Jajarannya Ditembak KKB di Teluk Bintuni, Komnas HAM Menyayangkan
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
Komnas HAM
) menyayangkan peristiwa penembakan jajarannya yang diduga dilakukan kelompok kriminal bersenjata (
KKB
) di
Teluk Bintuni
, Papua Barat, Minggu (27/4/2025).
“Kami tentu menyayangkan peristiwa itu terjadi,” ucap Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah dilansir dari Antara, Senin (28/4/2025).
Anis mengatakan, Komnas HAM telah berkoordinasi dengan Kepala Perwakilan
Komnas HAM Papua
Frits Ramandey yang menjadi korban dari insiden penembakan tersebut.
“Kemarin kami langsung melakukan koordinasi dengan Pak Frits dan Pak Frits sudah dievakuasi di tempat yang aman, kemudian juga akan melanjutkan evakuasi dan perjalanan kembali ke Jayapura,” ujar Anis.
Komnas HAM, dikatakannya terus mendorong semua pihak untuk tidak menggunakan pendekatan kekerasan dalam situasi apapun. Terutama dalam menanggapi situasi yang terjadi di Papua.
Anis juga mendorong aparat penegak hukum untuk bekerja lebih efektif dalam menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran hak asasi yang terjadi di Papua.
“Karena kita semua menginginkan agar tanah yang damai itu terjadi di Papua, sebagaimana cita-cita kita bersama,” kata Anis.
Diketahui, Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey bersama rombongan ditembak oleh KKB.
Penembakan terjadi saat melakukan pencarian terhadap Kasat Reskrim Polres Bintuni, Iptu Tomi Marbun, yang hilang di Sungai Rawara, Distrik Moskona, Teluk Bintuni, Papua Barat.
Menurut Frits, sebagai Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, dirinya dilibatkan dalam tim untuk mencari Iptu Tomi Marbun yang hilang selama empat bulan itu.
Pasca penembakan, Frits dan tim langsung dievakuasi ke lokasi yang aman, yakni di Distrik Moskona.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: HAM
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5174324/original/045346400_1742915477-Ormas_ngamuk_di_DInkes_Bekasi.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
MPR: Esensi Revisi UU Ormas Percepat Proses Pembubaran Ormas yang Meresahkan Masyarakat – Page 3
Sementara itu, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan bahwa wacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang dicanangkan Pemerintah perlu dilihat dalam konteks positif demi kemajuan demokrasi di Indonesia.
“Menurut saya, adanya wacana revisi UU Ormas ini perlu dilihat dari sisi positif sebagai upaya untuk memajukan demokrasi di Indonesia, jangan dari sudut pandang negatifnya,” kata Pigai, Senin (28/4/2025), dilansir Antara.
Pigai menyoroti adanya aktivitas ormas tertentu yang meresahkan masyarakat. Menurut dia, perlu digunakan pendekatan pengaturan alih-alih pembatasan untuk mengatasi masalah itu.
“Prinsipnya yang penting tidak boleh ada pembatasan (union busting). Namun, memang perlu diatur agar ormas ini profesional dan berkualitas,” kata Pigai.
Pigai menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas ketika itu dibentuk secara subjektif sehingga dinilai memengaruhi indeks demokrasi Indonesia.
“Kita bicara mengenai indeks demokrasi yang selalu rendah. Kita mengalami penurunan indeks demokrasi dari prominent (menonjol) ke fraud (penipuan) demokrasi karena salah satunya UU Ormas atau Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini,” kata Pigai.
Oleh karena itu, Menteri HAM mendukung wacana revisi UU Ormas demi memajukan demokrasi di tanah air. Bahkan, pendekatan pengaturan ini perlu ditekankan.
“Revisi ini tentu orientasinya dalam rangka membuka keran demokrasi. Saya bahkan beberapa waktu lalu sudah menyampaikan juga kepada media agar Undang-Undang Ormas direvisi, khususnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017,” kata Pigai.
-

Natalius Pigai Bicara Revisi UU Ormas: Bukan Pembatasan, tapi Demokrasi
PIKIRAN RAKYAT – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, menanggapi wacana revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang disampaikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian. Menurut Pigai, rencana revisi tersebut perlu disikapi secara positif untuk memperkuat demokrasi di Indonesia.
“Menurut saya adanya revisi UU Ormas ini perlu dilihat dari sisi positif sebagai upaya untuk memajukan demokrasi di Indonesia, jangan dari sudut pandang negatifnya,” kata Pigai dalam keterangan yang diterima, Senin, 28 April 2025.
Pigai juga menanggapi soal adanya aktivitas sejumlah ormas yang meresahkan masyarakat. Ia menilai pendekatan yang dibutuhkan adalah pengaturan, bukan pembatasan.
“Prinsipnya yang penting tidak boleh ada pembatasan (union busting), namun memang perlu diatur agar ormas ini profesional dan berkualitas,” ucapnya.
Ia menekankan pentingnya pendekatan pengaturan, mengingat Perpu Ormas Nomor 2 Tahun 2017 sebelumnya dinilai subjektif dalam membubarkan beberapa ormas, sehingga menghambat demokrasi.
“Kita bicara mengenai indeks demokrasi yang selalu rendah, kita mengalami penurunan indeks demokrasi dari prominen ke fraud democracy karena salah satunya UU Ormas atau Perpu Nomor 2. Oleh karena itu revisi ini tentu orientasinya dalam rangka membuka keran demokrasi. Saya bahkan beberapa waktu lalu sudah menyampaikan juga kepada media agar UU ormas direvisi khususnya Perpu Nomor 2 tahun 2017,” jelasnya.
“Artinya wacana revisi ini kami dukung dalam konteks positif untuk memajukan demokrasi di Indonesia,” tambah Pigai.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian menyatakan membuka peluang revisi UU Ormas sebagai respons atas maraknya penyimpangan yang dilakukan sejumlah ormas.
Menurut Tito, revisi diperlukan agar pengawasan terhadap ormas bisa lebih ketat dan akuntabel.
“Kita lihat banyak sekali peristiwa ormas yang kebablasan. Mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat. Di antaranya, mungkin masalah keuangan, audit keuangan,” kata Tito, Jumat, 25 April 2025, dikutip dari Antara.
Ia menilai transparansi keuangan ormas perlu diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan di tingkat akar rumput.
Tito menegaskan ormas adalah bagian penting dari demokrasi yang menjamin kebebasan berserikat, namun kebebasan itu tidak boleh disalahgunakan.
“Kalau seandainya itu adalah kegiatan yang sistematis dan ada perintah dari ormasnya, maka secara organisasi bisa dikenakan pidana. Korporasinya,” jelasnya.
Tito menyebut UU Ormas pascareformasi memang berfokus pada kebebasan sipil, tetapi dalam perkembangannya, ada ormas yang menyalahgunakan status tersebut.
“Dalam perjalanan, setiap undang-undang itu dinamis. Bisa saja dilakukan perubahan-perubahan sesuai situasi,” ujarnya.
Namun, Tito menegaskan bahwa revisi harus mengikuti prosedur legislasi yang melibatkan DPR RI.
“Nantinya kalau ada usulan dari pemerintah, ya diserahkan ke DPR. DPR yang membahas dan memutuskan,” katanya.
Tito juga mengingatkan pentingnya penegakan hukum terhadap pelanggaran, baik oleh individu maupun organisasi, untuk menjaga stabilitas keamanan.
“Kalau pidana ya otomatis harus ditindak. Proses pidana. Harus tegakkan hukum supaya stabilitas keamanan dijaga,” pungkasnya.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-

Menteri HAM: Revisi UU Ormas positif demi kemajuan demokrasi
Namun, memang perlu diatur agar ormas ini profesional dan berkualitas.
Jakarta (ANTARA) – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan bahwa wacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang dicanangkan Pemerintah perlu dilihat dalam konteks positif demi kemajuan demokrasi di Indonesia.
“Menurut saya, adanya wacana revisi UU Ormas ini perlu dilihat dari sisi positif sebagai upaya untuk memajukan demokrasi di Indonesia, jangan dari sudut pandang negatifnya,” kata Pigai dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin.
Pigai menyoroti adanya aktivitas ormas tertentu yang meresahkan masyarakat.
Menurut dia, perlu digunakan pendekatan pengaturan alih-alih pembatasan untuk mengatasi masalah itu.
“Prinsipnya yang penting tidak boleh ada pembatasan (union busting). Namun, memang perlu diatur agar ormas ini profesional dan berkualitas,” kata dia.
Di sisi lain, Pigai menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas ketika itu dibentuk secara subjektif sehingga dinilai memengaruhi indeks demokrasi Indonesia.
“Kita bicara mengenai indeks demokrasi yang selalu rendah. Kita mengalami penurunan indeks demokrasi dari prominent (menonjol) ke fraud (penipuan) demokrasi karena salah satunya UU Ormas atau Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini,” katanya.
Oleh karena itu, Menteri HAM mendukung wacana revisi UU Ormas demi memajukan demokrasi tanah air. Bahkan, pendekatan pengaturan ini perlu ditekankan.
“Revisi ini tentu orientasinya dalam rangka membuka keran demokrasi. Saya bahkan beberapa waktu lalu sudah menyampaikan juga kepada media agar UU Ormas direvisi, khususnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017,” imbuh Pigai.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian membuka peluang merevisi UU Ormas sebagai respons atas maraknya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh sejumlah ormas di Tanah Air.
Mendagri saat ditemui awak media di Jakarta, Jumat (25/4), mengatakan bahwa revisi ini menjadi penting agar pengawasan terhadap ormas makin ketat dan akuntabel.
“Kita lihat banyak sekali peristiwa ormas yang kebablasan. Mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat, di antaranya mungkin masalah keuangan, audit keuangan,” kata Tito.
Mendagri menyebutkan salah satu aspek penting yang perlu dievaluasi ialah mekanisme pengawasan, terutama dalam hal transparansi keuangan.
“Ketidakjelasan alur dan penggunaan dana ormas bisa menjadi celah penyalahgunaan kekuasaan di tingkat akar rumput,” ujarnya.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025 -

9 Poin ‘Problematik’ RUU KUHAP 2025, Perlindungan HAM Rakyat yang Sia-sia
PIKIRAN RAKYAT – Koalisi Masyarakat Sipil merilis analisis kritis terhadap draf terbaru Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) versi 20 Maret 2025.
Mereka menilai ada sembilan masalah serius yang bisa melemahkan akuntabilitas aparat hukum, mengurangi pengawasan peradilan, dan mengancam perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Menurut koalisi, RUU ini belum menjawab kebutuhan reformasi hukum acara pidana yang menghormati prinsip due process of law dan perlindungan HAM. Padahal, KUHAP ini akan menjadi landasan hukum pidana Indonesia ke depan.
Berikut sembilan masalah utama yang mereka temukan:
1. Masyarakat Melapor, Polisi Bisa Abaikan
Koalisi mencatat RUU KUHAP 2025 melemahkan mekanisme akuntabilitas penyidik dalam menanggapi laporan masyarakat.
Jika dulu dalam draf 2012 ada jalur pengawasan sampai ke penuntut umum, kini laporan hanya dikendalikan atasan penyidik internal saja (Pasal 23), tanpa batas waktu dan jaminan ditindaklanjuti.
Akibatnya, korban, terutama korban kekerasan seksual, berisiko tidak mendapat keadilan.
2. Pengawasan Pengadilan Lemah, Warga Sulit Komplain
Satu-satunya jalur kontrol, yaitu praperadilan (Pasal 149-153), masih punya banyak kelemahan: hanya memeriksa secara formal, waktunya sempit, dan mudah digugurkan.
RUU KUHAP bahkan mempersempit objek praperadilan (Pasal 149(1)a) dan menghapus konsep Hakim Komisaris yang dulu pernah diajukan di draf 2012. Artinya, peluang warga menggugat tindakan sewenang-wenang aparat makin kecil.
3. Aturan Penangkapan dan Penahanan Rentan Disalahgunakan
RUU KUHAP tidak memperketat aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan:
Penangkapan: Tak perlu izin hakim kecuali tertangkap tangan (Pasal 89); bisa diperpanjang tanpa kejelasan (Pasal 90(2)); tidak wajib membawa tersangka ke hakim dalam 48 jam (Pasal 90(3)). Penahanan: Alasan diperluas hingga 9 macam (Pasal 93(5)), banyak yang sifatnya subjektif seperti “tidak kooperatif”. Penggeledahan dan Penyitaan: Definisi keadaan mendesak (Pasal 106(4), 112(2)) kabur, dan tidak jelas kapan harus lapor ke pengadilan. Penyadapan: Tidak dibatasi untuk kejahatan berat tertentu saja, rawan disalahgunakan. Pemeriksaan Surat: Tidak wajib izin pengadilan.
Semua ini membuka celah tindakan sewenang-wenang.
4. Advokat Diperlemah, Bantuan Hukum Setengah Hati
Peran advokat dalam pembelaan dipersempit. Saat mendampingi tersangka, advokat hanya boleh melihat dan mendengar tanpa boleh mencatat dalam BAP (Pasal 33).
Di persidangan, hak advokat menyanggah bukti dibatasi (Pasal 197(10)), dan dilarang memberi pendapat di luar pengadilan (Pasal 142(3)b), bertentangan dengan kebebasan advokat.
RUU ini juga memperbolehkan tersangka/terdakwa menolak bantuan hukum hanya dengan membuat berita acara (Pasal 146 ayat (4) dan (5)), padahal rentan dipaksakan.
Bahkan, “Pemberi Bantuan Hukum” didefinisikan sempit hanya untuk Advokat (Pasal 1 angka 21, Pasal 142(2)), tidak mengakui peran paralegal, dosen, atau mahasiswa hukum.
5. Teknik Investigasi Khusus Tanpa Batasan
Teknik seperti pembelian terselubung dan penyerahan diawasi masuk dalam RUU (Pasal 16) untuk penyelidikan, tapi tanpa syarat ketat, tanpa izin hakim, dan tanpa jalur pengaduan.
Koalisi mengingatkan ini berpotensi menjadi modus penjebakan yang sering terjadi, khususnya di kasus narkotika.
6. Aturan soal Bukti Masih Kabur
RUU KUHAP belum mengatur standar bukti secara ketat:
Tidak ada definisi bukti relevan. Standar “bukti yang cukup” (Pasal 166) hanya dilihat dari jumlah alat bukti, bukan kualitas. Tidak jelas siapa yang harus membuktikan dalam kasus pelanggaran hak seperti penyiksaan. Pengelolaan bukti, termasuk bukti biologis, belum diatur rinci.
Akibatnya, proses pembuktian rentan manipulasi.
7. Sidang Online Belum Punya Aturan Jelas
RUU KUHAP memang mengakomodasi sidang elektronik (Pasal 191(2)), tapi tidak mengatur syarat-syarat ketatnya.
Istilah “keadaan tertentu” yang memungkinkan sidang online tidak dijelaskan. Ini berpotensi mengulangi kekacauan sidang daring yang terjadi selama pandemi: jaringan bermasalah, sulit diakses publik, dan tidak transparan.
8. Polisi Bisa Main Hakim Sendiri
Konsep Restorative Justice dalam RUU (Pasal 78-83) dipahami keliru: hanya sebagai jalan untuk menghentikan perkara di luar sidang (diversi), bukan untuk memulihkan korban.
Parahnya, kewenangan diversi ini diberikan ke penyidik, bahkan sejak tahap penyelidikan, tanpa pengawasan lembaga lain. Ini bisa membuka peluang penyalahgunaan seperti pemerasan atau penyelesaian kasus secara tidak adil.
9. Hak Korban dan Tersangka Cuma Jadi Formalitas
RUU memang mencantumkan hak korban, saksi, tersangka, dan kelompok rentan (Pasal 134-139), tapi tidak ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab menegakkannya atau apa sanksinya jika dilanggar.
Masalah restitusi korban juga belum beres: kalau aset terpidana tidak cukup, korban bisa saja tidak mendapatkan ganti rugi penuh (Pasal 175(7)), padahal sudah ada mekanisme dana abadi (Pasal 168-169) yang juga belum diatur jelas.
Secara keseluruhan, Koalisi Masyarakat Sipil menilai RUU KUHAP 2025 dalam bentuknya sekarang masih jauh dari ideal.
Perbaikan besar diperlukan agar sistem peradilan pidana Indonesia lebih adil, transparan, dan menghormati hak asasi manusia. ***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-

Jokowi Cs Sampaikan Ini Saat Layat Pemakaman Paus Fransiskus, Pesan dari Prabowo
PIKIRAN RAKYAT – Utusan khusus Presiden RI, yang dipimpin Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan, Roma, pada Sabtu, 26 April 2025 waktu setempat.
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi menyampaikan pesan dari Presiden Prabowo Subianto kepada umat Katolik.
Jokowi, bersama Menteri HAM Natalius Pigai, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, dan Ketua Panitia Penyambutan Paus Fransiskus ke Indonesia 2024 Ignasius Jonan, mengikuti seluruh rangkaian prosesi pemakaman yang berlangsung di Lapangan Santo Petrus, Vatikan.
Di sela acara, Jokowi menyampaikan ucapan duka cita dan pesan Presiden Prabowo.
“Pertama-tama, kami ingin menyampaikan ucapan duka cita yang mendalam atas wafatnya Yang Ter-Amat Suci Paus Fransiskus, dan juga menyampaikan pesan dari Presiden Prabowo Subianto serta seluruh umat Katolik yang menghadiri pemakaman di Vatikan,” kata Jokowi, sebagaimana disiarkan dalam tayangan akun media sosial pribadinya yang diakses dari Jakarta, Minggu, 27 April 2025.
Dalam tayangan yang sama, Jokowi mengungkapkan isi pesan Presiden Prabowo mengenai wafatnya Paus Fransiskus.
“Kita kehilangan seorang panutan yang memberikan warisan kecintaan atas perdamaian dunia, kemudian warisan atas kerendahan hati, dan juga warisan untuk seluruh bangsa-bangsa di dunia ini,” ujar Jokowi.
Ia kemudian menutup penyampaian pesannya dengan doa untuk almarhum Paus Fransiskus.
“Akhirnya, kami semua berdoa agar Yang Ter-Amat Suci Paus Fransiskus beristirahat dalam damai, dan semoga jiwanya diterima di pangkuan Tuhan Yang Mahakasih,” tutur Jokowi.
Prosesi pemakaman Paus Fransiskus dihadiri lebih dari 250.000 pelayat, termasuk para pemimpin negara dan tokoh dunia. Acara dilaksanakan di Basilika Santo Petrus, Vatikan.
Dalam prosesi tersebut, para utusan khusus Presiden RI mendapat kesempatan untuk melihat langsung peti jenazah Paus Fransiskus dan mendoakan almarhum. Ignasius Jonan, salah satu utusan, bahkan sempat mendekati dan memegang ujung peti sebelum meninggalkan ruangan tempat Paus disemayamkan.
Proses Pemakaman
Misa pemakaman dipimpin oleh Ketua Dewan Kardinal Takhta Suci, Kardinal Giovanni Battista Re, dan dihadiri oleh para patriark, kardinal, uskup agung, uskup, serta imam dari seluruh dunia.
Prosesi Ekaristi ditutup dengan Ultima commendatio dan Valedictio, menandai dimulainya masa berkabung sembilan hari (Novemdiales) yang akan diikuti dengan misa di seluruh gereja Katolik dunia untuk mendoakan ketenangan jiwa Paus Fransiskus.
Setelah prosesi di Basilika Santo Petrus, jenazah Paus Fransiskus dibawa ke Basilika Santa Maria Maggiore di Roma, Italia, sesuai dengan wasiat beliau.
Konvoi kendaraan pengangkut jenazah melintas melewati Colosseum dan diiringi ribuan pelayat yang memenuhi jalanan dari Vatikan menuju Santa Maria Maggiore.
Paus Fransiskus tercatat sebagai paus pertama dalam 350 tahun terakhir yang dimakamkan di luar tembok Vatikan. Biasanya, paus dimakamkan di Basilika Santo Petrus.
Namun, Paus Fransiskus dalam wasiatnya memilih Basilika Santa Maria Maggiore, gereja favoritnya di Roma, sebagai tempat peristirahatan terakhir. ***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-
/data/photo/2025/04/28/680ec5d2404b7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Begini Aturan Pembubaran Ormas Menurut Undang-Undang Nasional 28 April 2025
Begini Aturan Pembubaran Ormas Menurut Undang-Undang
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Berikut adalah cara pembubaran
ormas
(organisasi kemasyarakatan) yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Belakangan ini, publik resah soal polah ormas. Keresahan ini didengar pengambil kebijakan dan muncul perbincangan soal
pembubaran ormas
.
“Pada titik tertentu saya kira negara memiliki kewenangan untuk dapat membubarkan ormas-ormas yang bertentangan secara ideologi dengan pandangan dan falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara, serta meresahkan kehidupan bernegara itu,” kata Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda kepada Kompas.com, Minggu (27/4/2025) kemarin.
Di era pemerintahan Presiden ke-7 RI Jokowi (Joko Widodo), terbit Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Ormas
.
Jokowi kemudian meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas pada 10 Juli 2017.
DPR mengesahkannya menjadi Undang-Undang pada 24 Oktober 2017. Perppu itu menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, diundangkan pada 22 November 2017.
Berikut adalah mekanisme
pembubaran Ormas
menurut aturan yang sah tersebut.
Pada Pasal 60 ayat (1) dalam UU Nomor 16 Tahun 2017, ormas yang melanggar ketentuan dijatuhi sanksi administratif.
Sanksi administratif ini dijatuhkan apabila ormas tidak menghormati kedaulatan negara, tidak tunduk dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan, tidak menghormati nilai-nilai, tidak memberi manfaat, tidak mengumumkan soal pendanaan, dan tidak membuat laporan kegiatan berkala.
Sanksi administratif juga dijatuhkan bila ormas menggunakan bendera yang sama dengan bendera dan lambang negara, negara lain atau lembaga internasional lain, atau lambang ormas dan parpol lain.
Pasal 60 ayat (2) menyatakan ormas juga dapat dijatuhi sanksi pidana bila melanggar aturan tertentu.
Pelanggaran yang dapat dikenai pidana adalah melakukan kegiatan yang bertentangan dengan undang-undang, mengganggu kestabilan dan keutuhan negara, melakukan kegiatan intelijen, politik, mengganggu hubungan diplomatik, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan organisasi, menggalang dana masyarakat, dan menggunakan sarana-prasarana instansi pemerintahan. Ini ada di Pasal 52.
Ormas juga dapat dipidana bila menerima-memberi sumbangan yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan, mengumpulkan dana untuk parpol, dan menganut-mengembangkan-menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.
Sanksi administratif terdiri dari peringatan tertulis, penghentian kegiatan, hingga pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Ini diatur dalam Pasal 61.
Pencabutan status badan hukum dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Peringatan tertulis diberikan satu kali dalam jangka waktu tujuh hari kerja. Bila ormas tidak mematuhi peringatan tertulis, maka menteri yang menyelenggarakan urusan hukum dan HAM akan menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.
Bila ormas tidak menghentikan kegiatan, maka menteri akan mencabut SKT atau status badan hukum dari ormas itu. Ini diatur dalam Pasal 62.
Pencabutan status badan hukum ormas sama artinya dengan pembubaran ormas. Ini termaktub dalam Pasal 80A.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/04/27/680e45c648d16.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

