Kasus: HAM

  • Komnas HAM & Komnas Perempuan: Teror Kepala Babi ke Jurnalis Tempo Bentuk Ancaman Kebebasan Pers

    Komnas HAM & Komnas Perempuan: Teror Kepala Babi ke Jurnalis Tempo Bentuk Ancaman Kebebasan Pers

    Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

    TRIBUNJAKARTA.COM – Komnas HAM dan Komnas Perempuan mengecam aksi teror berupa kiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo.

    Diketahui, paket kepala babi itu dialamatkan kepada Fransisca Christy Rosana atau Cica, wartawan desk politik dan host siniar Bocor Alus Politik

    Menurut Wakil Ketua Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, teror kepala babi itu sebagai bentuk upaya pembungkaman terhadap pers.

    Sebab, diduga kuat, pengiriman teror itu berkaitan dengan pekerjaan Cica sebagai jurnalis.

    “Jurnalis itu juga dilindungi dan diberikan hak untuk mencari informasi.

    Jadi mencari informasi dia punya hak, punya kebebasan untuk mencari informasi dan punya kebebasan juga untuk menyampaikan informasi itu kepada publik,” kata Haris saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).

    Haris mengatakan, jika ruang kerja jurnalis dibungkam maka tentu akan berdampak terhadap informasi yang diterima publik.

    Polres Metro Bekasi Kota berhasil meringkus Suhada, preman sok jagoan yang berasal dari Cikiwul viral minta THR ke perusahaan di Bantargebang. Ia sempat kabur, namun polisi berhasil meringkusnya di Sukabumi.

    Menurutnya, hal itu sangat berbahaya karena masyarakat tidak bisa mendapatkan informasi yang utuh dan bisa dipertanggungjawabkan.

    “Jadi kalau jurnalis dikekang ruang geraknya itu akan berimplikasi pada tertutupnya informasi kepada publik dan ini berbahaya.

    Akhirnya publik hanya dapat informasi yang tertentu saja, bisa jadi publik tidak mengetahui sesuatu secara utuh,” kata dia.

    Haris menilai teror semacam ini tak boleh dibiarkan. Ia meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas untuk mengungkap siapa sosok peneror jurnalis tersebut.

    Abdul Haris Semendawai di kantornya, Ciracas, Jakarta Timur, Kamis (5/7/2018). (TRIBUNJAKARTA.COM/NAWIR ARSYAD AKBAR)

    “Karena mungkin sekarang hanya wartawan Tempo saja ya. Bisa jadi di kesempatan yang lain ada wartawan-wartawan yang lain yang juga mengalami hal yang sama.

    Jadi situasi seperti itu kalau dibiarkan bisa tercipta situasi yang tidak kondusif bagi jurnalistik untuk melakukan tugas-tugas jurnalistiknya.

    Dan kalau itu terjadi yang dirugikan ya publik bukan hanya orang yang bersangkutan,” paparnya.

    Hal senada disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.

    “Tentunya Komnas Perempuan mengecam pengiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo. Karena ini seperti proksi atau perantara intimidasi terhadap kerja-kerja jurnalis,” kata dia.

    Siti mengatakan, apa yang dialami Cica menambah panjang daftar perempuan yang menjadi korban teror dan intimidasi.

    “Jadi memang di dalam pemantauan Komnas Perempuan, jurnalis perempuan menjadi salah satu perempuan pembela HAM yang mendapatkan serangan baik intimidasi, ancaman maupun misalnya dalam bentuk serangan siber,” tuturnya.

    Karenanya, ia meminta aparat untuk mengungkap siapa peneror yang mengirimkan kepala babi tersebut.

    “Dan yang tak kalah penting kami mengajak seluruh elemen bangsa untuk menguatkan fondasi penghormatan kepada kebhinekaan Indonesia dan mengawal demokrasi yang nir  kekerasan dan memajukan hak asasi manusia,” kata dia.

    Bahkan, Komnas Perempuan akan berkoordinasi dengan Komnas HAM dan LPSK untuk memberikan perlindungan.

    “Dan tentu yang terakhir Komnas Perempuan akan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang relevan termasuk dengan Komnas HAM dan LPSK untuk bagian dari mekanisme pengembangan respon cepat terhadap perempuan pembela HAM untuk memastikan mendapatkan perlindungan dari intimidasi maupun serangan lebih lanjut,” ujarnya. 

    (TribunJakarta)

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel https://whatsapp.com/channel/0029VaS7FULG8l5BWvKXDa0f.

    Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • ICJR: Revisi KUHAP Harus Fokus Pada Pengawasan Antar Lembaga, Jangan Hanya Bahas Dominus Litis

    ICJR: Revisi KUHAP Harus Fokus Pada Pengawasan Antar Lembaga, Jangan Hanya Bahas Dominus Litis

    Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

    TRIBUNJAKARTA.COM – Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitahsari meminta Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) fokus pada pengawasan antar lembaga penegak hukum.

    Demikian disampaikannya dalam diskusi membahas “RUU KUHP Memperkuat Sistem Peradilan Pidana Terpadu”.

    Diskusi ini turut dihadiri sejumlah narasumber diantaranya yakni Wakil Ketua Komnas HAM AH Semendawai, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan dan Pakar Hukum Margarito Kamis.

    Iftitahsari meminta pembahasan mengenai Revisi KUHAP tak hanya berkutat pada narasi polarisasi tentang diferensiasi fungsional dan asas dominus litis.

    Dikatakannya, publik harus waspada terhadap adanya kepentingan terselubung dari para lembaga penegak hukum yang ingin memperluas kewenangannya melalui Revisi KUHAP dengan melemparkan narasi tersebut.

    “Selama ini diskusi mengenai Revisi KUHAP selalu ada polarisasi antara diferensiasi fungsional dan asas dominus litis.

    Dan kita jangan sampai terjebak di narasi yang itu sebetulnya kepentingan-kepentingan lembaga tertentu yang tujuannya ingin memperbesar kewenangan,” kata Iftitahsari dalam diskusi yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).

    Menurut ICJR, yang terpenting dalam Revisi KUHAP nantinya tak boleh ada kewenangan powerful yang dimiliki satu lembaga.

    Karenanya, ia menyebut pengawasan antar lembaga mutlak diperlukan.

    “Kan tadi sudah disampaikan yang penting ada balancing pemenuhan HAM dan juga akuntabilitas. Jangan sampai ada kesewenangan,” tuturnya.

    Sementara itu, Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan menyebut bagaimana para lembaga penegak hukum saling berlomba untuk memperkuat kewenangan mereka melalui Revisi KUHAP ini.

    “Mereka berlomba-lomba menambah kewenangannya masing-masing. Polisi adalah penyidik utama tidak bisa diganggu. Jaksa adalah penuntut tidak bisa diganggu,” kata Luhut.

    “Dengan kata lain ini ada benturan antara diferensiasi fungsional yang dipertahankan polri dan asas dominus litis yang diperjuangkan kejaksaan,” sambung dia.

    Pernyataan tersebut turut diperkuat oleh Wakil Ketua Komnas HAM, AH Semendawai. Ia mengingatkan bahwa semakin besar kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki suatu lembaga maka akan memperbesar peluang adanya korupsi di dalamnya.

    “Jadi harus tetap ada balancing, bagaimana harus ada keseimbangan di dalam proses pidana ini.

    Jadi kalau sepenuhnya kepada satu lembaga misalnya tanpa ada pengawasan yang lain, ini kan kalau dia enggak jalan kan berarti berhenti tuh kasusnya, jadi bagaimana masyarakat bisa mencari keadilan,” paparnya.

    Semendawai kemudian mengevaluasi kondisi peradilan pidana di Indonesia saat ini, dimana proses penuntutan sepenuhnya merupakan kewenangan kejaksaan.

    “Masalahnya kalau ternyata jaksa tidak melakukan penuntutan suatu perkara sementara publik merasa harusnya dituntut, nah itu bagaimana kan harus ada solusinya. Kalau tidak ada solusi maka publik akan menganggap mereka tidak bisa mendapat keadilan,” jelasnya.

    Oleh karena itu, Semendawai berharap diferensiasi fungsional dan asas dominus litis dikembalikan pada fungsi seharusnya.

    “Tujuan sistem peradilan pidana ini kan untuk memproses pihak yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Terlepas siapa yang punya peran itu kan tinggal bagi-bagi saja tetapi harus diawasi agar kewenangan itu tidak hanya diserahkan kepada satu lembaga supaya tidak disalahgunakan,” paparnya.

    Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan bahwa dalam sistem pidana di Indonesia, jaksa bukan berada di posisi mewakili korban.

    “Jaksa itu sebetulnya tidak mewakili korban tetapi dia mewakili Undang-Undang, dia mewakili norma yang ada. Sehingga dengan standar itu perlakuan terhadap korban tidak seimbang dengan perlakuan terhadap terdakwa,” ujarnya.

    Padahal, kata dia, yang harus ditekankan yakni mengenai peran jaksa dalam memberikan hak yang sama kepada korban dan terdakwa.

    Menurutnya, yang masih jadi sorotan dalam sitem pidana di Indonesia yakni bagaimana mewujudkan sistem pidana yang terpadu.

    “Sementara dalam praktiknya itu banyak perkara adanya penundaan peradilan karena bolak-baliknya berkas antara polisi dan kejaksaan,” kata dia.

    Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menyebut penerapan asas dominus litis pada Revisi KUHAP berpotensi memonopoli kewenangan terhadap suatu lembaga.

    Adapun salah satu hal yang paling jelas dalam penerapan asas dominus litis pada revisi KUHAP adalah kejaksaan bisa memiliki dominasi pada penyidikan dan penyelidikan.

    “Tidak boleh ada lembaga negara mendominasi lembaga negara lain karena harus balancing,” kata Margarito.

    “Kalau ini dikembalikan ke jaksa yang bertugas maka menjadi tidak sehat. Itu jadi tidak sehat.

    Dari segi hukum, gagasan, kalau ada satu lembaga memonopoli kewenangan, itu sudah tidak sehat itu. Demokrasi itu menghendaki keseimbangan,” sambungnya.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • Teror Kepala Babi di Tempo: Negara Wajib Tegas
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        21 Maret 2025

    Teror Kepala Babi di Tempo: Negara Wajib Tegas Megapolitan 21 Maret 2025

    Teror Kepala Babi di Tempo: Negara Wajib Tegas
    Kritikus, Aktivis HAM, Pemerhati Politik dan Hukum
    KANTOR
    redaksi
    Tempo
    di Jakarta, menerima paket berisi kepala babi, sebuah simbol yang sarat makna ancaman. Paket ini ditujukan kepada wartawan sekaligus host siniar
    Bocor Alus
    , Francisca Christy atau Cica (
    Kompas.com
    , 21/03/2025).
    Tak ada surat ancaman dalam paket tersebut, hanya nama Cica yang tertulis di kardus. Namun, pesan yang ingin disampaikan jelas: intimidasi terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya.
    Insiden ini bukanlah yang pertama kali terjadi terhadap
    Tempo
    . Tahun lalu, mobil jurnalis
    Tempo
    , Hussein Abri, dirusak oleh orang tak dikenal setelah ia meliput isu-isu politik yang sensitif.
    Kini, dengan teror kepala babi, ancaman terhadap
    kebebasan pers
    semakin nyata. Dewan Pers dan berbagai organisasi jurnalis telah menyatakan keprihatinan mereka, menyebut insiden ini sebagai bentuk kekerasan terhadap pers yang mesti diusut tuntas.
    Kasus ini mengingatkan kita bahwa ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia masih terus berlangsung. Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi.
    Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
    Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa jurnalis masih menjadi target intimidasi, terutama ketika mengungkap fakta-fakta yang mengusik kepentingan tertentu.
    Tidak bisa dimungkiri bahwa independensi media adalah salah satu pilar demokrasi. Tanpa pers yang bebas, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang jujur dan transparan.
    Teror seperti ini bukan hanya serangan terhadap individu jurnalis, tetapi juga terhadap hak publik untuk mengetahui kebenaran.
    Jika kasus ini dibiarkan, kita membuka ruang bagi praktik pembungkaman pers yang lebih sistematis. Jurnalis akan semakin dibayang-bayangi ketakutan dalam menjalankan tugasnya.
    Efeknya tidak hanya pada individu wartawan yang diteror, tetapi juga pada kebebasan media secara keseluruhan.
    Atmosfer ketakutan dapat membuat media enggan mengangkat isu-isu sensitif, menghambat transparansi, dan pada akhirnya merugikan masyarakat yang berhak mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang.
    Pembiaran terhadap aksi teror semacam ini akan menciptakan preseden buruk, seolah-olah intimidasi terhadap jurnalis adalah sesuatu yang dapat diterima.
    Jika para pelaku tidak diusut dan diproses hukum, maka bukan tidak mungkin kejadian serupa akan terus berulang, baik terhadap
    Tempo
    maupun media lainnya.
    Kita mesti menyadari bahwa kebebasan pers bukan sekadar hak jurnalis, tetapi juga elemen esensial dalam menjaga demokrasi yang sehat dan berfungsi dengan baik.
    Karena itu, negara wajib hadir dan bertindak tegas. Aparat penegak hukum mesti segera mengusut kasus ini hingga tuntas, menangkap pelaku, dan memastikan mereka mendapatkan hukuman setimpal.
    Pemerintah juga perlu memberikan jaminan perlindungan bagi jurnalis yang menghadapi ancaman, agar mereka dapat bekerja tanpa rasa takut.
    Masyarakat harus bersuara lantang dalam menolak segala bentuk kekerasan terhadap pers. Dukungan publik terhadap kebebasan media sangat penting untuk menekan pihak-pihak yang berusaha membungkam jurnalis.
    Jika kita membiarkan teror ini berlalu tanpa pertanggungjawaban, maka kita turut memberi ruang bagi kegelapan informasi, di mana kebenaran dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk menindas.
    Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dengan tegas mengecam aksi ini sebagai bentuk penghalangan terhadap kerja jurnalistik.
    Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers, setiap upaya menghambat atau menghalangi tugas jurnalis dapat dikenai sanksi pidana hingga dua tahun penjara atau denda maksimal Rp 500 juta.
    Namun, peristiwa ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, melainkan ancaman terhadap demokrasi.
    Sebagai pilar keempat demokrasi, pers memiliki peran sentral dalam melakukan
    checks and balances
    terhadap kekuasaan.
    Jika kebebasan pers terus dikekang melalui teror dan intimidasi, maka publik akan kehilangan akses terhadap informasi yang akurat dan independen.
    Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya melanggar hak mereka atas rasa aman, tetapi juga mencederai hak publik untuk mengetahui kebenaran.
    Lebih dari sekadar ancaman terhadap kebebasan pers, insiden ini juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
    Hak atas kebebasan berekspresi—termasuk kebebasan pers, adalah bagian dari hak fundamental yang dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
    Negara memiliki kewajiban (
    duty bearer
    ) untuk melindungi hak ini dan memastikan bahwa jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut.
    Teror terhadap jurnalis pun melanggar hak atas rasa aman, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
    Ancaman dan intimidasi terhadap jurnalis tidak hanya menimbulkan ketakutan individu, tetapi juga menciptakan efek jera yang dapat membatasi kebebasan berekspresi secara lebih luas.
    Ketika jurnalis merasa tidak aman dalam menjalankan tugasnya, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang jujur dan independen.
    Negara sejatinya berkewajiban untuk segera mengusut kasus ini dan memastikan adanya keadilan bagi korban.
    Lembaga-lembaga negara, termasuk Komnas HAM dan Polri, mesti turut berperan aktif dalam memberikan pelindungan bagi jurnalis yang menghadapi ancaman.
    Jika negara gagal bertindak, maka hal ini dapat dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang semakin menggerus demokrasi di Indonesia.
    Masyarakat sipil harus turut serta dalam mengawal kasus ini. Dukungan publik yang kuat dapat memberikan tekanan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas dalam melindungi kebebasan pers.
    Dalam era digital yang semakin terbuka, solidaritas publik terhadap jurnalis dan media independen sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak atas kebebasan berekspresi tetap terjaga.
    Jika negara tidak segera bertindak, maka kita mesti menghadapi kenyataan bahwa kebebasan berekspresi dan HAM di Indonesia semakin terancam.
    Teror terhadap jurnalis bukan hanya persoalan individu, tetapi juga ancaman terhadap kebebasan fundamental yang menjadi pilar utama negara demokratis.
    Oleh karena itu, pelindungan terhadap jurnalis mesti menjadi prioritas utama bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan seluruh elemen masyarakat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Belum Apa-apa Berburuk Sangka, Kita Positif Dahulu

    Belum Apa-apa Berburuk Sangka, Kita Positif Dahulu

    PIKIRAN RAKYAT – Ketua DPR RI, Puan Maharani merespons soal kritik dan tanggapan negatif dari rakyat terkait pengesahan UU TNI. Dia meminta semua pihak agar tidak berburuk sangka kepada pemerintah atas kebijakan ini.

    Ia mengatakan bahwa terdapat larangan serta batasan yang diberlakukan bagi prajurit aktif. Dengan demikian, pengesahan UU ini tidak seperti apa yang ramai dinarasikan.

    “Tetap dilarang (bisnis), tidak boleh berbisnis tidak boleh menjadi anggota partai politik dan ada beberapa hal lagi (ketentuan), itu harus (dipatuhi),” kata Puan, dalam keterangan yang dikutip Jumat, 20 Maret 2025.

    “Dan bahkan, kalau di luar dari pasal 47 bahwa cuma ada 14 lembaga yang TNI aktif itu harus mundur atau pensiun dini,” ujarnya menegaskan.

    Untuk itu, dia memohon agar semuanya berbaik sangka dan membaca dengan saksama dulu ketentuan yang sudah sama-sama disepakati oleh anggota legislatif di paripurna kemarin.

    “Jadi tolong jangan ada kecurigaan, jangan salah berprasangka dulu. Mari kita sama-sama baca dengan baik setelah undang-undang ini disahkan,” ucap dia.

    “Jangan belum apa-apa berburuk sangka. Ini bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Kita sama-sama harus mempunyai pikiran positif dahulu. Sebelum membaca, sebelum melihat, tolong jangan berburuk sangka dan berprasangka negatif,” katanya menandaskan.

    Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) tengah menjadi sorotan publik.

    Rencananya, RUU ini akan disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 20 Maret 2025. Namun, rencana ini memicu gelombang demonstrasi yang menolak pengesahan RUU tersebut.

    4 Kekhawatiran Utama dalam Demo Tolak RUU TNI

    1. Kembalinya Dwifungsi ABRI

    Kekhawatiran bahwa militer akan kembali menduduki jabatan sipil dan BUMN seperti pada masa Orde Baru.

    2. Ancaman Demokrasi dan HAM

    Kekhawatiran bahwa ruang gerak masyarakat sipil akan semakin dipersempit.

    3. Impunitas Militer

    Kekhawatiran bahwa pelanggaran HAM oleh TNI akan semakin sulit diadili.

    4. Persaingan Kerja yang Bertambah

    Kekhawatiran bahwa perwira TNI akan memasuki sektor sipil dan merebut lapangan kerja anak muda. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • UU TNI Perkokoh Ideologi Pancasila sesuai Asta Cita

    UU TNI Perkokoh Ideologi Pancasila sesuai Asta Cita

    loading…

    Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri Darmansjah Djumala mengatakan UU TNI memperkokoh ideologi Pancasila. Foto/istimewa

    JAKARTA – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyebut pengesahan UU TNI memperkokoh ideologi Pancasila. Hal itu sesuai dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

    Seperti diketahui, DPR mengesahkan revisi Undang-undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara II, Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025.

    Di dalam UU TNI baru tersebut, ada tiga perubahan penting yaitu Pasal 7 yang mengatur Operasi Militer Selain Perang (OMSP), Pasal 47 terkait penempatan prajurit di jabatan sipil dan Pasal 53 mengenai masa dinas prajurit.

    Ketua DPR Puan Maharani menyatakan, selama pembahasan, DPR dan Pemerintah telah mendengarkan aspirasi masyarakat dan mengedepankan supremasi sipil, demokrasi, hak asasi manusia dan sesuai dengan peraturan perundangan di Indonesia dan internasional.

    Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri Darmansjah Djumala menyampaikan apresiasinya atas upaya pimpinan DPR untuk mempertimbangkan aspek demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pembahasan RUU tersebut.

    “Kesediaan pimpinan DPR yang bersedia memberi penjelasan seputar isi dan implikasi UU tersebut dalam rangka merespons kekhawatiran publik perlu disambut baik,” katanya, Jumat (21/3/2025).

    Terkait kemungkinan munculnya kembali dwifungsi TNI dalam kehidupan sosial-politik, Djumala, yang pernah bertugas sebagai Duta Besar (Dubes) untuk Austria dan PBB di Wina, menegaskan hal itu tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.

    Menurut dia, dalam tingkatan tertentu Indonesia saat ini sudah memasuki tingkat kematangan demokrasi yang sudah lebih baik dari era Orde Baru (Orba) ketika dwifungsi ABRI mendapat kritik dari masyarakat.

  • DPR Didesak Hapus Rumusan Pasal RUU KUHAP yang Melemahkan Advokat

    DPR Didesak Hapus Rumusan Pasal RUU KUHAP yang Melemahkan Advokat

    Jakarta, Beritasatu.com – Komunitas Advokat Pengawal RUU KUHAP mendesak agar DPR menghapus rumusan-rumusan yang dianggap melemahkan mereka. Adapun rumusan yang dimaksud, yaitu terdapat di dalam Pasal 142 ayat (3) huruf b RUU KUHAP yang berbunyi, “Advokat dilarang memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya.”

    Karena itu, Komunitas Advokat Pengawal RUU KUHAP yang beranggotakan, di antaranya yakni Johan Imanuel, Hema Anggiat Simanjuntak, Zentoni, Syukni Tumi Pengata dan Prayogo Laksono menyampaikan protes keras mereka secara tertulis kepada DPR.

    Adapun isi protes yang disampaikan oleh Komunitas Advokat Pengawal RUU KUHAP, yaitu:

    Pertama, pelarangan advokat untuk berpendapat atau berbicara di muka umum dinilai sebagai bentuk pengekangan advokat sebagai profesi yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

    Menurut mereka, advokat tidak mungkin tinggal diam dalam menangani perkara kliennya. Hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan kesewenang-wenangan di dalam pengadilan.

    “Sebagaimana diketahui, kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia,” kata perwakilan Komunitas Advokat Pengawal RUU KUAP secara tertulis, Jumat (21/3/2025).

    Kemudian, mereka menilai bahwa pelarangan advokat untuk berbicara di depan umum sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

    “Bagaimana mungkin seorang advokat yang telah disumpah menurut hukum demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum namun ia dilarang untuk berbicara. Seorang advokat yang telah disumpah memiliki kewajiban sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawabnya untuk menjalankan profesinya,” ujar mereka.

    Lebih lanjut, mereka menyebut advokat sebagai profesi yang istimewa. Karenanya, seorang advokat harus mampu berbicara di pengadilan maupun di muka umum untuk mewakili kliennya.

    Karena itu, mereka menuntut agar rumusal Pasal 142 ayat (3) huruf b RUU KUHAP segera dihapus karena merendahkan kehormatan, martabat dan tanggung jawab advokat sebagai profesi istimewa dan officium nobile.

    Advokat merupakan bagian dari penegak hukum yang harus berelasi dengan masyarakat, termasuk media. Karena itu, apabila mereka dibungkam, maka tidak akan ada lagi pihak yang membela klien atau masyarakat apabila terjadi kesewenang-wenangan selama proses peradilan.

    Menurut Komunitas Advokat Pengawal RUU KUHAP, desakan ini merupakan bentuk pengawasan mereka terhadap berjalannya proses peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum untuk semua pihak.

    “Perlu kami tekankan bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar memerlukan profesi advokat sebagai pengawas yang setara,” tegas mereka.

    “Advokat juga tunduk kepada kode etik profesi dan selama ini yang tidak boleh dilakukan oleh advokat adalah tendensius yang menghina pengadilan atau badan peradilan,” tambah mereka.

    Karena alasan inilah, Komunitas Advokat Pengawas RUU KUHAP mendesak DPR untuk segera menghapus semua rumusan pasal yang melemahkan profesi mereka, serta meninjau kembali rumusan-rumusan lainnya dengan frasa advokat pada RUU KUHAP.

  • Pemeriksaan Saya Hanya Kedok untuk Rampas Barang Kusnadi

    Pemeriksaan Saya Hanya Kedok untuk Rampas Barang Kusnadi

    loading…

    Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto saat tiba di Ruang Sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (21/3/2025). Foto/Nur Khabibi

    JAKARTA – Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan pemeriksaannya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanyalah sebatas kedok untuk menyita barang-barang milik stafnya, Kusnadi. Hal itu ia sampaikan saat membacakan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) dan perintangan penyidikannya.

    Awalnya, Hasto menyatakan KPK banyak mengabaikan penghormatan HAM dalam menangani kasusnya. “Pertama, pada saat saya diperiksa KPK pada tanggal 10 Juni 2024, ternyata pemeriksaan saya hanya sebagai kedok, tujuannya sebenarnya adalah untuk merampas paksa barang-barang Saudara Kusnadi yang dilakukan secara melawan hukum,” kata Hasto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (21/3/2025).

    Hasto menjelaskan, selama pemeriksaan tersebut dirinya dibiarkan menunggu selama kurang lebih tiga jam. Menurutnya, ia hanya diminta untuk melengkapi biodata.

    “Pada saat bersamaan, penyidik KPK Saudara Rossa Purbo Bekti justru melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara menyamar, membohongi Kusnadi, mengintimidasi, merampas barang yang dibawa Kusnadi, dan menginterogasi/memeriksa selama hampir tiga jam tanpa adanya surat panggilan,” ujarnya.

    “Apa yang terjadi dengan saudara Kusnadi ini saya sebut sebagai operasi 5 M yang merupakan singkatan dari (menyamar, membohongi, mengintimidasi, merampas, dan menginterogasi),” sambungnya.

    Dalam kasus dugaan perintangan penyidikan, Hasto didakwa dengan Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHAP.

    Sedangkan kasus dugaan suap, dia didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

    (rca)

  • Media Asing Ikut Soroti Pengesahan RUU TNI

    Media Asing Ikut Soroti Pengesahan RUU TNI

    Jakarta, Beritasatu.com – Media asing Reuters menyoroti pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) sebagai undang-undang melalui rapat paripurna DPR di gedung DPR Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

    Bukan tanpa alasan, pengesahan RUU TNI yang kontroversial dianggap dapat memperburuk demokrasi Indonesia dan berpotensi membangkitkan era Orde Baru (Orba), di mana militer mendominasi urusan sipil.

    “Revisi tersebut telah dikritik oleh kelompok masyarakat sipil yang mengatakan hal itu dapat membawa negara demokrasi terbesar ketiga di dunia kembali ke era ‘Orde Baru’ yang kejam dari mantan presiden Soeharto, ketika perwira militer mendominasi urusan sipil,” tulis media tersebut, dikutip pada Jumat (21/3/2025).

    Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani memimpin pemungutan suara bulat dalam rapat paripurna dan secara resmi mengesahkan RUU TNI sebagai undang-undang.

    Menurutnya, hal itu sudah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia (HAM) dan supremasi sipil.

    Reuters menyoroti Presiden Prabowo Subianto yang pernah menjabat sebagai komandan pasukan khusus di era pemerintahan Soeharto, yang saat ini dianggap telah memperluas peran militer ke wilayah sipil, termasuk dalam program makan bergizi gratis (MBG).

    Disahkannya RUU TNI telah menuai banyak kritik, khususnya dari kelompok hak asasi manusia yang khawatir hal tersebut dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan hingga pelanggaran HAM.

    Pemerintah mengatakan, RUU TNI mengharuskan perwira untuk mengundurkan diri dari militer sebelum memangku jabatan sipil, seperti di Kantor Kejaksaan Agung.

    Anggota Komisi I DPR Nico Siahaan menuturkan, ada kekhawatiran bahwa perwira dapat diizinkan bergabung dengan BUMN, tetapi aspek hukum tersebut tidak direvisi.

    Sementara itu, analis Institut Internasional untuk Studi Strategis Evan Lesmana menilai, RUU TNI tidak membahas masalah yang dihadapi oleh militer Indonesia, seperti menambah sumber daya untuk pelatihan dan standardisasi perangkat keras militer.

    Kemudian, kata Evan, perpanjangan usia pensiun perwira dalam RUU TNI dapat mengurangi profesionalisme prajurit karena prospek untuk promosi akan berkurang.

    Picu Gelombang Protes

    Ribuan massa aksi yang tergabung dalam aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil diketahui berunjuk rasa di luar gedung DPR Senayan, Jakarta, untuk menolak revisi tersebut.

    Bahkan, beberapa mahasiswa telah berkemah di gedung Pancasila sejak Rabu (19/3/2025) malam.

    Kepala Amnesty International di Indonesia, Usman Hamid, memperingatkan era orba yang mungkin kembali. Menurutnya, pengesahan RUU TNI menandakan kemunduran demokrasi.

    “Aktivis diculik dan beberapa belum kembali ke rumah. Dan hari ini rasanya kita seperti mundur,” ucapnya.

    Di sisi lain, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa pengesahan RUU TNI diperlukan lantaran perubahan geopolitik dan teknologi militer global mengharuskan TNI bertransformasi untuk menghadapi konflik konvensional dan nonkonvensional.

    Selain Reuters, pengesahan RUU TNI ini juga disorot oleh media asing lainnya, The Guardian, dalam artikelnya yang bertajuk “Indonesia Passes Controversial Law Allowing Greater Military Role in Government”.

    Dalam artikelnya itu, The Guardian menuliskan bahwa pengesahan RUU TNI oleh DPR merupakan sebuah langkah yang dikhawatirkan dapat membangkitkan kembali militerisme di Indonesia.

    “Indonesia telah meratifikasi perubahan kontroversial terhadap undang-undang militernya yang mengizinkan personel angkatan bersenjata untuk memegang lebih banyak jabatan sipil, sebuah langkah yang ditakutkan para analis dapat mengantarkan kebangkitan militer dalam urusan pemerintahan,” tulis The Guardian.

    Sebelum RUU TNI disahkan, para perwira aktif dapat menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga, seperti Kantor Kejaksaan Agung, Sekretariat Negara, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, hingga BUMN.

    Menurut peneliti senior Indonesia di Human Rights Watch Andreas Harsono, Prabowo tampak berniat memulihkan peran militer Indonesia dalam urusan sipil, yang telah lama ditandai oleh pelanggaran dan impunitas yang meluas.

    “Ketergesaan pemerintah untuk mengadopsi amandemen ini melemahkan komitmennya yang dinyatakan terhadap HAM dan akuntabilitas,” tuturnya.

    Sementara itu, analis politik dari lembaga survei Indikator, Kennedy Muslim menilai kekhawatiran akan kebangkitan orba di Indonesia terlalu berlebihan.

    “Kita telah melihat militerisasi yang merayap selama ini, itulah sebabnya masyarakat sipil berhak merasa khawatir dengan tren ini. Namun, saya pikir kekhawatiran bahwa ini kembali ke orba cukup berlebihan saat ini,” bebernya.

    Muslim menjelaskan bahwa selama ini TNI secara konsisten menempati peringkat tinggi dalam survei kepercayaan publik, tetapi dengan disahkannya RUU TNI berpotensi mengikis hal tersebut.

  • Waswas Reformasi Jilid II, Ekonomi Jadi Taruhan

    Waswas Reformasi Jilid II, Ekonomi Jadi Taruhan

    Bisnis.com, JAKARTA – Gelombang aksi demonstrasi di dalam negeri masih menjadi pertanda waswas akan terjadinya ‘reformasi jilid II’. Aksi protes itu tidak sedikit berdampak terhadap geliat ekonomi domestik.

    Pada awal tahun ini,  rangkaian aksi demo masyarakat dimulai pada Februari 2025 yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Aksi demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap” yang berlangsung pada Senin (17/2/2025).

    Ribuan mahasiswa menyampaikan lima tuntutan utama yang mereka nilai dapat mengancam keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia.

    Adapun, tuntutannya adalah mencabut Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang menetapkan pemangkasan anggaran yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, mencabut pasal dalam RUU Minerba yang memungkinkan perguruan tinggi mengelola tambang guna menjaga independensi akademik.

    Selain itu, melakukan pencairan tunjangan kinerja dosen dan tenaga kependidikan secara penuh tanpa hambatan birokrasi dan pemotongan yang merugikan, mengevaluasi total program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan mengeluarkannya dari anggaran pendidikan, serta menghentikan kebijakan publik yang tidak berbasis riset ilmiah dan tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

    Para demonstran juga menuntut adanya ketegasan terhadap dugaan korupsi yang dilakukan oleh Joko Widodo (Jokowi).

    Pada Agustus 2024, demonstrasi besar-besaran juga terjadi untuk menuntut revisi UU Pilkada di DPR.  Demo ini dihadiri oleh buruh demo, sejumlah Komika, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hingga mahasiswa.

    Para aktivis menyuarakan bahwa ada dugaan revisi UU Pilkada sebagai upaya untuk menganulir dua putusan MK terkait pilkada, yaitu Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII oleh Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah lewat revisi UU Pilkada.

    Selain itu, para demonstran juga menampilkan berbagai alat untuk mencurahkan kekesalannya terhadap DPR dan pemerintah yang dinilai telah merusak demokrasi, salah satunya adalah alat hukum pancung.

    Para pendemo juga menuliskan “Indonesia Baru Tanpa Dinasti Jokowi” yang tertempel pada replika alat pancung tradisional tersebut. “Hancurkan rezim Jokowi, Hancurkan rezim Jokowi,” teriak pendemo.

    Menurut Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, kemungkinan terjadinya Reformasi Jilid II selalu ada, mengingat banyaknya aksi demonstrasi yang terjadi.

    “Kalau kita bicara kemungkinan, kemungkinan itu selalu ada, karena jangankan nanti, sekarang saya sudah banyak demo. Pemerintah baru berjalan sebentar, sudah banyak sekali demonstrasi,” terangnya.

    Wijayanto menambahkan bahwa kondisi ekonomi menjadi faktor kunci yang dapat memicu gelombang protes lebih besar. Dia mengatakan bahwa saat ini yang berlangsung bukan hanya mengenai inflasi, tapi juga deflasi, yang berkorelasi pada pelemahan daya beli. 

    Senada, Direktur Pusat Hukum, HAM & Gender LP3ES, Hadi Purnama, menyoroti bahwa permasalahan tidak hanya terbatas pada UU TNI, tetapi juga mencakup RUU Polri dan RUU KUHAP yang sedang dalam pembahasan.

    Hadi juga mengingatkan kembalinya konsep Dwifungsi, baik dalam TNI maupun Polri. Menurutnya, situasi ini tidak boleh dikuasai oleh pemimpin atau presiden yang cenderung mengarah pada sistem imperium, karena berisiko besar untuk disalahgunakan.

    “Dan ingat bahwa ketika kuatnya apakah itu Polri ataupun TNI, itu arahnya adalah kepada otoritarian. Dan sebenarnya sinyal itu sudah ada sejak Presiden yang lalu. Terutama paling kuat itu sinyalnya adalah pada periode kedua Presiden yang lalu,” katanya.

    Sementara itu, Dosen Program Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Peni Hanggarini, menyoroti isu korupsi yang juga bisa menjadi salah satu faktor memicunya reformasi jilid II tersebut.

    “Ini akan menambah ricuh [soal korupsi], saya pikir. Menambah ricuh, menambah keruh. Dan ini bisa mengundang keinginan untuk menyuarakan reformasi yang jilid tua di jalanan misalnya. Kemungkinan seperti ini bisa saja terjadi,” ujarnya.

    Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, Ahmad Khairul Umam, mencatat bahwa setidaknya ada lima faktor yang bisa mendorong konsolidasi gerakan reformasi:

    Menurutnya, ketidakpuasan dan ketimpangan sosial yang meluas., legitimasi pemerintah yang melemah, krisis ekonomi, meningkatnya ketegangan dan polarisasi politik, serta kemunculan pemimpin alternatif yang mampu menginspirasi perlawanan.

    Menurutnya, meskipun faktor-faktor tersebut sudah mulai tampak, gerakan protes saat ini masih belum terkonsolidasi secara matang.

    “By theory, by case study, sangat memungkinkan. Tapi apakah kemungkinannya besar dalam konteks observasi hari ini? Opsi itu mungkin terjadi, tetapi belum terkonsolidasi secara matang,” pungkasnya.

    Ekonomi jadi Taruhan

    Tidak stabilnya kondisi politik di dalam negeri turut berimbas terhadap kepercayaan asing. Terlebih kondisi makroekonomi yang masih menantang turut memberi tekanan.

    Baru-baru ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami goncangan besar pada Selasa (18/3/2024). Alhasil Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa memberlakukan penghentian sementara perdagangan (trading halt) selama 30 menit, kembali terjadi sejak 2020.

    Pada Selasa (18/3/2025), IHSG ditutup melemah 3,84% ke level 6.223,39. Selama sesi perdagangan, 118 saham tercatat menguat, sementara 554 saham merosot, dan 139 saham stagnan. Pada sesi pertama perdagangan, IHSG sempat terjun hingga 6,12%, melampaui batas 5% yang ditetapkan BEI untuk memicu mekanisme trading halt.

    Menurut Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, salah satu faktor yang menyebabkan tekanan besar pada IHSG adalah Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).

    Pasalnya, sebagai informasi, RUU ini dikhawatirkan dapat menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI, meskipun Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi telah membantah anggapan tersebut.

    Di samping itu, isu-isu aktual seperti keraguan dalam pengelolaan Danantara di tengah maraknya kasus-kasus korupsi di BUMN, kemudian keraguan dalam pengelolaan beberapa program mercusuar yang menelan biaya besar, dan juga terdapat praktik nepotisme yang terjadi di kemudian hari.

    Terlebih, Isu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mundur, menurut Hadi, juga menjadi salah satu alasan mengapa pasar di Tanah Air bergejolak.

    Selain itu, Direktur Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Hendri Satrio ikut berkomentar soal amblasnya IHSG yang direspons oleh Wakil Ketua DPR RI ke BEI.

    “Pasar saham anjlok itu tanda pasar gak punya trust ke pemerintah. Tidak bisa diselesaikan dengan langkah politik,” tulisnya pada akun X @satriohendri.

  • Pimpinan KPK Usul Koruptor Tak Disediakan Makanan, MAKI: Nanti Melanggar HAM

    Pimpinan KPK Usul Koruptor Tak Disediakan Makanan, MAKI: Nanti Melanggar HAM

    Jakarta

    Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengusulkan narapidana korupsi tak disediakan makanan. Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut usulan itu hanya sebatas ungkapan emosi.

    “Boleh dipenjara paling terpencil dengan keamanan maksimum, tapi ya tetap harus dikasih makan, nanti melanggar HAM. Mungkin itu ungkapan kemarahan, kejengkelan terhadap koruptor, ‘jangan dikasih makan!’ itu gapapa,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Kamis (20/3/2025).

    Boyamin menyebut usulan itu tentu tidak bisa dilakukan. Bahkan dia mengusulkan KPK agar memaksimalkan hukuman mati.

    “Saya kira itu ungkapan kejengkelan, tapi kalau dipraktikkan nggak bisa karena itu melanggar HAM. Ya sudah dihukum mati aja, toh korupsi ada hukuman mati kalau dalam keadaan bencana, kalau seumur hidup ya harus dikasih makan, nanti kalau tidak malah dianggap kejam kita,” katanya.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto berencana membangun penjara untuk koruptor di pulau terpencil. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak sepakat dengan usulan Prabowo tersebut.

    “Saya sependapat bila Presiden membuat penjara di pulau yang terpencil dan terluar yang ada di sekitar Pulau Buru untuk semua pelaku tindak pidana korupsi,” kata Tanak ketika dihubungi, Selasa (18/3/2025).

    “Pemerintah tidak perlu menyediakan makanan untuk mereka, cukup sediakan alat pertanian, supaya mereka berkebun, bercocok tanam di ladang atau di sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri yang berasal dari hasil keringat mereka sendiri,” sebutnya.

    (azh/idn)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu