Pro-Kontra Soeharto Jadi Pahlawan: Antara Jasa dan Luka Lama Bangsa
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, dinilai berisiko menghapus jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama masa Orde Baru.
Aktivis
Gen Z
sekaligus mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),
Virdian Aurellio Hartono
, menegaskan, penolakan terhadap wacana tersebut bukan sekadar persoalan masa lalu, tetapi menyangkut masa depan bangsa.
Virdian menyoroti bahaya pengangkatan
Soeharto
sebagai pahlawan, yang menurutnya berpotensi menutupi berbagai pelanggaran HAM di masa pemerintahannya.
Bahaya itu ia samakan dengan pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang sempat mengatakan bahwa peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan pada 1998 tidak pernah terjadi.
Menurut Virdian, pandangan semacam itu bisa memperkuat upaya pengingkaran terhadap penderitaan korban.
“Bayangkan kalau Soeharto jadi pahlawan, sepaket dengan ucapan Fadli Zon, pemerkosaan massal 98 bisa dianggap tidak pernah ada,” kata Virdian, dalam diskusi #SoehartoBukanPahlawan, di Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Bagi Virdian, pengakuan terhadap Soeharto sebagai pahlawan dapat berdampak luas terhadap cara negara memandang kekerasan dan pelanggaran HAM, baik di masa kini maupun mendatang.
“Kalau Soeharto pahlawan, korban bisa dianggap bohong. Besok-besok, kalau ada korban pembungkaman atau pembunuhan oleh negara, bisa saja dianggap tidak pernah ada,” ujar dia.
Virdian menekankan bahwa penolakan terhadap Soeharto bukan semata membela korban masa lalu, melainkan juga merupakan bentuk kesadaran generasi muda untuk mencegah kembalinya kultur kekuasaan otoriter.
“Menolak Soeharto punya relevansi terhadap kehidupan kita hari ini dan masa depan. Kita tidak bisa membiarkan kultur itu kembali,” tegas dia.
Ia juga menyinggung hasil penelitian yang menunjukkan rendahnya literasi sejarah di kalangan muda, sehingga banyak yang gagal memahami konteks kekuasaan Orde Baru.
Kondisi ini, menurut dia, membuat sebagian masyarakat mudah menerima narasi romantisasi terhadap Soeharto dan masa pemerintahannya.
Virdian mengingatkan, otoritarianisme tidak hadir secara tiba-tiba, tetapi muncul perlahan ketika publik tidak lagi kritis terhadap kekuasaan.
“Otoritarian itu datang pelan-pelan, kita enggak sadar,” ucap dia.
Ia mencontohkan sejumlah praktik pembatasan kebebasan yang masih terjadi hingga kini, termasuk ratusan aktivis yang diproses hukum karena aksi demonstrasi, serta jurnalis dan pegiat yang dikriminalisasi.
“Kalau kita biarkan Soeharto jadi pahlawan, pelan-pelan semua itu akan dianggap hal yang normal,” kata dia.
Selain itu, Virdian juga menyoroti pola pikir warisan Orde Baru yang masih bertahan hingga kini, seperti anggapan bahwa pembangunan merupakan hadiah dari negara dan politik hanya urusan elite.
Menurut dia, generasi muda harus menolak upaya romantisasi terhadap Soeharto maupun nilai-nilai politik Orde Baru.
“Jadi, bagi gue, enggak ada alasan untuk mengizinkan Soeharto jadi pahlawan, dan kita harus tolak Soeharto jadi pahlawan demi kehidupan kita hari ini dan masa depan kita semua,” imbuh dia.
Di sisi lain, Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon menyatakan, Soeharto memenuhi syarat mendapat gelar
pahlawan nasional
.
Hal itu disampaikan usai Fadli melaporkan 49 nama calon pahlawan nasional kepada Presiden Prabowo Subianto, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
“Tentu dari kami, dari tim GTK ini, telah melakukan juga kajian, penelitian, rapat ya, sidang terkait hal ini. Jadi, telah diseleksi tentu berdasarkan, kalau semuanya memenuhi syarat ya, jadi tidak ada yang tidak memenuhi syarat. Semua yang telah disampaikan ini memenuhi syarat,” kata Fadli.
Ia menegaskan, Soeharto telah melalui seluruh tahapan penilaian, mulai dari usulan masyarakat di tingkat kabupaten/kota hingga pemerintah provinsi.
“Dari TP2GP yang di dalamnya juga, di dalam TP2GP juga akan ada sejarawan, ada macam-macam tuh orang-orangnya di dalam itu, ada sejarawan, ada tokoh agama, ada akademisi, ada aktivis, ya, kemudian di Kementerian Sosial dibawa ke kami. Jadi, memenuhi syarat dari bawah,” ujar dia.
Menurut Fadli, nama Soeharto bahkan telah diusulkan sebanyak tiga kali.
“Nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan ya. Dan juga beberapa nama lain, ada yang dari 2011, ada yang dari 2015, semuanya yang sudah memenuhi syarat,” tutur dia.
Fadli kemudian memerinci jasa Soeharto yang dinilai layak mendapat penghargaan negara, di antaranya kepemimpinan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
“Serangan Umum 1 Maret itu salah satu yang menjadi tonggak Republik Indonesia itu bisa diakui oleh dunia, masih ada. Karena Belanda waktu itu mengatakan Republik Indonesia sudah
cease to exist
, sudah tidak ada lagi,” ujar dia.
Selain itu, lanjut Fadli, Soeharto juga memiliki peran penting dalam operasi pembebasan Irian Barat dan berbagai operasi militer lainnya.
“Pembebasan Irian Barat dan lain-lain. Jadi ada, ada rinciannya. Nanti rinciannya kalau mau lebih panjang nanti saya berikan,” ujar dia.
Sebelumnya, pemerintah diketahui tengah menggodok 40 nama calon pahlawan nasional.
Beberapa di antaranya adalah Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan aktivis buruh Marsinah.
Namun, wacana pemberian gelar kepada Soeharto menuai penolakan dari berbagai pihak.
Sebanyak 500 aktivis dan akademisi menyatakan menolak rencana tersebut.
Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDI-P Bonnie Triyana juga menyampaikan keberatannya.
Di sisi lain, dukungan datang dari Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Ia menilai, jasa Soeharto sangat besar bagi bangsa dan negara.
“Kami juga tadi melaporkan kepada Bapak Presiden selaku Ketua Umum DPP Partai Golkar. Saya bilang, Bapak Presiden, dengan penuh harapan, lewat mekanisme rapat DPP Partai Golkar kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional,” kata Bahlil, usai menemui Prabowo, di Istana Kepresidenan, Senin (3/11/2025).
Menurut Bahlil, Soeharto adalah tokoh penting di balik kebangkitan ekonomi Indonesia dan dikenal sebagai “Macan Asia” pada masa Orde Baru.
“Soeharto juga merupakan pendiri Partai Golkar dan sudah menjabat sebagai Presiden RI selama lebih dari 30 tahun,” ucap dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: HAM
-

Presiden Prabowo Diminta Atensi Kebakaran Rumah Hakim PN Medan
GELORA.CO -Aparat kepolisian didesak mengungkap tuntas penyebab kebakaran yang melanda kediaman pribadi hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Khamozaro Waruwu di Komplek Taman Harapan Indah, Lingkungan XIII, Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, pada Selasa pagi, 4 November 2025.
“Kami meminta pihak kepolisian segera mengusut penyebabnya secara menyeluruh,” kata Ketua Kalibrasi Anti Korupsi dan Hak Asasi Manusia (HAM), Antony Sinaga dikutip dari RMOLSumut, Kamis 6 November 2025
Antony mengatakan, peristiwa kebakaran tersebut telah dilaporkan ke Polsek Sunggal dan harus diusut secara tuntas mengingat posisi hakim tersebut tengah menangani perkara penting.
“Kami mohon kepada Bapak Presiden, Kapolri, Kapolda Sumut, Kapolrestabes untuk segera melakukan pengusutan, pemeriksaan atas terjadinya kebakaran rumah milik Hakim Khamozaro Waruwu,” kata Antony.
Hakim Khamozaro Waruwu mengatakan, kebakaran terjadi saat rumah dalam keadaan kosong. Ia mengaku mengetahui kabar tersebut ketika tengah memimpin persidangan di PN Medan.
Dalam peristiwa itu, api membakar kamar utama dan sebagian dapur rumah. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini, namun kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah.
Khamozaro merupakan ketua majelis hakim yang menyidang kasus korupsi pembangunan jalan yang melibatkan bekas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Pemprov Sumut Topan Ginting, anak buah Gubernur Sumut Bobby Nasution.
Ia juga merupakan hakim yang menyidangkan Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup Akhirun Piliang alias Kirun, dan anaknya Rayhan Dulasmi dari PT Rona Mora.
-

Revisi UU HAM Bertujuan Membangun Ekosistem HAM yang Progresif
Jakarta: Ketua Komnas HAM periode 2007–2012 dan Pemerhati Isu Hukum dan Kebijakan Publik, Ifdhal Kasim turut berkomentar soal rencana revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurutnya, hal ini dinilai sebagai langkah adaptif terhadap dinamika masyarakat dan tantangan global, dan bukan sebagai upaya untuk melemahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
“Revisi UU No. 39 dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dan dunia. Masalah-masalah baru yang muncul secara otomatis tidak terjawab oleh UU yang lama sehingga perlu ada penyesuaian,” ujar Ifdhal Kasim kepada wartawan.
Wakil Ketua Umum DPN PERADI ini menegaskan bahwa justru melalui revisi tersebut, kelembagaan Komnas HAM akan diperkuat seiring meningkatnya kompleksitas pelanggaran HAM di berbagai sektor. “Tidak ada maksud untuk melemahkan Komnas HAM. Itu sama saja dengan melawan semangat zaman,” tegasnya.
Ifdhal menjelaskan bahwa secara ketatanegaraan Komnas HAM merupakan state auxiliary body yang independen, dengan fungsi utama sebagai watchdog untuk mengawasi pelaksanaan HAM oleh pemerintah dan negara.
“Komnas HAM berperan mengritisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pelaksanaan HAM, melakukan investigasi bila terjadi pelanggaran, serta memantau situasi HAM nasional,” imbuhnya.
Ia menambahkan, kehadiran Kementerian HAM justru memungkinkan rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti secara sistematis dan tidak diabaikan oleh kementerian/lembaga terkait. “Kementerian HAM bukan mengambil alih fungsi Komnas, tetapi memastikan bahwa rekomendasi Komnas benar-benar dijalankan,” ujarnya.
Komnas HAM pilar penting penegakan HAM nasionalKementerian HAM menegaskan bahwa Komnas HAM adalah pilar penting dalam arsitektur penegakan HAM nasional. Karena itu, penguatan Komnas HAM dilakukan melalui tiga pendekatan utama, antara lain; penguatan kewenangan penyelidikan dan investigasi untuk penanganan kasus pelanggaran HAM yang lebih efektif, penajaman fungsi pengawasan dan rekomendasi yang wajib ditindaklanjuti pemerintah, dan penegasan independensi Komnas HAM sebagai lembaga pengawas negara (state auxiliary body) yang bebas dari intervensi politik.
Dengan demikian, revisi ini bukan sekadar koreksi administratif, tetapi penguatan mendasar agar Komnas HAM dapat bekerja lebih efektif dan berdampak nyata.
Selain itu, Mengenai mekanisme pemilihan anggota Komnas HAM dalam rancangan, Ifdhal menjelaskan bahwa panitia seleksi (pansel) akan dipilih oleh Paripurna Komnas HAM dan kemudian hasil Keputusan Paripurna tersebut akan diserahkan kepada Presiden guna disahkan melalui Keputusan Presiden (Kepres).
“Dengan begitu, legitimasi kenegaraan pansel menjadi lebih kuat, dan hasil seleksi Pansel diserahkan ke DPR untuk memilih anggota Komnas secara definitif. Revisi ini tidak membuka ruang intervensi pemerintah,” ungkapnya.
“Pengaduan itu bukan fungsi, tetapi sarana yg berada di bawah fungsi investigasi dan pemantauan. Investigasi atau pemantauan bisa berawal dari pengaduan yg diterima atau bila terjadi pelanggaran. Fungsi investigasi ini merupakan fungsi utama Komnas HAM. Fungsi ini diperkuat dgn diberikan kewenangan yg besar dan itu tertuang dalam Rancangan revisi,” pungkas Ifdhal.
Adapun pembagian peran kelembagaan juga diperjelas yakni Komnas HAM fokus pada pengawasan kritis dan investigasi dugaan pelanggaran HAM, sedangan Kementerian HAM menjalankan fungsi pendidikan, sosialisasi, dan pembudayaan HAM secara nasional.
Revisi sisusun secara transparanSekretaris Jenderal Kementerian HAM, Novita Ilmaris, menegaskan bahwa proses revisi dilakukan melalui dialog Multipihak. “Selain jajaran Kementerian HAM, pembahasan melibatkan pakar HAM, akademisi, masyarakat sipil, serta mantan pimpinan Komnas HAM. RUU ini bersifat dinamis dan terbuka untuk penyempurnaan,” ujar Novita.
Ia menekankan bahwa narasi yang menyebut revisi ini melemahkan Komnas HAM tidak tepat dan tidak berdasar. “Tujuan utama revisi justru membangun ekosistem Pembangunan HAM yang lebih progresif, responsif, d an berorientasi pada perlindungan warga negara dan substansi rancangan masih dinamis, dibuka ruang diskusi seluas-luasnya,” tegasnya.
Jakarta: Ketua Komnas HAM periode 2007–2012 dan Pemerhati Isu Hukum dan Kebijakan Publik, Ifdhal Kasim turut berkomentar soal rencana revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurutnya, hal ini dinilai sebagai langkah adaptif terhadap dinamika masyarakat dan tantangan global, dan bukan sebagai upaya untuk melemahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
“Revisi UU No. 39 dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dan dunia. Masalah-masalah baru yang muncul secara otomatis tidak terjawab oleh UU yang lama sehingga perlu ada penyesuaian,” ujar Ifdhal Kasim kepada wartawan.Wakil Ketua Umum DPN PERADI ini menegaskan bahwa justru melalui revisi tersebut, kelembagaan Komnas HAM akan diperkuat seiring meningkatnya kompleksitas pelanggaran HAM di berbagai sektor. “Tidak ada maksud untuk melemahkan Komnas HAM. Itu sama saja dengan melawan semangat zaman,” tegasnya.
Ifdhal menjelaskan bahwa secara ketatanegaraan Komnas HAM merupakan state auxiliary body yang independen, dengan fungsi utama sebagai watchdog untuk mengawasi pelaksanaan HAM oleh pemerintah dan negara.
“Komnas HAM berperan mengritisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pelaksanaan HAM, melakukan investigasi bila terjadi pelanggaran, serta memantau situasi HAM nasional,” imbuhnya.
Ia menambahkan, kehadiran Kementerian HAM justru memungkinkan rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti secara sistematis dan tidak diabaikan oleh kementerian/lembaga terkait. “Kementerian HAM bukan mengambil alih fungsi Komnas, tetapi memastikan bahwa rekomendasi Komnas benar-benar dijalankan,” ujarnya.
Komnas HAM pilar penting penegakan HAM nasional
Kementerian HAM menegaskan bahwa Komnas HAM adalah pilar penting dalam arsitektur penegakan HAM nasional. Karena itu, penguatan Komnas HAM dilakukan melalui tiga pendekatan utama, antara lain; penguatan kewenangan penyelidikan dan investigasi untuk penanganan kasus pelanggaran HAM yang lebih efektif, penajaman fungsi pengawasan dan rekomendasi yang wajib ditindaklanjuti pemerintah, dan penegasan independensi Komnas HAM sebagai lembaga pengawas negara (state auxiliary body) yang bebas dari intervensi politik.
Dengan demikian, revisi ini bukan sekadar koreksi administratif, tetapi penguatan mendasar agar Komnas HAM dapat bekerja lebih efektif dan berdampak nyata.
Selain itu, Mengenai mekanisme pemilihan anggota Komnas HAM dalam rancangan, Ifdhal menjelaskan bahwa panitia seleksi (pansel) akan dipilih oleh Paripurna Komnas HAM dan kemudian hasil Keputusan Paripurna tersebut akan diserahkan kepada Presiden guna disahkan melalui Keputusan Presiden (Kepres).
“Dengan begitu, legitimasi kenegaraan pansel menjadi lebih kuat, dan hasil seleksi Pansel diserahkan ke DPR untuk memilih anggota Komnas secara definitif. Revisi ini tidak membuka ruang intervensi pemerintah,” ungkapnya.
“Pengaduan itu bukan fungsi, tetapi sarana yg berada di bawah fungsi investigasi dan pemantauan. Investigasi atau pemantauan bisa berawal dari pengaduan yg diterima atau bila terjadi pelanggaran. Fungsi investigasi ini merupakan fungsi utama Komnas HAM. Fungsi ini diperkuat dgn diberikan kewenangan yg besar dan itu tertuang dalam Rancangan revisi,” pungkas Ifdhal.
Adapun pembagian peran kelembagaan juga diperjelas yakni Komnas HAM fokus pada pengawasan kritis dan investigasi dugaan pelanggaran HAM, sedangan Kementerian HAM menjalankan fungsi pendidikan, sosialisasi, dan pembudayaan HAM secara nasional.
Revisi sisusun secara transparan
Sekretaris Jenderal Kementerian HAM, Novita Ilmaris, menegaskan bahwa proses revisi dilakukan melalui dialog Multipihak. “Selain jajaran Kementerian HAM, pembahasan melibatkan pakar HAM, akademisi, masyarakat sipil, serta mantan pimpinan Komnas HAM. RUU ini bersifat dinamis dan terbuka untuk penyempurnaan,” ujar Novita.
Ia menekankan bahwa narasi yang menyebut revisi ini melemahkan Komnas HAM tidak tepat dan tidak berdasar. “Tujuan utama revisi justru membangun ekosistem Pembangunan HAM yang lebih progresif, responsif, d an berorientasi pada perlindungan warga negara dan substansi rancangan masih dinamis, dibuka ruang diskusi seluas-luasnya,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain diGoogle News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(PRI)
-

Menteri Pigai Usul Komnas HAM Diberi Wewenang Penyidikan di Revisi UU HAM
Jakarta –
Menteri HAM, Natalius Pigai, menjelaskan sejumlah poin penguatan terhadap Komnas HAM yang diatur dalam rancangan revisi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pigai mengatakan akan memberikan wewenang tambahan kepada kerja Komnas HAM, salah satunya melakukan penyidikan.
Pigai mengatakan usulan itu sebagai bentuk penguatan terhadap Komnas HAM. Ada sejumlah penambahan kewenangan Komnas HAM yang diusulkan dalam revisi UU HAM, mulai dari melakukan penyidikan, pemanggilan, penuntutan, memberikan amicus di pengadilan, hingga mengeluarkan rekomendasi yang bersifat mengikat.
“Posisi hari ini Komnas HAM hanya memiliki kewenangan terbatas: menerima pengaduan, melakukan pemantauan, dan penyelidikan. Tiga ini saja. Penyelidikan, ya, ingat, penyelidikan, berhenti di situ,” kata Pigai dilansir Antara, Kamis (6/11/2025).
Melalui revisi UU HAM, Pigai mengatakan kewenangan Komnas HAM akan diperluas untuk melakukan penyidikan. Dengan begitu, kata dia, akan ada penyidik ad hoc guna menangani kasus dugaan pelanggaran HAM.
Pigai mengatakan, dalam revisi UU HAM tersebut, Komnas HAM juga akan diberikan kewenangan baru berupa pemanggilan paksa terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus yang sedang ditangani.
Lebih lanjut Pigai mengatakan rekomendasi yang dihasilkan Komnas HAM nantinya akan bersifat mengikat, tidak seperti yang selama ini diatur dalam UU HAM.
Dia membantah revisi UU HAM memuat substansi yang melemahkan lembaga independen itu. Ia menyebut kewenangan Komnas HAM untuk menerima dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM tidak menjadi pokok revisi.
“Itu tidak masuk dalam item revisi. Menerima pengaduan itu tidak masuk dalam pasal yang kami revisi,” kata dia.
(ygs/ygs)
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5391431/original/009223800_1761316987-1000611704.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pigai Tegaskan Revisi UU HAM Tak Ubah Wewenang Komnas HAM Tangani Pengaduan
Sebelumnya, kritik disampaikan Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam keterangan tertulis, Kamis (30/10).
Pigai pun mempertanyakan draf yang dirujuk Komnas HAM. “Draf yang mereka lakukan itu tidak pernah keluar dari meja saya. Mungkin draf pertemuan biasa itu, kan, draf yang keluar dari kementerian harus dari menteri,” tuturnya.
Berdasarkan rancangan revisi UU HAM yang disusun Kementerian HAM, Komnas HAM menyoroti 21 pasal krusial, yakni Pasal 1, Pasal 10, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 83–85, Pasal 87, Pasal 100, Pasal 102–104, Pasal 109, dan Pasal 127.
Secara garis besar, Anis mengatakan, “Rancangan ini dinilai berpotensi melemahkan kewenangan Komnas HAM di tengah semakin besarnya kewenangan Kementerian HAM.”
Dalam UU HAM saat ini, Komnas HAM memiliki empat tugas dan kewenangan utama yang meliputi pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, serta mediasi. Namun, kata Anis, dalam rancangan revisi UU tersebut, kewenangan Komnas HAM dikurangi.
“Sebagaimana diatur pada Pasal 109 (rancangan revisi UU HAM), Komnas HAM tidak lagi berwenang menerima dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM, melakukan mediasi, pendidikan dan penyuluhan, serta pengkajian HAM, kecuali dalam hal regulasi dan instrumen internasional,” katanya.
Penanganan dugaan pelanggaran HAM diberikan kepada Kementerian HAM. Anis menilai, hal ini tidak dapat dibenarkan karena kementerian merupakan bagian dari pemerintah sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) HAM.
Pengaturan norma yang demikian dikhawatirkan oleh Komnas HAM akan menimbulkan konflik kepentingan. Dalam hal ini, Komnas HAM memandang, penanganan dugaan pelanggaran HAM semestinya tetap dilakukan oleh lembaga independen.
-

“PDIP-Jokowi rekonsiliasi” dampak penolakan Soeharto jadi Pahlawan Nasional?
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Terhadap wacana lama yang kembali tercetus terkait usulan pihak pihak, agar “mantan presiden 32 tahun almarhum Jendral bintang 5, Jendral Besar Soeharto dianugerahi Pahlawan Nasional”.
Maka menurut penulis, kriteria dan levelitas usulan terhadap almarhum Soeharto tokoh ‘Bapak Pembangunan Indonesia’ merupakan kategori yang wajar, walau ada beberapa sisi benturan tatanan hukum ketatanegaraan yang urgensitas perlu dicermati dan dikaji secara signifikan dan ‘komprehensif.’
Lalu, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul), berstetmen estimasi terkait wacana a quo “bakal diputuskan sebelum 10 November atau Hari Pahlawan”.
Dan wacana ini mendapat tanggapan relatif cepat namun hati- hati dari Puan selaku Ketua DPR RI dan juga sebagai salah seorang Ketua PDIP ketimbang keengganan dirinya merespon nasib Hasto Kristiyanto, saat Sekjen PDIP dikejar kejar oleh KPK yang dari kacamata hukum, menyimpang dari rules.
Kata Puan, ” kemarin Selasa (4/11/2025), “harus dicermati rekam jejaknya dari masa lalu sampai sekarang, di sisi lain, pemerintah juga harus melihat apakah pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto saat ini merupakan waktu yang tepat. Semua aspek terkait usulan itu harus dikaji dengan cermat”.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20251104134906-32-1291723/puan
Lalu wacana dengan dimensi ‘wajar’ ini, dibanding “ide gila Jokowi 3 periode” yang inkonstitusional, dibarengi suara penolakan keras dan lumayan bising, seorang diantaranya digaungkan oleh politisi PDIP dr. Rubka Cipta Ning, pengarang buku “Aku Bangga jadi Anak PKI.”
Polemik wacana ini, perlu dicermati, karena suara dukungan dan penolakan Mantan Presiden RI 32 tahun dianugerahi pahlawan, bakal menjadi titik kearah rekonsiliasi antara Megawati (PDIP) dengan Jokowi ?
Karena “Jas Merah”, ada peristiwa politik yang berhubungan erat dengan napak tilas tokoh besar bangsa ini almarhum Jendral Soeharto dimasa transisi kekuasaan dari orla ke orba, lalu Jokowi menerbitkan diskresi politik Jokowi dalam bentuk Keppres 17/2022 dan Inpres 2/2023 terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia, sehingga kebijakan ini telah mengundang polemik terhadap para tokoh publik bangsa, bahkan ada beberapa tokoh aktivis diantaranya Mayjend Kivlan Zen mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung, argumentatif dalil hukumnya disebabkan secara teori hirarkis hukum diskresi Jokowi dimaksud dianggap overlaping dengan ketentuan yang lebih tinggi yakni
TAP MPRS RI No 25 Tahun 1966.
Dan termasuk penulis menanggapi diskresi Jokowi dimaksud melalui artikel hukum dan beberapa kali acara podcast, tepatnya di masa mantan presiden RI ke 7 itu masih dalam kendali Megawati dan dianakemaskan sanbil dipuja puji oleh PDIP.
Maka bisa jadi Jokowi yang diusung oleh PDIP menjadi presiden selama 2 periode, dikarenakan keduanya PDIP dan Jokowi “bermazhab” yang sama. Hanya saja sejarah membuktikan kedua sekutu ‘pengusung dan diusung’ pecah kongsi gegara ada wacana Jokowi Presiden 3 periode, selain historis politik yang nampak (sebelumnya) saat itu ada indikasi kuat “Puan diminati oleh kader partai menjadi Capres di pemilu 2024-2029”.
_Dan Projo yang baru saja mendapat nafas segar dari konsolidasi melalui kongres ketiganya (1-2 November 2025), ditengarai bakal menambah konflik bagi pihak pihak pro-kontra wacana Almarhum Jendral Besar Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, lalu akan kah bakal menjadi “tambang emas atau setidaknya ladang gandum” bagi para aktivis projo, namun kesemua fenomena status quo dari dinamika gejolak geo politik tanah air, tendensi berdampak ‘penderitaan perekonomian rakyat” bakal lama dan semakin labirin. (*)
-

Kisah Tragis Kejatuhan Raja Kripto yang Dipenjara 11 Ribu Tahun
Jakarta –
Faruk Fatih Ozer, yang dulu dielu-elukan sebagai kisah sukses pendiri bursa kripto termuda di Turki, ditemukan tewas minggu ini di dalam sel isolasinya di penjara keamanan tinggi Tekirdag F-Type. Dia menjalani hukuman 11.196 tahun penjara atas salah satu skandal keuangan terbesar dalam sejarah negeri itu.
Menteri Kehakiman Turki, Yilmaz Tunc, mengonfirmasi bahwa temuan awal menunjukkan dugaan bunuh diri. Perjalanan hidup Ozer termasuk kisah umum dunia kripto yaitu inovasi cepat, pertumbuhan tanpa kendali, dan kehancuran spektakuler.
Tahun 2017, di usia 22 tahun, Ozer mendirikan Thodex, bursa kripto yang diposisikan sebagai sarana bagi warga Turki menuju aset digital global, di tengah krisis lira yang membuat banyak warga beralih ke Bitcoin.
Dalam empat tahun, Thodex mengklaim punya lebih dari 400.000 pengguna dan memproses ratusan juta dolar per hari. Mereka melakukan strategi pemasaran agresif, dukungan selebritas, serta citra kuat berkat hubungan Ozer dengan kalangan pro pemerintah.
Namun citra itu hancur seketika April 2021, ketika Thodex mendadak menghentikan penarikan dana dan situs webnya menghilang. Kabarnya, USD 2,6 miliar dana simpanan lenyap. Firma Chainalysis menyebut kasus ini sebagai salah satu penipuan bursa terbesar.
Pelarian ke Albania
Beberapa hari setelah kejatuhan Thodex, Ozer melarikan diri ke Albania. Adapun jaksa Turki mengeluarkan red notice Interpol. Pemuda yang sebelumnya tampil bersama kalangan elit bisnis Istanbul itu mendadak jadi simbol pengkhianatan nasional.
Selama 16 bulan, ia berhasil menghindari penangkapan sebelum dibekuk Agustus 2022 di kota Vlore, Albania, setelah perburuan panjang yang melibatkan Interpol dan intelijen Turki. Ia diekstradisi ke Istanbul setahun kemudian untuk diadili atas tuduhan penipuan berat, pencucian uang, dan memimpin organisasi kriminal.
September 2023, Ozer bersama saudaranya Guven dan Serap divonis bersalah oleh pengadilan Istanbul dan masing-masing dijatuhi hukuman 11.196 tahun.
Angka fantastis ini berasal dari jumlah dakwaan atas 2.027 korban yang dikalikan.Ozer membantah tuduhan penipuan dan menyebut dirinya gagal karena ketidakjelasan regulasi. “Jika saya berniat kriminal, saya takkan bertindak seamatir ini,” katanya, mengklaim berencana mengembalikan dana setelah operasi Thodex stabil di luar negeri. Ia mengaku sempat berpikir bunuh diri, tapi memilih tetap berjuang membayar utang.
Penjara Tekirdag, tempat Ozer ditahan, dikritik kelompok HAM karena praktik isolasi. “Tiga penjara tipe F yang dikunjungi menampung sejumlah kecil narapidana dengan hukuman seumur hidup berat. Satu-satunya kegiatan di luar sel, selain kunjungan dua minggu sekali dan telepon dua minggu sekali, hanya olahraga di halaman kecil yang menempel sel,” sebut Komite Eropa.
Media lokal melaporkan bahwa Ozer ditemukan tergantung di kamar mandi selnya dan tim medis menyatakan ia meninggal di tempat.
(fyk/fay)
-

Horor Pemerkosaan Massal di Sudan yang Kini Dikuasai Paramiliter
Khartoum –
Amira, seorang ibu asal Sudan, terbangun setiap hari dengan gemetar, dihantui oleh pemandangan pemerkosaan massal yang disaksikannya saat melarikan diri dari El-Fasher setelah kota itu dikuasai pasukan paramiliter.
Setelah pengepungan selama 18 bulan yang diwarnai kelaparan dan pengeboman, El-Fasher yang merupakan benteng terakhir militer Sudan di wilayah Darfur bagian barat, jatuh ke tangan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada 26 Oktober lalu. Militer Sudan dan RSF terlibat perang sejak April 2023.
Sejak saat itu, seperti dilansir AFP, Rabu (5/11/2025), muncul laporan tentang pembunuhan massal, kekerasan seksual, serangan terhadap pekerja kemanusiaan, penjarahan, dan penculikan di kota El-Fasher yang sebagian besar komunikasinya terputus.
“Pemerkosaan itu merupakan pemerkosaan bergiliran. Pemerkosaan massal di depan umum, pemerkosaan di depan semua orang, dan tidak ada yang bisa menghentikannya,” tutur Amira yang berbicara dari tempat penampungan sementara di Tawila, sekitar 70 kilometer di sebelah barat El-Fasher.
Amira yang merupakan ibu empat anak ini berbicara dalam sebuah webinar yang diselenggarakan kelompok kampanye Avaaz bersama beberapa penyintas kekerasan baru-baru ini.
Di Korma, desa berjarak 40 kilometer sebelah barat laut El-Fasher, Amira menuturkan dirinya ditahan selama dua hari karena tidak mampu membayar para petempur RSF untuk perjalanan yang aman. Bagi mereka yang tidak mampu membayar, sebut Amira, tidak akan mendapatkan makanan, air minum dan hak untuk pergi, dengan penyerangan massal terjadi di malam hari.
“Anda akan tertidur dan mereka akan datang dan memperkosa Anda,” tuturnya.
“Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, orang-orang yang tidak mampu membayar, dan para petempur mengambil anak perempuan mereka sebagai gantinya. Mereka mengatakan, ‘Karena Anda tidak mampu membayar, kami akan mengambil anak-anak perempuan Anda’. Jika Anda memiliki anak perempuan yang masih kecil, mereka akan segera mengambilnya,” ucap Amira.
Menteri negara untuk kesejahteraan sosial Sudan, Sulimah Ishaq, mengatakan kepada AFP bahwa sedikitnya 300 perempuan tewas pada harinya jatuhnya El-Fasher ke tangan RSF. “Beberapa di antaranya setelah mengalami kekerasan seksual,” ucapnya.
General Coordination for Displaced People and Refugees di Darfur, sebuah kelompok kemanusiaan independen, melaporkan sebanyak 150 kasus kekerasan seksual sejak jatuhnya El-Fasher hingga 1 November.
“Beberapa insiden terjadi di El-Fasher dan yang lainnya terjadi selama perjalanan ke Tawila,” kata juru bicara organisasi tersebut, Adam Rojal.
Pekan lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengonfirmasi laporan mengkhawatirkan yang menyebut 25 perempuan diperkosa bergiliran ketika pasukan RSF memasuki tempat penampungan pengungsi di dekat Universitas El-Fasher.
Juru bicara kantor HAM PBB, Seif Magango, menyebut bahwa pemerkosaan itu dilakukan “di bawah todongan senjata api”.
Halaman 2 dari 2
(nvc/ita)
/data/photo/2025/11/06/690bf79854dba.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

