam Perubahan kedua Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban,” katanya.

    Dikatakannya, perlindungan menyeluruh terhadap saksi dan korban perlu dilakukan namun regulasi yang berlaku saat ini belum sepenuhnya menjawab tantangan di lapangan.Perkembangan kejahatan trans nasional, kejahatan seksual, eksploitasi perempuan dan anak serta pelanggaran HAM berat menuntut adanya reformasi hukum yang menyentuh akar permasalahan secara komprehensif.

    Forum konsultasi publik tersebut dihadiri perwakilan dari jajaran Kanwil Kementerian Hukum, Kepolisian Daerah Riau, Kanwil Kementrian Hak Asasi Manusia dan Direktorat Jendral Permasyarakatan, badan narkotika nasional, serta lembaga lainnya dari organisasi profesi dan bantuan hukum.

    “Kunjungan kerja ini diharapkannya dapat memperkaya substansi RUU sehingga proses legislasi berjalan benar-benar mencerminkan keberpihakan terhadap kelompok rentan. Masukan dari Riau akan berarti dalam menyusun substansi dari RUU khususnya terkait penguatan peran LPSK yaitu pengaturan perlindungan “justice collaborator”, pengembangan “safe house” pembentukan unit layanan di daerah hingga pembentukan dana perlindungan korban yang berkeadilan dan berkelanjutan.

    “Kami percaya antara legislatif, eksekutif, aparat penegak hukum dan masyarakat sipil adalah kunci menciptakan sistem perlindungan yang manusiawi, inklusif, adaptif terhadap dinamika kejahatan yang terus berkembang,” tambahnya.

    Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati menyambut baik inisiatif Komisi XIII DPR RI tersebut karena semakin memperkokoh posisi dan peran LPSK dalam sistem peradilan pidana, khususnya aspek perlindungan saksi dan korban.

    “Rapat Dengar Pendapat ini mendukung asas partisipasi masyarakat yang maksimal dan bermakna. Masukan yang ada pada hari ini didengar, didiskusikan dan diinformasikan guna mendukung perubahan kedua UU Perlindungan Saksi dan Korban. Diharapkan dapat semakin meningkatkan kualitas perlindungan bagi saksi dan korban serta penguatan LPSK dalam memberikan layanan perlindungan secara memadai,” ujar Nurherwati.

    Berdasarkan Laporan Tahunan LPSK tahun 2024, permohonan perlindungan ke LPSK di wilayah Provinsi Riau berjumlah 41 permohonan. Angka tersebut cukup rendah, namun jika melihat data Badan Pusat Statistik, yang dipublikasi dalam Data Kriminal Tahun 2024, menunjukkan bahwa Provinsi Riau termasuk dalam 10 besar wilayah di Indonesia dengan angka kejahatan paling tinggi di Indonesia. Riau berada pada urutan ke 9 atau sebanyak 15.777 laporan kejahatan yang dilaporkan ke Polda.

    Pewarta: Bayu Agustari Adha/Uluan Manurung
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Respons Santai Fadli Zon Usai Digeruduk Koalisi Masyarakat Sipil: Biasa Aja, Saya Dulu Pernah Gitu

    Respons Santai Fadli Zon Usai Digeruduk Koalisi Masyarakat Sipil: Biasa Aja, Saya Dulu Pernah Gitu

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon merespons santai protes yang disampaikan oleh Koalisi Masyaralat Sipil yang berlangsung di tengah rapat kerja Menteri Kebudayaan dengan Komisi X DPR..

    Fadli Zon menuturkan bahwa aksi protes merupakan hal biasa yang bisa terjadi. Perlu diketahui, salah satu tuntutan yang diajukan Koalisi tersebut adalah mereka ingin agar penulisan ulang sejarah nasional Indonesia dihentikan.

    Adapun menurut Fadli Zon, penggerudukan itu sah-sah saja dilakukan karena merupakan bentuk dari aspirasi. Dia juga menyebut dirinya pernah melakukan hal seperti itu pada masa lampau.

    “Ya biasa ajalah saya juga dulu pernah kayak begitu. Ya, menurut saya aspirasi kan,” bebernya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).

    Meski mendapat reaksi seperti itu dari koalisi masyarakat sipil, Fadli Zon menegaskan bahwa pihaknya tetap akan melanjutkan proyek penulisan sejarah ulang, sehingga tidak ada penundaan.

    “Enggak [ditunda]. Kita akan melakukan uji publik. Jadi kita akan melakukan uji publik terhadap apa yang ditulis, ya bulan Juli ini,” beber dia.

    Eks Wakil Ketua DPR RI ini pun mengingatkan bahwa sebaiknya jangan menghakimi sesuatu yang belum ada, terlebih proyek penulisan ulang sejarah ini masih berjalan, belum rampung.

    “Jadi lihat dulu hasilnya, jangan kita menghakimi sesuatu yang belum ada. Misalnya kita menghakimi kue ini enak atau tidak gitu kalau belum kita makan atau kita sajikan bagaimana?” tuturnya.

    Lebih lanjut, dia juga menyebut bahwa sejarah yang digarapnya ini tidak ditulis secara detail, tetapi secara umum. Ini karena sudah lama sekali sejarah Indonesia tidak ditulis lagi sejak era Presiden ke-3 RI Habibie selesai.

    “Ini 26 tahun kita tidak menulis tentang tema itu sejak era Pak Habibie itu yang terakhir yang dibahas di dalam sejarah kita itu. Nah, kita update ini. Termasuk temuan-temuan yang sifatnya tadi arkeologis, temuan-temuan sejarah yang lain dan tone positif di dalam sejarah kita dan perspektif Indonesia,” jelas dia.

    Sebelumnya, anggota koalisi, Jane Rosalina mengatakan kedatangannya di tengah-tengah raker merupakan bentuk aksi simbolik untuk memprotes adanya penghentian pemutihan sejarah dan juga mengecam pernyataan Fadli Zon soal tidak terbuktinya kasus pemerkosaan selama kerusuhan Mei 1998 silam.

    “Kami hadir untuk mengecam serta memberikan teguran kepada Fadli Zon itu sendiri untuk kemudian meminta maaf kepada publik dan juga mengakui kesalahannya,” kata Jane, di kawasan Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).

    Selain itu, lanjutnya, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas juga meminta agar adanya penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM, sekaligus meminta penghentian penulisan ulang sejarah nasional Indonesia.

    “Termasuk juga menolak gelar pahlawan Soeharto yang hari ini juga kita ketahui ya bahwa Fadli Zon merangkap menjadi Ketua Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” lanjut dia.

  • Koalisi Masyarakat Sipil Tuntut Fadli Zon Minta Maaf hingga Tolak Gelar Pahlawan Soeharto

    Koalisi Masyarakat Sipil Tuntut Fadli Zon Minta Maaf hingga Tolak Gelar Pahlawan Soeharto

    Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas membeberkan alasan melakukan penggerudukan di tengah rapat kerja (raker) Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Komisi X DPR hari ini, Rabu (2/7/2025).

    Anggota koalisi, Jane Rosalina mengatakan kedatangannya ini merupakan bentuk aksi simbolik untuk memprotes adanya penghentian pemutihan sejarah dan juga mengecam pernyataan Fadli Zon soal tidak terbuktinya kasus pemerkosaan selama kerusuhan Mei 1998 silam.

    “Kami hadir untuk mengecam serta memberikan teguran kepada Fadli Zon itu sendiri untuk kemudian meminta maaf kepada publik dan juga mengakui kesalahannya,” kata Jane, di kawasan Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).

    Selain itu, lanjutnya, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas juga meminta agar adanya penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM, sekaligus meminta penghentian penulisan ulang sejarah nasional Indonesia.

    “Termasuk juga menolak gelar pahlawan Soeharto yang hari ini juga kita ketahui ya bahwa Fadli Zon merangkap menjadi Ketua Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” lanjut dia.

    Sementara itu, anggota lainnya bernama Afifah menyampaikan pihaknya mengecam dan menyayangkan pernyataan Fadli Zon soal tragedi pemerkosaan tahun 1998.

    “Oleh itu kami juga sangat ingin menuntut permintaan maaf dan pengusutan tuntas untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat khususnya terhadap perempuan,” tegasnya.

    Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menggeruduk ruang rapat kerja (raker) Komisi X DPR dengan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).

    Mereka meminta agar pemerintah menghentikan penulisan ulang sejarah nasional Indonesia. Terlebih, usai viralnya pernyataan Fadli Zon soal tidak terbuktinya kasus pemerkosaan selama kerusuhan Mei 1998 silam.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi, unjuk suaranya ini dilakukan di balkon ruang rapat Komisi X DPR pukul 12:13 WIB. Mereka memulai aksinya setelah Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani mempersilakan Fadli Zon menanggapi pertanyaan fraksi dan pimpinan komisi.

    Saat itu, mereka mulai mengeluarkan spanduk dan poster dengan bermacam tajuk seperti “Tolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional” hingga “Catatan Hitam yang Tak Bisa Dihilangkan”. Sembari memegang poster, mereka meneriakkan hal-hal serupa.

    “Tuntaskan kasus pelanggaran berat HAM! Hentikan pemutihan sejarah! Dengarkan suara korban! Tolak gelar pahlawan soeharto!” seru salah seorang aktivis.

  • 7
                    
                        Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan
                        Nasional

    7 Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan Nasional

    Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas)
    Yusril Ihza Mahendra
    mengatakan, ada potensi
    pelanggaran konstitusi
    yang bisa terjadi jika
    putusan Mahkamah Konstitusi
    yang memisahkan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan lokal diterapkan.
    Salah satunya adalah jeda waktu 2-2,5 tahun antara pemilu nasional dengan pemilu lokal.
    Jeda ini akan memberikan makna pemilihan DPRD tidak lagi dipilih lima tahun sekali dan tidak sesuai dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    “Kalau kita baca Pasal 22E UUD 45 kan tegas dikatakan pemilu dilaksanakan sekali 5 tahun, enggak bisa ada tafsir lain itu, dan pemilu itu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden, dan wakil presiden,” kata Yusril, saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).
    Oleh sebab itu, dia mempertanyakan bagaimana bisa pemilihan lokal ditunda selama 2-2,5 tahun, sedangkan Pasal 22E
    UUD 1945
    tegas mengatakan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
    Adapun pasal yang disebutkan Yusril terdapat pada Pasal 22E Ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:
    (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
    (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
    Atas aturan konstitusi tersebut, Yusril mengatakan perlu ada pemikiran serius dari pembentuk undang-undang untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
    “Jadi, mesti ada satu pemikiran yang agak serius dari segi ketatanegaraan mengenai persoalan ini,” kata dia.
    Selain itu, Yusril juga mempertanyakan bagaimana langkah yang tepat untuk menyikapi persoalan yang timbul akibat
    putusan MK
    , seperti masa jabatan DPRD.
    Hal ini menjadi masalah baru yang masih belum ada solusi dan juga berpotensi melanggar undang-undang.
    “Apakah bisa anggota DPRD itu diperpanjang? Apakah ini tidak
    against
    (melawan) konstitusi sendiri, karena memang anggota DPRD itu harus dipilih oleh rakyat? Atas dasar kuasa apa kita memperpanjang mereka itu untuk 2-2,5 tahun? Apakah dibentuk DPRD sementara atau bagaimana? Itu juga masalah-masalah yang masih perlu kita diskusikan supaya kita tidak nabrak konstitusi,” ucap dia.
    Putusan MK
    terkait
    pemisahan pemilu
    nasional dan daerah itu tertuang dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Keputusan tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029.
    Putusan yang dibacakan MK pada Kamis (26/6/2025) tersebut menyatakan bahwa keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
    MK juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.