Kasus: HAM

  • Tok! Presiden Prabowo Lantik Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian, Ini Susunan Lengkapnya

    Tok! Presiden Prabowo Lantik Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian, Ini Susunan Lengkapnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (7/11/2025).

    Pembentukan komisi ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian.

    Dalam keputusan tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie ditunjuk sebagai Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian.

    Komisi ini beranggotakan sembilan tokoh dari unsur pemerintah, mantan pejabat tinggi kepolisian, dan akademisi hukum.

    Adapun susunan anggota komisi tersebut meliputi, 9 tokoh mulai dari Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Kemudian, Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.

    Lalu ada Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dan Otto Hasibuan, Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.

    Selanjutnya, ada nama Menteri Dalam Negeri sekaligus mantan Kapolri Tito Karnavian. Kemudian, Idham Aziz, mantan Kapolri dan Badrodin Haiti, mantan Kapolri.

    Selain itu tertuang nama Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Reformasi Polri Ahmad Dofiri dan Listyo Sigit Prabowo selaku Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).

    Komisi ini dibentuk untuk mempercepat proses reformasi kelembagaan, profesionalisme, dan tata kelola di tubuh Polri.

    Berikut Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian:

    Ketua Percepatan Reformasi Kepolisian: Jimly Asshiddiqie

    Anggota
    1. Mahfud MD
    2. Yusril Ihza Mahendra
    3. Supratman Andi Agtas
    4. Otto Hasibuan
    5. Tito Karnavian
    6. Idham Aziz
    7. Badrodin Haiti
    8. Ahmad Dofiri
    9. Listyo Sigit Prabowo

  • Tiba di Istana Jelang Pelantikan Komite Reformasi Polri, Mahfud MD: Saya Diminta Datang

    Tiba di Istana Jelang Pelantikan Komite Reformasi Polri, Mahfud MD: Saya Diminta Datang

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengaku belum mengetahui secara pasti perannya dalam Komite Reformasi Polri yang akan dilantik di Istana Kepresidenan, Jumat (7/11/2025).

    Hal itu disampaikannya saat ditanya apakah dirinya akan menjadi anggota komite, sesaat sebelum pelantikan berlangsung.

    “Ndak tahu ini,” ujar Mahfud

    Mahfud mengatakan dirinya hanya menerima undangan untuk hadir tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai status atau jabatan yang akan diemban.

    “Ndak tahu, cuma disuruh datang,” katanya.

    Saat dikonfirmasi bahwa sejumlah pihak telah membenarkan namanya termasuk dalam daftar anggota komite, Mahfud tetap menjawab diplomatis.

    “Ya ndak tahu, saya diminta datang karena dipanggil Presiden suruh datang,” ujarnya.

    Dia menuturkan baru menerima panggilan resmi dari Istana pada malam sebelumnya.

    “Tadi malam saya ditelepon tapi tidak diberi tahu apa. Mau pakai batik disuruh pakai jas saja,” tutur Mahfud.

    Lebih lanjut, Mahfud mengaku sempat mendengar pembicaraan soal pembentukan komite tersebut sekitar sebulan lebih yang lalu.

    “Udah lama dulu, sudah 40 hari lalu,” katanya.

    Namun, dia menegaskan belum ada diskusi lebih lanjut soal penugasan atau posisi di dalam tim.

    “Belum, belum, belum,” tegasnya.

    Untuk diketahui, sejumlah tokoh hukum dan pejabat pemerintahan mulai berdatangan menjelang pelantikan Komite Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (7/11/2025)

    Menurut pantauan Bisnis, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra tiba di Istana sekitar pukul 14.33 WIB.

    Dengan mengenakan jas hitam dan dasi biru muda, Yusril mengatakan dirinya belum mendapat kepastian apakah akan dilantik sebagai anggota komite.

    “Saya belum tahu dilantik atau enggak. Tadi diberi tahu ada acara pelantikan dan diminta datang. Saya belum tahu akan dilantik atau hanya sebagai undangan, nanti kita tunggu saja lah,” kata Yusril saat tiba di Istana.

    Yusril menyebut pelantikan dijadwalkan berlangsung sekitar pukul 16.00 WIB. Namun, saat ditanya jumlah anggota komite, Yusril mengatakan belum mengetahui secara pasti.

    “Belum tahu saya, nanti bisa ditanyakan ke Mensesneg ya, karena yang menangani Keppres Mensesneg,” tambahnya.

    Sekitar 15 menit kemudian, Wakil Menko Kumham Imipas Otto Hasibuan juga tiba di Istana pukul 14.50 WIB. Dia mengonfirmasi bahwa kedatangannya berkaitan dengan pembentukan tim reformasi Polri.

    “Iya, kelihatannya begitu,” ujar Otto ketika ditanya apakah dirinya akan dilantik sebagai anggota komite.

    Meskipun belum mengetahui struktur dan posisi masing-masing anggota, tetapi Otto mengatakan dirinya mendapat informasi bahwa tim tersebut beranggotakan sekitar sembilan orang.

    “Saya dengar sembilan orang, tapi persisnya bagaimana, kita belum tahu,” ujarnya.

    Otto juga menyebut sejumlah nama yang kemungkinan tergabung dalam tim, antara lain Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum Supratman, dan beberapa tokoh hukum lain. Dia menambahkan bahwa unsur tim akan diambil dari mantan Kapolri, tokoh hukum, dan masyarakat.

    “Waktu dulu Pak Presiden mengatakan akan bentuk tim reformasi ini jumlahnya lebih kurang sembilan orang. Unsurnya ada dari beberapa mantan Kapolri dan tokoh hukum,” ujar Otto.

    Tak lama berselang, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie juga tiba di Istana sekitar 15.09 WIB. Jimly enggan berkomentar banyak ketika ditanya apakah dirinya akan menjadi ketua tim reformasi Polri.

    Saat ditanya kapan dikabari soal penunjukan, Jimly menjawab telah dihubungi sejak lama.

    “Sudah dua bulan lalu. Tapi ya, tunggulah nanti diumumkan,” ucapnya

    Prabowo sebelumnya menyampaikan rencana pembentukan Komite Reformasi Polri sebagai bagian dari upaya memperkuat tata kelola kepolisian, meningkatkan profesionalisme, dan membangun kepercayaan publik terhadap institusi Polri.

    Pelantikan komite tersebut dijadwalkan berlangsung pada Jumat (7/11/2025) sore di Istana Negara pukul 16.00 WIB.

  • Jelang Pelantikan Komite Reformasi Polri, Yusril, Otto, dan Mahfud MD Tiba di Istana

    Jelang Pelantikan Komite Reformasi Polri, Yusril, Otto, dan Mahfud MD Tiba di Istana

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah tokoh hukum dan pejabat pemerintahan mulai berdatangan menjelang pelantikan Komite Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (7/11/2025)

    Menurut pantauan Bisnis, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra tiba di Istana sekitar pukul 14.33 WIB.

    Dengan mengenakan jas hitam dan dasi biru muda, Yusril mengatakan dirinya belum mendapat kepastian apakah akan dilantik sebagai anggota komite.

    “Saya belum tahu dilantik atau enggak. Tadi diberi tahu ada acara pelantikan dan diminta datang. Saya belum tahu akan dilantik atau hanya sebagai undangan, nanti kita tunggu saja lah,” kata Yusril saat tiba di Istana.

    Yusril menyebut pelantikan dijadwalkan berlangsung sekitar pukul 16.00 WIB. Namun, saat ditanya jumlah anggota komite, Yusril mengatakan belum mengetahui secara pasti.

    “Belum tahu saya, nanti bisa ditanyakan ke Mensesneg ya, karena yang menangani Keppres Mensesneg,” tambahnya.

    Sekitar 15 menit kemudian, Wakil Menko Kumham Imipas Otto Hasibuan juga tiba di Istana pukul 14.50 WIB. Dia mengonfirmasi bahwa kedatangannya berkaitan dengan pembentukan tim reformasi Polri.

    “Iya, kelihatannya begitu,” ujar Otto ketika ditanya apakah dirinya akan dilantik sebagai anggota komite.

    Meskipun belum mengetahui struktur dan posisi masing-masing anggota, tetapi Otto mengatakan dirinya mendapat informasi bahwa tim tersebut beranggotakan sekitar sembilan orang.

    “Saya dengar sembilan orang, tapi persisnya bagaimana, kita belum tahu,” ujarnya.

    Otto juga menyebut sejumlah nama yang kemungkinan tergabung dalam tim, antara lain Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum Supratman, dan beberapa tokoh hukum lain. Dia menambahkan bahwa unsur tim akan diambil dari mantan Kapolri, tokoh hukum, dan masyarakat.

    “Waktu dulu Pak Presiden mengatakan akan bentuk tim reformasi ini jumlahnya lebih kurang sembilan orang. Unsurnya ada dari beberapa mantan Kapolri dan tokoh hukum,” ujar Otto.

    Tak lama berselang, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie juga tiba di Istana sekitar 15.09 WIB. Jimly enggan berkomentar banyak ketika ditanya apakah dirinya akan menjadi ketua tim reformasi Polri.

    Saat ditanya kapan dikabari soal penunjukan, Jimly menjawab telah dihubungi sejak lama.

    “Sudah dua bulan lalu. Tapi ya, tunggulah nanti diumumkan,” ucapnya

    Prabowo sebelumnya menyampaikan rencana pembentukan Komite Reformasi Polri sebagai bagian dari upaya memperkuat tata kelola kepolisian, meningkatkan profesionalisme, dan membangun kepercayaan publik terhadap institusi Polri.

    Pelantikan komite tersebut dijadwalkan berlangsung pada Jumat (7/11/2025) sore di Istana Negara pukul 16.00 WIB.

  • Yasonna Laoly Minta Wacana Gelar Pahlawan Soeharto Betul-betul Dikaji, PSI: Tak Perlu Ikut-ikutan

    Yasonna Laoly Minta Wacana Gelar Pahlawan Soeharto Betul-betul Dikaji, PSI: Tak Perlu Ikut-ikutan

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Ketua Bidang Politik DPP PSI Bestari Barus menimpali pernyataanKetua DPP PDIP Yasonna Laoly. Terkait dengan eacana elar pahlawan untuk Presiden ke-2 RI Soeharto.

    Yasonna meminta wacana tersebut dikaji betul-betul. Bestari pun membalasnya dengan meminta Yasonna tak ikut campur.

    “Yasonna Laoly tidak perlulah ikut-ikutan meributkan soal pemberian gelar pahlawan oleh negara,” kata Bestari kepada jurnalis, Kamis (6/11/2025).

    Menurut Bestari, Yasonna mestinya paham tata kelola bernegara. Mengingat Yasonna pernah jadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

    “Negara ini sudah cukup punya perangkat yang mumpuni dan menjalankan fungsi- fungsinya. Masih teringat seharusnya pada masa Pak Jokowi Yasonna diberi kesempatan untuk menjabat menteri, dua periode bahkan,” ucapnya.

    “Seharusnya Yasonna menjadi yang paling paham tentang mekanisme dan tata kelola bernegara,” tambahnya.

    Sekarang, dia mengatkan Yasonna menjadi bagian dari pihak yang mencoba mendikte perangkat negara. Padahal, menurutnya tak boleh subjektif dalam melakukan penilaian.

    “Jangan kemudian, ketika perangkat negara pada masa Pak Prabowo sedang bekerja, justru Yasonna seperti mendikte seakan paling paham bagaimana seharusnya bekerja,” kata Bestari.

    “Subjektifitas jangan dijadikan sandaran untuk memberikan penilaian. Biarkan pemerintah melaksanakan tugas mengelola negara ini dengan sebagaimana mestinya,” tambahnya.

    Dia pun meminta pemerintah jalan saja. Tak memedulikan kebisingan terkait wacana tersebut.

    “Kami mendukung agar pemerintah tidak terpengaruh dengan kebisingan-kebisingan ini dalam mengambil keputusan untuk memberikan gelar pahlawan kepada anak bangsa yang memenuhi kriteria,” terang Bestari.

  • Dua Napi WN Inggris Kasus Narkoba Dipulangkan oleh Pemerintah RI

    Dua Napi WN Inggris Kasus Narkoba Dipulangkan oleh Pemerintah RI

    Dua Napi WN Inggris Kasus Narkoba Dipulangkan oleh Pemerintah RI
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemerintah Republik Indonesia (RI) memulangkan dua narapidana terpidana mati dan seumur hidup, warga negara (WN) Inggris, Lindsay June Sandiford dan Shahab Shahabadi, pada Kamis (6/11/2025).
    Penandatanganan Berita Acara Serah Terima dilakukan di Lapas Kelas IIA Kerobokan, Kabupaten Badung, Bali, pada Kamis malam.
    Deputi Bidang Koordinasi Keimigrasian dan Pemasyarakatan Kemenko Kumham Imipas, I Nyoman Gede Surya Mataram, mengatakan, proses transfer ini merupakan kerja sama antarnegara yang berlangsung dengan koordinasi intensif dan penuh kehati-hatian.

    Pemerintah Indonesia
    memastikan bahwa setiap prosedur pemindahan narapidana lintas negara dilaksanakan secara akuntabel, transparan, dan sesuai standar hukum yang berlaku. Pendekatan yang kami lakukan bukan hanya berorientasi pada aspek penegakan hukum, tetapi juga mempertimbangkan unsur kemanusiaan dan perlindungan
    hak asasi manusia
    ,” kata Surya, dalam keterangan tertulis, Jumat (7/11/2025).
    Lindsay June Sandiford (68) merupakan narapidana kasus narkotika berdasarkan Putusan Nomor 1453 K/PID.SUS/2013 dengan pidana mati, dan selama ini ditempatkan di Lapas Perempuan Kelas IIA Kerobokan, Bali.
    Sedangkan Shahab Shahabadi (35), narapidana kasus narkotika berdasarkan Putusan Nomor 104/PID/2015/PT.DKI, menjalani pidana penjara seumur hidup di Lapas Kelas IIA Kembangkuning, Nusa Kambangan.
    Surya mengatakan, proses pemindahan dilakukan bertahap.
    Shahab Shahabadi diberangkatkan pada Kamis, 6 November 2025 pukul 06.00 WIB dari Nusa Kambangan menuju Bali melalui Bandara Yogyakarta International Airport.
    “Keduanya kemudian dijadwalkan terbang ke London pada Jumat, 7 November 2025 pukul 00.30 Wita dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai menggunakan maskapai Qatar Airways,” ujar dia.
    Surya menunturkan, proses ini sekaligus menunjukkan kredibilitas Indonesia dalam skema kerja sama hukum internasional.
    “Ini adalah bagian dari komitmen Pemerintah Indonesia dalam memperkuat tata kelola dan kerja sama antarnegara. Kolaborasi ini juga memperkuat kepercayaan global terhadap sistem hukum dan pemasyarakatan Indonesia,” tutur dia.
    Pemerintah Inggris melalui surat resmi Perdana Menteri kepada Presiden Republik Indonesia menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas dukungan Pemerintah Indonesia dalam pemindahan dimaksud.
    Kemenko Kumham Imipas menegaskan bahwa kerja sama transfer narapidana ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah dalam memperkuat tata kelola, harmonisasi kebijakan, dan kolaborasi internasional di bidang hukum, HAM, imigrasi, serta pemasyarakatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Presiden Bukan Pahlawan!

    Presiden Bukan Pahlawan!

    Presiden Bukan Pahlawan!
    Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
    ADA
    satu usulan yang belakangan ini kembali muncul ke permukaan: semua presiden Indonesia sebaiknya otomatis diberi gelar pahlawan.
    Sekilas terdengar masuk akal. Bukankah mereka pernah memimpin bangsa ini? Bukankah jabatan tertinggi layak mendapat penghormatan tertinggi?
    Namun, di balik logika yang tampak mulia itu tersembunyi kekeliruan yang tak bisa dibiarkan: kita mencampuradukkan otoritas dengan integritas.
    Kita menganggap bahwa karena seseorang pernah menjadi
    presiden
    , maka ia pasti layak disebut pahlawan.
    Padahal, Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menetapkan syarat yang jauh lebih dalam: integritas moral, keteladanan, perilaku baik, dan bebas dari hukuman pidana berat.
    Mengabaikan syarat-syarat ini demi memudahkan proses bukanlah bentuk penghormatan, melainkan bentuk amnesia kolektif yang disengaja.
    Kita ingin mengenang tanpa mengingat, memuliakan tanpa mengkaji. Kita ingin sejarah yang nyaman, bukan sejarah yang jujur.
    Setiap presiden Indonesia adalah figur yang kompleks. Soekarno adalah proklamator, tapi juga membubarkan DPR dan menerima status presiden seumur hidup.
    Soeharto dikenal sebagai “Bapak Pembangunan”, tapi warisannya dibayangi pelanggaran HAM dan praktik KKN yang diakui secara resmi.
    Habibie membuka ruang demokrasi, tetapi masa jabatannya diwarnai krisis multidimensi. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dijuluki “Bapak Pluralisme”, tapi kepemimpinannya memicu ketegangan politik.
    Susilo Bambang Yudhoyono mendamaikan Aceh, tetapi dikritik atas konflik antara KPK dan Polri. Jokowi membangun infrastruktur masif, tapi mendapat “Rapor Merah” dari mahasiswa atas regresi demokrasi.
    Obsesi terhadap pemimpin sempurna adalah refleksi psikologis yang belum dewasa. Kita ingin pahlawan yang bersih dari cela, padahal sejarah tidak pernah sesederhana itu.
    Kepahlawanan bukanlah hasil jabatan, melainkan hasil evaluasi kritis terhadap jasa dan kontroversi. Mengkultuskan presiden sebagai pahlawan tanpa syarat adalah bentuk pelarian dari kenyataan bahwa pemimpin adalah manusia yang penuh paradoks.
    Jika kita ingin menjadi bangsa yang dewasa, kita harus berani berkata: jabatan bukan jaminan jasa. Presiden bukan otomatis pahlawan. Titik.
    Jika elite politik menawarkan logika otoritas, ruang digital menyodorkan jebakan lain:
    bandwagon fallacy
    . Kita menganggap sesuatu benar karena populer.
    Di era algoritma, kita menyaksikan runtuhnya figur “pahlawan monolitik” yang dulu dinarasikan negara.
    Seperti diungkap Jean-François Lyotard, kita hidup di zaman “ketidakpercayaan terhadap metanarasi”. Narasi pahlawan sempurna adalah metanarasi yang telah runtuh.
    Roland Barthes dalam “The Death of the Author” menekankan bahwa makna kini ditentukan oleh pembaca, bukan penulis. Dalam konteks digital, “pembaca” adalah publik yang dimediasi algoritma.
    Namun, algoritma tidak netral. Ia dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan, bukan kebenaran.
    Konten yang sederhana, emosional, dan nostalgik—seperti meme “Piye kabare? Isih penak jamanku, toh?”—lebih mudah viral daripada laporan pelanggaran HAM yang kompleks dan traumatis. Ini bukan ingatan otentik, melainkan produk amnesia historis yang dimediasi teknologi.
    Ketika jumlah
    likes
    dan
    shares
    dianggap sebagai validasi sejarah, kita telah keliru menyamakan legitimasi algoritmik dengan legitimasi historis.
    Akibatnya, memori kolektif terfragmentasi ke dalam perang narasi yang tak kunjung usai. Kita tidak lagi mendidik memori, melainkan memuja popularitas.
    Fenomena ini bukan sekadar soal nostalgia. Ia adalah cerminan dari cara kita mengonsumsi sejarah: cepat, dangkal, dan emosional.
    Kita lebih mudah tersentuh oleh meme daripada oleh arsip. Kita lebih percaya pada viralitas daripada pada verifikasi. Dan dalam proses itu, kita kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kenangan dan kenyataan.
    Ironisnya, artikel ini pun berisiko menjadi bagian dari algoritma yang ia kritik. Namun, lebih baik menjadi virus reflektif daripada menjadi vaksin yang tak pernah disuntikkan.
    Untuk keluar dari jebakan logika dan algoritma ini, kita membutuhkan reformasi sistemik yang membangun kedewasaan historis. Tiga langkah utama dapat ditempuh:
    Pertama, Reformasi Institusional. Proses pemberian gelar pahlawan harus transparan dan deliberatif.
    Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan perlu bertransformasi dari lembaga administratif-seremonial menjadi lembaga edukatif-deliberatif.
    Setiap kandidat kontroversial harus disertai publikasi neraca sejarah yang utuh—kajian komprehensif atas jasa dan kontroversinya. Bukan hanya daftar pujian, tetapi juga daftar kritik. Bukan hanya glorifikasi, tetapi juga evaluasi.
    Bayangkan jika setiap pengajuan gelar pahlawan disertai dengan dokumen sejarah yang jujur dan lengkap. Ini bukan sekadar penghargaan, tetapi pendidikan publik.
    Kita tidak hanya memberi gelar, tetapi juga memberi ruang bagi bangsa untuk belajar dari sejarahnya sendiri.
    Kedua, Reformasi Edukasional. Kurikulum sejarah nasional harus mengadopsi pendekatan
    Critical Historical Thinking
    .
    Sejarah tidak boleh lagi diajarkan sebagai hafalan nama dan tanggal. Ia harus menjadi metode investigasi yang mengajarkan analisis terhadap ambivalensi dan bukti yang saling bertentangan.
    Sejarawan Hilmar Farid menekankan pentingnya menjadi bangsa yang “tidak takut pada sejarah”. Ini berarti berani menghadapi sisi gelap masa lalu, bukan menutupinya demi kenyamanan politik atau nostalgia.
    Anak-anak kita harus diajak untuk bertanya, bukan hanya menghafal. Mereka harus diajak untuk membaca sumber primer, membandingkan narasi, dan memahami bahwa sejarah adalah arena interpretasi.
    Ketiga, Reformasi Kognitif Publik. Kita memerlukan gerakan nasional Literasi Digital Kritis. Ini bukan sekadar cek fakta, tetapi edukasi tentang cara kerja algoritma,
    echo chamber
    , dan bias kognitif.
    Publik harus memahami bagaimana algoritma mengeksploitasi emosi dan preferensi untuk membentuk persepsi sejarah.
    Ketahanan kognitif kolektif adalah benteng terakhir melawan
    bandwagon fallacy.
    Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam narasi viral yang menyesatkan dan kehilangan kemampuan untuk mengevaluasi sejarah secara kritis.
    Gerakan ini harus melibatkan sekolah, media, komunitas, dan platform digital. Kita perlu membangun budaya digital yang tidak hanya cepat dan interaktif, tetapi juga reflektif dan bertanggung jawab.
    Kita perlu mengajarkan bahwa tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang populer itu pantas dikenang.
    Kepahlawanan sejati tidak lahir dari jabatan atau viralitas. Ia lahir dari keberanian kolektif untuk mengingat secara jujur dan mengevaluasi secara kritis.
    Tugas kita bukan mencari pahlawan sempurna, melainkan menjadi bangsa yang dewasa—yang mampu belajar dari pemimpin yang tidak sempurna.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4
                    
                        Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto
                        Nasional

    4 Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto Nasional

    Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan agar semua presiden yang pernah memimpin Republik Indonesia mendapatkan gelar pahlawan nasional.
    Usulan tersebut disampaikannya ketika ditanya soal adanya penolakan pemberian gelar
    pahlawan nasional
    kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia
    Soeharto
    .
    “Bila perlu kami menyarankan semua tokoh-tokoh bangsa yang mantan-mantan presiden ini kalau bisa dapat dipertimbangkan untuk diberikan
    gelar pahlawan nasional
    , ya,” ujar Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
    Dalam daftar 40 nama yang diusulkan Kementerian Sosial (Kemensos), terdapat pula nama Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
    Selain Gus Dur, Bahlil juga mengusulkan agar Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie diberikan gelar pahlawan nasional.
    “Pak Gus Dur juga mempunyai kontribusi yang terbaik untuk negara ini. Ya, kami menyarankan juga harus dipertimbangkan agar bisa menjadi pahlawan nasional. Pak Habibie juga, semuanya lah,” ujar Bahlil.
    Selain itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu juga menjawab soal adanya penolakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
    Menurutnya, jasa yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun memimpin Indonesia menjadi indikator kelayakan untuk menerima gelar pahlawan nasional.
    “Negara ini, kita harus menghargai jasa para tokoh-tokoh bangsa, ya. Jadi kita biasa saja. Kita tidak bisa melupakan bahwa apa yang dilakukan oleh Pak Harto selama 32 tahun itu sesuatu yang luar biasa,” ujar Bahlil.
    Bahlil mengatakan, penolakan merupakan hal yang lumrah karena tidak ada manusia yang benar-benar sempurna.
    Kendati demikian, ia mengungkit jasa Soeharto yang menciptakan swasembada pangan, lapangan pekerjaan, hingga membuat Indonesia dijuluki Macan Asia.
    “Mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100 persen kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia di pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” ujar Bahlil.
    Dok. KOMPAS/Charles Dharapak Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998.
    Sementara itu, 500 aktivis dan akademisi menyatakan menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI itu.
    Penolakan itu ditegaskan dalam deklarasi di Kantor LBH, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025). Aktivis HAM yang juga Direktur Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid mendesak agar usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional dibatalkan.
    Setidaknya ada empat alasan mengapa koalisi masyarakat sipil menolak gelar untuk Soeharto. Pertama, karena pemerintahan Soeharto selama 32 tahun dipenuhi berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
    Kedua, pemerintah Soeharto dipenuhi oleh berbagai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
    “Yang ketiga, juga diikuti dengan pemberangusan kebebasan berpendapat, kebebasan pers sampai dengan kebebasan akademik,” ungkap Usman.
    “Dan yang terakhir adalah adanya ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi selama pemerintahan Soeharto,” sambungnya menegaskan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Indonesia Serahkan 2 WNA Terpidana Mati Kasus Narkotika ke Pemerintah Inggris

    Indonesia Serahkan 2 WNA Terpidana Mati Kasus Narkotika ke Pemerintah Inggris

    Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia menyerahkan dua narapidana asing kasus narkotika, Lindsay June Sandiford dan Shahab Shahabadi kepada pemerintah Inggris.

    “Proses ini mencerminkan komitmen Indonesia kepada penegakan hukum yang berkeadilan, menjunjung nilai kemanusiaan,” kata Deputi Bidang Koordinasi Keimigrasian dan Pemasyarakatan Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI I Nyoman Gede Surya Mataram di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II-A Kerobokan di Kabupaten Badung, Bali, Kamis (6/11) malam, seperti dilansir Antara.

    Proses final pemulangan dua narapidana tersebut ditandai dengan penandatanganan berita acara serah terima yang dilaksanakan oleh Nyoman Gede Surya Mataram bersama Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Provinsi Bali Decky Nurmansyah, Kepala Kejaksaan Negeri Denpasar Trimo dan Wakil Duta Besar Inggris untuk Indonesia Matthew Downing.

    Sedangkan Lindsay dan Shahab ikut hadir dalam proses serah terima itu dan duduk di barisan kedua dari meja penandatanganan.

    Keduanya kompak mengenakan kemeja berwarna putih dan selama berlangsungnya seremoni itu, Lindsay menutupi wajah dengan tangannya dan masker berwarna putih.

    Berbeda dengan Lindsay, narapidana Inggris lainnya Shahab terlihat duduk tenang menggunakan masker berwarna biru.

    Sekitar satu menit setelah penandatanganan, keduanya kemudian meninggalkan Lapas Kerobokan.

    Lindsay keluar menggunakan kursi roda dan dibopong petugas lapas.

    Keduanya kemudian memasuki mobil dengan pengawalan khusus sekitar pukul 21.28 WITA menuju Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Kabupaten Badung, Bali.

    Menurut keterangan Surya Mataram, keduanya dijadwalkan terbang pukul 00.30 WITA pada Jumat (7/11) dini hari menuju Doha dan melanjutkan perjalanan menuju London, Inggris.

    Nantinya, setelah tiba di Inggris, Indonesia menyerahkan sepenuhnya penanganan kedua narapidana tersebut mengikuti aturan hukum negara tersebut.

     

  • Ziarah ke Masa Lalu Lewat Lagu-Lagu Pelanggaran HAM di Aceh

    Ziarah ke Masa Lalu Lewat Lagu-Lagu Pelanggaran HAM di Aceh

    Liputan6.com, Aceh – Ada satu kutipan yang membuat kita perlu menafakuri kembali arti penting dari sejarah serta bagaimana sejarah akan berdampak antargenerasi. Kutipan in berasal dari seorang filsuf Spanyol bernama George Santayana, berbunyi ‘Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.”

    Sebagai aforisme atau ungkapan yang berisi nasihat —pengajaran, kalimat ini terdengar kuat. Intimidatif, seperti sebuah tamparan yang tidak memberi peluang sedikit pun untuk menghindar. Lantas, apa hubungan aforisme ini dengan musik?

    Saya suka mengatakan bahwa musik merupakan berumbung di mana realitas tumpah ruah. Sebagai entitas seni —mengikuti Theodore Adorno seperti yang ditulis Karina Andjani dalam bukunya “Musik dan Masyarakat: Filsafat Musik Theodore Adorno” (hlm. 26, 2022)— maka musik dapat secara intrinsik melekat dan jadi cermin masyarakat. Melalui retakan yang ada pada cermin tersebutlah suara-suara seperti ekspresi kesendirian, penderitaan, serta jeritan dehumanisasi dari penindasan terefleksikan.

    Semasa Aceh dikoyak-moyak oleh badai operasi militer, suara-suara seperti yang disebutkan oleh Adorno tersebut dilampiaskan ke dalam lirik lagu. Dapat dikatakan bahwa lagu-lagu yang tercipta pada waktu itu tak lagi bernilai sebagai produk studio rekaman semata, tetapi telah bersulih jadi ekspresi kolektif yang terikat oleh ruang dan waktu dari banyak kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berlangsung di ujung utara pulau Sumatera (sepanjang penerapan Daerah Operasi Militer 1989-1998 hingga Darurat Militer 2003).

    Lagu-lagu yang diciptakan oleh musisi lokal kala itu menjadi disonansi, tak ubahnya setumpuk nyanyian yang terdengar sumbang bagi status quo. Status quo di sini tentu saja kepentingan militer untuk memastikan agar semua informasi mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh tak menjadi pengetahuan populis.

    Ia harus diredam, seperti membenamkan derum amarah orang-orang terhadap fakta adanya kejahatan kemanusiaan di Aceh. Ke dasar bumi. Dari sini, pembredelan terhadap sejumlah lagu pun dimulai.

    Pada 2003, beberapa seniman serta produser dipanggil oleh otoritas militer untuk mempertanggungjawabkan sejumlah lagu yang dinilai menjadi amplifikator bagi propaganda yang menyerempet kepentingan militer. Walhasil, sejumlah lagu pun ditarik dari pasaran.

    Operasi pemberangusan bahkan dilakukan jauh lebih serius dengan terjadinya razia ke toko-toko kaset di sejumlah wilayah. Tak ayal, dengan situasu ini, para musisi pun merayap. Kendati di pelojok sana, dalam sayup, lagu-lagu tersebut masih terus berkumandang, menuding moncong otoritas militer dalam senyap.

    Sejumlah lagu yang masuk ke dalam daftar target antara lain, Nanggroe Meredeka yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Yusbi Yusuf yang menggambarkan Aceh sebagai sebuah wilayah nihil hukum tempat di mana kekerasan merajalela, menempatkan rakyat sipil sebagai korban. Lagu ini ikut menyinggung tentang peristiwa kekerasan oleh pasukan Linud 100/PS Sumatera Utara di Idi Cut yang dikenal juga sebagai tragedi Arakundo, menewaskan 28 orang termasuk di antaranya anak-anak pada 3 Februari 1999.

    Termasuk juga peristiwa Alue Nireh yang menewaskan lima orang oleh Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) juga pada 1999. Peristiwa Arakundo sendiri secara khusus diulas kembali oleh Yusbi Yusuf dalam lagu lainnya yang mengambil judul sama yakni Arakundoe.

    Peristiwa kekerasan yang terjadi di Aceh juga dapat dilihat melalui lagu berjudul Peristiwa Simpang KKA yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Abu Bakar Ar yang berduet dengan Armawati Ar. Mengikuti judulnya, lagu ini bercerita tentang peristiwa yang terjadi di Aceh Utara pada 3 Mei 1999 ketika pasukan Arhanud 001 dan Batalyon 113 memberondong warga yang sedang menggelar aksi protes di Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) dengan peluru secara membabi buta —sedikitnya 21 orang dinyatakan meninggal dunia, kurang lebih 146 orang mengalami luka-luka, dalam tragedi berdarah tersebut.

    Peristiwa Arakundo juga disebut di dalamnya. Juga peristiwa Kandang pada 3 Januari 1999. Peristiwa Kandang, Lhokseumawe terjadi dalam operasi penyisiran yang dilakukan oleh aparat keamanan di Kandang dan Pusong yang merenggut nyawa beberapa warga desa.

    Peristiwa Kandang terjadi kurang dari satu pekan sebelum ledakan kekerasan lainnya yang diakibatkan oleh brutalitas tentara menyusul di Lhokseumawe. Yakni Peristiwa Gedung KNPI pada 9 Januari 1999 yang menyebabkan 5 orang meninggal dunia serta puluhan lain luka-luka.

    Lagu lainnya yang merupakan ciptaan Abu Bakar Ar, tetapi dinyanyikan oleh duet antara penyanyi cilik Ari Rama dengan Nurhayati AZ, berjudul Musibah Beutong, mengangkat peristiwa ketika beberapa pasukan elite TNI mengepung lalu mulai membantai orang-orang di sebuah dayah tradisional di lembah Beutong Ateuh Banggalang pada 23 Juli 1999.

    Penyerbuan tersebut memakan korban yakni sang pemimpin sang dayah tersebut, Tengku Bantaqiah, juga anak beserta 57 santrinya. Lagu ini juga sempat menyinggung Cot Murong, sebuah desa yang berkaitan dengan peristiwa Simpang KKA.

    Haro-Hara yang dinyanyikan oleh Cut Aja Riska dalam album Nyawöung menjadi ikhtisar dari banyak peristiwa kekerasan yang terjadi di Aceh. Mulai dari Arakundo, Simpang KKA, Beutong, hingga secara gamblang menyebut Rumoh Geudong, sebuah rumah besar milik warga yang dialihgunakan oleh tentara sebagai kamp konsentrasi atau rumah jagal. Rumah yang berlokasi di Pidie ini menjadi momok, di mana segala kengerian yang dapat dibayangkan oleh manusia berlangsung di sana selama beberapa tahun.

     

  • 30 Pegawai Imigrasi Ponorogo Raih Penghargaan Nasional Anugraha Wira Wibawa Dharmesti

    30 Pegawai Imigrasi Ponorogo Raih Penghargaan Nasional Anugraha Wira Wibawa Dharmesti

    Ponorogo (beritajatim.com) – Kinerja gemilang jajaran Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Ponorogo kembali mendapat pengakuan di tingkat nasional. Sebanyak 30 pegawai menerima penghargaan Anugraha Wira Wibawa Dharmesti dari Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan atas dedikasi dan kinerja luar biasa dalam pelayanan publik.

    Penyerahan penghargaan dilakukan secara simbolis di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi Jawa Timur, Surabaya. Kepala Bagian Tata Usaha dan Umum, Darori, mewakili Kepala Kanwil Ditjen Imigrasi Jatim, menyerahkan langsung penghargaan kepada enam perwakilan pegawai berprestasi dari Kantor Imigrasi Ponorogo.

    Dalam arahannya, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto menegaskan pentingnya menjaga integritas, profesionalisme, dan kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat transformasi pelayanan publik.
    “Penghargaan ini bukan sekadar bentuk apresiasi, melainkan pengingat agar kita terus berkomitmen memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat,” kata Agus, Kamis (6/11/2025).

    Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Nomor M.IP-510.SA.05.03 Tahun 2025, satu pegawai Imigrasi Ponorogo menerima Anugraha Wira Wibawa Dharmesti Lokatara atas prestasi luar biasa dalam membantu penangkapan DPO warga negara Amerika Serikat dalam kasus penculikan.

    Sementara itu, 29 pegawai lainnya menerima Anugraha Wira Wibawa Dharmesti Pratama karena kontribusi mereka dalam pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Penilaian diberikan berdasarkan capaian pada aspek Pelayanan Publik Ramah Kelompok Rentan dan Pelayanan Publik Berbasis Hak Asasi Manusia (P2HAM) tahun 2024.

    Prestasi ini semakin menegaskan dedikasi Kantor Imigrasi Ponorogo dalam memberikan pelayanan prima. Tahun sebelumnya, instansi ini telah meraih predikat WBBM dari Kementerian PANRB, penghargaan Pelayanan Publik Ramah Kelompok Rentan Terbaik 2024, serta Unit Kerja Pelayanan Publik Berbasis HAM dari Kementerian Hukum dan HAM.

    Pada tahun 2025, Kantor Imigrasi Ponorogo juga dipercaya mewakili Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam Lomba Kabupaten Sehat Tingkat Nasional kategori Tatanan Perkantoran Sehat, serta mengikuti Kompetisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Perkantoran 2025. [end/beq]