Kasus: HAM

  • Komnas HAM Minta Kasus Dugaan Eksploitasi Mantan Pemain Sirkus OCI Diselesaikan Secara Hukum – Page 3

    Komnas HAM Minta Kasus Dugaan Eksploitasi Mantan Pemain Sirkus OCI Diselesaikan Secara Hukum – Page 3

    Kemudian, pada Desember 2024, Komnas HAM menerima pengaduan dari Ari Seran Law Office, bahwa permasalahan kasus OCI belum terselesaikan. Sebab, belum ada upaya untuk memenuhi tuntutan ganti rugi sebesar Rp3.1 miliar yang ditujukan kepada OCI.

    Lebih lanjut Komnas HAM menegaskan bahwa pelatihan keras, utamanya kepada anak-anak, tidak boleh menjurus pada penyiksaan. Apabila hal itu dilakukan maka telah terjadi pelanggaran hak anak.

    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” ujar Uli.

    Sebelumnya, para mantan pemain OCI juga mengadu ke Kementerian HAM di Jakarta, Selasa (15/4). Audiensi mereka diterima oleh Wakil Menteri HAM Mugiyanto.

    Mugiyanto menjelaskan bahwa berdasarkan cerita yang disampaikan para mantan pemain sirkus tersebut, terdapat banyak kemungkinan terjadinya tindak pidana.

    Menurut Mugiyanto, mereka mengalami kekerasan, termasuk soal kehilangan identitas.

    “Banyak kekerasannya, ada aspek-aspek yang penting juga, yang orang tidak pikirkan, itu soal identitas mereka. Padahal, identitas seseorang adalah hal dasar. Mereka tidak tahu asal usul, tidak tahu orang tuanya—beberapa dari mereka. Ini harus kita buka jalan supaya mereka bisa mengidentifikasi keluarga mereka, diri mereka sebetulnya siapa,” ujarnya.

     

  • Eksploitasi Pemain Sirkus OCI, Reza Indragiri: Jika Jalur Hukum Buntu, Sanksi Sosial Bisa Jadi Jalan – Halaman all

    Eksploitasi Pemain Sirkus OCI, Reza Indragiri: Jika Jalur Hukum Buntu, Sanksi Sosial Bisa Jadi Jalan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Puluhan tahun telah berlalu sejak pertunjukan sirkus keliling Oriental Circus Indonesia menghibur publik dari kota ke kota.

    Namun kini, bayang-bayang masa lalu mulai muncul ke permukaan.

    Kisah mantan pemain sirkus cilik yang mengaku dieksploitasi secara fisik dan mental kembali membuka luka lama—sekaligus mempertanyakan: di mana keadilan bagi anak-anak yang pernah dijadikan tontonan?

    Sayangnya, jalan pidana untuk menuntut pertanggungjawaban para pelaku dinilai nyaris mustahil.

    Terkait hal itu, Reza Indragiri Amriel, konsultan dari Lentera Anak Foundation mengutip ‘tragedi terjun bebas’ dan ‘kisah bebas merdeka’ dua orang mantan pemain sirkus cilik, kepada The Stolen Generation.

    “Yaitu, kebijakan pemerintah kulit putih Australia memindahkan secara paksa anak-anak Aborigin dan Torres Strait Island dari keluarga mereka sekian puluh tahun silam,” ujarnya dalam keterangan yang diterima, Jumat (18/4/2025).

    Menurutnya, mengakui kebijakan itu sebagai produk keliru negara, Pemerintah Australia pada tahun 2008 meminta maaf secara terbuka.

    Menjadi pertanyaan, apa yang bisa dilakukan agar pencetus bisnis sirkus (OCI), Taman Safari Indonesia, Hadi Manansang serta ketiga anaknya, Jansen Manansang, Frans Manansang, dan Tony Sumampau, menyampaikan permohonan maaf dan memberikan ganti rugi atau restitusi sebagaimana disebut oleh para korban? 

    “Jalan pidana tampaknya sulit untuk dilalui. Apalagi lex specialist berupa UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, UU Hak Asasi Manusia, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual baru ada setelah berhentinya Oriental Circus Indonesia,” kata Reza.

    Namun menjadi pengecualian jika otoritas penegakan hukum menemukan eksploitasi serupa masih berlangsung di bidang-bidang bisnis mereka.

    “Jangan-jangan tersisa satu jalan, yakni sanksi sosial berupa boikot, yang bisa masyarakat lakukan sebagai bentuk hukuman bagi pemilik Oriental Circus Indonesia sekaligus Taman Safari Indonesia,” katanya.

    “Atau, boleh jadi restitusi perlu digeser menjadi kompensasi (ganti rugi dari pemerintah),” tambah Reza.

    Dasar berpikirnya, kata Reza karena negara telah abai pasca laporan pertama korban pada tahun 1997.

    “Maka pemerintah dianggap telah sengaja menghindar dari kewajibannya melindungi warga negara. Atas kesengajaan itulah negara dihukum,” ujarnya.

    Manajemen Taman Safari Indonesia (TSI) memberikan klarifikasi mengenai dugaan eksploitasi dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh eks pemain sirkus dari Oriental Circus Indonesia (OCI).

    Pernyataan ini muncul setelah adanya audiensi di Kementerian Hukum dan HAM yang menyebut nama TSI Group dalam konteks permasalahan tersebut.

    Penegasan TSI Group

    Dalam keterangannya, Finky Santika Nh, Head of Media and Digital TSI Group, menegaskan bahwa TSI tidak memiliki keterkaitan bisnis atau hukum dengan eks pemain sirkus yang disebutkan.

    “Perlu kami sampaikan bahwa Taman Safari Indonesia Group adalah badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud,” ujarnya pada Kamis, 17 April 2025.

    Finky menambahkan bahwa masalah ini bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan TSI Group secara kelembagaan.

    “Kami berharap agar nama dan reputasi TSI Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami, terutama tanpa bukti yang jelas,” tegasnya.

    Komitmen TSI Group

    Lebih lanjut, Finky mengungkapkan bahwa TSI Group selalu berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, dan etika bisnis yang bertanggung jawab.

    “Selama lebih dari 40 tahun, TSI Group senantiasa mengutamakan konservasi, edukasi, dan pelayanan terbaik bagi masyarakat Indonesia dan mancanegara,” tambahnya.

    Finky juga mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital. “Jangan mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” pungkasnya.

    Dengan demikian, TSI Group berharap agar isu ini tidak mengganggu reputasi mereka yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

  • Komnas HAM Temukan 4 Pelanggaran HAM Pemain Sirkus OCI Sejak 1997, Anak-Anak Tak Tahu Identitas

    Komnas HAM Temukan 4 Pelanggaran HAM Pemain Sirkus OCI Sejak 1997, Anak-Anak Tak Tahu Identitas

    PIKIRAN RAKYAT – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan 4 jenis pelanggaran HAM kasus anak-anak pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) sejak 1997 di Bogor, Jawa Barat.

    Komnas HAM meminta kasus dugaan pelanggaran HAM yang dialami mantan pemain OCI diselesaikan secara hukum.

    Hal ini disampaikan Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing di Jakarta pada Jumat, 18 April 2025.

    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” kata Uli seperti dikutip dari Antara.

    4 Pelanggaran HAM di Lingkungan OCI

    1. Pelanggaran pada hak anak mengetahui asal-usul, identitas, hubungan kekeluargaan, dan orang tuanya.
    2. Pelanggaran terhadap hak-hak anak guna bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis.
    3. Pelanggaran hak anak memperoleh pendidikan umum yang layak, yang bisa menjamin masa depannya.
    4. Pelanggaran hak-hak anak mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak.

    Kasus Belum Selesai, Penyidikan Dihentikan

    Komnas HAM meminta asal-usul para pemain sirkus OCI segera dijernihkan karena hal ini penting bagi para korban mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan keluarganya.

    Direktorat Reserse Umum Polri menghentikan penyidikan tindak pidana menghilangkan asal-usul dan perbuatan tak menyenangkan atas nama FM dan VS menurut Surat Ketetapan Nomor Pol. G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um tanggal 22 Juni 1999.

    Komnas HAM menerima pengaduan Ari Seran Law Office bahwa permasalahan kasus OCI belum terselesaikan pada Desember 2024.

    Hal ini karena belum ada upaya memenuhi tuntutan ganti rugi Rp3.1 miliar yang ditujukan pada OCI.

    Anak-anak Kehilangan Identitas

    Komnas HAM menegaskan, pelatihan keras utamanya pada anak-anak tak boleh menjurus pada penyiksaan, jika dilakukan maka sudah terjadi pelanggaran hak anak.

    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” lanjutnya.

    Para mantan pemain OCI mengadu dan melakukan audiensi yang diterima Wakil Menteri HAM Mugiyanto di Kementerian HAM, Jakarta pada Selasa, 15 April 2025.

    Mugiyanto mengatakan menurut cerita mereka, ada banyak kemungkinan terjadinya tindak pidana dengan mengalami kekerasan, termasuk soal kehilangan identitas.

    “Banyak kekerasannya, ada aspek-aspek yang penting juga, yang orang tidak pikirkan, itu soal identitas mereka. Padahal, identitas seseorang adalah hal dasar. Mereka tidak tahu asal usul, tidak tahu orang tuanya—beberapa dari mereka. Ini harus kita buka jalan supaya mereka bisa mengidentifikasi keluarga mereka, diri mereka sebetulnya siapa,” katanya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Komnas HAM Temukan 4 Pelanggaran HAM Pemain Sirkus OCI Sejak 1997, Anak-Anak Tak Tahu Identitas

    Korban Tuntut Keadilan, TSI Enggan Dikaitkan

    PIKIRAN RAKYAT – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke publik setelah sejumlah korban menyampaikan aduan ke Kementerian Hukum dan HAM, pada Selasa, 15 April 2025.

    Mereka mengaku pernah menjadi korban kekerasan, kehilangan identitas, hingga tidak mendapatkan hak pendidikan saat bekerja sebagai bagian dari sirkus tersebut.

    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merespons laporan ini dengan serius. Dalam keterangan resminya, Komnas HAM meminta agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur hukum dan pemberian kompensasi kepada para korban.

    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, di Jakarta, Jumat 18 April 2025.

    Sejarah Panjang Pelanggaran di Lingkungan OCI

    Komnas HAM sebenarnya telah menyoroti praktik-praktik di lingkungan OCI sejak tahun 1997. Saat itu, mereka menemukan setidaknya empat jenis pelanggaran hak anak:

    Anak-anak tidak mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan keluarganya. Terjadi eksploitasi ekonomi terhadap anak-anak. Anak-anak tidak mendapatkan pendidikan umum yang layak. Tidak ada jaminan perlindungan keamanan dan sosial bagi anak-anak.

    Namun, penyelidikan terhadap dua tokoh yang disebut bertanggung jawab, yakni FM dan VS, dihentikan oleh Direktorat Reserse Umum Polri berdasarkan Surat Ketetapan Nomor Pol. G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um pada 22 Juni 1999.

    Kasus ini kembali mencuat setelah Komnas HAM menerima aduan dari Ari Seran Law Office pada Desember 2024, yang menyebutkan belum adanya penyelesaian atas tuntutan kompensasi sebesar Rp3,1 miliar kepada pihak OCI.

    Uli menegaskan bahwa pelatihan keras kepada anak-anak dalam sirkus tidak boleh menjurus pada penyiksaan.

    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” tuturnya.

    Wamenkumham: Ada Kemungkinan Banyak Tindak Pidana

    Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, menerima langsung audiensi para korban. Ia mengatakan bahwa pengakuan yang disampaikan mengarah pada potensi pelanggaran pidana berat, termasuk kekerasan dan penghilangan identitas.

    “Banyak kekerasannya. Ada aspek penting yang orang tidak pikirkan, itu soal identitas mereka. Mereka tidak tahu asal usul, tidak tahu orang tuanya—beberapa dari mereka. Ini harus kita buka jalan supaya mereka bisa mengidentifikasi keluarga mereka,” kata Mugiyanto.

    Dia juga menyatakan bahwa pemerintah akan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Komnas HAM untuk menyelidiki lebih lanjut. Rencana pemanggilan kepada pihak-pihak terkait, termasuk pihak Taman Safari Indonesia, telah disiapkan.

    “Kami akan meminta keterangan dari pihak Taman Safari Indonesia. Pemanggilan itu akan dilakukan secepatnya,” ujarnya.

    Taman Safari Indonesia Tolak Dihubungkan

    Menanggapi sorotan publik, Taman Safari Indonesia (TSI) Group menyatakan dengan tegas bahwa pihaknya tidak memiliki keterkaitan atau hubungan bisnis dengan mantan pemain sirkus OCI.

    “Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” kata Head of Media and Digital TSI Group, Finky Santika Nh, di Kabupaten Bogor.

    Finky juga meminta publik untuk tidak menyebarkan informasi yang tidak berdasar, karena dapat berdampak hukum terhadap reputasi perusahaan.

    “Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tuturnya.

    Penjelasan Tony Sumampau: TSI dan OCI Adalah Entitas Berbeda

    Komisaris TSI Group, Tony Sumampau, yang diketahui pernah menjadi pelatih hewan di OCI, juga memberikan klarifikasi. Dia menyatakan bahwa TSI dan OCI adalah dua badan hukum yang berbeda, meski dirinya aktif di keduanya pada masa lalu.

    Menurut Tony, anak-anak memang tinggal sepenuhnya di lingkungan sirkus pada masa itu, namun semua kegiatan termasuk makan, tidur, dan belajar tetap ada porsinya.

    “Ketika itu memang bekerja semua, anak-anak makan, istirahat, show, sampai belajar ada waktunya. Kalau ada kekerasan mungkin saya juga kena karena saya kan di sana juga,” ujarnya.

    Upaya Negara Menjembatani Korban dan Pihak Terlapor

    Kementerian Hukum dan HAM berkomitmen untuk menjadi penghubung antara para korban dan pihak-pihak yang diduga terlibat. Meskipun peristiwa ini terjadi puluhan tahun lalu, pemerintah menegaskan bahwa tidak ada daluwarsa terhadap pelanggaran HAM.

    “Kami dengarkan dari mereka, ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana,” ujar Mugiyanto.

    Dia juga menambahkan bahwa pihaknya akan memberi ruang bagi korban yang ingin menempuh jalur hukum secara formal.

    “Kalau memang mau ditempuh jalur hukum, ya silakan jika korban mau menempuh jalur itu,” ucap Mugiyanto.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • DPR Desak Polisi Usut Dugaan Eksploitasi Pemain Sirkus di Taman Safari

    DPR Desak Polisi Usut Dugaan Eksploitasi Pemain Sirkus di Taman Safari

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi III DPR menyoroti serius dugaan eksploitasi dan kekerasan terhadap mantan pemain sirkus oriental circus Indonesia (OCI) di Taman Safari Indonesia. Anggota Komisi III DPR Abdullah mendesak polisi mengusut tuntas kasus ini, termasuk memeriksa manajemen Taman Safari Indonesia, tempat para pemain sirkus tampil.

    “Kejahatan ini tidak boleh dibiarkan. Eksploitasi dan kekerasan terhadap pekerja melanggar hukum dan harus ditindak tegas,” tegasnya, Jumat (18/4/2025).

    Abdullah mengaku prihatin setelah mendengar langsung kesaksian mantan pemain sirkus OCI yang mengadu ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).

    Para korban eksploitasi dan kekerasan terhadap pemain sirkus di Taman Safari mengaku mengalami tindakan tak manusiawi, seperti dirantai, dipaksa makan kotoran gajah, tetap dipaksa bekerja saat hamil, hingga dipisahkan dari anak yang baru lahir. Mereka juga menyebut ada anak di bawah umur yang turut dipekerjakan.

    Abdullah mendorong polisi, khususnya Mabes Polri, segera memeriksa Taman Safari Indonesia guna memastikan sejauh mana keterlibatan pihak manajemen dalam dugaan eksploitasi ini. Menurutnya, Taman Safari wajib bersikap transparan dan jujur dalam memberikan klarifikasi.

    “Jangan ada yang ditutup-tutupi. Taman Safari harus terbuka agar kasus ini jelas. Apalagi dugaan kekerasan ini sudah terjadi bertahun-tahun,” ujarnya.

    Abdullah juga menegaskan selain manajemen Taman Safari, polisi wajib memeriksa semua pihak terkait, termasuk pengelola sirkus dan para mantan pemain yang mengaku jadi korban. Ia menekankan agar penyelidikan dilakukan secara profesional dan transparan.

    “Para pelaku yang terbukti melakukan eksploitasi dan kekerasan terhadap pemain sirkus di Taman Safari harus dijerat pidana berat dan bertanggung jawab atas perbuatannya,” tutup Abdullah.

  • Mengungkap Kasus Pelanggaran HAM Anak yang Menggegerkan 1997

    Mengungkap Kasus Pelanggaran HAM Anak yang Menggegerkan 1997

    PIKIRAN RAKYAT – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap anak-anak di lingkungan Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke publik.

    Dugaan eksploitasi terhadap anak-anak pemain sirkus ini pertama kali ditindaklanjuti oleh Komnas HAM pada 1997 dan kini kembali ramai dibicarakan setelah sejumlah informasi simpang siur menyebar di media sosial.

    Laporan Dugaan Pelanggaran HAM terhadap Anak di OCI

    Pada 1 April 1997, Komnas HAM menerbitkan pernyataan resmi yang ditandatangani oleh Ketua Komnas HAM saat itu, Munawir Sjadzali. Dalam pernyataan tersebut, Komnas HAM menyebutkan telah menerima sejumlah laporan terkait kemungkinan terjadinya pelanggaran hak anak oleh pihak Oriental Circus Indonesia di Cisarua, Bogor.

    “Komnas HAM setelah menerima beberapa laporan tentang kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM terhadap anak-anak (child abuse) pemain sirkus di lingkungan Oriental Circus Indonesia, telah membentuk Tim untuk memantau kasus tersebut,” tutur Komnas HAM dalam dokumen resminya.

    Pemantauan dilakukan melalui pertemuan dengan pengelola OCI dan pelapor di kantor Komnas HAM. Dari hasil kajian mendalam, Komnas HAM menyimpulkan bahwa meski pihak OCI menunjukkan keterbukaan dan menjalin kerja sama dengan baik, sejumlah pelanggaran tetap terjadi.

    Komnas HAM menyatakan bisa memahami “budaya keras dan kekeluargaan dalam lingkungan sirkus,” serta “keinginan tulus pengelola OCI untuk menolong anak-anak terlantar.” Namun, hal itu dinilai tidak bisa dijadikan pembenar atas berbagai pelanggaran hak anak.

    Dalam kesimpulannya, Komnas HAM menyebutkan empat bentuk pelanggaran hak anak yang terjadi di lingkungan Oriental Circus Indonesia:

    Hak anak atas identitas dan asal-usulnya
    Anak-anak pemain sirkus disebut tidak mengetahui asal-usul, hubungan kekeluargaan, atau siapa orang tuanya. Eksploitasi ekonomi terhadap anak
    Anak-anak tersebut diduga dimanfaatkan secara ekonomis tanpa perlindungan hukum yang memadai. Pelanggaran hak atas pendidikan yang layak
    Komnas HAM menyoroti bahwa anak-anak tersebut tidak mendapatkan akses pendidikan umum yang dapat menjamin masa depannya. Pelanggaran hak atas keamanan dan jaminan sosial
    Anak-anak tidak memperoleh perlindungan hukum dan sosial yang layak sesuai peraturan yang berlaku. Rekomendasi Komnas HAM kepada Oriental Circus Indonesia

    Komnas HAM dalam pernyataan tahun 1997 memberikan beberapa rekomendasi yang ditujukan langsung kepada Oriental Circus Indonesia, bukan pihak lain. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain:

    OCI diminta bekerja sama secara koordinatif dengan Komnas HAM, Depdikbud, Menpora, dan instansi terkait untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM serupa. OCI diminta menjernihkan asal-usul anak-anak pemain sirkus yang belum jelas identitasnya. Latihan keras terhadap anak-anak agar tidak menjurus ke arah penyiksaan fisik maupun mental. Menyelesaikan sengketa antara OCI dan para mantan atlet sirkus secara kekeluargaan.

    Komnas HAM juga menekankan pentingnya menjadikan kasus ini sebagai pelajaran berharga.

    “Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, maka sudah waktunya kita meningkatkan perhatian terhadap nasib anak-anak,” ujar Komnas HAM.

    Klarifikasi PT. Taman Safari Indonesia: Bukan Subjek Hukum Kasus OCI

    Di tengah maraknya pemberitaan dan unggahan media sosial terkait kasus OCI, PT. Taman Safari Indonesia (TSI) merilis klarifikasi resmi pada Jumat, 18 April 2025. Klarifikasi ini menyanggah tuduhan yang menyebut bahwa TSI terlibat atau pernah diperiksa dalam kasus tersebut.

    “Subyek hukum dalam dokumen rekomendasi Komnas HAM adalah Oriental Circus Indonesia (OCI), dan tidak pernah sekalipun disebutkan PT. Taman Safari Indonesia,” kata Barata Mardikoesno, VP Legal dan Corporate Secretary TSI.

    TSI juga menegaskan bahwa dalam rekomendasi Komnas HAM tidak ada satu pun permintaan agar membayar kompensasi finansial kepada mantan atlet sirkus. Barata menyebut tuduhan tersebut tidak sesuai dengan dokumen resmi Komnas HAM yang justru meminta OCI bekerja sama dengan lembaga negara terkait.

    “Berdasarkan proses mediasi dan dokumen pernyataan Komnas HAM di atas, TSI bukanlah pihak yang dimintai tindakan atau pertanggungjawaban oleh Komnas HAM,” tutur Barata.

    TSI menegaskan pihaknya tidak membenarkan bahkan menolak segala bentuk kekerasan terhadap siapa pun, termasuk anak-anak.

    Taman Safari Indonesia: Profil Singkat dan Reputasi

    Taman Safari Indonesia dikenal sebagai tempat wisata keluarga berwawasan lingkungan dan konservasi satwa. Unit bisnis TSI tersebar di berbagai daerah seperti Taman Safari Bogor, Prigen, Solo Safari, Bali Safari & Marine Park, hingga Jakarta Aquarium & Safari.

    Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 3.000 karyawan dan telah memperoleh sejumlah penghargaan nasional seperti Indonesia Green Award dan Satyalancana Pembangunan.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • 8
                    
                        Taman Safari Indonesia Kena Imbas Kemelut OCI Vs Eks Pemain Sirkus 
                        Nasional

    8 Taman Safari Indonesia Kena Imbas Kemelut OCI Vs Eks Pemain Sirkus Nasional

    Taman Safari Indonesia Kena Imbas Kemelut OCI Vs Eks Pemain Sirkus
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Taman Safari Indonesia
    (TSI) ikut terseret dalam pusaran
    tuntutan mantan pemain sirkus

    Oriental Circus Indonesia
    (OCI).
    Baik TSI maupun OCI, keduanya merupakan perusahaan keluarga. Namun, keduanya adalah entitas bisnis yang berbeda.
    Vice President Legal & Corporate Secretary Taman Safari Indonesia, Barata Mardikoesno mengatakan, pihaknya sebelumnya menerima somasi dari para pemain sirkus OCI yang menuntut pertanggungjawaban dengan nilai total Rp 3,1 miliar.
    Somasi pertama dilayangkan pada 10 Oktober 2024 oleh salah satu kantor hukum yang mewakili enam orang mantan pemain, termasuk Ida, Butet dan Vivi.
    “Mereka menuntut masing-masing Rp 300 juta, khusus untuk Ida mereka meminta Rp 1 miliar. Jadi total nilainya mencapai kurang lebih Rp 3,1 miliar,” ujar Barata dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
    Ida adalah salah seorang mantan pemain sirkus OCI yang mengalami cacat seumur hidup usai terjatuh saat melakukan show.
    Barata mengatakan, somasi kembali dikirim pada 31 Oktober 2024 oleh kelompok yang sama secara kolektif.
    Tidak hanya itu, pada 12 Desember 2024, tuntutan tersebut juga sampai ke Komnas HAM dan tembusan untuk Taman Safari.
    “Mereka meminta waktu lima hari untuk kami memenuhi permintaan tersebut,” ungkapnya.
    “Namun kami sudah menjelaskan, bahwa orang-orang ini tidak pernah terdaftar sebagai karyawan Taman Safari Indonesia,” tegas Barata.
    Dia juga menegaskan bahwa TSI dan OCI adalah dua entitas bisnis yang berdiri secara terpisah, dengan latar belakang dan badan hukum berbeda.
    “Mereka adalah karyawan OCI, OCI dan TSI merupakan entitas berbeda,” jelasnya.
    “OCI itu didirikan tahun 1967 dan beroperasi sampai 1997. Sedangkan Taman Safari berdiri tahun 1981 dan sampai sekarang masih berjalan. Jadi dari struktur organisasi dan hukum, dua-duanya berbeda,” jelas Barata.
    Founder OCI sekaligus Komisaris TSI,
    Tony Sumampau
    mengatakan, bahwa dirinya mendirikan kerajaan bisnis konservasi satwa TSI bersama kedua saudaranya, Jansen Manansang dan Frans Manansang, serta ayahnya, Hadi Manansang.
    Meski ada hubungan keluarga di balik kepemilikan OCI dan TSI, keduanya merupakan entitas berbeda yang tidak saling berkaitan secara bisnis maupun hukum.
    Adapun OCI secara entitas, menurut Tony, sudah tidak ada. 
    Ia mengaku, ada sosok yang memiliki peran penting di balik gugatan tersebut sehingga berupaya memeras TSI, lantaran OCI sudah tidak ada.
    “Kalau mereka mengajukan sesuatu ke OCI, ya OCI sudah tidak ada. Jadi mereka berusaha mengaitkan ke Taman Safari, pasti ada maksud lain di balik itu,” kata Tony.
    Tony mencium adanya provokator yang diduga sengaja menggiring mantan pemain sirkus untuk membuat narasi negatif.
    “Ya, di belakang semua ini memang ada sosok provokator yang memprovokasi mereka. Kita sudah tahu siapa, karena sebelumnya juga dia sempat minta sesuatu kepada kami,” ujar Tony.
    Sebelumnya, sejumlah perempuan mantan pemain sirkus OCI menguak kisah kelam selama puluhan tahun menjadi pemain sirkus yang beratraksi di berbagai tempat.
    Cerita memilukan ini diungkap para perempuan tersebut di hadapan Wakil Menteri HAM Mugiyanto, Selasa (15/4/2025), saat mengadukan pengalaman pahit yang mereka alami selama bertahun-tahun, mulai dari kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 April 2025

    Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum Nasional 18 April 2025

    Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
    Komnas HAM
    ) merekomendasikan agar kasus dugaan eksploitasi eks pemain sirkus pada
    Oriental Circus Indonesia
    (OCI) diselesaikan secara hukum.
    Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menyatakan, langkah itu perlu ditempuh karena kasus dugaan eksploitasi ini telah berlangsung sejak lama dan belum diselesaikan sebagaimana mestinya.
    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” kata Uli dalam siaran pers, Kamis (17/4/2025).
    Komnas HAM  juga meminta agar asal-usul para pemain sirkus OCI segera dijernihkan.
    “Hal ini sangat penting untuk mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan kekeluargaannya,” imbuh Uli.
    Uli menjelaskan, Komnas HAM telah memantau kasus anak-anak pemain sirkus di lingkungan OCI, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, sejak tahun 1997.
    Ketika itu, Komnas HAM menemukan dugaan pelanggaran HAM berupa pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal-usul, identitas, hubungan kekeluargaan dan orang tuanya; elanggaran terhadap hak-hak anak untuk bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis.
    Kemudian, pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang layak yang dapat menjamin masa depannya; serta pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
    “Namun, pada 22 Juni 1999, Komnas HAM mendapatkan informasi bahwa Direktorat Reserse Umum Polri menghentikan penyidikan tindak pidana menghilangkan asal-usul dan perbuatan tidak menyenangkan atas nama FM dan VS,” kata Uli.
    Kasus ini pun kembali bergulir pada Desember 2024 ketika Komnas HAM menerima menerima pengaduan dari Ari Seran Law Office yang menyampaikan permasalahan kasus OCI belum terselesaikan.
    “Karena belum adanya upaya untuk memenuhi tuntutan ganti rugi sebesar Rp. 3.1 milyar yang ditujukan kepada OCI,” ujar Uli.
    Di samping itu, Komnas HAM juga menegaskan bahwa pelatihan keras utamanya kepada anak-anak tidak boleh menjurus pada penyiksaan dan bilamana hal ini dilakukan maka telah terjadi pelanggaran hak anak.
    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” kata Uli.
    Diberitakan sebelumnya, sejumlah perempuan mantan pemain sirkus OCI mengadukan pengalaman pahit mereka selama menjadi pemain sirkus kepada Wakil Menteri HAM Mugiyanto, Selasa (15/4/2025).
    Di hadapan Mugiyanto, mereka mengaku mengalami kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi selama bertahun-tahun, misalnya disetrum, dirantai, hingga dipisahkan dengan anaknya.
    Sebagian dari mereka pun mengaku tidak mengetahui identitas dan asal-usulnya karena sudah dilatih menjadi pemain sirkus sejak kecil.
    Respons Oriental Circus Indonesia
    Pendiri OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia Tony Sumampau membantah tudingan bahwa terdapat eksploitasi terhadap para pemain sirkus.
    Tony mengakui bahwa pada medio tahun 1970-1980, didikan yang diberikan OCI kepada para pemain sirkusnya cukup keras, jika dibandingkan dengan upaya pendisiplinan pada saat ini.
    Namun, ia menegaskan, proses latihan di sirkus memang memerlukan kedisiplinan tinggi yang kerap kali melibatkan tindakan tegas.
    Menurut Tony, hal tersebut wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja.
    “Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
    “Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujarnya. Tony juga menepis tudingan soal penyiksaan yang dialami mantan pemain sirkus.
    Menurut dia, pernyataan yang disampaikan para eks pemain sirkus hanyalah pernyataan sensasional, yang tidak logis dan bertujuan untuk menarik simpati publik.
    “Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” ujarnya.
    Tony pun menuding ada upaya pemerasan di balik tuntutan kompensasi senilai Rp 3,1 miliar.
    Menurut dia, ada sosok tertentu yang memprovokasi para mantan pemain sirkus untuk mengangkat narasi negatif.
    Tony juga mengaku telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp 3,1 miliar.
    Namun, Tony menegaskan bahwa dari awal pihaknya memilih untuk diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya.
    “Kita memang tidak merespon, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita nggak mau cederai mereka. Tapi siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami,” ungkap Tony.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dugaan Eksploitasi Sirkus OCI, Polisi Didorong Usut Tuntas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 April 2025

    Dugaan Eksploitasi Sirkus OCI, Polisi Didorong Usut Tuntas Nasional 18 April 2025

    Dugaan Eksploitasi Sirkus OCI, Polisi Didorong Usut Tuntas
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR Abdullah mendorong kepolisian untuk mengusut tuntas kasus dugaan eksploitasi mantan pemain sirkus
    Oriental Circus Indonesia
    (OCI).
    Kepolisian bisa memulainya dengan memeriksa Taman Safari Indonesia yang menjadi tempat para mantan pemain
    sirkus OCI
    tampil.
    “Polisi harus membongkar kasus itu secara terang. Proses penyelidikan harus dilakukan secara profesional dan transparan,” kata Abdullah lewat keterangan tertulisnya, Jumat (18/4/2025).
    Ia mengaku prihatin dengan kisah yang diadukan mantan pemain sirkus OCI ke Kantor Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM).
    Beberapa di antaranya mengaku dirantai, dipaksa makan kotoran gajah, hingga dipaksa bekerja dalam kondisi hamil.
    “Kejahatan itu tidak boleh dibiarkan. Jangan ada eksploitasi dan kekerasan terhadap para pekerja. Itu jelas melanggar hukum,” ujar Abdullah.
    Ia menegaskan, para pihak yang terbukti melakukan kekerasan dan eksploitasi harus dijerat pidana dan dijatuhi hukuman berat.
    “Jangan ada yang ditutup-tutupi. Taman Safari harus terbuka agar kasus itu semakin terang. Apalagi kekerasan itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Ini tidak boleh dibiarkan,” ujar Abdullah.
    Bareskrim Polri akan membahas kasus dugaan eksploitasi mantan anggota sirkus OCI dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
    Direktur Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak (Dittipid PPA-PPO) Brigjen Nurul Azizah mengungkapkan, rencananya pertemuan dengan Kementerian PPPA dilangsungkan pekan depan.
    “KemenPPPA masih menindaklanjuti permasalahan tersebut dan pekan depan Direktorat PPA-PPO diundang kembali untuk pembahasan dengan instansi terkait dan pihak-pihak yang berkepentingan,” kata Nurul di Jakarta, Kamis (17/4/2025), melansir Antara.
    Dia mengatakan, belum ada laporan polisi terkait dugaan eksploitasi tersebut, sejauh ini.
    “Sampai dengan saat ini, dari para pihak pemain sirkus belum membuat laporan terkait dengan hal tersebut,” katanya.
    Founder OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau membantah tudingan bahwa pihaknya melakukan praktik eksploitasi dan perbudakan terhadap para pemain sirkus di bawah naungan OCI.
    Tony menegaskan, proses latihan di sirkus memang memerlukan kedisiplinan tinggi yang kerap kali melibatkan tindakan tegas, tetapi ia menyebut hal tersebut wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja.
    “Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
    Tony juga menepis tudingan soal penyiksaan yang dialami mantan pemain sirkus OCI.
    Dia menyebut hal itu sebagai upaya sensasional dan tidak logis, yang bertujuan menarik simpati publik.
    “Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Legislator Kritik Anggota TNI Datangi Diskusi Mahasiswa UIN Semarang

    Legislator Kritik Anggota TNI Datangi Diskusi Mahasiswa UIN Semarang

    Jakarta

    Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menyoroti peristiwa diskusi Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Samarang, Jawa Tengah didatangi oleh anggota Babinsa Koramil Ngaliyan, Kelurahan Tambakaji. Abdullah mengingatkan semua pihak harus menghormati kebebasan akademik.

    “Terkait peristiwa di UIN Walisongo itu, saya ingin menyampaikan bahwa kebebasan akademik, HAM dan supremasi sipil adalah prinsip demokrasi yang harus dihormati oleh semua pihak, termasuk TNI,” kata Abdullah dalam keterangan tertulisnya, Jumat (18/4/2025).

    Abdullah mengingatkan bahwa semua pihak harus menghormati kebebasan akademik dan supremasi sipil, termasuk TNI. Ia menekankan acara yang terselenggara di lingkungan kampus harus dihormati.

    Politikus PKB ini juga menyoroti Kepala Dinas Penerangan (Kadispenad) TNI Angkatan Darat (AD), Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, yang menyebut sikap anggotanya bukan bentuk intimidasi, melainkan monitoring wilayah yang menjadi tugas Babinsa. Namun, Abdullah menduga yang dilakukan Babinsa sebagai tindakan intimidasi terselubung.

    “Ini bukan sebagai bentuk miskomunikasi rasanya. Bisa dibilang peristiwa ini adalah intimidasi terselubung yang dapat menciptakan iklim ketakutan dan juga mengancam kebebasan berpikir dan bersikap kritis mahasiswa,” ujar Abdullah.

    “Yang saya dengar juga ada peserta gelap saat diskusi yang tidak mau membuka identitas dan Babinsa juga tidak hadir rutin atau mendatangi diskusi-diskusi sebelumnya yang diselenggarakan oleh mahasiswa,” sambungnya.

    “Untuk itu saya mengajak semua civitas akademika, organisasi mahasiswa, dan masyarakat sipil untuk tetap kritis dan solid dalam menjaga independensi kampus,” tegasnya.

    Abdullah juga mendorong Komisi I DPR RI memanggil jajaran TNI dalam rapat kerja terkait peristiwa tersebut. Ia ingin memastikan peristiwa di UIN Walisongo Semarang tak terulang kembali.

    Sebelumnya, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Abdul (nama samaran) menyoroti kehadiran pria tak dikenal hingga anggota TNI dalam diskusi mahasiswa. Abdul menyebut diskusi itu digelar oleh Kelompok Studi Mahasiswa (KSMW) UIN Semarang pada Senin (14/4). Diskusi itu bertajuk ‘Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik’.

    Saat sesi perkenalan pria tak dikenal itu tiba, kata Abdul, pria itu tak mau memperkenalkan diri sehingga menimbulkan kecurigaan di antara mahasiswa. Para mahasiswa pun mendesak pria itu untuk memperkenalkan dirinya.

    “Kami sangat curiga, memang dari wajahnya secara umur itu jauh di atas. Beberapa kawan mendesak beliau memperkenalkan dirinya, tapi tidak mau. Hanya memperkenalkan dengan nama ‘Ukem’,” kata Abdul saat dihubungi awak media, dilansir detikJateng, Selasa (15/4/2025).

    Sekitar 5 menit setelah itu, pria tanpa identitas itu pergi. Tak berselang lama, petugas keamanan kampus datang dan mengarahkan beberapa mahasiswa untuk menemui seseorang.

    Saat itu, beberapa perwakilan mahasiswa yang mengikuti satpam diminta anggota TNI itu untuk menyebutkan identitasnya, siapa saja peserta diskusi, dan tema diskusi yang digelar. Para perwakilan mahasiswa itu pun langsung waspada.

    TNI AD Bantah Personel Panggil Mahasiswa

    TNI AD membantah ada personelnya yang memanggil mahasiswa saat diskusi di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang. TNI AD sudah memastikan hal tersebut.

    “Ada beberapa media yang menampilkan bahwa ada mahasiswa yang dipanggil oleh personil TNI tersebut, tidak ada. Jadi tidak ada mahasiswa yang dipanggil oleh personil TNI tersebut,” jelas Kadispenad Brigjen Wahyu Yudhayana kepada wartawan di Mabesad, Jakarta Pusat, Rabu (16/4/2025).

    Wahyu mengatakan membenarkan bahwa ada salah satu anggota TNI yang berada di dekat kampus UIN Walisongo Semarang saat itu. Dia menjelaskan TNI tersebut merupakan anggota Babinsa yang bertugas di Koramil Ngaliyan, Kelurahan Tambakaji, dimana lokasi kampus berada di wilayah tersebut.

    “Keberadaannya juga tidak di dalam area atau lokasi yang digunakan untuk melaksanakan diskusi. Tempatnya ada di luar. Itu bisa kita pastikan. Dan juga tidak ada langkah tindakan yang diambil oleh yang bersangkutan untuk menghentikan diskusi atau mungkin memberikan suatu hal bersifat intimidasi, tidak ada,” kata Wahyu.

    (dwr/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini