Kasus: HAM

  • Kasus Dugaan Eksploitasi ke Eks Pemain Sirkus, OCI Upayakan Jalur Mediasi

    Kasus Dugaan Eksploitasi ke Eks Pemain Sirkus, OCI Upayakan Jalur Mediasi

    Jakarta

    Kuasa hukum Oriental Circus Indonesia (OCI), Hamdan Zoelva menyampaikan pihaknya akan mengupayakan mediasi untuk menyelesaikan persoalan dugaan eksploitasi mantan pemain sirkus. Dia mengatakan sudah berkoordinasi dengan Kementerian HAM dan juga Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.

    “Tadi sih hasil pembicaraan, dengan Pak Menteri, dengan Pak Wamen, dengan Pak Dirjen dan jajarannya. Ada dua hal ya, yang kita, yang menjadi kesepahaman. Pertama, kementerian sangat mengapresiasi kesediaan OCI untuk mediasi. Kemarin di tempatnya KDM kita sudah sampaikan kesediaan dari OCI untuk menyelesaikan secara kekeluargaan,” kata Hamdan Zoelva saat dihubungi, Kamis (7/5/2025).

    Hamdan mengungkapkan pihak OCI juga menyiapkan uang pengganti. Dia mengklaim Kementerian HAM sudah satu pemahaman dengan OCI.

    “Dan saya sudah sampaikan tadi pagi mengenai angkanya dan saya sampaikan kembali lagi tadi kepada kementerian dan kementerian juga ada satu kesepahaman yang sama bahwa itu cara yang terbaik yang seharunya karena kita tahu sendiri kasus ini kasus sudah lama mau diapain secara hukum,” ujarnya.

    Haman menyampaikan Kementerian HAM siap menjadi pihak ketiga yang membantu mediasi. Dia menyebut pihaknya juga telah menyiapkan sejumlah dokumen pendukung yakni asal-usul mantan pemain OCI dari orangtua mereka.

    “Kalau dari OCI memang begitu (uang pengganti). Tadi kementerian HAM bersedia untuk memfasilitasi sebagai istilahnya pra mediasi. Karena mediasi formal dalam kasus ke kasus begini Komnas HAM. Tapi kementerian mau memfasilitasi pra mediasi untuk menyelesaikan ini. Dan dari kementerian juga sangat menyambut baik sikap dari eks OCI untuk menyelesaikan secara kekeluargaan,” ucapnya.

    Sebelumnya, KemenHAM menyampaikan laporan hasil tindak lanjut kasus mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). KemenHAM menduga adanya pelanggaran hukum dan HAM dalam kasus ini.

    Pertama, yaitu ada dugaan pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal usulnya. Ada pula dugaan pelanggaran anak terkait hak mendapat pendidikan.

    Ada empat rekomendasi yang disampaikan KemHAM terkait persoalan tersebut. Rekomendasi yang pertama, Komnas HAM menelusuri apakah ada pelanggaran HAM berat masa lalu di kasus ini.

    Kedua, ada rekomendasi bagi Bareskrim Polri untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan tindak pidana dalam kasus ini. Polisi juga diminta menelusuri untuk memastikan kapan pastinya OCI berhenti beroperasi hingga melakukan ekspose perkara yang hasilnya diumumkan ke publik.

    Selanjutnya, ada rekomendasi untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk memberikan terapi psikologis kepada eks pemain sirkus OCI. Rekomendasi terakhir yaitu, perlu adanya pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dengan dasar permintaan resmi dari DPR.

    Rekomendasi ini hanya bersifat mengikat kepada kementerian atau lembaga pemerintah. Namun tidak mengikat Komnas HAM karena lembaga tersebut bukan pemerintah.

    (dek/ygs)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • 8
                    
                        Tangis dan Amarah di Gedung Pakuan: Dedi Mulyadi Mediasi Luka Lama Eks Pemain Sirkus OCI
                        Bandung

    8 Tangis dan Amarah di Gedung Pakuan: Dedi Mulyadi Mediasi Luka Lama Eks Pemain Sirkus OCI Bandung

    Tangis dan Amarah di Gedung Pakuan: Dedi Mulyadi Mediasi Luka Lama Eks Pemain Sirkus OCI
    Editor
    KOMPAS.com –
    Tangis dan amarah mewarnai mediasi tertutup antara 12 eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) dan pihak manajemen
    Taman Safari
    Indonesia yang digelar di Gedung Pakuan, Bandung, Senin (5/5/2025).
    Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memimpin langsung pertemuan yang disebutnya bukan sebagai ruang peradilan, melainkan sebagai pertemuan kekeluargaan.
    Eks pemain sirkus yang hadir mengungkapkan pengalaman kelam mereka selama bertahun-tahun bekerja di bawah OCI.
    Mereka mengaku diambil paksa dari orangtua sejak era 1970-an, disiksa dan tidak diberi pendidikan
    “Saya dari kecil sampai dewasa sering disiksa, terutama oleh Pak Frans. Saya sakit hati,” ujar Vivi, salah satu eks pemain sirkus yang hadir sambil menangis, dikutip dari tayangan video yang diunggah di kanal Youtube Dedi Mulyadi, Rabu (7/5/2025).
    Menurut pengakuan mereka, penyiksaan dilakukan oleh Frans dan
    Yansen Manansang
    , anak dari Hadi Manansang, pendiri OCI dan Taman Safari.
    Selain kekerasan fisik, para korban juga kehilangan jejak keluarga kandung mereka.
    “Saya marah dengan Pak Frans dan Pak Yansen,” ujar salah satu
    eks pemain sirkus OCI
    yang hadir.
    Gubernur Dedi Mulyadi menyatakan empatinya dan menekankan pendekatan mediasi berbasis hati dan nilai kekeluargaan.
    Dedi juga menyampaikan bahwa ia siap membantu pencarian asal usul para korban.
    Dari sekitar 23 orang yang terdata, 20 di antaranya tidak mengetahui identitas keluarga kandung mereka.
    “Saya akan bantu dengan teknologi untuk melacak. Ini menyangkut hak kemanusiaan,” katanya.
    Dalam forum tersebut, para eks pemain sirkus menyampaikan tiga tuntutan utama: kompensasi atas masa kerja mereka, permintaan maaf dari para pelaku kekerasan, dan penelusuran identitas keluarga mereka yang hilang.
    Aswin Sumampau, Direktur Taman Safari Indonesia, menyambut baik langkah mediasi ini dan menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan.
    “Kami ingin menyelesaikan ini dengan hati, bukan dengan kekuasaan atau hukum,” ujarnya.
    Aswin menambahkan bahwa jumlah eks pemain sirkus sebenarnya mencapai sekitar 40 orang.
    Karena itu, ia berharap solusi yang dibangun hari ini tidak hanya mencakup 12 orang yang hadir, melainkan juga menyentuh mereka yang tidak hadir agar tidak muncul ketimpangan perlakuan.
    Menutup pertemuan, Dedi Mulyadi menyatakan akan mengawal proses mediasi lebih lanjut, termasuk memfasilitasi pertemuan korban dengan Frans dan Yansen Manansang jika diperlukan.
    “Kalau mereka mau bertemu dan mengakui kesalahan, saya akan temani,” ujarnya.
    Kuasa hukum Oriental Circus Indonesia (OCI), Hamdan Zoelva, mengungkapkan bahwa empat orang mantan pemain sirkus telah menerima uang kompensasi masing-masing sebesar Rp 150 juta yang ditawarkan sebelumnya.
    Tawaran itu sebelumnya disampaikan kepada 12 eks pemain sirkus yang hadir dalam pertemuan mediasi tertutup yang diinisiasi Dedi Mulyadi.
    Kompensasi ini merupakan bagian dari penyelesaian kekeluargaan yang ditawarkan kepada para eks pemain OCI yang merasa pernah dirugikan.
    “Kami masih sangat terbuka untuk membicarakan itu. Seperti kemarin di Bandung, kami sudah tawarkan, dan sekarang ada beberapa orang yang sudah menerima. Sudah empat orang,” kata Hamdan saat ditemui di Kementerian HAM, Rabu (7/5/2025).
    Hamdan juga menegaskan bahwa pemberian kompensasi ini diharapkan menjadi titik akhir dari polemik yang telah bergulir selama bertahun-tahun.
    “Kalau sudah selesai seperti ini, ya jangan ada ribut-ribut lagi yang tidak benar. Itu standar saja. Harapannya ini bisa mengakhiri semuanya,” ujarnya.
    Namun, Hamdan belum dapat memastikan apakah keempat mantan pemain sirkus OCI yang menerima kompensasi tersebut tergabung dalam pihak-pihak yang menggugat OCI.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Diminta Mundur Hasto dari Caleg, Saksi Riezky Sebut Ditawari Jabatan di Komnas HAM

    Diminta Mundur Hasto dari Caleg, Saksi Riezky Sebut Ditawari Jabatan di Komnas HAM

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Anggota DPR RI Fraksi PDIP Riezky Aprilia mengaku sempat ditawarkan sejumlah jabatan setelah diminta mundur dari jabatannya.

    Hal tersebut disampaikan Riezky saat dihadirkan sebagai saksi untuk kasus dugaan suap dan perintangan terdakwa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto di PN Tipikor, Jakarta, Rabu (7/5/2025).

    Awalnya, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan soal tawaran yang diberikan ke Riezky saat diminta mundur oleh eks Kader PDIP Saeful Bahri dan Advokat PDIP Donny Tri Istiqomah.

    Kemudian, Kader PDIP ini mengaku tawaran tersebut muncul sebelum pertemuan dirinya dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pada (27/9/2019).

    “Itu mundur lagi ke belakang berarti pada saat ketemu Donny pada saat [bertemu] Saeful saya ditawari,” ujar Riezky.

    Dalam pertemuan itu, Riezky mengaku bahwa Saeful sempat menawarkan jabatan Komnas HAM kepada dirinya. Selain itu, Donny juga menawarkan terkait jabatan komisaris di perusahaan.

    “Ya ini sebentar lagi ada pergantian Komnas HAM nanti kita dorong jadi Komnas HAM gitu-gitu. Kalau Donny menyampaikan kan nanti bisa jadi Komisaris macam-macam. Walaupun konteksnya saya tidak tau serius atau bercanda gitu, loh,” tutur Riezky.

    Sekadar informasi, Hasto didakwa telah melakukan perintangan penyidikan dalam kasus suap penetapan anggota DPR 2019–2024 Harun Masiku.

    Perbuatan merintangi proses hukum itu di antaranya memerintahkan Harun Masiku melalui Nur Hasan untuk merendam telepon genggam miliknya ke dalam air. Perintah itu dilakukan setelah tim KPK melakukan tangkap tangan terhadap anggota KPU 2017–2022, Wahyu Setiawan. 

    Selain itu, Hasto juga diduga telah memberikan suap SGD 57.350 atau sekitar Rp600 juta kepada Wahyu. Tujuannya, agar Wahyu bersama dengan Agustina Tio Fridelina bisa menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) DPR 2019-2024 caleg terpilih Dapil Sumatera Selatan I dari Riezky Aprilia diganti dengan Harun Masiku.

  • Komnas HAM Sebut Belum Ada Permintaan Bentuk TGPF Usut Kasus Sirkus OCI

    Komnas HAM Sebut Belum Ada Permintaan Bentuk TGPF Usut Kasus Sirkus OCI

    Jakarta

    Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai menyampaikan pihaknya belum menerima permintaan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dugaan eksploitasi mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). Dia mengungkapkan Kementerian HAM sempat berkoordinasi dengan pihaknya untuk mencari jalan terbaik penyelesaian persoalan tersebut.

    “Kami belum memutuskan hal tersebut (pembentukan TGPF) karena belum ada permintaan untuk keterlibatan Komnas HAM. Bila ada permintaan, tentunya akan diputuskan oleh pimpinan apakah akan terlibat atau tidak. Namun beberapa waktu lalu, Kementerian HAM juga sudah berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk mencari solusi terbaik guna penyelesaian kasus ini,” kata Semendawai saat dihubungi, Kamis (7/5/2025).

    Dia mengatakan temuan Kementerian HAM sama dengan hasil investigasi yang pernah dilakukan Komnas HAM pada 1997 lalu. Dia menyebut pemerintah serta penegak hukum bertanggung jawab menyelesaikan dugan eksploitasi tersebut.

    “Temuan tersebut memperkuat temuan hasil investigasi Komnas HAM di tahun 1997. Namun saat ini yang dibutuhkan korban adalah penyelesaian permasalahan yang mereka adukan. Ini sebenarnya menjadi tanggung jawab OCI, Pemerintah dan Penegak Hukum untuk menyelesaikannya sesuai dengan kapasitas masing-masing,” ujarnya.

    Lebih lanjut Semendawai mengatakan salah satu opsi penyelesaian melalui pendekatan pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pembuktian Komnas HAM. Namun, katanya, opsi tersebut sulit dilaksanakan.

    “Itu salah satu opsi yang coba didalami oleh Kementerian HAM. Untuk mereka telah mengundang ahli untuk meminta masukan terkait peluang penyelesaian menggunakan opsi tersebut. Namun menurut ahli yang di undang KemenHAM, opsi ini tidak bisa dilaksanakan. Untuk pastinya silahkan ditanyakan ke Kementerian HAM,” imbuhnya.

    Pertama, yaitu ada dugaan pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal usulnya. Ada pula dugaan pelanggaran anak terkait hak mendapat pendidikan.

    Kemudian, ada dugaan kekerasan fisik yang mengarah pada penganiayaan. Ada pula dugaan kekerasan seksual, hingga dugaan praktik perbudakan modern.

    Kedua, ada rekomendasi bagi Bareskrim Polri untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan tindak pidana dalam kasus ini. Polisi juga diminta menelusuri untuk memastikan kapan pastinya OCI berhenti beroperasi hingga melakukan ekspose perkara yang hasilnya diumumkan ke publik.

    Selanjutnya, ada rekomendasi untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk memberikan terapi psikologis kepada eks pemain sirkus OCI. Rekomendasi terakhir yaitu, perlu adanya pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dengan dasar permintaan resmi dari DPR.

    Rekomendasi ini hanya bersifat mengikat kepada kementerian atau lembaga pemerintah. Namun tidak mengikat Komnas HAM karena lembaga tersebut bukan pemerintah.

    (dek/ygs)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Komisi XIII DPR Usul Bentuk TGPF Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkus OCI

    Komisi XIII DPR Usul Bentuk TGPF Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkus OCI

    Jakarta

    Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Andreas Hugo Pareira menyampaikan pihaknya merekomendasikan Komnas HAM untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dugaan eksploitasi mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). Rekomendasi pembentukan TGPF ini untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM terhadap mantan pemain sirkus OCI.

    “Komisi XIII dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan eks pekerja OCI sudah mendengar aspirasi dan keluhan dari eks pekerja OCI ini, untuk itu untuk memverifikasi dan membuktikan terjadi terjadinya pelanggaran HAM dan kategori pelanggaran-nya. Komisi XIII memutuskan untuk merekomendasikan kepada KemHAM/Komnas HAM untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF),” kata Andreas saat dihubungi, Kamis (7/5/2025).

    Dia berharap pembentukan TGPF dapat memberi rasa keadilan bagi para korban. Terkait adanya dugaan pidana, Andreas menyampaikan harus menunggu hasil dari TGPF nantinya.

    “Sehingga dengan demikian kasus ini menjadi tuntas dan memberi rasa keadilan bagi para eks pekerja OCI. Kita lihat hasil dari proses yang dilakukan oleh TGPF,” imbuhnya.

    Sebelumnya, KemenHAM menyampaikan laporan hasil tindak lanjut kasus mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). KemenHAM menduga adanya pelanggaran hukum dan HAM dalam kasus ini.

    Pertama, yaitu ada dugaan pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal usulnya. Ada pula dugaan pelanggaran anak terkait hak mendapat pendidikan.

    Ada empat rekomendasi yang disampaikan KemHAM terkait persoalan tersebut. Rekomendasi yang pertama, Komnas HAM menelusuri apakah ada pelanggaran HAM berat masa lalu di kasus ini.

    Kedua, ada rekomendasi bagi Bareskrim Polri untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan tindak pidana dalam kasus ini. Polisi juga diminta menelusuri untuk memastikan kapan pastinya OCI berhenti beroperasi hingga melakukan ekspose perkara yang hasilnya diumumkan ke publik.

    Rekomendasi ini hanya bersifat mengikat kepada kementerian atau lembaga pemerintah. Namun tidak mengikat Komnas HAM karena lembaga tersebut bukan pemerintah.

    (dek/ygs)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Dedi Mulyadi Klaim Program Pendidikan di Barak Tak Tumpang Tindih Hukum Pidana  

    Dedi Mulyadi Klaim Program Pendidikan di Barak Tak Tumpang Tindih Hukum Pidana  

    Diberitakan sebelumnya, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menilai kebijakan yang ditujukan bagi pelajar bukanlah hukuman, melainkan bagian dari pendidikan pembentukan karakter, mental dan tanggung jawab. Jika demikian, kebijakan tersebut tidak menyalahi standard Hak Asasi Manusia.

     “Apa yang dilakukan Pemda Jabar tersebut bukan merupakan Corporal Punishment (hukuman) tetapi bagian dari pembentukan karakter, mental dan tanggung jawab anak. Maka tentu tidak menyalahi standard Hak Asasi Manusia,” kata Pigai seperti dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (6/5/2025). 

    Hukuman, kata Pigai, merupakan penggunaan kekerasan fisik yang menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan pada anak. Bentuknya bisa beragam seperti memukul, menampar, atau menggunakan benda keras untuk memukul anak.

    “Ini kontroversial karena dampaknya yang negatif terhadap kesehatan fisik dan mental anak,” wanti Pigai.

    Namun Pigai percaya, tindakan dilakukan Gubernur Jawa Barat bukanlah demikian.

    “Sepanjang pendidikan menyangkut pembinaan mental, karakter dan nilai-nilai kedisiplinan. Maka hal tersebut sesuai dengan prinsip dan standar HAM,” dia menandasi.

    Sebagai informasi, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengungkap rencana siswa dibina di barak militer bertujuan agar memperoleh pendidikan karakter yang akan bekerja sama dengan TNI dan Polri.

    Adapun menurut Dedi, rencana ini tak akan dijalankan secara serentak, namun bertahap ke daerah yang dianggap rawan.

    “Tidak harus langsung di 27 kabupaten/kota. Kita mulai dari daerah yang siap dan dianggap rawan terlebih dahulu, lalu bertahap,” kata Dedi.

    Nantinya, menurut Politikus Gerindra itu, para siswa akan mengikuti program itu di sekitar 30 hingga 40 barak khusus yang telah disiapkan oleh TNI. Para siswa, kata Dedi Mulyadi, bakal menjalani pendidikan selama 6 bulan di barak militer. Dedi membeberkan kriteria siswa yang bermasalah dan perlu dibina di barak militer.

    “Tukang tawuran, tukang mabok, tukang main mobile legend, yang kalau malam kemudian tidurnya tidak mau sore. Ke orang tua melawan. Melakukan pengancaman. Di sekolah bikin ribut. Bolos terus. Dari rumah berangkat ke sekolah, ke sekolah enggak sampai. Kan kita semua dulu pernah gitu ya,” beber Dedi.

  • Bahlil: Kampus Tidak Menjamin Karier Politik Seseorang – Halaman all

    Bahlil: Kampus Tidak Menjamin Karier Politik Seseorang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menteri Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM), Bahlil Lahadalia, menilai latar belakang perguruan tinggi seseorang tidak menjamin keberhasilannya di dunia politik. 

    Bahlil menilai bahwa integritas dan kontribusi nyata terhadap bangsa jauh lebih penting ketimbang latar belakang kampus dan gelar akademik yang melekat pada seseorang.

    Pernyataan itu disampaikan Bahlil saat memberikan sambutan dalam Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) III Kosgoro 1957 di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (7/5/2025).

    Bahlil memberi contoh dua tokoh Golkar yang pernah menjabat sebagai Gubernur Lemhannas, yakni Prof. Muladi dan Ace Hasan Syadzily.

    “Yang saya hormati Pak Gubernur Lemhannas, Pak Ace. Kita berikan applause Pak Ace. Dalam sejarah Pak Agung di Lemhannas itu kader Golkar yang menjadi Gubernur Lemhannas dua orang ya. Satu Prof Muladi, satu Pak Ace,” kata Bahlil di hadapan peserta acara.

    Bahlil membandingkan perjalanan karier akademik kedua tokoh tersebut untuk menekankan bahwa gelar tidak serta-merta menentukan posisi atau peran strategis seseorang di pemerintahan maupun politik nasional.

    “Kalau Pak Muladi Jaksa Agung dulu, profesor dulu, berproses panjang di Golkar baru jadi Gubernur Lemhannas. Kalau Pak Ace, enggak perlu profesor, langsung Gubernur,” ujar Bahlil.

    Ia pun menyoroti latar belakang pendidikan Ace yang merupakan lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, namun mampu menempati posisi strategis nasional.

    Menurutnya, ini menjadi bukti bahwa kampus bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan.

    “Pak Ace cukup tamatan UIN Ciputat. Jadi Pak Ace, kampus tidak menjamin kualitas dan karir politik seseorang, maksudnya termasuk saya,” tandasnya.

    Beda Nasib Karier Pendidikan Tiga Tokoh Golkar: Muladi, Ace Hasan hingga Bahlil

    TIGA TOKOH GOLKAR – Kolase tiga tokoh Partai Golkar, Prof. Dr. H. Muladi, S.H., Dr. Ace Hasan Syadzily, M.Si., dan Bahlil Lahadalia, (Kolase Tribunnews/net)

    Partai Golkar memiliki sejumlah tokoh publik yang dikenal luas bukan hanya karena perannya di politik, tetapi juga karena perjalanan pendidikannya yang beragam. Tiga di antaranya, Prof. Dr. H. Muladi, S.H., Dr. Ace Hasan Syadzily, M.Si., dan Bahlil Lahadalia, menawarkan cermin perjalanan dari ruang kelas hingga ruang kekuasaan.

    Prof. Muladi: Akademisi Hukum Pidana yang Jadi Menteri

    Prof. Muladi adalah sosok intelektual yang lahir dari tradisi akademik yang kuat.

    Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (S-1 Hukum Pidana) (1968)
    International Institute of Human Rights di Strasbourg, Prancis (1979)
    Ilmu Hukum Program Pascasarjana FH Universitas Padjajaran, Bandung (S-3) (1984) dengan predikat Cumlaude
    KSA III Lemhanas (1993)

    Muladi menjabat Rektor Universitas Diponegoro (1994–1998) dan kemudian dipercaya menjadi Menteri Kehakiman Republik Indonesia (1998) di masa transisi menuju reformasi. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (1999) dan Gubernur Lemhannas RI (2005-2011).

    Di dunia politik, Muladi pernah menjabat Ketua DPP Partai Golkar Bidang Hukum dan HAM (2009–2014) dan anggota MPR-RI pada tahun 1997.

    2. Ace Hasan Syadzily: Dari Dunia Santri ke DPR RI

    Ace Hasan Syadzily mengawali karier intelektual dari pendidikan berbasis keagamaan.

    S1: Jurusan Dakwah dan Komunikasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN Jakarta), 2000.
    S2: Magister Sosiologi, Universitas Indonesia (UI), 2004
    S3: Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, 2014.

    Ace aktif sebagai dosen UIN Syarif Hidayatullah sebelum terjun penuh ke dunia politik. Di DPR RI, ia telah menjabat sejak 2014 dan kini merupakan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, yang membidangi isu sosial, agama, penanggulangan bencana, dan pemberdayaan perempuan.

    Selain pernah menduduki jabatan penting tingkat DPD dan DPP Partai Golkar, kini Ace Hasan Syadzily merupakan Gubernur Lemhannas sejak 22 Oktober 2024. 

    3. Bahlil Lahadalia: Dari Jalanan Papua ke Kabinet, Gelar Doktor Dibatalkan UI

    Bahlil dikenal sebagai figur yang bangkit dari bawah. Lahir di Maluku dan tumbuh besar di Fakfak, Papua Barat, ia sempat menjadi kondektur dan sopir angkot sebelum menyelesaikan kuliahnya.

    S1: STIE Port Numbay Jayapura, Papua.
    S2: Tidak diketahui atau tidak dipublikasikan secara luas.
    S3: Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia (dibatalkan UI, 2025).

    Pada Oktober 2024, Bahlil sempat diumumkan lulus dan mendapat gelar doktor dari UI. 

    Namun, pada Maret 2025, UI resmi membatalkan gelar doktor tersebut karena pelanggaran prosedur akademik, termasuk keabsahan sidang promosi dan proses administratif lainnya.

    Meski begitu, Bahlil pernah menjadi Ketua Umum HIPMI, lalu dipercaya Presiden Jokowi sebagai Kepala BKPM, Menteri Investasi, bahkan sempat menjabat Plt. Menteri ESDM.

    Selain itu, Bahlil kini merupakan Menteri ESDM definitif dan Ketua Umum partai Golkar.

     

     

     

     

     

  • Pihak TSI dan OCI ke KemenHAM, Dorong Kasus Sirkus Selesai Kekeluargaan

    Pihak TSI dan OCI ke KemenHAM, Dorong Kasus Sirkus Selesai Kekeluargaan

    Jakarta

    Kuasa hukum Oriental Circus Indonesia (OCI) Hamdan Zoelva dan kuasa hukum PT Taman Safari Indonesia (TSI) Bambang Widjojanto (BW) mendatangi Kementerian Hak Asasi Manusia. Mereka mendorong kasus dugaan eksploitasi yang diadukan eks pemain sirkus OCI diselesaikan kekeluargaan.

    “Jadi memang ada hal-hal yang mungkin secara tertulis di laporan itu, hasil itu, dan juga pemberitaan di media yang masih belum jelas sehingga ditanyakan kepada kami,” kata Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM (Dirjen PDK HAM) KemenHAM Munafrizal Manan, kepada wartawan di KemenHAM, Rabu (7/5/2025).

    “Dan tadi kami sudah menyampaikan tentang konstruksi yang sudah dijelaskan oleh Kementerian HAM dalam laporan tadi,” tambahnya.

    Hamdan menjelaskan pihaknya mengapresiasi jika kasus ini diselesaikan secara damai. “Karena itu kami sangat senang kalau ini diselesaikan secara kekeluargaan,” ucapnya.

    Pertemuan tersebut juga membahas sejumlah nominal uang yang disiapkan bagi para eks pemain sirkus OCI agar kasus diselesaikan kekeluargaan. Mengenai asal-usul para eks pemain sirkus OCI turut masuk pembahasan.

    “Kami sampaikan juga disini dan kementerian sangat mendukung penyelesaian secara kekeluargaan itu dan data-data mengenai asal-usul anak-anak itu. Itu, saya kira itulah yang tadi inti yang kami bicarakan,” sebut dia.

    “Ingin mendorong memang proses tadi (diselesaikan kekeluargaan). Kenapa begitu? Karena yang paling terkena dampak dari seluruh proses ini adalah TSI,” ucap dia.

    “Dan penyelesaian ini menjadi bagian penting untuk menyelesaikan seluruh kasusnya. Dan tadi ada pembicaraan yang belum disampaikan. Bisa saja pra-mediasi nanti akan dilakukan. Yang akan dikoordinasikan oleh Kementerian HAM,” tambahnya.

    “Apakah ada pelanggaran HAM yang berat masa lalu dan apakah entitas korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban atas kasus ini,” kata Munafrizal konferensi pers di KemenHAM, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (7/5).

    Kementerian HAM juga memberikan sejumlah opsi penyelesaian kasus ini. ada pendekatan penyelesaian melalui restorative justice, hingga mediasi. KemenHAM, kata dia, bersedia menjadi pihak ketiga untuk mediasi.

    “Perlu ada regulasi yang mengatur tata kelola bisnis hiburan, khususnya bisnis hiburan sirkus guna mencegah terulangnya kasus semacam ini pada masa mendatang,” ucapnya.

    (ial/isa)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Fakta Baru Kasus Pencabulan Eks-Kapolres Ngada, Korban Kini jadi Tersangka, Kok Bisa?

    Fakta Baru Kasus Pencabulan Eks-Kapolres Ngada, Korban Kini jadi Tersangka, Kok Bisa?

    Sebelumnya, Komnas HAM telah mengungkap sejumlah temuan dalam kasus ini dalam konferensi pers di Jakarta, Maret lalu. Salah satu temuan menyebutkan keterlibatan F dalam rantai peristiwa.

    Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, menjelaskan bahwa F pertama kali bertemu Fajar melalui perantara seorang perempuan berinisial V. V meminta F untuk berpura-pura menjadi siswi SMP, yang kemudian disanggupi F, tanpa mengetahui kecenderungan Fajar terhadap anak di bawah umur.

    “F kemudian diminta untuk mencari anak perempuan yang lebih muda, dengan dalih Fajar suka bermain dengan anak-anak. F lalu membawa anak perempuan berusia 6 tahun kepada Fajar,” ujar Uli dalam pemaparannya.

    Tanpa sepengetahuan F, anak tersebut menjadi korban pencabulan yang direkam oleh Fajar. Komnas HAM juga mengungkap, Fajar memiliki setidaknya delapan video asusila yang diunggah ke situs gelap (dark web).

    Atas kasus ini, Komnas HAM mendesak agar proses hukum terhadap Fajar dan F dilakukan secara profesional, transparan, akuntabel, dan berkeadilan, khususnya bagi para korban

  • Satgas Pemberantas Premanisme Resmi Dibentuk, Yakin Bakal Efektif? – Page 3

    Satgas Pemberantas Premanisme Resmi Dibentuk, Yakin Bakal Efektif? – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Jenderal (Purn) Moeldoko merasa geram dengan tingkah polah ormas yang mengganggu dunia investasi. Mantan Panglima TNI itu menegaskan, gangguan ormas ini tak bisa ditolerir karena dapat mempengaruhi lapangan pekerjaan di Indonesia.

    “Jadi siapa pun tidak boleh ganggu, makanya saya katakan kalau ada preman ganggu habisin saja. Karena preman ini akan mengganggu segitu banyak orang yang mencari pekerjaan,” ucap Ketua Umum Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo) ini di JiExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa 29 April 2025 lalu.

    Gangguan ormas pada investasi otomotif dialami dua produsen baru, BYD dan Vinfast. Kedua merek itu memperoleh gangguan kala membangun pabrik perakitan mobil listrik di Subang, Jawa Barat.

    BYD mendirikan pabrik di kawasan Subang Smartpolitan, Subang, Jawa Barat dengan nilai investasi Rp11,7 triliun. Perusahaan meyakini fasilitas manufaktur itu siap beroperasi 2026. Sementara Vinfast juga telah memulai pembangunan pabrik di Subang dengan dana tahap awal sebesar US$200 juta atau Rp3,2 triliun sejak 2024.

    Merespons situasi ini, Kemenko Polkam menggelar rapat koordinasi lintas kementerian, Selasa 6 Mei 2025. Pertemuan membahas tentang pembentukan Satgas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

    Rapat melibatkan lintas kementerian dan instansi yaitu Kementerian Sekretaris Negara, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM, Kementerian Hukum, Kementerian Luar Negeri, Kementerian HAM, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi, UMKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kejaksaan Agung, TNI, Polri, Kantor Staf Kepresidenan, Kantor Komunikasi Kepresidenan, BIN, serta BSSN.

    “Pemerintah menegaskan komitmen dalam menjaga stabilitas nasional dan kepastian hukum dengan membentuk Satgas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang meresahkan masyarakat dan mengganggu investasi,” kata Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Jenderal (Purn) Budi Gunawan, Rabu 7 Mei 2025.

    Budi menegaskan, pemerintah tidak akan ragu-ragu dalam menindak tegas segala bentuk premanisme dan aktivitas ormas yang meresahkan masyarakat. Gangguan ini berpotensi mengganggu jalannya investasi maupun kegiatan usaha.

    Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi mengapresiasi pembentukan tim terpadu untuk menanggulangi aksi premanisme. Namun, ia mengingatkan pentingnya kejelasan definisi dan target dari operasi tim tersebut agar tidak menimbulkan resistensi di masyarakat.

    “Saya sih mengapresiasi dulu ya. Ada tim terpadu yang melibatkan banyak pihak. Harapannya tentu bisa mengurangi aksi-aksi premanisme yang meresahkan, terutama yang mengganggu investasi,” ujar Simon dalam keterangannya, Rabu (7/5/2025).

    Meski begitu, ia menyoroti perlunya penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan premanisme agar tidak terjadi salah sasaran di lapangan. Menurutnya, premanisme memiliki bentuk yang beragam, mulai dari aksi jalanan hingga kejahatan yang lebih terorganisir.

    “Pertama identifikasi dulu. Maksudnya premanisme ini apa? Kalau premanisme jalanan, itu kan sifatnya situasional. Tapi kalau yang saya maksud adalah bentuk organized crime, ini yang lebih bahaya,” tegasnya.

    Simon menyebutkan, tidak sedikit organisasi yang berbadan hukum tetapi melakukan pelanggaran di bidang ekonomi maupun politik. Oleh karena itu, ia menilai perlu kejelasan jenis premanisme mana yang menjadi fokus tim terpadu tersebut.

    “Tim ini harus menjelaskan kategori mana yang jadi target. Supaya masyarakat tidak bingung dan bisa ikut membantu. Kalau tidak jelas, malah bisa jadi bumerang,” katanya.

    Ia juga mengingatkan adanya potensi resistensi dari organisasi kemasyarakatan (ormas) bila langkah tim tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Resistensi tersebut bisa datang bukan hanya dari ormas, tapi juga dari masyarakat jika tindakan yang diambil dirasa tidak adil.

    “Kalau yang disebut-sebut ternyata berbeda dengan realitasnya, itu bisa timbul resistensi. Bahkan masyarakat bisa balik mendukung ormas. Ini harus diantisipasi sejak awal supaya tidak kontraproduktif,” ujarnya.

    Selain soal sasaran, Simon juga menekankan pentingnya kewenangan dan daya tekan tim terpadu untuk memastikan lembaga terkait—baik di tingkat Polres maupun pemerintah daerah—melaksanakan tugasnya.

    “Tim ini harus punya power. Misalnya, bisa mendorong Polres atau Pemkot untuk segera selesaikan kasus premanisme yang terjadi di wilayahnya. Bukan hanya struktur besar yang tak bergerak,” jelasnya.

    Ia menduga aksi premanisme yang mengganggu investasi tidak terjadi secara kebetulan. Simon menduga ada kebocoran informasi atau kurangnya koordinasi antara pemerintah dan pihak investasi, sehingga memberi celah bagi pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan.

    “Jangan sampai informasi investasi bocor lewat jalur belakang, lalu jadi ajang cari cuan. Ini yang sangat merugikan. Satgas pemberantasan premanisme ini seharusnya juga bisa masuk ke lembaga-lembaga yang terkait investasi untuk mengamankan dari awal,” ungkapnya.

    Terkait efektivitas satgas ini, Simon menyebut itu akan bergantung pada seberapa rinci tugas dan fungsi (tupoksi) yang dijelaskan kepada publik.

    “Mereka harus bisa menjabarkan kembali tupoksi mereka. Jelaskan mana yang meresahkan, mana yang tidak, mana yang kasat mata. Klasifikasikan dulu. Baru bisa efektif,” tutupnya.

    Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai pembentukan satgas ini sebagai langkah positif. Namun, ia mengingatkan bahwa fungsi pembinaan ormas sebenarnya sudah diatur di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) di tingkat daerah.

    “Ini langkah yang baik, tapi saya khawatir Satgas ini malah menimbulkan kerancuan. Ormas-ormas yang berbau premanisme bisa saja tidak lagi mengakui kewenangan Kesbangpol atau Kemendagri. Padahal pembinaan itu domain mereka,” ujar Trubus saat diwawancarai Liputan6.com, Rabu (7/5/2025).

    Ia juga menekankan pentingnya kejelasan kriteria dalam membedakan ormas yang bersifat premanisme dan yang tidak. Jika tidak hati-hati, langkah penindakan berisiko menimbulkan diskriminasi.

    “Kita kan juga kriteriannya harus jelas, jangan kemudian nanti ada diskriminatif, kan. Ada yang merasa diperlakukan seperti preman, padahal mereka tidak preman,” kata Trubus.

    Trubus juga mengingatkan bahwa ormas di Indonesia sangat beragam, tidak hanya ormas politik, tetapi juga keagamaan. Jika pendekatan Satgas tidak tepat, dikhawatirkan bisa memicu ketegangan yang lebih luas, termasuk dengan ormas besar seperti Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama.

    “Ya, karena itu juga harus dipikirkan, jangan sampai, karena Ormas itu kan tidak hanya Ormas ini. Ada juga Ormas keagamaan juga, tidak hanya Ormas politik,” ucap Trubus

    “Itu kan nanti (bisa) melebar kemana-mana. Artinya, bisa menyinggung yang besar-besar kayak Muhammadiyah, PBNU, itu nanti jadi muncul ini lagi,” sambungnya

    Ia  menyarankan agar pemerintah lebih fokus memperkuat lembaga yang selama ini memang memiliki kewenangan membina organisasi masyarakat, yakni Kesbangpol dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau juga Polri.

    Trubus menegaskan, dengan ketidaktegasan pemerintah dalam menghadapi ormas dan kelompok premanisme yang meresahkan bukan semata soal kelemahan hukum, melainkan karena adanya keterkaitan antara sebagian ormas dengan elite kekuasaan.

    Secara regulasi, kata dia, sebenarnya sudah ada dasar hukum yang kuat untuk menindak ormas bermasalah. Salah satunya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, khususnya Pasal 59

    “Kalau lihat di Undang-Undang 16, mengenai Ormas. Pasal 59 itu sudah jelas di situ. (Bahwa) Ormas dilarang (untuk melakukan tindakan kekerasan). (Namun) jika dilanggar dikasih sanksinya itu harus sanksi yang tidak hanya administrasi,” jelas Trubus.

     

    Ia juga menyoroti bahwa banyak ormas saat ini justru memiliki backing kuat dari partai politik atau elite kekuasaan. Karenanya, ada dugaan keterkaitan langsung antara sejumlah anggota parlemen dengan ormas-ormas bermasalah tersebut.

    “Selama ini mereka dipelihara oleh elite itu untuk mempertahankan kekuasaannya, (agar nantinya) terpilih kembali ke depannya. Bahkan banyak juga diduga orang-orang yang duduk di parlemen, di DPR, DPRD misalnya,” kata Trubus.

    Trubus juga menyoroti pentingnya penguatan sistem pengawasan terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas), terutama dalam aspek keuangan. Ia menilai pengelolaan dana ormas perlu diaudit secara ketat mengingat banyak anggotanya yang berasal dari kalangan pengangguran dan rentan dimanfaatkan.

    “Jadi, buka ke publik. Maksudnya, kita mulailah pendekatan yang namanya transparansi publik dan akuntabilitas publik. Bertanggung jawab publik itu seperti apa,” dia menandaskan.