Kasus: HAM

  • Deretan Pasal Bermasalah, Penanganan Korupsi Makin Lemah?

    Deretan Pasal Bermasalah, Penanganan Korupsi Makin Lemah?

    PIKIRAN RAKYAT – Pada 20 Maret 2025, Komisi III DPR RI menggelar konferensi pers terkait Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam konferensi tersebut, Habiburokhman, Ketua Komisi III DPR RI, menegaskan bahwa RUU KUHAP yang sedang dibahas tidak akan mengubah wewenang aparat penegak hukum.

    “RUU ini tetap menjaga kewenangan yang sama seperti KUHAP saat ini,” ujarnya.

    Akan tetapi, setelah ditelaah lebih dalam, sejumlah pasal dalam draf RUU KUHAP justru dinilai bermasalah dan berpotensi melemahkan penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi.

    Pasal-Pasal Kontroversial

    Berikut lima poin kritis yang menjadi sorotan:

    Rekaman CCTV Tidak Wajib dan Dikuasai Penyidik

    Pasal 31 ayat (2) RUU KUHAP menyatakan pemeriksaan tersangka akan direkam dengan CCTV, tetapi rekaman ini bersifat opsional. Hal ini membuka celah terjadinya kekerasan dan penyiksaan.

    Lebih lanjut, Pasal 31 ayat (3) menyebutkan bahwa rekaman hanya berada dalam penguasaan penyidik. Ini berisiko menimbulkan konflik kepentingan karena seharusnya rekaman dikelola oleh lembaga independen agar bisa diakses oleh penuntut umum maupun tersangka.

    Perlindungan Kelompok Rentan Tanpa Mekanisme Jelas

    Bab khusus tentang kelompok rentan di Pasal 137-139 hanya sekadar mencantumkan hak-hak, tanpa mekanisme yang memastikan pemenuhan hak tersebut.

    Tidak ada aturan mengenai siapa yang bertanggung jawab atau sanksi jika hak kelompok rentan dilanggar. Hal ini dikhawatirkan menjadikan perlindungan ini sekadar formalitas di atas kertas.

    Peran Advokat Masih Dibelenggu

    Pasal 33 RUU KUHAP membatasi peran advokat hanya sebagai pendengar dan pencatat dalam pemeriksaan tersangka. Advokat tidak bisa berpartisipasi aktif, bahkan tidak bisa mencatat keberatan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

    Selain itu, Pasal 142 ayat (3) huruf b melarang advokat memberi pendapat di luar pengadilan, yang berpotensi membungkam suara pembelaan.

    “Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri. Larangan seperti ini bertentangan dengan prinsip hukum yang menjunjung tinggi hak pembelaan,” ujar Prof. Dr. Ali Masyhar Mursyid, Dekan Fakultas Hukum UNNES.

    Syarat Penahanan Semakin Karet

    Pasal 93 ayat (5) memperluas alasan penahanan hingga sembilan poin, termasuk “memberikan informasi tidak sesuai fakta” dan “menghambat proses pemeriksaan”. Kedua alasan ini dinilai multitafsir dan berpotensi dimanfaatkan untuk menekan tersangka.

    Padahal, tersangka berhak diam atau menyangkal dakwaan tanpa harus dianggap menghambat proses hukum.

    Restorative Justice (RJ) yang Salah Kaprah

    RUU KUHAP mencampuradukkan konsep Restorative Justice (RJ) dengan Diversi (penghentian perkara di luar sidang). RJ seharusnya bertujuan memulihkan korban, bukan sekadar menghentikan perkara.

    Anehnya, wewenang RJ justru diberikan ke penyidik kepolisian, bukan penuntut umum. Ini membuka celah penyalahgunaan kekuasaan dan pemerasan terhadap korban.

    RUU KUHAP Melemahkan Peran Kejaksaan dalam Kasus Korupsi

    Salah satu sorotan terbesar adalah pengurangan kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan kasus korupsi. Dalam revisi RUU KUHAP, jaksa hanya berwenang menyidik kasus pelanggaran HAM berat, sementara kasus korupsi dihapus dari kewenangan mereka.

    “Kenapa penyidikan kasus HAM berat boleh, tapi kasus korupsi tidak? Justru lebih banyak lembaga yang menyidik akan meminimalisasi potensi abuse of power,” kata Prof. Ali Masyhar.

    Dia juga menegaskan bahwa revisi RUU ini harus melibatkan diskusi mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan. Dia mengusulkan, pembentukan lembaga penyidik independen untuk menangani kasus-kasus khusus guna menghindari tarik ulur kepentingan.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • RMC 2025 dorong kesetaraan penguatan hak sipil dan media

    RMC 2025 dorong kesetaraan penguatan hak sipil dan media

    “Ini adalah inisiatif besar yang melibatkan peserta dari berbagai wilayah Indonesia Timur. Harapannya, konferensi ini menjadi langkah awal dalam memperkuat ekosistem kesetaraan di kawasan ini,”

    Makassar (ANTARA) – Forum Regional Media Conference (RMC) 2025 mendorong kesetaraan dan keberlanjutan wilayah Indonesia Timur melalui penguatan hak sipil dan peran media dengan tujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi yang kredibel dan transparan.

    “Ini adalah inisiatif besar yang melibatkan peserta dari berbagai wilayah Indonesia Timur. Harapannya, konferensi ini menjadi langkah awal dalam memperkuat ekosistem kesetaraan di kawasan ini,” Direktur KabarMakassar Hajriana Ashadi di Bikin-Bikin Creative Hub Mal Nipah Makassar, Selasa.

    Ia menjelaskan, konferensi tersebut merupakan hasil kolaborasi antara KabarMakassar dan BBC Media Action serta dukungan dari Pemerintah Inggris di Indonesia. Konferensi ini menekankan pentingnya kerja sama ini dalam membangun ekosistem kesetaraan di Indonesia Timur.

    Hal senada disampaikan Country Director Indonesia and Pacific BBC Media Action Rachael McGuin bahwa pihaknya memberikan dukungan penuh pada kegiatan tersebut yang menghadirkan narasumber kompeten di bidangnya.

    “Kami sangat senang berada di sini dan bangga dapat berkolaborasi dengan KabarMakassar, BBC Media Action berharap kerja sama ini dapat berjalan dengan baik,” tuturnya.

    Kegiatan tersebut juga dikemas dengan Focus Group Discussion (FGD) yang membahas kondisi di timur Indonesia, mencakup tantangan akses informasi, ketimpangan pembangunan, dan penguatan hak sipil. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok untuk mendiskusikan topik berbeda namun saling berkaitan.

    Salah satu rekomendasi utama adalah peningkatan literasi media di wilayah terpencil, terutama terkait isu energi, perempuan, anak, dan masyarakat adat. Selain itu, kolaborasi antara masyarakat sipil, media, dan pemangku kepentingan dianggap krusial untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan berdampak luas.

    Rekomendasi lainnya adalah kolaborasi antara masyarakat sipil, media, dan pemangku kepentingan, dinilai penting agar kebijakan tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga memiliki jangkauan nasional.

    Hajriana menambahkan, RMC 2025 menghasilkan berbagai ide strategis, khususnya dalam menjawab tantangan pembangunan dan pemenuhan hak sipil di wilayah timur Indonesia. Pihaknya berharap kegiatan ini dapat melahirkan produk hukum yang menjamin transparansi dan berkelanjutan

    Founder dan CEO KGI Upi Asmaradhana, menekankan pentingnya RMC 2025 sebagai langkah awal dalam membangun konsolidasi masyarakat sipil. Karena, tak cukup bergerak sendiri dan keluar dari jebakan echo-chamber.

    “Ini adalah momentum penting bagi media untuk menyalurkan aspirasi masyarakat timur Indonesia kepada pemangku kebijakan,” ujarnya.

    Peran Jurnalisme dalam Demokrasi dan HAM

    Dalam sambutan virtualnya, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Dominic Jermey CVO, OBE, menyoroti peran penting jurnalisme dalam demokrasi dan hak asasi manusia. Dia juga mengapresiasi kolaborasi KabarMakassar dan BBC Media Action dalam membuka ruang diskursus mengenai tantangan media dan jurnalisme khususnya di Kawasan timur Indonesia.

    Ia menegaskan bahwa jurnalisme dan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan pilar penting dalam masyarakat demokratis. Jurnalis memainkan peran penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, meningkatkan transparansi, serta mengarahkan perhatian terhadap isu-isu penting seperti HAM dan lingkungan.

    Menurutnya, meliput isu lingkungan seperti perubahan iklim dan polusi, bukanlah tugas yang mudah. Jurnalis sering kali harus bekerja dalam kondisi yang menantang dan menghadapi risiko besar. Oleh karena itu, menjaga keselamatan dan independensi mereka menjadi hal yang sangat penting guna menjamin kebebasan pers.

    Head of Project BBC Media Action Helena Rea, juga menyoroti pentingnya membangun kapasitas media dan memperkuat kolaborasi lintas sektor. Ia melihat semangat kolaborasi yang luar biasa dari berbagai pihak, baik media maupun aktivis.

    “Media adalah pilar penting dalam perubahan sosial. Selain meningkatkan kualitas karya jurnalistik, kita juga perlu melihat bagaimana media dapat memengaruhi kebijakan terkait isu-isu besar, seperti lingkungan, hak perempuan, dan pemerataan pembangunan di daerah terpencil,” ujar Helena.

    Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Jamaluddin Jompa pada kesempatan itu menekankan pentingnya peran perguruan tinggi dalam mendukung pembangunan di timur Indonesia.

    Di akhir acara dilakukan penandatanganan kesepakatan bersama pihak terkait kesetaraan dan keberlanjutan wilayah Indonesia Timur melalui penguatan hak sipil dan peran media. Inisiatif ini diharapkan mendorong kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

    Pewarta: M Darwin Fatir
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

  • Komnas HAM RI: Vonis Pengadilan Militer di Kasus Pembunuhan Bos Rental Mobil Sesuai Rekomendasi – Halaman all

    Komnas HAM RI: Vonis Pengadilan Militer di Kasus Pembunuhan Bos Rental Mobil Sesuai Rekomendasi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komnas HAM RI angkat bicara terkait sidang putusan kasus penembakan hingga tewas bos rental mobil Ilyas Abdurahman di rest area KM 45, Tol Tangerang-Merak, Banten, oleh tiga oknum prajurit TNI yang digelar di Pengadilan Militer II-08 Jakarta pada hari ini Selasa (25/3/2025).

    Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM RI Uli Parulian Sihombing mengatakan putusan tersebut sejalan dengan rekomendasi Komnas HAM.

    “Meskipun tuntutan restitusinya ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Militer II-08, Putusan Pengadilan Militer II-08 tersebut sejalan dengan rekomendasi Komnas HAM yaitu meminta penegakan hukum yang adil dan transparan terkait adanya peristiwa pembunuhan di luar proses hukum,” kata Uli saat dikonfirmasi pada Selasa (25/3/2025).

    “Proses penegakan hukum atas pembunuhan bos rental di rest area KM 45 Tangerang telah berjalan dengan baik,” sambung Uli.

    Untuk itu, kata dia, Komnas HAM Rzi menyatakan dua hal.

    Pertama, Komnas HAM RI mengapresiasi Putusan Pengadilan Militer II-08 tersebut, dan Oditur Militer yang telah menuntut para terdakwa.

    “Kedua, perlu mempertimbangkan restitusi untuk korban di masa depan,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya dalam sidang di Pengadilan Militer II-08 Jakarta pada Selasa (25/3/2025) hari ini, Majelis Hakim memutuskan dua terdakwa Kelasi Kepala (KLK) Bambang Apri Atmojo, Sersan Satu Akbar Aidil terbukti melakukan pembunuhan berencana dari tewasnya bos rental mobil Ilyas Abdurrahman. 

    Atas hal itu keduanya divonis hukuman pidana penjara seumur hidup serta diberhentikan dari TNI. 

    Sementara itu untuk terdakwa Sersan Satu Rafsin Hermawan dihukum 4 tahun penjara dikurangi waktu terdakwa berada dalam tahanan serta diberhentikan dari TNI. 

    Namun, majelis hakim tidak mengabulkan tuntutan restitusi yang diajukan Oditur Militer.

    Merespons vonis tersebut ketiga terdakwa lewat kuasa hukumnya mengajukan pikir-pikir terhadap putusan hakim tersebut. 

    Begitu juga dengan Oditur Militer yang juga mengajukan pikir-pikir. 

    Sementara itu anak dari almarhum bos rental mobil Ilyas Abdurrahman, Rizky Agam, mengaku puas dengan putusan hakim tersebut. 

    Sebelumnya pada sidang tuntutan Senin, (10/3/2025) oditur militer atau penuntut umum menuntut ketiga terdakwa Kelasi Kepala (KLK) Bambang Apri Atmojo, Sersan Satu Akbar Aidil dan Sersan Satu Rafsin Hermawan dengan pasal penadahan.

    Selain itu, oditur juga menuntut terdakwa Bambang dan Akbar dengan pasal pembunuhan berencana. 

    Oditur menuntut terdakwa Bambang dan Akbar dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana tambahan dipecat dari TNI AL. 

    Sementara itu, untuk terdakwa Rafsin Hermawan, oditur menuntut pidana empat tahun penjara dan pidana tambahan dipecat dari TNI AL. 

    Ketiga terdakwa juga dituntut untuk membayar biaya restitusi dari tewasnya Ilyas Abdurrahman dan korban luka tembak Ramli. 

    Terdakwa Bambang Apri Atmojo dituntut memberikan restitusi kepada keluarga Alm Ilyas Abdulrahman sebesar Rp 209.633.500 dan kepada korban Ramli sebesar Rp 146.354.200.

    Terdakwa Akbar Aidil dituntut memberikan restitusi kepada keluarga Alm Ilyas Abdulrahman sebesar Rp147.133.500 dan kepada korban Ramli Rp 73.177.100.

    Sedangkan terdakwa Rafsin Hermawan dituntut memberikan restitusi kepada keluarga Alm Ilyas Abdulrahman sebesar Rp 147.133.500 dan kepada korban Ramli Rp 73.177.100.

     

     

  • LBH GP Ansor Akan Dampingi Mahasiswa Demonstran yang Belum Kembali

    LBH GP Ansor Akan Dampingi Mahasiswa Demonstran yang Belum Kembali

    Jakarta, Beritasatu.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor memerintahkan wilayah dan cabang untuk mendampingi mahasiswa demonstran yang ditangkap polisi dan belum kembali. Mahasiswa tersebut ditangkap karena demonstrasi menolak Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

    Ketua LBH GP Ansor Pusat Dendy Zuhairil Finsyah menyatakan, pihaknya telah menginstruksikan lebih dari 180 kantor wilayah dan cabang di seluruh Indonesia untuk membuka pengaduan masyarakat terkait pelanggaran selama aksi.

    Upaya ini dilakukan untuk memberikan pendampingan hukum kepada demonstran yang mengalami tindakan tidak adil. Dia juga meminta kepolisian transparan terkait jumlah demonstran yang ditahan, baik yang telah dibebaskan maupun yang masih ditahan.

    “Transparansi ini penting untuk memastikan advokasi berjalan maksimal,” tegas Dendy dalam keterangan tertulis, Selasa (25/3/2025).

    LBH GP Ansor juga menyerukan agar jaringannya aktif dalam advokasi hukum demi memastikan hak para demonstran terlindungi. “Kami berkomitmen memastikan hukum ditegakkan secara adil tanpa tindakan berlebihan terhadap mereka yang menggunakan haknya untuk menyampaikan pendapat,” tambahnya.

    Tak lupa Dendy menyuarakan keprihatinannya terkait tindakan represif aparat terhadap demonstran yang berujung pada penangkapan dan kekerasan.

    Menurut dia, tindakan tersebut melanggar hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 28E UUD 1945 dan berbagai instrumen hukum lainnya. Penangkapan sewenang-wenang terhadap demonstran merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM).

    “Hak untuk menyampaikan pendapat adalah hak yang dilindungi, baik secara konstitusi maupun melalui peraturan internasional, seperti UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik,” pungkas Dendy terkait seruan LBH GP Ansor.

  • Pro-Kontra Revisi KUHAP: Pasal Penyadapan, Penyidikan, hingga Sidang Tak Boleh Diliput

    Pro-Kontra Revisi KUHAP: Pasal Penyadapan, Penyidikan, hingga Sidang Tak Boleh Diliput

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi III DPR akan segera memulai pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Revisi ini merupakan pertama kali yang dilakukan setelah 44 tahun. 

    Untuk diketahui, KUHAP merupakan dasar bagi aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan untuk melaksanakan wewenangnya. Revisi KUHAP ini juga sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP baru yang akan mulai berlaku pada 2026 atau tahun depan.

    Komisi III DPR RI segera menggulirkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) bersama Pemerintah, usai menerima Surat Presiden (Surpres) terkait pembahasan revisi UU tersebut pada Kamis (20/3).

    Pada Senin (25/3/2025), Komisi III DPR menghadirkan dua pakar hukum ternama Indonesia, yaitu Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI) Juniver Girsang Ketua PBHI Julius Ibrani, dan Prof. Romli Atmasasmita, di Gedung DPR, Jakarta Pusat.

    Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menargetkan pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP tidak memakan waktu hingga melebihi dua masa sidang. Pihaknya optimistis pembahasan revisi KUHAP itu bisa dibahas tanpa waktu yang lama.

    “Kalau bisa ya jangan lebih dari dua kali masa sidang. Jadi kalau dua kali masa sidang Insyaallah sih siap ya teman-teman ya,” ujarnya di Gedung DPR. 

    Habiburokhman menyebut jumlah pasal yang akan dibahas di dalam KUHAP tidak sampai 300 pasal. Jumlah itu lebih sedikit dari pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, yang disebut mencapai sekitar 700 pasal. 

    Pria yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu lalu menilai bahwa tidak banyak pihak yang akan mempertentangkan revisi KUHAP tersebut. 

    “Karena konsennya adalah memperkuat hak-hak orang yang bermasalah dengan hukum. Apakah sebagai tersangka, sebagai saksi, sebagai korban, kita perkuat hak-haknya,” tuturnya. 

    Berikut pasal-pasal yang menjadi sorotan dalam revisi KUHAP 

    1. Tidak Boleh Ada Siaran Langsung Persidangan

    Dalam kesempatan itu, Juniver Girsang mengusulkan agar revisi KUHAP dimasukkan pasal soal tidak ada liputan langsung dalam proses persidangan.

    Juniver menyarankan dalam Pasal 253 ayat 3 supaya ada penegasan dari makna publikasi proses persidangan. Menurut dia, harus ada pelarangan liputan langsung dalam persidangan.

    “Ini harus clear, jadi bukan berarti advokatnya setelah dari sidang tidak boleh memberikan keterangan di luar, ini bisa kita baca Ayat 3 ini kan; ‘Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan’,” tuturnya.

    Menurutnya, usulan ini perlu disetujui karena dia menilai ketika setiap orang yang ada di ruang sidang melakukan liputan langsung, dikhawatirkan dapat mempengaruhi keterangan para saksi.

    “Kenapa ini harus kita setujui? Karena orang dalam persidangan pidana kalau di liputannya langsung, saksi-saksi bisa mendengar, bisa saling mempengaruhi, bisa nyontek, itu kita setuju itu,” ujarnya.

    Akan tetapi, Juniver turut menyebut liputan langsung sebenarnya masih bisa dilakukan apabila telah mendapatkan izin dari hakim pengadilan. 

    “Dilarang mempublikasikan atau liputan langsung, tanpa seizin, bisa saja diizinkan oleh hakim, tentu ada pertimbangannya,” pungkasnya.

    2. Kejaksaan tetap berhak ikut penyidikan tindak pidana korupsi 

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan bahwa kejaksaan tetap berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

    “Jadi kejaksaan tetap berwenang melakukan penyidikan tipikor menurut KUHAP yang baru,” kata Habiburokhman saat konferensi pers usai rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi III DPR RI bersama sejumlah pakar untuk mendengarkan masukan terkait RUU KUHAP di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    Hal itu disampaikannya merespons informasi yang beredar di publik terkait Pasal 6 dalam draf RUU KUHAP yang menyebutkan jaksa tak lagi berwenang melakukan penyidikan di bidang tipikor.

    “Ada yang menyebutkan kejaksaan tidak lagi berwenang melakukan penyidikan di bidang tipikor karena Pasal 6, penjelasannya Pasal 6 itu menyebutkan bahwa yang disebutkan adalah penyidik kejaksaan di bidang pelanggaran HAM berat,” ucapnya.

    Untuk itu, dia meluruskan bahwa kabar yang menyebut jaksa tak lagi memiliki wewenang melakukan penyidikan tipikor dalam RUU KUHAP tidaklah benar.

    “Tidak benar sama sekali bahwa kejaksaan tidak lagi memiliki kewenangan menyidik di tipikor karena naskah yang asli yang sudah kami kirimkan kemarin sudah jelas-jelas, di contoh juga kami sebutkan seperti adalah penyidik kejaksaan di bidang tipikor dan HAM berat,” tuturnya.

    Menurut dia, pengaturan soal kewenangan institusi tidak ikut diatur dalam RUU KUHAP, termasuk kejaksaan.

    “Memang KUHAP ini tidak mengatur soal kewenangan institusi, jadi dia hanya memberi contoh dari apa yang sudah berlaku,” kata dia.

    Komisi III DPR RI RDPU menerima masukan terkait RUU Hukum Acara Pidana dengan Juniver Girsang, Ketua PBHI Julius Ibrani, dan Prof. Romli Atmasasmita, di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin (24/3/2025)/BISNIS-Annisa Nurul Amara

    3. Kasus penghinaan Presiden 

    Kasus penghinaan terhadap presiden penting untuk dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif (restorative justice/RJ) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

    “Seluruh fraksi juga sepakat bahwa pasal penghinaan presiden adalah pasal yang paling penting yang harus bisa diselesaikan dengan restorative justice,” kata Habiburokhman. 

    Hal itu disampaikannya di akhir rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi III DPR RI bersama sejumlah pakar untuk mendengarkan masukan terkait RUU KUHAP.

    Dia menyebut kebijakan keadilan restoratif penting diterapkan dalam pasal penghinaan terhadap presiden sebab pasal tersebut dapat menimbulkan multitafsir atau multiinterpretasi.

    “Faktanya bahwa justru pasal tersebut, pasal penghinaan presiden adalah pasal yang paling penting yang harus bisa diselesaikan dengan restorasi justice karena itu adalah pasal terkait ujaran, orang bicara A, bisa jadi tafsirkan B, C, dan E karena itu cara menyelesaikannya adalah dengan mekanisme dialog restorative justice,” ujarnya.

    Untuk itu, dia mengatakan pihaknya memandang penting diterapkannya keadilan restoratif atas pasal tersebut agar masyarakat tidak mudah dijerat hukuman penjara atas lontarannya yang dianggap menghina presiden.

    4. KPK Tak Ikuti Revisi KUHAP soal Penyadapan 

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bakal tetap merujuk pada Undang-Undang (UU) No.19/2019 terkait dengan wewenang penyadapan kendati draf revisi KUHAP memuat aturan berbeda.

    Untuk diketahui, draf revisi KUHAP yang akan dibahas oleh DPR mengatur sederet kebijakan soal penyadapan yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH).

    Berdasarkan draf revisi KUHAP yang dilihat Bisnis, wewenang penyadapan oleh penegak hukum diatur dalam pasal 124 hingga 129. Pada pasal 124 ayat (1), KUHAP mengatur bahwa penyidik, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) atau penyidik tertentu dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan. 

    Kemudian, pada ayat (2), penyadapan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri (PN). 

    Sementara itu, pada UU No.19/2019 tentang KPK, pasal 12 mengatur bahwa KPK berwenang melakukan penyadapan dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan. 

    Aturan itu berbeda dengan UU No.19/2019 tentang KPK yang selama ini menjadi rujukan bagi lembaga antirasuah menangani kasus-kasus korupsi. Misalnya, draf revisi KUHAP yang akan dibahas itu salah satunya mengatur penyadapan dilakukan untuk kepentingan penyidikan.

    Sementara itu, UU KPK mengatur bahwa penyadapan dapat dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. 

    Menanggapi perbedaan tersebut, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk secara khusus sebagaimana diatur dalam pasal 43 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

    “Dalam melaksanakan tugasnya KPK diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan dalam tahap penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU No.19 Tahun 2019,” ujar Johanis kepada wartawan, Senin (24/3/2025).

    Johanis menyebut penyadapan yang diatur dalam KUHAP lebih bersifat umum karena dapat digunakan untuk penanganan kasus pidana lain, di luar pidana korupsi. 

    “Dengan demikian berdasarkan asas ‘lex spesialis derogat legi generalis’ KPK dapat saja melakukan penyadapan berdasarkan UU No.19 Tahun 2019 tanpa perlu mengikuti ketentuan yang diatur dalam KUHAP,” terang pimpinan KPK dua periode itu.

  • Tim Medis Diserang hingga Ada Dugaan Pelecehan

    Tim Medis Diserang hingga Ada Dugaan Pelecehan

    PIKIRAN RAKYAT – Aksi demonstrasi menolak Undang-Undang (UU) TNI di Kota Malang pada Minggu, 23 Maret 2025, berakhir ricuh. Insiden ini diwarnai dengan penyerangan terhadap tim medis, jurnalis, dan dugaan pelecehan seksual.

    Aksi demonstrasi yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi ricuh pada sore hari. Aparat keamanan berusaha membubarkan massa aksi dengan menggunakan tindakan represif.

    Tim medis yang berada di lokasi untuk memberikan pertolongan kepada korban luka justru ikut menjadi sasaran kekerasan.

    Aparat kepolisian dan TNI dilaporkan menyerang “safe zone” tim medis, melakukan pemukulan, dan mengeluarkan kata-kata kasar.

    Laporan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang menyebutkan bahwa tim medis mengalami intimidasi, kekerasan fisik, dan bahkan pelecehan seksual.

    “Sejumlah massa aksi ditangkap, dipukul dan mendapatkan ancaman. Tim medis, pers, dan pendamping hukum yang bersiaga di Halte Jl. Kertanegara juga mendapati pemukulan, kekerasan seksual dan ancaman pembunuhan (verbal),” demikian bunyi rilis YLBHI mengutip rilis LBH Malang, Minggu melalui media sosial X.

    Barang-barang medis milik para relawan juga dirampas dan dirusak oleh aparat. Selain tim medis, beberapa jurnalis dan pendamping hukum juga dilaporkan mengalami penganiayaan.

    “Sejumlah gawai massa aksi dan tim medis dirampas, begitu pula dengan alat kelengkapan medis,” lanjutnya.

    #intinyadeh aksi #CabutUUTNI di Kota Malang dpt represi, polisi dan TNI terlihat nyerang safe zone medis, mukul tim medis, ngatain “lonte”.

    Di video lain jg media dan anggota Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang dipukul.

    Bbrp org dibawa, byk motor diangkut. https://t.co/4ZU3D5UF9V

    — intinyadeh (@intinyadeh) March 23, 2025

    Jurnalis dan anggota Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang menjadi sasaran kekerasan. Beberapa demonstran ditangkap, dan sejumlah sepeda motor diamankan oleh aparat.

    Diketahui, massa aksi yang terluka dan dirawat di rumah sakit dilaporkan didatangi oleh pihak kepolisian.

    Insiden ini memicu kecaman luas dari masyarakat sipil, aktivis HAM, dan organisasi jurnalis. LBH Malang mengecam tindakan represif aparat yang dinilai melanggar hukum dan etika kemanusiaan.

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Kencam Pernyataan Hasan Nasbi Soal Kepala Babi ‘Dimasak Aja’, DPR: Seperti Meremehkan

    Kencam Pernyataan Hasan Nasbi Soal Kepala Babi ‘Dimasak Aja’, DPR: Seperti Meremehkan

    PIKIRAN RAKYAT – Wakil Ketua Komisi XIII DPR Andreas Hugo Pareira mengkritik sikap Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi yang menanggapi teror kiriman kepala babi ke kantor media Tempo dengan mengatakan ‘dimasak saja’.

    Andreas menilai pernyataan Hasan Nasbi mencerminkan sikap yang miskin etika dan tidak pantas diucapkan oleh pejabat negara.

    “⁠Respons jubir istana yang menyuruh agar kepala babi tersebut dimasak adalah arogan yang berbau penghinaan terhadap media. Tidak pantas seorang Jubir yang merepresentasikan suara istana berkata demikian,” ujar Andreas, Senin 22 Maret 2025.

    Selain menghina media, Andreas menyebut pernyataan Hasan Nasbi nirempati dan tak menghormati hak asasi manusia (HAM).

    “Konstitusi kita mengatur negara menjamin hak atas pekerjaan yang layak bagi setiap warganya. Layak di sini artinya termasuk dari sisi kenyamanan dan keamanan. Dan jaminan atas pekerjaan merupakan hak asasi manusia,” tuturnya.

    Andreas menegaskan, pengiriman paket kepala babi yang ditujukan kepada wartawan Tempo, Francisca Christy Rosana atau yang akrab disapa Cica tidak bisa dilihat sebagai kasus biasa, apalagi kasus lucu-lucuan.

    “Tindakan ini bisa disebut sebagai bentuk teror yang bertujuan untuk membungkam media massa,” katanya.

    Pemeritah harus ambil sikap serius

    Oleh karenanya, pimpinan Komisi HAM DPR itu mengecam pernyataan Hasan Nasbi. Menurut Andreas, ancaman terhadap jurnalis dan media massa seharusnya ditanggapi dengan serius, bukannya dengan guyonan tidak bermutu.

    “Pemerintah seharusnya mengambil sikap serius terhadap upaya intimidasi terhadap pers, bukan justru meremehkan insiden ini,” katanya.

    “Pernyataan yang dianggap bercanda atau meremehkan dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap komitmen Pemerintah dalam melindungi kebebasan pers,” ujar Andreas.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Saat SKCK Diusulkan Dihapus karena Persulit Eks Napi Dapat Kerja

    Saat SKCK Diusulkan Dihapus karena Persulit Eks Napi Dapat Kerja

    Saat SKCK Diusulkan Dihapus karena Persulit Eks Napi Dapat Kerja
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com-
    Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) mengusulkan agar Polri menghapus surat keterangan catatan kepolisian (
    SKCK
    ) karena dinilai berpotensi menghalangi hak asasi warga negara.
    Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian HAM Nicholay Aprilindo menyatakan, usul tersebut disampaikan Menteri HAM Natalius Pigai lewat surat kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
    “Alhamdulillah tadi Pak Menteri sudah menandatangani surat usulan kepada Kapolri untuk melakukan pencabutan SKCK dengan kajian yang kami telah lakukan secara akademis maupun secara praktis,” kata Nicholay, Jumat (21/3/2025), dikutip dari
    Antara
    .
    Nicholay menjelaskan, usul ini muncul setelah Kementerian HAM menemui narapidana residivis saat berkunjung ke berbagai lembaga pemasyarakatan (lapas) di sejumlah daerah. 
    Ia menyebutkan, para mantan narapidana itu kembali mendekam di penjara karena sulit mencari pekerjaan setelah bebas sehingga terpaksa mengulangi perbuatan melanggar hukum.
    Menurut Nicholay, mereka terbebani dengan adanya SKCK yang menjadi syarat pada lowongan kerja.
    Sebab, SKCK itu memuat keterangan bahwa mereka pernah dipidana yang membuat perusahaan atau penyedia pekerjaan sulit menerima mantan narapidana.
    “Beberapa narapidana ini juga mengeluhkan betapa dengan dibebankannya SKCK itu, masa depan mereka sudah tertutup,” kata Nicholay.
    “Bahkan, mereka berpikiran bahwa mereka mendapatkan hukuman seumur hidup karena tidak bisa untuk hidup yang baik, layak, maupun normal karena terbebani oleh stigma sebagai narapidana,” ujar dia.
    Nicholay menegaskan, SKCK perlu dihapus demi penegakan, pemenuhan, dan penguatan HAM karena setiap manusia, termasuk narapidana, punya hak asasi yang melekat sejak lahir dan tidak dapat dicabut.
    Respons Polri
    Merespons usul Kementerian HAM, Polri menyatakan bahwa SKCK muncul karena lahir dari kebutuhan masyarakat, terutama untuk melamar pekerjaan.
    “(SKCK) itu juga berdasarkan pada permintaan dari beberapa masyarakat untuk khususnya adalah salah satunya misalkan pelamaran dalam bekerja,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko di Mabes Polri, Jakarta, Senin (24/3/2025).
    Truno menegaskan bahwa SKCK merupakan salah satu fungsi operasional Polri yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
    Ia menambahkan bahwa hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan diatur dalam konstitusi.
    “Secara konstitusi, semua hak-hak masyarakat itu diatur. Kemudian juga dalam hal menerima pelayanan khususnya SKCK juga diatur,” lanjut dia.
    Trunoyudo juga menekankan komitmen Polri untuk memperbaiki proses pembuatan SKCK, yang dinilai dapat menghambat masyarakat.
    “Ketika ini dirasakan menghambat, tentu kita hanya memberikan suatu catatan-catatan. Karena SKCK adalah surat keterangan, catatan dalam kejahatan atau kriminalitas,” kata Truno.

    Pemberian layanan SKCK diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 15 Ayat 1 dan huruf K, serta dalam Peraturan Polri Nomor 6 Tahun 2023.
    “Tentu apa yang jadi masukan secara positif kami juga akan menghargai dan akan menjadi bagian untuk meningkatkan pelayanan kepada seluruh elemen masyarakat,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Diminta Berikan Pengamanan Guru dan Nakes di Daerah Rawan Konflik

    Pemerintah Diminta Berikan Pengamanan Guru dan Nakes di Daerah Rawan Konflik

    Bisnis.com, JAKARTA — DPR RI mendesak pemerintah agar memberikan bantuan keamanan sekaligus meningkatkan perlindungan untuk guru dan tenaga kesehatan di daerah rawan konflik.

    Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mengatakan pihaknya tidak mau insiden pembantaian terhadap guru dan tenaga kesehatan terjadi lagi di kemudian hari seperti yang terjadi pada hari ini Senin 24 Maret 2025 di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua.

    Dia meminta aparat penegak hukum mempertebal pengamanan di wilayah yang rawan konflik, sehingga tidak ada lagi guru dan tenaga kesehatan yang jadi korban pembantaian.

    “Kami mendorong pemerintah dan aparat keamanan meningkatkan perlindungan bagi Guru dan Tenaga Kesehatan di daerah rawan konflik dan kami juga mengusulkan adanya penempatan personel keamanan di wilayah-wilayah rawan untuk mencegah kejadian serupa,” ujarnya di Jakarta, Senin (24/3/2025).

    Dia mengutuk keras seluruh pelaku pembantaian guru dan tenaga kesehatan di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua.

    Menurutnya, aksi pembantaian guru dan tenaga kesehatan itu masuk ketegori pelanggaran HAM berat yang harus segara diadili para pelakunya.

    “Kami sangat prihatin dan menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban serta komunitas pendidikan dan kesehatan yang terdampak,” katanya.

  • Komisi III DPR Tegaskan Kejaksaan Tetap Berwenang Lakukan Penyidikan Kasus Korupsi di KUHAP Baru

    Komisi III DPR Tegaskan Kejaksaan Tetap Berwenang Lakukan Penyidikan Kasus Korupsi di KUHAP Baru

    PIKIRAN RAKYAT – Komisi III DPR RI membantah jika kejaksaan tidak lagi berwenang melakukan penyidikan di bidang tipikor dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Sebagai informasi, mulanya beredar draf RUU KUHAP dalam Pasal 6 yang menyebutkan jaksa hanya menjadi penyidik HAM berat. Dalam draf beredar itu, jaksa sudah tidak lagi menjadi penyidik tipikor.

    “Perlu luruskan, kami perlu luruskan bahwa tidak benar sama sekali bahwa kejaksaan tidak lagi memiliki kewenangan menyidik di tipikor,” kata Ketua Komisi III DPR Habiburokhman di DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, 24 Maret 2025.

    Waketum Gerindra itu mengatakan, memang KUHAP ini tidak mengatur soal kewenangan institusi, jadi dia hanya memberi contoh dari apa yang sudah berlaku.

    “Jadi kejaksaan tetap berwenang melakukan penyidikan tipikor menurut KUHAP yang baru,” ujarnya.

    Sebagai informasi, kewenangan jaksa dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi sorotan. Dalam RUU tersebut tertulis jaksa hanya menjadi penyidik kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat.

    Aturan itu tertuang dalam draf RUU KUHAP pasal 6 tentang penyidik. Pasal tersebut menjelaskan kategori penyidik, berikut bunyinya:

    Pasal 6

    (1) Penyidik terdiri atas:
    a. Penyidik Polri;
    b. PPNS; dan
    c. Penyidik Tertentu.

    (2) Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.

    (3) Ketentuan mengenai syarat kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi bagi pejabat yang dapat melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News