Kasus: HAM

  • Pemkab Lamongan Genjot Pembentukan Posbakum Desa untuk Wujudkan Akses Hukum Merata

    Pemkab Lamongan Genjot Pembentukan Posbakum Desa untuk Wujudkan Akses Hukum Merata

    Lamongan (beritajatim.com) – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamongan terus memperkuat komitmen dalam menghadirkan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, dengan memperluas pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) hingga ke tingkat desa dan kelurahan.

    Inisiatif ini menjadi bagian dari strategi Pemkab Lamongan dalam membangun tata kelola pemerintahan yang transparan, inklusif, dan berpihak pada masyarakat kecil.

    Melalui program sosialisasi pembentukan Posbakum Desa/Kelurahan, Pemkab menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH), akademisi, dan praktisi hukum guna memperluas pemahaman masyarakat tentang pentingnya layanan bantuan hukum, dengan melakukan sosialisasi ke kecamatan-kecamatan.

    Kepala Bagian Hukum Setda Lamongan, M. Rois, menyebut Posbakum akan menjadi garda terdepan dalam memberikan pendampingan hukum bagi warga, khususnya bagi mereka yang kurang mampu.

    “Kami ingin memastikan akses keadilan dapat dirasakan hingga ke pelosok desa. Posbakum ini memberikan layanan pendampingan hukum secara gratis bagi masyarakat,” ujar Rois, Selasa (28/10/2025).

    Rois menambahkan, program tersebut juga mendukung gerakan nasional Desa Sadar Hukum yang diinisiasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Dengan adanya Posbakum, desa diharapkan lebih siap menghadapi berbagai persoalan hukum, mulai dari administrasi, tanah, hingga konflik sosial.

    “Desa yang memiliki Posbakum akan lebih tanggap dalam menyelesaikan permasalahan hukum secara cepat dan sesuai aturan,” ujarnya.

    Rois menyebutkan, hingga akhir Oktober 2025, tercatat 314 dari 474 desa/kelurahan di Lamongan telah memiliki Posbakum aktif. Pemkab menargetkan seluruh desa memiliki Posbakum pada akhir 2025, dengan operasional penuh pada 2026.

    “Dengan percepatan pembentukan Posbakum Desa ini, Pemkab Lamongan optimistis dapat menjadi kabupaten pelopor pemerataan akses keadilan di Jawa Timur,” tuturnya.

    Sementara itu, Ketua LBH Mawaddah Lamongan, Indah Suci Ning Ati, mengapresiasi langkah Pemkab yang membuka ruang kolaborasi bagi lembaga bantuan hukum di tingkat desa.

    “Kami siap mendampingi dan menjadi mitra bagi Posbakum Desa. Tujuannya agar layanan hukum bisa benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat,” kata Indah.

    Dengan kolaborasi pemerintah daerah, LBH, dan masyarakat, keberadaan Posbakum Desa diharapkan mampu memperkuat kesadaran hukum sekaligus memastikan keadilan tidak hanya berhenti di kota, tetapi hadir nyata hingga ke pelosok Lamongan. (fak/ted)

  • Pasukan Israel Tembak Mati 3 Warga Palestina di Tepi Barat

    Pasukan Israel Tembak Mati 3 Warga Palestina di Tepi Barat

    Tepi Barat

    Otoritas Israel mengatakan pasukan keamanan mereka telah menewaskan tiga warga Palestina dalam sebuah operasi di wilayah Tepi Barat bagian utara pada Selasa (28/10) pagi waktu setempat. Tel Aviv mengklaim ketiga orang yang tewas itu sedang merencanakan serangan.

    Kepolisian Israel dalam pernyataannya, seperti dilansir Associated Press, Selasa (28/10/2025), mengatakan tiga pria ditembak ketika mereka keluar dari sebuah gua di dekat Jenin, Tepi Barat bagian utara, yang dikenal sebagai basis militan.

    Otoritas Israel mengklaim ketiga pria yang ditembak mati itu merupakan para militan yang merencanakan serangan, namun tidak dijelaskan lebih lanjut soal rencana serangan tersebut.

    Laporan The Times of Israel menyebut pasukan keamanan Israel bertindak atas informasi intelijen yang diberikan oleh badan keamanan Shin Bet, dan mendapatkan dukungan militer Israel.

    Pernyataan otoritas Israel menyebut pasukan militernya melancarkan serangan udara tak lama kemudian untuk menghancurkan gua tersebut. Militer Tel Aviv mengonfirmasi adanya serangan udara di area tersebut, namun tidak memberikan rincian lebih lanjut.

    Belum ada tanggapan langsung dari Otoritas Palestina yang berkantor di Ramallah, Tepi Barat.

    Israel semakin meningkatkan aktivitas militernya di wilayah Tepi Barat sejak perang Gaza berkecamuk pada 7 Oktober 2023 lalu. Militer Tel Aviv mengklaim operasinya bertujuan menindak militan-militan di Tepi Barat.

    Namun, Otoritas Palestina dan kelompok hak asasi manusia (HAM) mengatakan bahwa sejumlah warga sipil yang tidak terlibat juga termasuk di antara korban tewas, sementara puluhan ribu orang telah mengungsi dari rumah-rumah mereka di Tepi Barat.

    Operasi militer berskala besar dilancarkan Israel sejak Januari lalu terhadap kamp Jenin, yang sejak lama menjadi markas kelompok-kelompok militan, termasuk Hamas, dan Jihad Islam. Operasi militer Tel Aviv itu membuat sebagian besar wilayah Jenin terbengkalai dan hancur.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Anggota Komisi XIII DPR RI dorong penguatan pengawasan industri AMDK

    Anggota Komisi XIII DPR RI dorong penguatan pengawasan industri AMDK

    “Ketika perusahaan mengiklankan produknya berasal dari mata air pegunungan alami, tetapi faktanya dari sumur bor, itu bentuk iklan menyesatkan. Masyarakat berhak tahu apa yang sebenarnya mereka konsumsi,”

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi XIII DPR RI Mafirion mendorong penguatan regulasi dan pengawasan terhadap industri air minum dalam kemasan (AMDK).

    Hal ini menyusul temuan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi soal produk air minum kemasan Aqua yang diduga tidak bersumber dari mata air pegunungan alami sebagaimana yang diklaim pada kemasan.

    “Ketika perusahaan mengiklankan produknya berasal dari mata air pegunungan alami, tetapi faktanya dari sumur bor, itu bentuk iklan menyesatkan. Masyarakat berhak tahu apa yang sebenarnya mereka konsumsi,” katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

    Legislator dari komisi DPR RI yang membidangi reformasi regulasi dan hak asasi manusia (HAM) itu menilai, praktik seperti ini tidak hanya merugikan konsumen secara ekonomi, tetapi juga melanggar HAM dan hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28F dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

    “Setiap warga negara berhak memperoleh informasi yang benar dan lingkungan hidup yang baik serta sehat. Ketika informasi dikaburkan atau dimanipulasi, maka hak konstitusional itu turut dilanggar,” ujarnya.

    Mafirion juga menyebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 9 dan Pasal 10 telah secara tegas melarang pelaku usaha membuat pernyataan menyesatkan mengenai asal, jenis, mutu, atau komposisi suatu produk.

    Menurutnya, ketegasan penegakan hukum terhadap pelanggaran tersebut, masih perlu diperkuat.

    “Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika ada perusahaan yang memasarkan produk dengan klaim tidak sesuai fakta, maka pemerintah wajib menindak tegas,” ucapnya.

    Komisi XIII DPR RI, kata dia, akan mendorong pemerintah bersama lembaga pengawas, seperti Kementerian Perdagangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Perindustrian, untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap pelaku usaha yang tidak transparan.

    “Kita perlu memperbarui sistem pengawasan dan sertifikasi label produk agar tidak ada lagi perusahaan yang memanfaatkan celah hukum untuk menyesatkan publik,” ucapnya.

    Lebih lanjut, Mafirion juga menyoroti aspek etika bisnis dan tanggung jawab sosial korporasi atau corporate social responsibility (CSR) yang semestinya dijunjung tinggi oleh pelaku usaha.

    “Konsumen membayar lebih karena percaya produk itu berasal dari sumber alami yang murni. Jika ternyata tidak, maka ini bentuk eksploitasi terhadap kepercayaan publik. Dunia usaha harus berbisnis dengan nilai, bukan manipulasi,” ujarnya.

    Dirinya pun mengingatkan bahwa praktik bisnis yang tidak jujur dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap industri lokal, dan dalam jangka panjang, merusak iklim usaha yang sehat di Indonesia.

    “Integritas informasi adalah kunci kepercayaan publik. Negara tidak boleh diam terhadap praktik bisnis yang menyesatkan,” ujarnya.

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto Dinilai Khianati Reformasi 98 dan Melanggar Hukum

    Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto Dinilai Khianati Reformasi 98 dan Melanggar Hukum

    Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto dinilai bakal mengkhianati reformasi 1998 dan melawan hukum.

    Direktur Eksekutif Lembaga Kajian demokrasi dan kebajikan publik Public Virtue Research Institute (PVRI), Muhammad Naziful Haq menolak rencana penetapan gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto 

    Menurutnya, jika gelar tersebut tetap diberikan, maka sama saja mengkhianati cita-cita kemerdekaan Indonesia. Hal ini tidak lepas dari historis Soeharto yang lekat dengan pelanggaran HAM, penyelewengan kekuasaan, hingga militeristik. 

    “Soeharto bukan bukan nominasi yang tepat. Secara historis, dia adalah bagian dari otoritarianisme masa lalu yang mengkhianati cita-cita kemerdekaan,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

    Dia juga menyoroti usulan nama yang mendapatkan gelar pahlawan di mana dari 40 nama, 10 di antaranya berlatar belakang militer, 11 memiliki latar belakang elite agama, 19 lainnya dari berbagai latar. 

    Dia menilai, hal ini berkaitan erat dengan kepentingan politik antara para elite untuk memberikan gelar pahlawan.

    “Nominasi nama-nama pahlawan di satu sisi tidak lepas dari politik pengkultusan individu, namun di sisi lain mencerminkan kompromi antara aktor penguasa dan kelompok agama yang sedang diakomodasi,” ujarnya.

    Selain itu, menurut Peneliti PVRI, Alva Maldini usulan nama Soeharto seolah mencoba mengubur masalah-masalah yang terjadi masa itu. Terlebih, katanya, nama Marsinah dan Gus Dur masuk dalam usulan sebagai simbol kelompok buruh dan ikon demokrasi. 

    “Namun ketika dua nama ini bersanding dengan nama Suharto dalam situasi militerisme dan menyempitnya ruang sipil, ada risiko dua nama ini menjadi apologi untuk situasi saat ini atau bahkan tukar guling politik,” jelas Alva.

  • Setara Institute: Rencana Gelar Pahlawan untuk Soeharto Melanggar Hukum

    Setara Institute: Rencana Gelar Pahlawan untuk Soeharto Melanggar Hukum

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Dewan Setara Institute Hendardi menilai rencana pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto melanggar hukum. Menurutnya, Soeharto lekat dengan masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan.

    Hendardi mengatakan, upaya mengharumkan mertua Prabowo Subianto itu sudah berjalan sistematis. Sebab, katanya, tepat sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 

    Menurutnya, pencabutan TAP MPR itu mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah dinilai seolah ingin melepaskan nama Soeharto dari masalah-masalah yang pernah dibuatnya.

    “Selain itu jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

    Dia menuturkan bahwa dalam aturan tersebut, untuk memperoleh gelar tanda jasa harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur di Pasal 24, yakni WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara; berkelakuan baik; setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 

    “Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan,” ujar Ketua Dewan Setara Institute Hendardi.

    Hendardi juga menyinggung putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US$315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sekitar Rp4,4 triliun dengan kurs saat itu.

    Selain itu, Soeharto turut didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta pihak-pihak terdekat Cendana 

    “Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan,” tegasnya.

  • Sabar Menanti Kabar Tim Reformasi Polri dari Prabowo

    Sabar Menanti Kabar Tim Reformasi Polri dari Prabowo

    Sabar Menanti Kabar Tim Reformasi Polri dari Prabowo
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tim reformasi Polri bentukan Presiden Prabowo Subianto belum juga diumumkan, publik diminta sabar menanti.
    Pembenahan institusi kepolisian mencuat usai demonstrasi nasional di pengujung Agustus 2025.
    Momentum itu turut diwarnai sorotan publik terhadap tindakan aparat kepolisian terhadap massa, terlebih usai pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan meninggal dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob pada 28 Agustus 2025.
    11 September 2025, para tokoh masyarakat dan pemuka agama yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) mendatangi Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta.
    GNB menyampaikan soal perlunya reformasi kepolisian. Ternyata Prabowo sudah berniat membentuk tim reformasi polri.
    “Tadi juga disampaikan oleh Gerakan Nurani Bangsa perlunya evaluasi dan reformasi kepolisian, yang disambut juga oleh Pak Presiden, (yang) akan segera membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian. Saya kira ini juga atas tuntutan dari masyarakat yang cukup banyak,” kata salah satu anggota GNB, Pendeta Gomar Gultom, dikutip dari
    Antaranews
    .
    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan tim reformasi Polri nantinya akan diisi oleh sekitar sembilan orang.
    Tim reformasi Polri akan bekerja sebagai tim ad hoc dalam enam bulan.
    Isinya dikabarkan bakal ada mantan kapolri hingga nama-nama terkemuka seperti Mahfud Md hingga Jimly Asshiddiqie.
    5 Oktober 2025, Mensesneg Prasetyo Hadi mengatakan tim reformasi Polri akan diumumkan sepekan setelah momen upacara HUT ke-80 TNI di kawasan Monas itu.
    “Minggu depan. Iya. Akan diumumkan dan dilantik oleh Pak Presiden,” kata Prasetyo.
    Sepekan dari 5 Oktober berarti 12 Oktober. Namun hingga waktu yang dijanjikan Prasetyo, belum ada pelantikan tim reformasi Polri.
    Prasetyo mengatakan pengumuman tim reformasi Polri tinggal menunggu waktu saja.
    Namun hingga kini, tim reformasi bentukan Prabowo belum juga diumumkan.
    “Mohon sabar menunggunya,” kata Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dalam siaran pers, Senin (20/10/2025) pekan lalu.
    Minggu (26/10/2025) kemarin, Yusril juga belum mendapatkan petunjuk soal momen pengumuman tim reformasi Polri itu.
    “Hanya sampai hari ini belum juga diumumkan Komite Reformasi Kepolisian itu. Wartawan tanya saya terus, saya bilang kapan diumumkan, kapan dibentuk itu bukan lagi ke saya nanya, itu tanya pada Mensesneg,” kata Yusril, dalam acara Ngopi Bareng Alumni di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/10/2025).
    Sama halnya dengan Yusril, Mahfud MD juga belum mendapat informasi.
    “Saya enggak tahu ya. Sampai sekarang, saya belum tahu perkembangannya,” ujar Mahfud MD di Yogyakarta, Minggu (26/10/2025).
    Tim reformasi bentukan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo lebih dulu diumumkan ke publik. Tim itu dibentuk pada 17 September 2025.
    Tim Transformasi Reformasi Polri beranggotakan 52 perwira tinggi kepolisian, mulai dari pelindung sampai anggota, diketuai oleh Komjen Chryshnanda Dwilaksana.
    Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto menyebut tim yang utama adalah tim reformasi bentukan Prabowo.
    “Yang penting, yang utama itu adalah yang dari tim bentukan Presiden,” ujar Bambang di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/9/2025).
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ironi HAM di Balik Kertajati “In the Middle of Nowhere”

    Ironi HAM di Balik Kertajati “In the Middle of Nowhere”

    Ironi HAM di Balik Kertajati “In the Middle of Nowhere”
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    BANDARA
    Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati dibangun dengan ambisi besar: menjadi simbol kemajuan dan pusat pertumbuhan ekonomi kawasan Rebana Metropolitan.
    Namun di balik landasan pacu sepanjang 3.000 meter dan terminal megah berbiaya Rp 2,6 triliun (
    Kompas.com
    , 26 Oktober 2025), tersimpan kisah kelam tentang penggusuran, ketidakadilan agraria, dan pelanggaran hak asasi manusia yang jarang dibicarakan.
    Di tempat yang kini disebut oleh Agus Harimurti Yudhoyono, Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan sebagai “in the middle of nowhere” — wilayah Majalengka yang disebutnya megah, tetapi sepi — dulu berdiri rumah, sawah, dan kehidupan para petani yang kini tersingkir.
    Sejak studi kelayakan pada 2003 hingga pembangunan dimulai pada 2014, proyek Kertajati menggusur sedikitnya 1.400 kepala keluarga di lima desa: Kertajati, Bantarjati, Sukakerta, Kertasari, dan Sukamulya (Project M, 2024; Independen.id, 5 Agustus 2024).
    Banyak dari mereka kehilangan hak atas tanah akibat status kepemilikan yang tidak jelas, proses kompensasi tak transparan, dan nilai ganti rugi yang jauh dari layak.
    Alih fungsi lahan pertanian ini mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan ribuan warga.
    Penelitian Hidayat et al. (2017) menemukan bahwa konversi sawah untuk proyek Kertajati menyebabkan penurunan pendapatan usaha tani padi sebesar Rp 37,9 juta per hektar per tahun, serta hilangnya kesempatan kerja pertanian senilai Rp 12,2 juta per hektar per tahun.
    Dampak sosial-ekonomi ini mengancam hak-hak dasar warga sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, yang menuntut adanya keadilan dan partisipasi warga terdampak.
    Ironi itu semakin kentara karena bandara yang dibangun dengan dalih “pembangunan nasional” justru sepi aktivitas.
    Kompas.com
    (29 Juni 2025) menunjukkan bahwa seluruh penerbangan domestik dihentikan sementara akibat rendahnya okupansi.
    Kini, Kertajati hanya melayani satu rute internasional reguler ke Singapura oleh maskapai Scoot, sementara PT BIJB menanggung kerugian hingga Rp 60 miliar per tahun (
    Kompas.com
    , 24 Oktober 2025).
    Pada saat infrastruktur menganggur, para petani bekas penghuni Sukamulya dan Kertajati masih terjerat utang, kehilangan lahan, dan sebagian bahkan menjadi buruh kasar di tanah yang dulu mereka miliki.
    Kertajati sejatinya merupakan cermin buram pembangunan yang kehilangan arah kemanusiaan.
    Di balik jargon “pemerataan” dan “pertumbuhan ekonomi,” negara abai terhadap hak rakyat atas tanah, lingkungan, dan kehidupan yang layak.
    Maka, istilah “in the middle of nowhere” sebetulnya bukan hanya menggambarkan lokasi bandara yang jauh dari kota, melainkan juga mencerminkan kosongnya nurani dalam kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada mereka yang paling terdampak — rakyat kecil di tanah sendiri.
    Kisah Kertajati menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur kerap dijalankan dengan mengorbankan hak warga yang paling rentan.
    Di Desa Sukamulya, Bantarjati, dan Kertasari — wilayah yang kini menjadi bagian dari kawasan Bandara Kertajati — para petani kehilangan tanah yang menjadi sumber penghidupan turun-temurun.
    Banyak di antara mereka tidak memiliki sertifikat karena sejarah penguasaan tanah di sana bersifat adat dan berbasis penggarapan.
    Ketika proyek Bandara Internasional Jawa Barat ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016, proses pengadaan tanah berjalan cepat, sementara ruang konsultasi publik dan negosiasi nyaris tidak ada.
    Laporan Project M (2024) dan Independen.id (2024) menunjukkan bahwa sebagian besar warga hanya menerima ganti rugi dalam bentuk uang tunai, tanpa opsi relokasi atau tanah pengganti sebagaimana dijamin oleh Pasal 36 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012.
    Bahkan, beberapa warga hanya memperoleh separuh nilai kompensasi karena tanah yang telah mereka tempati puluhan tahun tiba-tiba bersertifikat atas nama pihak lain.
    Ketidakjelasan status hukum tanah itu membuat mereka kehilangan hak atas ganti rugi penuh dan terjerat utang ketika berupaya membeli lahan baru.
    Serikat Petani Majalengka (SPM) mencatat banyak petani akhirnya beralih profesi menjadi buruh kasar, kuli bangunan, atau pekerja migran karena kehilangan lahan garapan.
    Sebagian terjerat pinjaman dari bank maupun rentenir akibat biaya hidup yang meningkat dan hasil tani yang merosot.
    Fakta ini memperlihatkan bahwa proyek pembangunan yang mengklaim membawa kesejahteraan justru menciptakan ketimpangan struktural baru.
    Negara, alih-alih menjadi pelindung hak warga, tampil sebagai aktor yang mempercepat proses pemiskinan di pedesaan.
    Kertajati pun menjadi contoh nyata bagaimana pembangunan infrastruktur dapat melahirkan pelanggaran hak atas tanah, hak atas pekerjaan, dan hak atas kehidupan yang layak — tiga hak dasar yang termasuk dalam kategori hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) menurut instrumen Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah diaksesi Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005.
    Dalam HAM, pelanggaran ini bukan sekadar akibat kebijakan teknokratis yang salah arah, tetapi juga bentuk kegagalan negara memenuhi kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warga.
    Narasi resmi negara tentang Kertajati selalu dibungkus dengan optimisme: mendorong konektivitas, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan menjadikan Majalengka bagian dari “kawasan masa depan” Jawa Barat.
    Namun, di balik jargon industrialisasi Rebana dan retorika kemajuan, terselip realitas sosial yang kontras — kemiskinan baru, kehilangan identitas agraris, dan keterasingan warga di tanah sendiri.
    Alih-alih membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal, kawasan industri dan bandara justru menutup akses mereka terhadap sumber penghidupan tradisional.
    Bahkan, ada warga yang istrinya terpaksa menjadi pekerja migran karena lahan sawah tergusur, menggambarkan wajah baru penderitaan di balik proyek strategis nasional.
    Jeratan utang ke bank dan rentenir menjadi keniscayaan ketika tanah — simbol kemandirian petani — berubah menjadi aset komersial bagi segelintir pihak.
    Ironi Kertajati tidak berdiri sendiri. Ia adalah potret dari model pembangunan yang mengukur kemajuan dengan beton dan aspal, bukan kesejahteraan rakyat.
    Negara tampak berkomitmen pada “pertumbuhan”, tetapi lalai terhadap “keadilan sosial”. Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Pasal 33 UUD NRI 1945, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, bukan untuk menyingkirkan yang lemah.
    Ketika tanah yang dulu memberi kehidupan kini hanya menjadi landasan pesawat, pertanyaan mendasar harus diajukan: untuk siapa pembangunan itu dijalankan?
    Jika warga lokal hanya menjadi penonton, atau bahkan korban, maka Kertajati bukanlah simbol kemajuan, melainkan monumen ketimpangan — sebuah “kemegahan di atas penderitaan.”
    Pemerintah kerap berdalih bahwa pengorbanan warga adalah “harga pembangunan”. Namun, dalam perspektif hak asasi manusia, logika semacam itu tidak dapat dibenarkan.
    Negara memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga — bukan sebaliknya.
    Pun, Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
    Artinya, setiap bentuk penggusuran, ketimpangan kompensasi, dan hilangnya mata pencaharian tanpa pemulihan yang adil adalah bentuk pelanggaran terhadap tanggung jawab itu.
    Jika melihat Kertajati, pelanggaran HAM tidak hanya terjadi secara individual, tetapi bersifat struktural dan sistemik.
    Negara gagal menghadirkan mekanisme partisipatif dalam pengambilan keputusan, gagal memberikan ganti rugi yang layak, dan gagal menyediakan alternatif kehidupan berkelanjutan bagi warga tergusur.
    Lebih dari itu, pemerintah justru membiarkan proyek strategis nasional menjadi ladang bagi akumulasi kapital, bukan kesejahteraan sosial.
    Kertajati seharusnya menjadi pengingat bahwa pembangunan yang meminggirkan rakyat kecil bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran kemanusiaan.
    “In the middle of nowhere” akhirnya bukan sekadar kiasan geografis — melainkan metafora moral bagi negara yang kehilangan arah dalam menegakkan keadilan.
    Di tanah yang dulu hijau oleh padi dan kehidupan, kini berdiri bandara megah di atas luka — dan di sanalah, nurani pembangunan seolah ikut hilang di tengah-tengah “nowhere.”
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kerap Bebani Rakyat, Ini 2 Sosok Pencipta Pajak di RI

    Kerap Bebani Rakyat, Ini 2 Sosok Pencipta Pajak di RI

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menaikkan pajak ataupun cukai pada tahun depan. Alih-alih menaikkan, Purbaya justru berencana akan memangkas PPN. Hal ini disebabkan oleh daya beli masyarakat yang dinilai lesu. 

    Pajak dan cukai memang selalu menjadi instrumen fiskal yang kerap membebani masyarakat, terutama ketika ekonomi sedang tidak baik. Namun, harus dipahami bahwa pajak tidak selalu menekan masyarakat. Pajak adalah instrumen yang ampuh dalam mendorong pembangunan dan pemerataan ekonomi. 

    Berbicara soal pajak, mengutip sejarah, setidaknya ada dua orang yang memperkenalkan sistem pajak di Indonesia. Siapa dua sosok tersebut?

    Firaun, Pencipta Pajak di Dunia

    Sekitar 300 SM peradaban Mesir yang dipimpin oleh Firaun menciptakan sistem pungutan negara kepada rakyat, yang kini dikenal sebagai sistem pajak. Firaun mengenakan pajak atas barang-barang, seperti gandum, tekstil, tenaga kerja, dan berbagai komoditas lain.

    Biasanya, hasil pungutan pajak dialihkan untuk modal pembangunan dan menjaga ketertiban sosial. Firaun tak menerapkan mekanisme sama rata dalam pemungutan pajak, tapi sistem penyesuaian. Maksudnya, besaran pajak disesuaikan dengan kemampuan finansial objek pajak.

    Ambil contoh ketika memungut pajak ladang. Firaun menetapkan pajak tinggi jika ladang tersebut sangat produktif atau memiliki hasil panen melimpah. Sementara yang non-produktif dikenakan pajak lebih rendah.

    Keberadaan sistem pajak membuat semua warga Mesir harus kerja ekstra supaya pendapatannya tidak habis hanya akibat pajak. Meski begitu, pada sisi lain sistem pajak ini sukses menambah pendapatan negara. Akhirnya, warisan pemungutan atau pemotongan penghasilan diterapkan banyak negara modern.

    Thomas Standford Raffles: Orang Pertama Perkenalkan Pajak di RI

    Setelah ribuan tahun dicetuskan Firaun, sistem pajak baru hadir di Indonesia pada 1811. Kala itu, pajak diperkenalkan oleh Thomas Stanford Raffles yang datang ke Hindia Belanda atas nama Kerajaan Inggris.

    “Raffles (1811-1816) adalah penguasa Barat pertama yang meletakkan dasar finansial negara kolonial baru di Indonesia. Inggris, dan koloninya, menurut dia, harus dibiayai dengan pajak. Konsep pajak dilahirkan olehnya,” tulis sejarawan Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).

    Secara teori, Raffles menganggap Inggris memiliki hak atas semua tanah menggantikan kepemilikan raja-raja di Jawa. Dengan demikian, para petani yang memiliki tanah atau bekerja di tanah orang harus membayar pajak tanah.

    Hanya saja, praktiknya bukan seperti upeti melainkan berupa uang dan berlaku secara individual.

    “Pajak tanah Raffles adalah atas petani individual dan bukan atas desa atau wilayah. Dan berupa uang,” tulis Ong Hok Ham.

    Meski begitu, Raffles tak merasakan hasil dari idenya menerapkan sistem pajak di Pulau Jawa. Sebab dia sudah harus pergi dari Hindia Belanda pada 1816. Setelahnya, pajak diterapkan secara ketat oleh para penguasa baru.

    Barulah tahun 1870, pemerintah kolonial memperkenalkan pajak pribadi, pajak usaha, hingga pajak jual beli.

    Lalu, target pajak juga tak hanya menjerat pribumi jelata, tapi juga orang Eropa dan pribumi kaya raya. Namun, tetap saja, pribumi menyumbang pajak terbesar ke pendapatan pemerintah Hindia Belanda.

    “Kira-kira dasawarsa pertama abad ke-20, penduduk pribumi yang sebagian besar terkena pajak tanah, menyumbang 60% penghasilan Hindia Belanda,” tulis Ong.

    Namun, sistem pajak era kolonial hanya menguntungkan pemerintah. Sebab tak ada timbal balik dari negara, sehingga menimbulkan kesan kalau rakyat diperas pemerintah. Beranjak dari permasalahan ini, negara modern mengubah konsep pajak. Tak hanya untuk menambah pendapatan, tetapi sebagai sarana pemerataan dan peningkatan kesejahteraan.

    Masalahnya, 200 tahun lebih diterapkan di Indonesia, tujuan penerapan pajak masih jauh dari harapan. Malah, membuat rakyat makin menjerit karena tak mendapat timbal balik sepadan.

    (mfa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Wajah Jaksa Pucat di Ruang Sidang Gegara Johnson Panjaitan

    Wajah Jaksa Pucat di Ruang Sidang Gegara Johnson Panjaitan

    Oleh:Agung Nugroho

    KABAR duka datang dari kalangan pegiat hukum dan hak asasi manusia. 

    Johnson Panjaitan, pengacara dan aktivis HAM yang dikenal lantang membela rakyat kecil dan korban pelanggaran keadilan, berpulang meninggalkan duka mendalam bagi banyak kalangan yang pernah berjuang bersamanya.

    Bagi generasi aktivis reformasi, nama Johnson Panjaitan tak sekadar pengacara. Ia adalah simbol keberanian melawan ketidakadilan. 

    Kenangan paling kuat tentangnya muncul dari masa sidang Subversif Partai Rakyat Demokratik (PRD) tahun 1996-1997, ketika ia mendampingi para aktivis muda yang dituduh melawan negara.

    Setiap kali Johnson hadir di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, suasana berubah tegang. Para jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung kerap terlihat gugup, bahkan sebelum sidang dimulai. 

    Mereka sering mampir ke sel tahanan hanya untuk menanyakan, “Apakah Johnson Panjaitan mendampingi hari ini?”

    Jika jawabannya ya, wajah mereka langsung pucat. Johnson tampil dengan suara menggelegar, menyanggah setiap pernyataan jaksa, dan tak segan memotong pertanyaan yang dianggap menyesatkan. 

    Ia tak pernah gentar, bahkan ketika hakim menegur keras tindakannya.

    Usai sidang, Johnson kerap mendatangi meja jaksa dan memarahi mereka dengan nada tinggi. Para jaksa yang biasanya garang itu duduk diam, pucat, seolah merekalah yang sedang diadili. 

    Johnson menjadikan ruang sidang bukan sekadar tempat perdebatan hukum, melainkan panggung moral untuk menegakkan kebenaran.

    Kini, Johnson Panjaitan telah pergi. Namun gema suaranya yang mengguncang ruang-ruang sidang, keberaniannya menantang kekuasaan, dan ketulusannya membela kaum tertindas akan terus hidup dalam ingatan banyak orang.

    Selamat jalan, Johnson Panjaitan.

    Engkau berpulang sebagai pembela rakyat yang tak pernah tunduk pada ketakutan, dan sejarah akan mencatat keberanianmu.

    Johnson Panjaitan meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON), Cawang, Jakarta Timur, pada Minggu pagi, 26 Oktober 2026.

    Jenazah Jhonson Panjaitan disemayamkan di Rumah Duka RS UKI Cawang, Jakarta Timur. 

    Jenazah selanjutnya dimakamkan pada Minggu sore, 26 Oktober 2025, di TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur. 

    (Direktur Jakarta Institute)

  • Aktivis HAM Jhonson Panjaitan Meninggal Dunia

    Aktivis HAM Jhonson Panjaitan Meninggal Dunia

    GELORA.CO -Aktivis hukum, HAM, demokrasi, Johnson Panjaitan meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON), Cawang, Jakarta Timur, pada Minggu pagi, 26 Oktober 2026.

    “Kami turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas berpulangnya Jhonson Panjaitan seorang pejuang keadilan dan pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI),” tulis Instragam @pbhi_nasional.

    Jenazah Jhonson Panjaitan disemayamkan di Rumah Duka RS UKI Cawang, Jakarta Timur. 

    Jenazah selanjutnya dimakamkan pada Minggu sore, 26 Oktober 2025, di TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur. 

    Johnson yang lahir pada 11 Juni 1966 adalah seorang ahli hukum dan aktivis Indonesia. Ia merupakan pengacara PBHI. Namanya meroket setelah menjadi pengacara korban kerusuhan 27 Juli 1996.

    “Semasa hidupnya, almarhum dikenal sebagai sosok advokat yang teguh membela nilai-nilai hak asasi manusia dan keadilan sosial,” tulis @pbhi_nasional.

    “Melalui kiprahnya di PBHI dan berbagai forum advokasi, Jhonson Panjaitan memberikan kontribusi besar dalam memperjuangkan nasib korban pelanggaran HAM, termasuk keterlibatannya dalam advokasi kasus-kasus di Timor Leste pasca konflik, yang menunjukkan komitmen lintas batasnya terhadap internasional,” sambungnya.