Kasus: HAM

  • RI Belum Terima Nota Diplomatik Brasil soal Kematian Juliana

    RI Belum Terima Nota Diplomatik Brasil soal Kematian Juliana

    Jakarta

    Kantor Pembela Umum Federal (DPU) Brasil berencana menggugat Indonesia ke jalur hukum internasional usai Juliana Marins jatuh lalu tewas saat mendaki Gunung Rinjani. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra merespon hal tersebut.

    “Lembaga ini (Federal Public Defenders Office of Brazil atau FPDO) sebenarnya adalah lembaga negara independen di Brasil. Kira-kira sama dengan Komnas HAM di sini, yang bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas laporan dugaan terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM di Brasil,” kata Yusril kepada wartawan di kantor Kemenko Kumham Imipas, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (4/7/2025).

    Yusril mengatakan pihaknya bersama Kemenkopolkam dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sudah berkoordinasi dan memastikan bahwa hingga saat ini tidak ada nota diplomatik yang dikirim pemerintah Brasil terkait kematian Juliana Marins. Pernyataan soal upaya membawa Indonesia ke jalur hukum internasional bersumber dari lembaga independen FPDO.

    “Dapat dipastikan bahwa sampai saat ini Pemerintah Republik Indonesia tidak atau belum pernah menerima adanya surat atau nota diplomatik resmi dari pemerintah Brasil yang mempertanyakan kasus kematian dari Juliana Marins ini. Jadi yang mengajukan itu adalah kepada independen negara, jadi bukan resmi dari pemerintah Brasil sendiri,” terang Yusril.

    Dia mengatakan bahwa FPDO yang menyampaikan akan membawa permasalahan ini ke ranah hukum internasional hingga ke Inter-American Commission on Human Rights. Dia pun menegaskan Indonesia bukanlah pihak yang tergabung dalam konvensi HAM di Amerika Latin tersebut sehingga tidak memiliki sangkutan apa pun.

    “Jadi tidak ada suatu upaya internasional untuk membawa satu negara ke dalam satu forum kalau negara itu bukan pihak di dalam konvensi atau statutanya. Dan tidak akan dibawa ke badan itu kalau tidak ada persetujuan dari negara yang bersangkutan,” jelas Yusril.

    Meski begitu, dia menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia akan melakukan antisipasi terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi. Dia menyebut pemerintah Indonesia pun berharap bahwa kasus ini dapat diselesaikan dengan baik.

    Indonesia Terbuka Joint Investigation

    Selain itu, kata dia, Indonesia juga mengusulkan jika Brasil berkenan untuk dilakukan investigasi bersama atau joint investigation untuk mengungkap kasus ini. Hasilnya pun nanti akan sama-sama disampaikan ke publik sebagai kejelasan dari pengungkapan kasus yang ditangani.

    “Saya kira langkah ini akan fair, jujur, adil, lebih terbuka daripada membuat statement-statement mau membawa Indonesia ke hukum internasional hanya berdasarkan atas dugaan-dugaan, spekulasi yang tanpa didasari oleh satu penyelidikan yang sungguh-sungguh untuk mengungkapkan fakta yang sesungguhnya terjadi,” pungkasnya.

    Kantor Pembela Umum Federal Akan Tempuh Jalur Hukum

    Kantor Pembela Umum Federal (DPU) pada Senin (30/6/2025) mengajukan permintaan resmi kepada Kepolisian Federal (PF) untuk menyelidiki kemungkinan adanya unsur kelalaian dari otoritas Indonesia dalam insiden tersebut.

    Jika ditemukan indikasi pelanggaran, Brasil tidak menutup kemungkinan akan membawa kasus ini ke forum internasional, seperti Komisi Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (IACHR).

    Autopsi ulang terhadap jenazah Juliana, seperti dilansir oleh media lokal Brasil, O Globo dan Folha de S Paulo, Rabu, diminta oleh pihak keluarga, yang kemudian dikabulkan oleh pengadilan federal Brasil.

    Laporan O Globo, yang mengutip keterangan Emirates, menyebut jenazah Juliana yang meninggal di usia 26 tahun ini tiba di Bandara Internasional Guarulhos, Sao Paulo, pada Selasa (1/7) sore, sekitar pukul 17.10 waktu setempat. Dari Sao Paulo, jenazah Juliana dibawa ke Rio de Janeiro dengan pesawat Angkatan Udara Brasil.

    Berdasarkan kesepakatan antara kantor Kejaksaan Agung, Kantor Pembela Umum (DPU) dan pemerintah Rio de Janeiro, autopsi ulang terhadap jenazah Juliana akan dilakukan pada Rabu (2/7) pagi waktu setempat.

    “Surat keterangan kematian yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Brasil di Jakarta didasarkan pada autopsi yang dilakukan oleh otoritas Indonesia, tetapi tidak memberikan informasi konklusif mengenai waktu pasti kematian,” demikian pernyataan dari DPU Rio de Janeiro.

    (dek/dek)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • PBB Catat 613 Pembunuhan di Pusat Bantuan Kemanusiaan di Gaza

    PBB Catat 613 Pembunuhan di Pusat Bantuan Kemanusiaan di Gaza

    Jenewa

    Kantor hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat sedikitnya 613 pembunuhan terjadi di titik-titik distribusi bantuan kemanusiaan Gaza yang dikelola oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), yang didukung oleh Amerika Serikat (AS) dan Israel, yang beroperasi sejak akhir Mei.

    Pembunuhan juga tercatat terjadi di dekat konvoi bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza. Demikian seperti dilansir Reuters dan Associated Press, Jumat (4/7/2025).

    “Kami telah mencatat 613 pembunuhan, baik di titik-titik GHF maupun di dekat konvoi kemanusiaan — ini merupakan angka yang tercatat per 27 Juni. Sejak saat itu … telah terjadi insiden-insiden lebih lanjut,” kata juru bicara Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Ravina Shamdasani, kepada wartawan di Jenewa, Swiss.

    Lebih lanjut dikatakan oleh Shamdasani bahwa kantor HAM PBB tidak dapat menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan tersebut.

    Namun, dia juga mengatakan bahwa: “Jelas bahwa militer Israel telah menggempur dan menembaki warga-warga Palestina yang berusaha mencapai titik-titik distribusi (bantuan yang dioperasikan oleh GHF).”

    Shamdasani mengatakan tidak diketahui secara jelas soal berapa banyak dari pembunuhan yang tercatat oleh PBB itu, yang terjadi di lokasi-lokasi GHF, dan berapa banyak yang terjadi di dekat konvoi bantuan kemanusiaan Gaza.

    Saat berbicara kepada wartawan di Jenewa, Shamdasani mengatakan bahwa angka tersebut mencakup periode mulai 27 Mei, ketika GHF pertama beroperasi di Jalur Gaza, hingga 27 Juni. Jumlahnya mungkin telah bertambah mengingat lebih banyak insiden terjadi sejak akhir Juni.

    Informasi yang disampaikan ini, sebut Shamdasani, didasarkan pada laporan situasi internal pada kantor Komisioner Tinggi PBB untuk HAM.

    Dia menjelaskan bahwa angka-angka itu, yang dikumpulkan melalui proses pemeriksaan standar, tidak mungkin memberikan gambaran yang lengkap soal situasi yang sebenarnya terjadi di lapangan.

    “Kita mungkin tidak akan pernah bisa memahami skala penuh dari apa yang terjadi di sini karena kurangnya akses bagi tim PBB ke wilayah tersebut,” sebutnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Patrialis Akbar: Putusan MK tentang Pemilu Bertentangan dengan Konstitusi

    Patrialis Akbar: Putusan MK tentang Pemilu Bertentangan dengan Konstitusi

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk mengubah substansi konstitusi.

    Menurut Patrialis, hal tersebut bertentangan langsung dengan fungsi MK yang sejatinya hanya berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

    “Pasal ini menjelaskan kewenangan MK, antara lain yaitu menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Jadi bukan mengubah undang-undang dasar,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum membahas putusan Mahkamah Konstitusi yang memisah Pemilu nasional dan lokal Komisi III DPR pada Jumat (4/7/2025).

    Lebih lanjut, dia menekankan, rujukan utama MK harus selalu konstitusi, dan lembaga ini bertugas menjaga kemurnian konstitusi sebagai pedoman utama dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya.

    “MK tidak diberikan kewenangan mengubah konstitusi, yang berhak mengubah konstitusi hanyalah MPR saja. Jika ingin mengubah substansi konstitusi, maka apabila MK mengubah substansi konstitusi, maka MK sama saja melanggar konstitusi,” tegasnya.

    Patrialis menilai, soal perubahan atau revisi konstitusi seharusnya diserahkan kepada lembaga yang memang memiliki wewenang sebagaimana diatur konstitusi.

    “Jadi serahkan saja kepada lembaga yang memang sudah diberikan fungsi dan kewenangannya oleh konstitusi. Kita kan bicara tentang masalah hidup berbangsa dan bernegara,” lanjutnya.

    Terkait putusan MK Nomor 135/2024 yang membahas pemisahan pemilu, Patrialis juga menyoroti bahwa alasan yang digunakan MK lebih bersifat teknis, bukan persoalan konstitusionalitas.

    Oleh sebab itu, dia pun merujuk pada pertimbangan hukum di halaman 138 putusan tersebut. Bahwa, di dalam pertimbangan hukumnya mengatakan antara lain, selain ancaman terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu, tumpukan beban kerja penyelenggara yang terpusat pada rentang waktu tertentu, menyebabkan adanya kekosongan waktu yang relatif panjang dan seterusnya merupakan persoalan teknis, bukan persoalan konstitusionalitas.

    Menurut Patrialis, hal-hal teknis seperti ini seharusnya dibahas dan diatur oleh DPR bersama pemerintah serta Komisi Pemilihan Umum, bukan dijadikan dasar bagi MK untuk memutuskan perkara.

    “Tapi kalau ingin menjadikan pesan-pesan itu boleh saja, tapi tidak jadi landasan diputusnya perkara ini dari masalah-masalah teknis,” tambahnya.

    Dengan paparan tersebut, Patrialis menilai putusan MK Nomor 135/2024 bertentangan dengan konstitusi. “Dengan paparan singkat ini, saya, bahwa putusan MK nomor 135 itu, 135/2024 bertentang dengan konstitusi,” pungkas Patrialis.

  • Populasi Anggrek Endemik Gunung Merapi Terancam, Dosen UMY Tawarkan Solusi

    Populasi Anggrek Endemik Gunung Merapi Terancam, Dosen UMY Tawarkan Solusi

    Inovasinya sudah teruji lewat program pengabdian masyarakat yang melibatkan petani pelestari anggrek di kawasan lereng Merapi. Selain mengenalkan media tanam alternatif, petani juga diajarkan penggunaan pupuk organik untuk mendukung keberhasilan perbanyakan anggrek di lapangan.

    Menurut Innaka, apabila metode ini diterapkan secara luas, tidak hanya akan mendukung konservasi, tetapi juga membuka peluang peningkatan nilai ekonomi Vanda tricolor, mengingat tingginya permintaan pasar terhadap tanaman hias eksotis.

    “Kalau kita bisa memperbanyak dan mengomersialkan anggrek ini, setidaknya bisa mengurangi eksploitasi dari alam liar. Jadi masyarakat tidak perlu mengambil langsung dari habitatnya di lereng Merapi. Biarkan populasi alami tetap lestari, dan kita jual hasil kultur dari laboratorium,” imbuhnya.

    Meski perbanyakan bibit anggrek endemik Gunung Merapi sudah berhasil, dan bahkan sudah memperoleh hak paten dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum dan HAM RI, tantangan selanjutnya adalah mempercepat masa pertumbuhan hingga berbunga, yang secara alami memerlukan waktu cukup lama. Untuk itu, Innaka bersama tim kini tengah mengembangkan pupuk hayati berbasis bakteri menguntungkan.

    “Pupuk ini mengandung bakteri yang membantu menyediakan nutrisi bagi anggrek. Saat ini kami sudah berhasil mengisolasi delapan jenis bakteri. Langkah selanjutnya adalah uji molekuler untuk memastikan identitas dan efektivitas bakteri tersebut terhadap pertumbuhan Vanda tricolor,” tutup Innaka.

  • Kick Off Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Jilid II Dimulai Pekan Depan

    Kick Off Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Jilid II Dimulai Pekan Depan

    Bisnis.com, JAKARTA — Kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri telah memasuki babak baru.

    Hal itu terjadi usai kubu pelapor yakni Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) menyatakan keberatan atas keputusan penghentian perkara atau SP3 yang dilakukan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

    Oleh karenanya, TPUA mengajukan gelar perkara khusus agar kasus Jokowi ini bisa ditinjau ulang. Pengajuan itu kemudian ditindaklanjuti oleh Bareskrim pada akhir Juni.

    Pada intinya, pelapor menginginkan sejumlah nama agar dilibatkan dalam gelar perkara khusus ini agar keputusan penghentian penyidikan bisa diterima TPUA.

    “Pendumas dalam hal ini TPUA tanggal 2 Juli 2025 itu membuat surat perihal permohonan nama-nama untuk dilibatkan dalam gelar perkara khusus,” ujar Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko pada Kamis (3/7/2025).

    Adapun, sejumlah nama yang diajukan oleh TPUA adalah Roy Suryo, Rismon Hasiholan hingga sejumlah pihak dari DPR RI serta Komnas HAM.

    Dalam hal ini, kata Truno, pihaknya telah menetapkan bahwa jadwal gelar perkara khusus itu bakal berlangsung pada pekan depan atau tepatnya pada Rabu (9/7/2025).

    “Maka tindak lanjut itu untuk mengundang nama-nama dalam pelibatan gelar perkara khusus yg dimohonkan itu dilakukan ralat untuk dilaksanakan tanggal 9,” pungkas Trunoyudo.

    Kubu Jokowi Nilai Berlebihan 

    Di lain sisi, Kuasa Hukum Jokowi, Rivai Kusumanegara menilai bahwa pengajuan gelar perkara khusus perkara ijazah kliennya ini dinilai berlebihan.

    Sebab, kata Rivai, Bareskrim sudah melakukan penyelidikan dengan memeriksa saksi dan alat bukti yang menunjukan bahwa ijazah Jokowi terbukti sah dan asli.

    “Dalam pandangan kami gelar perkara khusus ini berlebihan karena pada intinya penyelidikan telah selesai dengan hasil tidak terbuktinya pengaduan yang diajukan TPUA,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (3/7/2025).

    Namun demikian, Rivai menyatakan bahwa pihaknya siap menghadiri gelar perkara khusus tersebut apabila dilibatkan oleh Bareskrim Polri.

    “Kami siap menghadiri gelar perkara khusus nanti dan akan memberikan sejumlah tanggapan dan pendapat hukum terhadap perkara tersebut,” tuturnya.

    Lebih jauh, Rivai juga mengatakan dalam kegiatan gelar perkara khusus ini kliennya tidak perlu hadir karena bisa diwakilkan oleh kuasa hukumnya.

    “Kalau pemeriksaan tentu beliau hadir, seperti sebelumnya. Kalau sekedar gelar perkara cukup kami saja,” pungkas Rivai.

    Di SP3 Bareskrim 

    Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan gelar perkara untuk menentukan ada dan tidaknya tindak pidana dalam perkara ini.

    Kemudian, dari hasil analisis yang telah dilakukan penyidik korps Bhayangkara telah menyimpulkan bahwa ijazah SMAN 6 Surakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM) milik Jokowi adalah asli.

    “Namun, dari pengaduan ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbuatan pidana, sehingga perkara ini dihentikan penyelidikannya,” jelas Rahardjo dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (22/5/2025.

    Dengan demikian, maka aduan yang sempat dilayangkan oleh TPUA mengenai temuan publik cacat hukum ijazah sarjana Jokowi menjadi tidak terbukti. Selain itu tindak pidana juga tak ditemukan. 

  • Kemenham Minta Polisi Tangguhkan Penahanan Tersangka Retret

    Kemenham Minta Polisi Tangguhkan Penahanan Tersangka Retret

    Sukabumi, Beritasatu.com – Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) mendorong penangguhan penahanan terhadap tujuh tersangka dalam kasus pembubaran retret pelajar Kristen dan perusakan vila di Kampung Tangkil, Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

    Dorongan ini disampaikan oleh Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta dalam rapat koordinasi lintas lembaga dan tokoh lintas agama serta unsur Forkopimda yang digelar di Pendopo Sukabumi, Rabu (3/7/2025).

    “Dari Kementerian Hak Asasi Manusia memang mendorong untuk dilakukan penangguhan penahanan kepada para tersangka. Tentu saja kita ingin penegakan hukum dilakukan secara profesional, proporsional, dan berkeadilan,” ujar Thomas kepada wartawan.

    Usulan Restorative Justice untuk Kasus Retret Sukabumi

    Thomas juga mengungkap bahwa Kemenham siap menjadi penjamin dalam proses penangguhan penahanan, serta membuka ruang dialog antarpihak melalui pendekatan Restorative Justice (RJ).

    “Upaya mencari keadilan itu banyak caranya, termasuk melalui mediasi. Kami siap, Kementerian HAM bersedia jadi jaminan agar para tersangka bisa ditangguhkan penahanannya,” lanjutnya.

    Kemenham berencana akan menyampaikan permintaan penangguhan tersebut secara resmi kepada pihak kepolisian, seraya mendorong terciptanya solusi damai melalui mediasi antar pihak yang bersengketa.

    Kronologi dan Latar Belakang Kasus

    Kasus ini bermula ketika sekelompok warga membubarkan kegiatan retret sejumlah pelajar Kristen yang digelar di sebuah vila di Kampung Tangkil, Cidahu, pada Juni 2025.

    Selain pembubaran, terjadi pula aksi perusakan fasilitas vila oleh massa yang menganggap lokasi tersebut digunakan untuk ibadah tidak berizin.

    Setelah dilakukan penyelidikan, polisi menetapkan tujuh orang sebagai tersangka atas dugaan pembubaran kegiatan secara paksa dan pengrusakan properti.

    Namun, belakangan diketahui bahwa kegiatan tersebut bukan merupakan kegiatan ibadah rutin, melainkan retret keagamaan yang sah dan diikuti oleh para pelajar Kristen.

  • 6
                    
                        KemenHAM Jadi Penjamin 7 Tersangka Perusakan Rumah Singgah Retret di Sukabumi
                        Bandung

    6 KemenHAM Jadi Penjamin 7 Tersangka Perusakan Rumah Singgah Retret di Sukabumi Bandung

    KemenHAM Jadi Penjamin 7 Tersangka Perusakan Rumah Singgah Retret di Sukabumi
    Editor
    SUKABUMI, KOMPAS.com –
    Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM)menyatakan siap menjadi penjamin bagi tujuh tersangka kasus perusakan rumah singgah yang terjadi di Kampung Tangkil RT 4 RW 1, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten
    Sukabumi
    ,
    Jawa Barat
    .
    Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, menyampaikan bahwa Kemenkumham akan mengajukan permohonan penangguhan penahanan secara resmi kepada pihak kepolisian.
    “Kami siap dari Kementerian HAM untuk memberikan jaminan agar para tujuh tersangka kami lakukan penangguhan penahanan dan ini (permintaan penangguhan penahanan) kami akan sampaikan secara resmi kepada pihak kepolisian,” kata Thomas saat berada di Pendopo Kabupaten Sukabumi, Kamis (3/7/2025), usai menghadiri kegiatan bersama Bupati, Kapolres, dan tokoh agama.
    Thomas menilai bahwa peristiwa perusakan yang terjadi berawal dari miskomunikasi di masyarakat.
     
    Ia menekankan pentingnya menjaga persepsi yang tepat agar tidak memicu tindakan yang kontraproduktif.
    “Jadi, saya pikir kita sama-sama tahu bahaya dari mispersepsi dan miskomunikasi ini di masyarakat,” ujarnya.
    Sebelumnya diberitakan, sekelompok warga mendatangi rumah di lokasi tersebut pada Jumat (27/6/2025) karena menduga tempat itu digunakan untuk kegiatan ibadah umat tertentu.
    Padahal, vila itu sedang digunakan oleh para pelajar untuk kegiatan retret pelajar kristen.
    Akibat aksi warga, sejumlah fasilitas vila dirusak, termasuk pagar dan kendaraan.
    Polisi pun menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus ini.
    (Kontributor Sukabumi Riki Achmad Saepulloh|Editor: Eris Eka Jaya)
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kematian Juliana Marins Akan Dibawa ke Ranah Hukum, Bagaimana Reaksi Pemerintah?

    Kematian Juliana Marins Akan Dibawa ke Ranah Hukum, Bagaimana Reaksi Pemerintah?

    Kematian Juliana Marins Akan Dibawa ke Ranah Hukum, Bagaimana Reaksi Pemerintah?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Pemerintah Brasil
    akan melayangkan gugatan jika menemukan dugaan kelalaian terkait warga negaranya,
    Juliana Marins
    , yang tewas saat mendaki
    Gunung Rinjani
    , Lombok, Indonesia.
    Pada Senin (30/6/2025), Kantor Pembela Umum Federal (DPU) Brasil telah mengajukan permintaan kepada Kepolisian Federal (PF) untuk menyelidiki dugaan kelalaian dari otoritas Indonesia dalam insiden tersebut.
    Jika ditemukan indikasi pelanggaran, Brasil tidak menutup kemungkinan akan membawa kasus ini ke forum internasional seperti Komisi Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (IACHR).
    “Kami sedang menunggu laporan yang disusun oleh otoritas Indonesia. Setelah laporan itu diterima, kami akan menentukan langkah hukum berikutnya,” ujar Taisa Bittencourt, Pembela HAM Regional dari DPU.
    Pihak keluarga Juliana juga sudah mengajukan proses otopsi ulang setelah jenazah Juliana tiba di Brasil pada 1 Juli lalu.
    Otopsi pun langsung digelar pada hari yang sama di Institut Medis Legal (IML) Rio de Janeiro untuk mencari tahu penyebab dan waktu kematian Juliana.
    Menurut DPU, pemeriksaan ulang tersebut sangat penting untuk mengklarifikasi dugaan bahwa Juliana mungkin tidak mendapatkan pertolongan memadai setelah kecelakaan terjadi.
    “Otopsi kedua ini adalah permintaan dari keluarga. Kami akan mendampingi mereka sesuai hasil laporan dan keputusan yang akan diambil,” ujar Taisa.
    Menteri Kehutanan (Menhut)
    Raja Juli Antoni
    menyatakan, Indonesia akan bertanggung jawab jika Brasil melayangkan gugatan atas kasus kematian Juliana Marins.
    “Kalau memang betul (ada gugatan), saya belum cek ya, apakah memang ada tuntutan hukum, ya tentu itu sebagai hak, ya. Dan kita akan coba pertanggungjawabkan dengan apa yang memang kita lakukan,” kata Raja Juli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
    Ia pun mengucapkan duka cita yang mendalam atas kejadian tersebut.
    Raja Juli berharap, kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak.
    “Ada tadi yang mengatakan, ada equipment katanya tuh, tempat pemegangnya tuh, sudah longgar karena sering dipakai. Kepleset sedikit mereka hilang. Tapi, sekali lagi ya, mudah-mudahan ini jadi pelajaran untuk semua pihak,” ucap Raja Juli.
    Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Yarman, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan yang terbaik dalam proses evakuasi.
    Yarman menjelaskan bahwa tim evakuasi SAR gabungan telah berusaha maksimal mengangkat jenazah Juliana dari kedalaman 600 meter di Gunung Rinjani.
     
    “Kami tim evakuasi SAR gabungan sudah melakukan yang terbaik, dari awal mulai jatuh kami sudah mempersiapkan tim sampai lima hari berturut-turut baru bisa naik. Upaya-upaya itu sudah kami lakukan semaksimal mungkin,” ujar Yarman saat ditemui usai acara Bincang Kamisan di kantor Provinsi NTB, Kamis (3/7/2025).
    Meski begitu, ia mempersilakan otoritas Brasil jika ingin melayangkan gugatan.
    Terpisah, Ketua DPR Puan Maharani akan meminta pemerintah menindaklanjuti rencana Brasil menggugat perkara kematian Juliana Marins di Rinjani.
    “Kita akan minta pemerintah untuk bisa melakukan hal-hal yang bisa ditindaklanjuti terkait dengan hal itu,” ujar Puan saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.
    Sebagaimana diketahui, pendaki asal Brasil itu dilaporkan jatuh ke jurang saat mendaki Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Sabtu (21/06/2025) pagi.
    Saat korban terjatuh, mereka melalui jalur curam di dekat kawah Rinjani.
    Juliana Marins ditemukan dalam kondisi meninggal dunia oleh Tim SAR, tiga hari setelahnya.
    Hasil otopsi dari RSUD Bali menyebutkan penyebab kematian Juliana Marins akibat benturan benda tumpul dan patah tulang.
    Dari temuan otopsi, diketahui bahwa korban meninggal dalam waktu singkat setelah mengalami luka-luka tersebut.
    Diperkirakan, kematian Juliana terjadi paling lama 20 menit setelah jatuh.
    Luka paling parah dan pendarahan terbesar terjadi di area dada dan perut.
    Tidak ada organ spleen yang mengkerut atau menunjukkan bahwa perdarahan lambat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Revisi UU, Natalius Pigai Usul Korupsi Masuk Katagori Pelanggaran HAM

    Revisi UU, Natalius Pigai Usul Korupsi Masuk Katagori Pelanggaran HAM

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengusulkan agar praktik korupsi dimasukkan dalam katagori tindakan pelanggaran HAM pada revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. 

    Pigai menyampaikan usulan penetapan korupsi sebagai pelanggaran HAM sedang dikaji oleh Kementerian HAM dan para ahli hukum. Menurutnya, langkah ini perlu dimulai demi membawa Indonesia menjadi negara bebas korupsi.

    “Ini pembaruan dari revisi undang-undang itu adalah soal korupsi dan HAM. bisa masuk dan juga bisa tidak masuk. Nanti akan diuji oleh para ahli-ahli. Kita juga punya banyak rekanan ahli-ahli. Ini harus dimulai dari sekarang kalau tidak kita kapan lagi bisa membawa Indonesia bangsa yang bersih dan berwibawa,” kata Pigai dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (3/7/2025).

    Pigai menuturkan usulan korupsi sebagai tindakan pelanggaran HAM juga telah lama disuarakan, salah satu oleh guru besar hukum pidana Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita.

    “Kita usulkan untuk menjadi wacana karena selama ini yang memperjuangkan dan berteriak itu Profesor Romli. Dia adalah seorang ilmuwan, ahli hukum, ahli pemberantasan korupsi, pendiri KPK, tokoh intelektual Indonesia. Dia selalu menyampaikan korupsi itu adalah pelanggaran HAM, oleh karena itu saya ingin mari kita bicarakan, wacanakan,” ujar Pigai.

    Pigai mendorong para ahli hukum pidana lainnya untuk ikut berkontribusi dalam menyusun landasan teoritis yang menghubungkan antara korupsi dan pelanggaran HAM. 

    “Kami di Kementerian HAM siap bekerja sama. Jika ada yang mau menulis buku atau melakukan riset tentang hubungan antara HAM dan korupsi, karena referensi pustaka kami terbatas baik di Indonesia maupun di dunia,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Pigai menjelaskan alasan UU HAM yang sudah berusia lebih dari 2 dekade perlu direvisi karena sebagian isinya sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. 

    Menurutnya, usulan revisi UU HAM akan memberikan kekuatan bagi institusi HAM dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di masa mendatang.

    “Prinsipnya ini untuk memberikan infus, memberikan kekuatan, bukan untuk perlemahan. Jadi nanti kami lakukan perkuatan. Kita hadirkan untuk anak cucu di masa mendatang, bahkan di 2045 agar Indonesia benar-benar menjadi negara berperadaban hak asasi manusia,” pungkasnya.

  • Natalius Pigai Usul Revisi UU HAM, Drafnya Sudah Siap 60 Persen

    Natalius Pigai Usul Revisi UU HAM, Drafnya Sudah Siap 60 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan kementeriannya sedang menyiapkan draf revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-undang yang sudah berusia lebih 2 dekade itu dinilai perlu direvisi sesuai dengan perkembangan zaman. 

    “Mengapa (UU HAM) harus revisi? Karena memang sudah 26 tahun, karena itu banyak hal yang tidak up to date dengan perkembangan hak asasi manusia baik di Indonesia maupun di seluruh dunia,” kata Pigai dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (3/7/2025).

    Menurutnya, instrumen-instrumen HAM harus selalu direvitalisasi. Dia berujar apabila instrumen HAM tidak relevan lagi, maka perlu dibuat yang baru. Sementara yang sudah relevan tetap akan dipertahankan.

    “Kalau instrumen HAM yang dianggap tidak up to date kita bikin yang baru yang bagus. Kalau tidak ada kita bikin yang baru kalau yang bagus kita pertahankan. Dalam konteks ini salah satunya adalah terkait dengan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,” katanya. 

    Pigai menyampaikan revisi UU HAM akan memberikan kekuatan bagi institusi HAM dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di masa mendatang.

    “Prinsipnya ini untuk memberikan infus, memberikan kekuatan, bukan untuk perlemahan. Jadi nanti kami lakukan perkuatan. Kita hadirkan untuk anak cucu di masa mendatang, bahkan di 2045 agar Indonesia benar-benar menjadi negara berperadaban hak asasi manusia,” jelasnya.

    Sejalan dengan itu, Pigai menuturkan saat ini pihaknya telah merampungkan 60 persen draf rancangan revisi UU HAM. Saat ini, pihaknya tengah mengkaji lebih lanjut draf awal itu dengan berkonsultasi dengan ahli-ahli hukum, dan 25 kementerian/lembaga terkait.

    “Hari ini di Kementerian HAM sudah menyiapkan draf awal hampir rampung 60 persen, 40 persen akan kami buka untuk ruang publik. Minimal draf awalnya sudah ada, naskah akademiknya juga sudah ada. Kami sudah meminta 25 kementerian/lembaga, termasuk komisi-komisi untuk memberikan masukan kepada kami,” tuturnya.

    Setelah rampung dikaji, Pigai menegaskan pihaknya akan membuka akses draf awal revisi UU HAM tersebut kepada publik agar masyarakat luas dapat menilai dan memberikan masukan.

    “Nanti setelahnya kita akan buka ke ruang publik dan mereka bisa memberikan masukan juga,” pungkas aktivis HAM asal Papua ini.