Menko Yusril Sarankan 4 Jenderal TNI Berdialog dengan Ferry Irwandi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengimbau agar pihak TNI membuka ruang dialog dengan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi.
Menurutnya, hukum pidana merupakan jalan terakhir yang boleh diambil jika ruang komunikasi antara keduanya tidak menemukan solusi.
“Saran saya adalah lebih baik pihak TNI membuka komunikasi dengan Ferry Irwandi dan berdialog dalam suasana keterbukaan dan prasangka baik,” ujar Yusril kepada Kompas.com, Kamis (11/9/2025).
Pihak TNI, harap Yusril, dapat terlebih dahulu mempelajari tulisan maupun unggahan dari Ferry Irwandi di media sosial.
Jika unggahan Ferry Irwandi bersifat saran atau kritik yang konstruktif, maka hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
“Menempuh langkah hukum, apalagi di bidang hukum pidana, haruslah kita anggap sebagai jalan terakhir, apabila cara-cara lain termasuk dialog sudah menemui jalan buntu. Demikian saran saya,” ujar Yusril.
Di samping itu, ia menilai tepat keputusan kepolisian yang menyebut bahwa TNI sebagai institusi tidak bisa menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sebab terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE harus dibatasi hanya untuk individu perseorangan yang merasa dirugikan, dan tidak mencakup lembaga pemerintah, korporasi, profesi, atau jabatan.
Artinya, TNI sebagai institusi tidak bisa melaporkan Ferry Irwandi dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.
“Saya berpendapat jawaban polisi sudah benar. Pihak yang bisa mengadukan kepada polisi sebagai korban dari pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27A UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanyalah person individu, bukan institusi, meskipun institusi dalam tindakannya akan diwakili oleh individu yang konkret (natuurlijk person) yakni manusia (orang),” ujar Yusril.
Sebelumnya, sebanyak empat jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) berkonsultasi hukum dengan Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya, pada Senin (8/9/2025).
Mereka adalah Dansatsiber TNI Brigjen Juinta Omboh Sembiring, Danpuspom Mayjen TNI Yusri Nuryanto, Kapuspen TNI Brigjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah, dan Kababinkum TNI Laksda Farid Ma’ruf.
Kapuspen TNI Brigadir Jenderal (Mar) Freddy Ardianzah mengatakan, kedatangan dia dan tiga jenderal lainnya ke Polda Metro Jaya masih dalam tahap konsultasi hukum terkait pernyataan maupun tindakan Ferry Irwandi.
“Intinya, ada dugaan pernyataannya di ruang publik, baik melalui media sosial maupun wawancara, yang berisi upaya-upaya provokatif, fitnah, kebencian, serta disinformasi yang dimanipulasi dengan framing untuk menciptakan persepsi dan citra negatif,” ucap Freddy saat dihubungi, Rabu (10/9/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: HAM
-
/data/photo/2025/05/22/682f003f4396f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Menko Yusril Sarankan 4 Jenderal TNI Berdialog dengan Ferry Irwandi Nasional
-
/data/photo/2025/09/09/68bfe1e70c6ff.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Yusril Setuju dengan Polisi, TNI Tak Bisa Laporkan Ferry Irwandi atas Pencemaran Nama Baik Nasional 11 September 2025
Yusril Setuju dengan Polisi, TNI Tak Bisa Laporkan Ferry Irwandi atas Pencemaran Nama Baik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan polisi sudah benar dengan menyatakan TNI tidak bisa melaporkan Ferry Irwandi atas dugaan pencemaran nama baik.
Yusril menyebut, korban pencemaran nama baik yang bisa melaporkan adalah individu, bukan institusi.
“Saya berpendapat jawaban polisi sudah benar. Pihak yang bisa mengadukan kepada polisi sebagai korban dari pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27A UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanyalah person individu, bukan institusi, meskipun institusi dalam tindakannya akan diwakili oleh individu yang kongkret (
natuurlijk person
) yakni manusia (orang),” ujar Yusril kepada Kompas.com, Kamis (11/9/2025).
“Pasal 27A UU tersebut secara spesifik menegaskan bahwa pencemaran nama baik adalah delik aduan atau ‘
klacht delict
‘. Jadi, aparat penegak hukum tidak dapat mengusut tindak pidana pencemaran nama baik yang dilakukan seseorang, tanpa orang yang menjadi korban mengadukan perbuatan tersebut kepada penegak hukum,” sambungnya.
Yusril lantas menyinggung Putusan MK Nomor 105/PUU-XXI/2024 tanggal 29 April 2025 yang telah memaknai norma Pasal 27A UU ITE, bahwa korban dalam tindak pidana pencemaran nama baik mengacu kepada norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, yakni kepada person individu, bukan kepada institusi atau badan hukum.
Dengan demikian, Yusril menekankan, TNI sebagai institusi negara bukanlah korban yang dapat mengadukan tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27A UU ITE.
“Sejauh yang saya pahami, pihak TNI hanya ingin berkonsultasi dengan pihak Polri dalam kasus di atas. Keinginan berkonsultasi itu harus kita hargai agar TNI tidak salah. Jawaban pihak Polri dengan merujuk kepada putusan MK di atas, sudah benar pula menurut hukum. Jadi saya kira permasalahan ini sudah selesai,” papar Yusril.
Sementara itu, terkait apa yang ditulis oleh Ferry Irwandi, Yusril berharap pihak TNI dapat mempelajari dengan saksama isi dari tulisan-tulisan atau unggahannya di media sosial.
Jika isi tulisan-tulisan itu bersifat saran dan kritik yang konstruktif, maka hal itu harus dianggap sebagai bagian dari kebebasan menyatakan pendapat, sebagai bagian dari HAM yang dijamin oleh UUD.
“Saran saya adalah lebih baik pihak TNI membuka komunikasi dengan Ferry Irwandi dan berdialog dalam suasana keterbukaan dan prasangka baik. Menempuh langkah hukum, apalagi di bidang hukum pidana, haruslah kita anggap sebagai jalan terakhir, apabila cara-cara lain termasuk dialog sudah menemui jalan buntu. Demikian saran saya,” imbuhnya.
Sebanyak empat jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) berkonsultasi hukum dengan Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya pada Senin (8/9/2025).
Mereka adalah Dansatsiber TNI Brigjen Juinta Omboh Sembiring, Danpuspom Mayjen TNI Yusri Nuryanto, Kapuspen TNI Brigjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah, dan Kababinkum TNI Laksda Farid Ma’ruf.
Konsultasi itu dilakukan setelah adanya klaim temuan dugaan tindak pidana oleh CEO Malaka Project Ferry Irwandi.
“Konsultasi kami ini terkait dengan kami menemukan hasil dari patroli siber, terdapat kami temukan beberapa fakta-fakta dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Saudara Ferry Irwandi,” kata Juinta kepada wartawan, Senin.
Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya AKBP Fian Yunus mengungkapkan, konsultasi empat jenderal itu berkaitan rencana pelaporan kasus dugaan pencemaran nama baik oleh Ferry Irwandi terhadap institusi.
“Beliau kan mau melaporkan terkait dengan… Iya (Ferry Irwandi),” kata Fian saat ditemui di Gedung Promoter Polda Metro Jaya, Selasa (9/9/2025).
Namun, Fian mengatakan, Satuan Siber TNI tak bisa melaporkan Ferry Irwandi dalam kasus pencemaran nama baik.
Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024.
Putusan MK tersebut menyatakan bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE harus dibatasi hanya untuk individu perseorangan yang merasa dirugikan, dan tidak mencakup lembaga pemerintah, korporasi, profesi, atau jabatan.
“Kan menurut MK (Mahkamah Konstitusi), institusi enggak bisa melaporkan, harus pribadi kalau pencemaran nama baik,” ujar Fian.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Bagaimana Nasib Nepal Usai Ambruknya Pemerintahan Resmi?
Jakarta –
Perdana Menteri Nepal Khadga Prasad Oli mengundurkan diri pada Selasa (9/9), setelah gelombang protes anti-pemerintah yang berujung pada kerusuhan, menyeret negeri di Himalaya itu ke dalam gejolak politik baru.
“Dengan mempertimbangkan situasi buruk di negara ini, saya mengundurkan diri efektif hari ini untuk memfasilitasi solusi atas masalah ini dan membantu menyelesaikannya secara politik sesuai dengan konstitusi,” tulis Oli dalam surat pengunduran dirinya kepada Presiden Ram Chandra Poudel.
Pengunduran diri itu diumumkan setelah para demonstran membakar rumah pejabat tinggi Nepal, termasuk kediaman pribadi Presiden Poudel dan Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak.
Para pakar hukum tata negara memperingatkan Nepal berisiko menghadapi kekacauan politik berkepanjangan, kecuali segera dibentuk pemerintahan persatuan nasional.
“Tidak ada ketentuan konstitusional yang jelas mengenai apa yang seharusnya terjadi selanjutnya dalam situasi seperti ini,” ujar Bipin Adhikari, profesor hukum tata negara di Universitas Kathmandu.
Salah satu opsi yang mungkin, kata dia, adalah presiden menyerukan pembentukan pemerintahan konsensus nasional. “Perdana menteri harus dipilih dari parlemen sesuai konstitusi 2015, sambil memastikan tuntutan generasi muda Gen Z diakomodasi lewat keterwakilan mereka di dalam dialog ini,” ujarnya kepada DW.
Kekosongan politik
C.D. Bhatta, ilmuwan politik sekaligus manajer program senior di Friedrich Ebert Foundation (FES) Nepal, mengatakan kredibilitas seluruh kekuatan politik “menjadi tidak relevan.”
“Semua pihak kini mencoba memanfaatkan situasi untuk memimpin pemerintahan,” ujarnya kepada DW. “Kita sudah memasuki kekosongan politik dan konstitusional.”
Menurutnya, situasi harus segera ditangani oleh presiden dengan dukungan militer. “Satu-satunya opsi adalah membentuk pemerintahan sipil hingga terpilih pemerintahan baru, dengan dukungan penuh tentara Nepal yang masih menjadi satu-satunya kekuatan sah di negara ini.”
Adhikari sependapat. “Pemerintahan ini harus mendapat dukungan militer Nepal, yang saat ini menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu menjaga ketertiban,” katanya.
Akar kerusuhan terbaru
Nepal, negara pegunungan tanpa akses laut yang terjepit di antara India dan Cina, telah lama menghadapi ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi selama dua dekade terakhir.
Kerusuhan terbaru pecah setelah pemerintah memberlakukan larangan menyeluruh terhadap 26 platform media sosial yang belum terdaftar secara lokal — termasuk Facebook, X, YouTube, LinkedIn, dan WhatsApp — pekan lalu.
Larangan diduga diputuskan setelah video unggahan anak-anak dan keluarga pejabat Nepal memicu amarah publik, karena menampilkan gaya hidup bertabur kemewahan di tengah kemiskinan.
Dalam keterangannya, pemerintah beralasan platform-platform media sosial gagal mematuhi aturan baru yang mengharuskan perusahaan menunjuk kantor penghubung di Nepal.
Namun, para pengkritik menyebut langkah itu sebagai “serangan terhadap kebebasan berekspresi” sekaligus upaya membungkam kritik dan oposisi.
“Larangan ini adalah upaya putus asa dari pemerintah yang tidak populer untuk membungkam lawan politiknya,” ujar Tara Nath Dahal, ketua LSM Freedom Forum Nepal, kepada DW.
Analis menilai protes tidak semata-mata dipicu larangan media sosial, melainkan juga mencerminkan frustrasi dan kekecewaan yang meluas atas korupsi serta buruknya tata kelola.
Aksi yang didorong kelompok muda berusia 18–30 tahun itu sejauh ini berlangsung tanpa kepemimpinan jelas. Banyak anak muda marah karena anak-anak elit politik hidup dalam kemewahan sementara mayoritas generasi muda kesulitan mencari pekerjaan layak.
“Kami tidak menentang sistem politik atau konstitusi. Kami menentang pemerintahan kroni, partai politik, dan kepemimpinan mereka yang tidak kompeten,” kata seorang perwakilan gerakan protes yang enggan disebut namanya.
“Kami menuntut tata kelola yang baik dan keadilan bagi mereka yang kehilangan nyawa dalam aksi ini. Kami tidak ingin wajah-wajah lama kembali mengisi jalur politik baru.”
Tuntutan akuntabilitas
Pada Senin (8/9), puluhan ribu warga turun ke jalan di ibu kota Kathmandu, mengepung gedung Parlemen.
Aparat keamanan melepaskan tembakan ke arah massa, menewaskan sedikitnya 19 orang dan melukai sekitar 150 lainnya. Tidak lama berselang, gedung wakil rakyat itu hangus terbakar.
Kelompok HAM menyerukan pertanggungjawaban dan investigasi independen atas brutalitas aparat keamanan.
Nirajan Thapaliya, direktur Amnesty International Nepal, mengatakan organisasinya “sangat mengecam penggunaan senjata mematikan maupun non-mematikan secara melawan hukum oleh aparat keamanan di Nepal” dan mendesak otoritas untuk “mengendalikan diri secara maksimal.”
Gelombang protes memaksa pemerintah mencabut larangan media sosial pada Selasa pagi, sebelum Oli menyerahkan pengunduran dirinya.
Namun, kemarahan terhadap pemerintah tak kunjung mereda, dengan aksi-aksi protes tetap berlanjut di Kathmandu meski ada jam malam tanpa batas.
Setelah pengunduran diri Oli, militer Nepal mengunggah imbauan di X agar masyarakat “menahan diri.”
India, yang menampung ratusan ribu warga Nepal, menyatakan harapannya agar semua pihak di negara tetangga itu menahan diri dan menyelesaikan masalah lewat dialog.
Kedutaan besar Australia, Finlandia, Prancis, Jepang, Korea Selatan, Inggris, Norwegia, Jerman, dan Amerika Serikat di Nepal juga mengeluarkan pernyataan bersama, mendesak semua pihak menahan diri, menghindari eskalasi, dan memastikan hak-hak fundamental dihormati.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Yuniman FaridTonton juga video “Demo Berlanjut, Gen Z Nepal Minta Eks Ketua MA Jadi PM Sementara” di sini:
(ita/ita)
-
/data/photo/2025/09/03/68b836bc52796.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Pelindas Affan Kurniawan Lawan Putusan Etik, Ajukan Banding atas Sanksi Nasional
Pelindas Affan Kurniawan Lawan Putusan Etik, Ajukan Banding atas Sanksi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kasus kendaraan taktis (rantis) Brimob yang melindas ojek online (ojol) Affan Kurniawan hingga tewas kini memasuki babak baru.
Dua anggota Korps Brimob Polri yang sebelumnya dijatuhi hukuman etik resmi mengajukan perlawanan.
Keduanya adalah Komandan Batalyon A Resimen 4 Pasukan Pelopor Korps Brimob, Kompol Cosmas Kaju Gae, serta sopir rantis, Bripka Rohmat.
Mereka mengajukan banding atas putusan sidang Komisi Kode Etik dan Profesi (KKEP) Polri.
“Terhadap keputusan sidang KKEP yang telah digelar minggu lalu, keduanya telah mengajukan banding,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, Rabu (10/9/2025).
Cosmas sebelumnya dijatuhi hukuman Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.
Ia dinilai tidak profesional dalam penanganan aksi unjuk rasa pada 28 Agustus 2025 yang berujung tewasnya Affan Kurniawan.
Majelis etik menyatakan Cosmas terbukti melanggar Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri, yang dikaitkan dengan sejumlah pasal dalam Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan KKEP.
Putusan sidang KKEP menjatuhkan tiga sanksi, yakni menyatakan perbuatan Cosmas sebagai tercela, penempatan khusus di ruang Patsus Biro Provost Divpropam Polri sejak 29 Agustus hingga 3 September 2025, serta pemecatan tidak dengan hormat dari dinas kepolisian.
Sementara itu, Bripka Rohmat dijatuhi sanksi demosi selama tujuh tahun.
Tindakannya dalam insiden rantis yang menewaskan Affan dinyatakan sebagai perbuatan tercela.
Ia juga diwajibkan menyampaikan permintaan maaf, baik secara lisan di hadapan sidang maupun tertulis kepada pimpinan Polri.
Selain itu, Rohmat ditempatkan di ruang Patsus Divpropam Polri selama 20 hari, sejak 29 Agustus hingga 17 September 2025.
Tak berhenti pada dua orang tersebut, Polri juga akan menggelar sidang etik untuk lima anggota Brimob lain yang berada di dalam rantis saat kejadian.
Mereka adalah Aipda MR, Briptu D, Bripda M, Bharaka J, dan Bharaka YD, seluruhnya berasal dari Satbrimob Polda Metro Jaya.
Kelima personel ini masuk kategori pelanggaran sedang.
Namun, Polri belum memastikan kapan sidang etik terhadap mereka akan digelar.
“Kelima personel (penumpang) lainnya dalam proses pelengkapan berkas perkaranya untuk diselenggarakan pada sidang KKEP berikutnya,” ujar Trunoyudo.
Tidak hanya proses etik, Cosmas dan Rohmat juga bakal menghadapi proses hukum.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, memastikan Cosmas dan Rohmat akan dipidana karena kasus melindas Affan Kurniawan.
“Terhadap dua orang yang sudah diberikan putusan etik itu selanjutnya akan diambil satu langkah hukum pidana,” kata Yusril usai Rapat Koordinasi Tingkat Menteri dan Ketua Lembaga/Komisi di Kemenko Kumham, Senin (8/9/2025).
“Jadi kalau kemarin saya mengatakan tidak tertutup kemungkinan akan diambil langkah pidana, hari ini dari laporan, dari rapat ini sudah diterima satu laporan dari kepolisian bahwa terhadap dua orang yang tidak profesional itu akan dilanjutkan ke persidangan di peradilan umum dan akan didakwa sebagai pelaku tindak pidana,” tegasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/10/68c1612ddf2b7.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Saat Tuntutan Massa Buruh Direspons Istana… Megapolitan 11 September 2025
Saat Tuntutan Massa Buruh Direspons Istana…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Massa buruh yang tergabung dalam Forum Urun Rembug Nasional Serikat Pekerja–Serikat Buruh menggelar demo di Patung Arjuna Wijaya atau Patung Kuda, Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
Pantauan
Kompas.com
di lokasi pukul 13.00 WIB, massa buruh terlebih dahulu melakukan
long march
dari depan Menara Thamrin menuju Silang Selatan Monas.
Mereka membawa satu spanduk besar bertuliskan “10 Tuntutan Forum Urun Rembug Nasional Serikat Pekerja–Serikat Buruh” dan dikawal dua mobil komando yang dilengkapi pengeras suara.
Massa yang hadir diperkirakan mencapai 500 orang. Mereka tampak mengenakan atribut serikat pekerja, membawa bendera organisasi buruh, serta mengibarkan bendera Merah Putih.
Dalam aksi tersebut, massa mengusung sepuluh tuntutan utama yang mereka sebut sebagai agenda perjuangan buruh dan rakyat.
Di spanduk besar berwarna putih tertulis 10 tuntutan yang diusung massa aksi, yakni sebagai berikut:
Di bagian bawah spanduk, massa juga menyelipkan seruan besar: “Bangkit, Bergerak, Hancurkan Tirani.”
Sekitar pukul 15.00 WIB, sebanyak 20 perwakilan buruh diterima untuk melakukan audiensi di Istana Merdeka, Jakarta. Pertemuan berlangsung tertutup hingga pukul 18.00 WIB.
Kapolsek Gambir Kompol Rezeki Respati menyebutkan audiensi berjalan cukup panjang.
“Iya tiga jam, lama audiensinya tadi tuh yang 20 orang,” ujarnya kepada
Kompas.com
di lokasi aksi.
Koordinator Lapangan Forum Urun Rembug, Ajat Sudrajat, kemudian menyampaikan hasil pembahasan kepada massa melalui mobil komando.
Ajat berujar, sejumlah usulan yang diajukan diapresiasi oleh pihak Istana. Bahkan, Sekretariat Negara disebut akan memfasilitasi undangan lanjutan untuk pembahasan bersama kementerian terkait.
“Istana membuka ruang untuk pertemuan dengan Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Hukum dan HAM, serta Komisi III DPR RI,” jelas Ajat.
Selain isu ketenagakerjaan umum, Ajat menambahkan bahwa pekerja ojek
online
(ojol) yang turut hadir juga mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Mereka sempat berdiskusi dengan Menteri UMKM Maman Abdurrahman serta Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro.
Ajat menyebut pembahasan yang berlangsung di Istana cukup konstruktif, khususnya terkait perlindungan buruh dan pekerja rentan.
Ia menekankan bahwa pembahasan teknis akan berlanjut dalam forum resmi lintas kementerian.
“Kami berharap Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan bisa duduk bersama membicarakan perlindungan bagi pekerja ojol, termasuk hak dan kepastian hukum mereka,” ujar Ajat.
Selain perwakilan buruh, mahasiswa yang ikut aksi juga sempat menyampaikan sejumlah temuan yang akan ditindaklanjuti.
Meski mengapresiasi respons Istana, Ajat menegaskan bahwa perjuangan tidak akan berhenti.
“Ini bukan
lipservice
. Aksi akan terus berlanjut dengan skala yang lebih besar,” katanya, disambut sorak-sorai massa aksi.
Sekitar pukul 18.10 WIB, massa aksi mulai membubarkan diri secara tertib. Petugas PPSU DKI Jakarta tampak membersihkan lokasi dari sampah makanan dan minuman sisa aksi.
Sementara itu, polisi kembali membuka arus lalu lintas di Jalan Merdeka Selatan menuju Gambir yang sebelumnya ditutup selama demonstrasi berlangsung.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

3 Faktor Penyebab Demo Chaos Nepal yang Buat Pemerintahan Kolaps
Jakarta, CNBC Indonesia– Demonstrasi berujung aksi kekerasan dan anarkisme pecah di Nepal. Sejak Senin, negeri itu dilanda kekacauan, yang membuat pemerintahan kolaps.
Pada awalnya, pemuda Nepal yang sangat melek digital, harus menerima kenyataan pahit bagaimana pemerintah yang dikuasai Partai Komunis mencoba mengekang akses ke 26 aplikasi media sosial, termasuk Facebook dan X. Keputusan yang dibuat pemerintah sejak Kamis pekan lalu itu, menjadi trigger awal kemarahan warga, yang didominasi Generasi Z.
Belum lagi banyaknya pengangguran dan terbatasnya kesempatan kerja. Ketidakstabilan politik, korupsi dan lambatnya pembangunan ekonomi negeri Himalaya itu jadi soal lain.
Sayangnya di tengah situasi sulit, pejabat dan keluarganya tak bisa berempati. Flexing kekayaan baik di muka umum atau media sosial menjadi masalah lain yang memicu warga semakin marah.
Berikut penjelasan lengkap faktor penyebab demo chaos di Nepal membuat pemerintahannya kini runtuh, dirangkum CNBC Indonesia Kamis (11/9/2025).
Kesulitan Ekonomi
Sebenarnya Nepal adalah negara yang sakit secara ekonomi. Ini terlihat dari beberapa indikator.
World Bank (Bank Dunia) mengatakan bahwa 82% tenaga kerja Nepal ternyata berada di sektor informal.
Data ini mengejutkan sebagai sebuah negara, di mana data pekerja informal tersebut jauh lebih tinggi daripada rata-rata global dan regional.Sulitnya pekerjaan ini pun menjadi jawaban mengapa remitansi sangat penting bagi perekonomian Nepal, setara dengan sepertiga PDB negara itu tahun lalu dan merupakan tingkat tertinggi keempat di dunia. Remitansi sendiri adalah transfer uang yang dilakukan pekerja asing ke penerima di negara asalnya.
Media sosial, yang coba dikekang pemerintah, adalah alat utama untuk tetap berhubungan dengan kerabat di luar negeri itu. Sehingga kekhawatiran berlebih muncul saat pemerintah memberlakukan kebijakan yang kontra media sosial.
“Ketergantungan Nepal pada remitansi… telah menjadi pusat pertumbuhan negara tetapi belum menghasilkan lapangan kerja berkualitas di dalam negeri, yang memperkuat siklus hilangnya kesempatan dan berlanjutnya kepergian banyak warga Nepal ke luar negeri untuk mencari pekerjaan,” kata Bank Dunia dalam laporan negara terbarunya.
Sebenarnya merujuk data paruh pertama 2025, perekonomian Nepal cenderung membaik. PDB riil tumbuh 4,9% dari 4,3% di periode yang sama 2024.
Dua sektor menjadi pendorong utama. Yakni pertanian dan perindustrian.
Namun, perlu diketahui Nepal menggelompokkan kaum mudanya pada mereka yang berusia 16-40 tahun. Mereka mencapai 43% dari populasi atau 12 juta orang.
“Dengan sekitar 500.000 kaum muda memasuki dunia kerja setiap tahun di Nepal, urgensi untuk menciptakan lapangan kerja yang mengangkat keluarga keluar dari kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting,” kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Selatan, Johannes Zutt.
Foto: REUTERS/Stringer
Sejumlah pendemo di Nepal berhasil merampas senjata laras panjang milik aparat kepolisian dan militer saat demonstrasi yang berujung kerciuhan. (REUTERS/Bikram Rai)Foto: Seorang tentara Nepal berjaga-jaga saat tim tentara mencoba memadamkan api di gedung Parlemen, menyusul tewasnya 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, di Kathmandu, Nepal, 10 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)
Korupsi
Mengutip AFP, korupsi juga jadi hal lain yang membuat demonstrasi besar-besaran. Kelompok hak asasi manusia (HAM) Transparency International menempatkan Nepal di peringkat 107 dari 180 negara.
Ini dibuktikan dengan vitalnya video yang yang membandingkan perjuangan rakyat biasa Nepal dengan anak-anak politisi yang memamerkan barang-barang mewah dan liburan mahal telah menjadi viral di TikTok. Salah seorang warga bernama Puja Manni (23), yang pernah bekerja di luar negeri mengatakan ekses elit penguasa telah “terungkap melalui media sosial”.
Ini pun juga menjadi hal lain yang memicu ketidakpuasan anak muda pada para pemimpin yang telah berkuasa puluhan tahun. Perlu diketahui, negara ini menjadi republik federal pada tahun 2008 setelah perang saudara selama satu dekade dan kesepakatan damai yang membawa kaum Maois ke dalam pemerintahan dan menghapuskan monarki.
Sejak saat itu, pergantian perdana menteri (PM) yang menua menjadi budaya tawar-menawar antar elit. Ini telah memicu persepsi publik bahwa pemerintah tidak peka pada warga.
Foto: Asap mengepul setelah demonstran membakar gerbang utama Parlemen, selama protes terhadap pembunuhan 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)
Ketakutan akan Hilangnya Hak
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nepal memperingatkan bahwa larangan media sosial merusak semangat pemerintahan demokratis. Hal ini setidaknya dikatakan Santosh Sigdel, dari Digital Rights Nepal.
“Ini jalan yang licin,” ujarnya memberi kiasan.
Sementara Kathmandu Post mengatakan larangan tersebut menyentuh “saraf yang sensitif” terutama di “kalangan pemuda yang marah”.
“Mereka menggunakan platform ini untuk melampiaskan rasa frustrasi yang terpendam, terhubung dengan teman, dan tetap terhubung dengan dunia,” tulis surat kabar tersebut, yang kantornya dibakar massa pada hari Selasa.
“Mereka sudah gelisah, muak dengan sistem kesehatan dan pendidikan negara yang menyedihkan, serta korupsi dan nepotisme yang merajalela, sedemikian rupa sehingga banyak dari mereka tidak melihat masa depan di negara ini.”
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
-

Legislator Dorong Kasus Kematian Aktivis Lingkungan di NTT Diusut Tuntas
Jakarta –
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menyoroti kasus aktivis lingkungan di Nusa Tenggara Timur (NTT) Vian Ruma yang ditemukan tewas dengan leher terikat. Dia mendorong kasus tersebut diusut tuntas dan transparan.
“Kasus tragis ini bukan hanya soal hilangnya nyawa seorang anak bangsa, tetapi juga menyangkut aspek perlindungan hak asasi manusia serta jaminan kebebasan berekspresi warga negara. APH (Aparat Penegak Hukum) perlu mengungkap kasus ini sebenar-benarnya sesuai fakta,” kata kata Andreas, Rabu (10/9/2025).
Andreas juga menyampaikan duka cita mendalam atas meninggalnya Vian Ruma yang dikenal aktif menyuarakan penolakan terhadap proyek Geotermal di daerahnya. Andreas mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan transparan agar keadilan dapat ditegakkan dan tidak menimbulkan preseden buruk bagi perlindungan HAM di Indonesia.
“Pihak penegak hukum dalam hal ini polisi perlu menjelaskan kasus tersebut agar jelas latar belakang dan penyebab kematian dari kematian almarhum,” ungkap Andreas.
“Penjelasan ini untuk tidak terjadi penafsiran-penafsiran yang bias informasi mengenai penyebab kematian yang bersangkutan,” imbuhnya.
Lebih jauh, Andreas menekankan pentingnya memperkuat regulasi yang menjamin kebebasan berpendapat, perlindungan pembela HAM, dan mekanisme pengawasan agar pembangunan, termasuk di sektor energi, tidak melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.
“Reformasi regulasi di bidang perlindungan HAM harus dipastikan berjalan nyata, agar masyarakat memiliki kepastian hukum ketika menyuarakan kritik dan pandangan yang berbeda terhadap kebijakan pembangunan,” tegas Andreas.
Ia juga mengingatkan bahwa negara berkewajiban melindungi setiap warga. Termasuk bagi aktivis lingkungan agar terbebas dari segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.
“Tragedi ini menjadi pengingat bahwa pembangunan sejati harus selaras dengan penghormatan terhadap HAM, keterbukaan regulasi, dan perlindungan terhadap setiap warga negara yang memperjuangkan masa depan lingkungan dan kemanusiaan,” ujarnya.
Diketahui, Vian Ruma ditemukan tewas tergantung dengan leher terikat. Vian ditemukan di sebuah gubuk bambu dekat pantai di Sikusama, Desa Tonggo, Kecamatan Nangaroro.
Dilansir detikBali, Vian diketahui berprofesi sebagai guru ASN sekaligus aktif di sejumlah organisasi sosial dan lingkungan. Namun kematiannya dinilai janggal oleh beberapa pihak. Sebelum ditemukan tewas, Vian sempat meninggalkan rumah untuk menghadiri kegiatan Mbay Youth Day.
“Pada tanggal 2 September, Vian dalam perjalanan menuju lokasi kegiatan Mbay Youth Day. Vian menggunakan motor dan membawa tas. Jadi menurut kami, Vian dalam kondisi baik karena semangat untuk mengikuti kegiatan. Namun kemudian Vian ditemukan gantung diri di lokasi menuju tempat kegiatan,” ujar Divisi Advokasi Koalisi Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim (KOPI), Efraim Mbomba Reda, Selasa (9/9/2025).
“Pandangan kami orang yang berencana untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri kondisi mentalnya tidak seperti itu. Biasanya kondisi mentalnya buruk pada saat-saat terakhir,” lanjut Efraim. Ia menambahkan, koalisi KOPI sedang mengumpulkan data lapangan terkait kematian Vian.
(eva/wnv)
-

LBH Jakarta minta akses kunjungan Delpedro Marhaen diperluas
Jakarta (ANTARA) – Pengacara publik dari LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo meminta agar akses kunjungan terhadap aktivis muda sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen yang ditahan di Rutan Polda Metro Jaya dibuka seluas-luasnya.
“Kami mendorong agar Polda Metro Jaya tidak hanya membatasi kunjungan untuk keluarga. Publik dan rekan-rekan Delpedro seharusnya juga bisa dengan mudah menjenguk di rutan Polda Metro,” kata Alif saat mendampingi keluarga membesuk Delpedro di Polda Metro Jaya, Rabu.
Menurutnya, status tahanan Delpedro dan kawan-kawan bukan berarti menghilangkan hak mereka untuk mendapat dukungan.
Dia menilai kesempatan membesuk sebaiknya tidak hanya diberikan kepada keluarga inti, melainkan juga kepada publik dan rekan-rekan sesama aktivis yang ingin memberikan dukungan.
“Tidak hanya Delpedro, tapi juga ada Khariq Anhar, Syahdan Hussein, dan juga Muzaffar Salim yang sama-sama ditahan di Rutan Polda Metro Jaya,” kata dia.
Terkait kunjungan Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra ke ruang tahanan Polda Metro Jaya, Alif menilai kunjungan itu memberi sinyal positif.
Menurutnya, Yusril telah menegaskan pentingnya pemenuhan hak asasi manusia, termasuk bagi Delpedro Marhaen dan kawan-kawan yang kini berstatus sebagai tahanan.
“Kami menangkap sinyal baiknya Menko Yusril kemarin menjamin bahwa ada hak asasi manusia yang harus dijamin karena Delpedro dan kawan-kawan sekarang statusnya sebagai tahanan Polda Metro Jaya,” kata Alif.
Mengenai tuduhan penghasutan terhadap Delpedro dan kawan-kawan, Alif menyebut tidak korelatif dengan gelombang protes masyarakat.
“Tadi mungkin sudah disampaikan oleh beberapa rekan sebelumnya bahwa pasalnya memang ini sifatnya bentuknya adalah penghasutan. Tapi kita lihat ini tidak ada korelasi tidak ada kausalitasnya dengan beberapa gelombang protes yang dilakukan oleh masyarakat luas,” kata Alif.
Aksi unjuk rasa masyarakat itu, kata dia, reaksi subjektif terhadap produk kebijakan.
“Kami menyadari ini merupakan realitas subjektif yang dirasakan oleh masyarakat terhadap beberapa kebijakan yang mungkin tadi tidak pro terhadap rakyat dan juga pemajuan kesejahteraan bagi rakyat,” ujarnya.
Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Syaiful Hakim
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Pengamat Hukum Bivitri Kritik Tudingan Pidana Terhadap Delpedro, Nilai Telah Lecehkan Otonomi Anak
Bisnis.com, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyatakan tudingan tindak pidana terhadap Direktur Lokataru Delpedro Marhaen dinilai tidak tepat.
Bivitri menjelaskan persangkaan polisi soal penghasutan pelajar oleh Delpedro itu tidak tepat lantaran anak-anak sudah bisa memilih pilihannya sendiri atas tindakan soal unjuk rasa.
Menurutnya, apabila tindakan Delpedro dinilai sebuah tindakan pidana maka hal tersebut justru telah melecehkan otonomi anak-anak.
“Menghasut anak-anak SMA itu menurut saya juga sebenarnya seperti melecehkan otonomi dari anak-anak. Seakan-akan mereka tidak punya pikiran sendiri kayak orang robot gitu ya, yang bisa kita pakai remote control, eh jalan kesini, jalan kesitu,” ujar Bivitri di Polda Metro Jaya, Rabu (10/9/2025).
Dia menyatakan bahwa anak-anak zaman sekarang justru sudah paham tindakan yang telah dilakukan karena memiliki pemikiran yang merdeka.
Di lain sisi, kata Bivitri, penangkapan aktivis HAM seperti Delpedro ini justru telah mencerminkan pembungkaman terhadap demokrasi di Indonesia, khususnya soal kritik yang dilayangkan terhadap pemerintah.
“Karena hari-hari ini pola untuk membungkam pengkritik sedang dilakukan,” imbuhnya.
Di lain sisi, Bivitri juga menilai bahwa saat ini hukum telah menjadi alat untuk penguasa. Padahal, seharusnya hukum berfungsi untuk menegakkan keadilan.
“Buat mereka ya hukum bagus banget, bisa cepat dipakai untuk menangkap siapa saja, membungkam media, dan seterusnya. Tapi buat kita, kita yang kena, kita nggak punya kekuasaan,” pungkas Bivitri.
Dalam catatan Bisnis, Delpedro telah jadi tersangka lantaran dituding telah menghasut anak dibawah umur melakukan tindakan anarkis serta menyebarkan informasi bohong melalui media sosial.
Delpedro juga disebut kepolisian telah membuat seruan yang diunggah melalui akun Instagram Lokataru Foundation untuk tidak takut untuk melawan saat demonstrasi.
Atas perbuatannya, Delpedro dipersangkakan pasal berlapis mulai dari Pasal 160 KUHP, Pasal 45A Ayat 3 Juncto Pasal 28 Ayat 3 UU No.1/2024 tentang ITE, hingga Pasal 76H Jo Pasal 15 Jo Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
/data/photo/2025/09/10/68c169f7206e2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)