Kasus: HAM

  • Status Kewarganegaraan Hambali Dalang Bom Bali Belum Dapat Dipastikan

    Status Kewarganegaraan Hambali Dalang Bom Bali Belum Dapat Dipastikan

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan status kewarganegaraan Hambali hingga kini belum dapat dipastikan secara hukum. Sejak 2003, Hambali ditahan oleh otoritas Amerika Serikat di fasilitas Guantanamo Bay, Kuba.

    Hambali dituduh oleh militer Amerika Serikat terlibat dalam serangkaian tindakan terorisme internasional di berbagai negara. Dia juga dituding menjadi aktor intelektual kasus bom Bali 2002. Hambali dikabarkan kini sedang diadili oleh pengadilan militer Amerika Serikat setelah lebih dari 20 tahun ditahan di Guantanamo.

    “Yang saya katakan adalah Indonesia pada prinsipnya tidak mengenal adanya dwi kewarganegaraan. Jika ada WNI yang dengan sadar menjadi warga negara lain, dan memegang paspor negara lain, maka status kewarganegaraan Indonesianya (WNI) otomatis gugur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Yusril dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (14/6/2025).

    Diketahui, saat ditangkap di Thailand, Hambali yang memiliki nama asli Encep Nurjaman, tidak memegang paspor Indonesia dan tidak menunjukkan identitas sebagai WNI, melainkan paspor asing dari dua negara berbeda, yakni Spanyol dan Thailand. Kondisi ini menyulitkan upaya verifikasi yang akurat terkait status kewarganegaraannya.

    “Hambali ditangkap tidak menunjukkan paspor Indonesia, tetapi paspor Spanyol dan Thailand. Hingga kini, kita belum memperoleh data yang sahih dan dokumen resmi yang membuktikan statusnya sebagai warga negara Indonesia,” jelas Yusril.

    Menko Yusril menjelaskan Indonesia menganut prinsip single citizenship sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pasal 23 UU tersebut menyebutkan seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia, jika antara lain yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.

    Dengan ketentuan ini, apabila Hambali secara sah memperoleh kewarganegaraan lain dan tidak pernah memohon agar kembali menjadi WNI, maka secara hukum ia bukan lagi warga negara Indonesia. Sekiranya keadaannya demikian, maka Pemerintah Indonesia berdasarkan UU Keimigrasian berwenang untuk menangkal warganegara asing yang dianggap merugikan kepentingan negara untuk memasuki wilayah Indonesia.

    “Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang telah menjadi warga negara asing dan tidak ada permohonan resmi untuk kembali menjadi WNI, maka Indonesia tidak dapat mengeklaimnya sebagai warga negara kita. Dalam kasus Hambali, situasinya belum terang. Karena itu, posisi pemerintah Indonesia masih menunggu kejelasan status dan dokumen resminya,” tegas Menko Yusril.

    Pemerintah Indonesia, lanjut Yusril, tetap berkomitmen menjalankan prinsip-prinsip hukum internasional dan nasional secara konsisten, termasuk dalam menangani isu-isu sensitif terkait kewarganegaraan dan penahanan WNI di luar negeri.

  • Status Kewarganegaraan Tersangka Bom Bali Hambali Belum Dipastikan Secara Hukum

    Status Kewarganegaraan Tersangka Bom Bali Hambali Belum Dipastikan Secara Hukum

    JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan bahwa hingga saat ini status kewarganegaraan tersangka kasus Bom Bali, Hambali belum dapat dipastikan secara hukum. Sejak tahun 2003, Hambali ditahan oleh otoritas Amerika Serikat di fasilitas Guantanamo Bay, Kuba.

    Hambali dituduh militer Amerika Serikat terlibat dalam serangkaian tindakan terorisme internasional di berbagai negara. Dia juga dituduh menjadi aktor intelektual kasus bom Bali tahun 2002. Kini, Hambali dikabarkan sedang diadili oleh pengadilan militer Amerika Serikat setelah lebih dari dua puluh tahun ditahan di Guantanamo.

    “Yang saya katakan adalah Indonesia pada prinsipnya tidak mengenal adanya dwi kewarganegaraan. Jika ada WNI yang dengan sadar menjadi warga negara lain, dan memegang paspor negara lain, maka status kewarganegaraan Indonesianya (WNI) otomatis gugur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku” ujar Yusril, Sabtu, 14 Juni.

    Diketahui bahwa saat ditangkap di Thailand, Hambali atau yang memiliki nama asli Encep Nurjaman, tidak memegang paspor Indonesia dan tidak menunjukkan identitas sebagai WNI, melainkan paspor asing dari dua negara berbeda, yakni Spanyol dan Thailand. Kondisi ini menyulitkan upaya verifikasi yang akurat terkait status kewarganegaraannya.

    “Hambali ditangkap tidak menunjukkan paspor Indonesia, tetapi paspor Spanyol dan Thailand. Hingga kini, kita belum memperoleh data yang sahih dan dokumen resmi yang membuktikan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia,” jelas Yusril.

    Menko Yusril menjelaskan, Indonesia menganut prinsip single citizenship sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pasal 23 UU tersebut menyebutkan bahwa seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia jika, antara lain, yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.

    Dengan ketentuan ini, apabila Hambali secara sah memperoleh kewarganegaraan lain dan tidak pernah memohon agar kembali menjadi WNI, maka secara hukum ia bukan lagi Warga Negara Indonesia. Jika keadaannya demikian, maka Pemerintah RI berdasarkan UU Keimigrasian berwenang untuk menangkal warganegara asing yang dianggap merugikan kepentingan negara untuk memasuki wilayah negara RI.

    “Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang telah menjadi warga negara asing dan tidak ada permohonan resmi untuk kembali menjadi WNI, maka Indonesia tidak dapat mengklaimnya sebagai warga negara kita. Dalam kasus Hambali, situasinya belum terang. Karena itu, posisi pemerintah Indonesia masih menunggu kejelasan status dan dokumen resminya,” tegas Menko Yusril.

    Pemerintah Indonesia, tambah Yusril, tetap berkomitmen menjalankan prinsip-prinsip hukum internasional dan nasional secara konsisten. Termasuk dalam menangani isu-isu sensitif terkait kewarganegaraan dan penahanan WNI di luar negeri.

  • Hampir Rampung, Revisi KUHAP Diserahkan ke DPR Seusai Reses

    Hampir Rampung, Revisi KUHAP Diserahkan ke DPR Seusai Reses

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyatakan, daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hampir selesai dan akan segera diserahkan kepada DPR.

    Sebelum diserahkan, DIM tersebut terlebih dahulu akan diparaf oleh empat institusi utama, yaitu menteri hukum, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto. 

    “DIM-nya sudah hampir rampung, tinggal menunggu tanda tangan dari empat pihak tersebut sebelum kami serahkan ke DPR,” kata Supratman di Jakarta Sabtu (14/6/2025).

    Ia menegaskan, seluruh kementerian/lembaga terkait telah satu suara dalam menyusun DIM sehingga pembahasan di tingkat parlemen diharapkan akan berjalan lancar.

    Supratman menyebutkan, penyusunan revisi KUHAP sudah melalui proses partisipatif dengan melibatkan berbagai kalangan. Bahkan, sosialisasi terakhir yang dilakukan berhasil menjaring masukan dari hampir 20.000 peserta, termasuk dari kampus dan berbagai pemangku kepentingan.

    Revisi KUHAP akan segera dibahas di DPR begitu masa sidang kembali dibuka setelah reses berakhir pada 23 Juni 2025. “Mudah-mudahan masa sidang berikutnya sudah bisa mulai dibahas di parlemen,” ujar Supratman.

    Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyatakan pihaknya akan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan elemen mahasiswa untuk menyerap aspirasi pada 17 Juni 2025. “Kami terbuka terhadap seluruh masukan dari masyarakat terkait RUU KUHAP,” tegas Habiburokhman.

  • Menteri PPPA: 1 dari 4 Perempuan Alami Kekerasan Sepanjang Hidupnya

    Menteri PPPA: 1 dari 4 Perempuan Alami Kekerasan Sepanjang Hidupnya

    Menteri PPPA: 1 dari 4 Perempuan Alami Kekerasan Sepanjang Hidupnya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan data terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
    Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya.
    “Ini bukan sekadar angka statistik. Di baliknya ada kisah, trauma, penderitaan, dan dampak serius, baik fisik, psikologis, kesehatan, ekonomi, maupun sosial,” kata Arifah di Jakarta, Sabtu (14/6/2025).
    Arifah juga mengungkapkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR).
    Disebutkan, 1 dari 2 anak mengalami kekerasan emosional, dan 9 dari 100 anak pernah menjadi korban kekerasan seksual.
    Dia menyebutkan, melalui sistem pelaporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (
    SIMPONI PPPA
    ), sejak Januari hingga 12 Juni 2024 tercatat 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
    Jumlah korbannya mencapai 12.604 orang, dengan lebih dari 10.000 di antaranya adalah perempuan.
    “Jenis kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual sebanyak 5.246 kasus. Yang paling sering terjadi justru di lingkungan rumah tangga,” ujar Arifah.
    Ia menekankan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga mandat konstitusi untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial.
    Menurut Arifah, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan isu multidimensi yang memerlukan pendekatan komprehensif dari pencegahan, perlindungan, hingga pemulihan korban.
    Oleh karena itu, kerja sama antar-lembaga dan lintas sektor sangat krusial.
    Arifah menyebut kehadiran paralegal sangat penting dalam mendampingi korban, terutama saat berada dalam kondisi paling rentan.
    Paralegal menjadi jembatan antara korban dan sistem hukum, membantu menyiapkan dokumen dan membuka akses keadilan.
    “Paralegal akan membantu korban dalam menyiapkan dokumen hukum dan informasi hukum lainnya yang diperlukan korban. Saya percaya pelatihan paralegal akan memberikan dampak positif dan menjadi kekuatan dalam kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan khususnya terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Usman Hamid Respons Fadli Zon soal Tidak Adanya Perkosaan Mei 1998: Upaya Pemutihan Dosa – Page 3

    Usman Hamid Respons Fadli Zon soal Tidak Adanya Perkosaan Mei 1998: Upaya Pemutihan Dosa – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menyatakan, dirinya bersama Koalisi Masyarakat Sipil berdiri bersama mengecam pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyebut tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998.

    “Kekerasan seksual Mei 1998 bukan rumor belaka, lawan upaya culas negara dalam memutihkan dosa Orde Baru,” tutur Usman dalam pesan singkatnya, Sabtu (14/6/2025).

    Usman mengatakan, pernyataan Fadli Zon menunjukan sikap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama. Hal itu pun dinilai sebagai upaya mendiskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah melakukan penyelidikan atas peristiwa Mei 1998, dengan kekerasan seksual sebagai bagian di dalamnya.

    “Jelas keliru ucapan yang bilang perkosaan massal saat kerusuhan rasial 13-15 Mei 1998 adalah rumor dan tidak ada buktinya. Rumor adalah cerita atau laporan yang beredar luas di masyarakat tapi kebenarannya diragukan karena tidak ada otoritas yang mengetahui kebenarannya. Padahal waktu itu ada otoritas yang mengetahui kebenarannya, yaitu Tim Gabungan Pencari Fakta, yang dibentuk Presiden BJ Habibie selaku Kepala Negara,” jelas dia.

    Usman mengulas, TGPF pada 23 Juli 1998 dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung.

    Tim Gabungan itu bekerja dalam rangka menemukan dan mengungkap fakta, pelaku, dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei 1998. Mereka terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya.

    Sebagian rekomendasi TGPF pun dipenuhi Habibie, dengan membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan alias Komnas Perempuan. Presiden dan DPR RI saat itu juga meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, serta mengupayakan program perlindungan saksi dan korban melalui UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

  • Hambali Saat Ditangkap Tunjukkan Paspor Spanyol dan Thailand, Bukan RI

    Hambali Saat Ditangkap Tunjukkan Paspor Spanyol dan Thailand, Bukan RI

    Hambali Saat Ditangkap Tunjukkan Paspor Spanyol dan Thailand, Bukan RI
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan,
    Yusril Ihza Mahendra
    mengatakan bahwa pemerintah belum dapat memastikan kewarganegaraan dari Encep Nurjaman Riduan Isamuddin alias
    Hambali
    .
    Pasalnya saat Hambali ditangkap di Thailand, ia tak memiliki paspor Indonesia, melainkan menunjukkan paspor Spanyol dan Thailand.
    “Hambali ditangkap tidak menunjukkan paspor Indonesia, tetapi paspor Spanyol dan Thailand. Hingga kini, kita belum memperoleh data yang sahih dan dokumen resmi yang membuktikan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia,” ujar Yusril lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (14/6/2025).
    Fakta tersebut tentu menyulitkan pemerintah Indonesia dalam melihat status
    kewarganegaraan Hambali
    , yang sejak 2006 ditahan Amerika Serikat di fasilitas Guantanamo Bay, Kuba.
    “Yang saya katakan adalah Indonesia pada prinsipnya tidak mengenal adanya dwi kewarganegaraan. Jika ada WNI yang dengan sadar menjadi warga negara lain, dan memegang paspor negara lain, maka status kewarganegaraan Indonesianya (WNI) otomatis gugur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Yusril.
    Yusril menjelaskan, Indonesia menganut prinsip single citizenship yang diatur

    dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
    Pasal 23 UU tersebut menyebutkan, seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia jika yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
    Adanya ketentuan ini, apabila Hambali secara sah memperoleh kewarganegaraan lain dan tidak pernah memohon agar kembali menjadi WNI, maka secara hukum ia tak lagi berstatus WNI.
    Dengan keadaan demikian, maka pemerintah Indonesia berdasarkan UU Keimigrasian berwenang untuk menangkal warga negara asing yang dianggap merugikan kepentingan negara untuk memasuki wilayah negara RI.
    “Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang telah menjadi warga negara asing dan tidak ada permohonan resmi untuk kembali menjadi WNI, maka Indonesia tidak dapat mengklaimnya sebagai warga negara kita,” ujar Yusril.
    Dalam kasus Hambali, situasinya belum terang. Karena itu, posisi pemerintah Indonesia masih menunggu kejelasan status dan dokumen resminya,” sambungnya menegaskan.
    Hambali atau yang memiliki nama asli Encep Nurjaman Riduan Isamuddin lahir pada 4 April 1964. Ia diyakini sebagai penghubung Jemaah Islamiyah (JI) dan organisasi teroris Al Qaeda di Asia Tenggara.
    Ia disebut sebagai otak di balik peristiwa
    bom Bali
    pada 2002. Diketahui, peristiwa Bom Bali pada 2002 menghancurkan Sari Club dan Paddy’s Bar yang menewaskan 202 orang.
    Selain bom Bali pada 2002, Hambali juga merupakan orang yang mendanai aksi serangan bom di depan rumah Duta Besar (Dubes) Filipina di Jakarta, pada 1 Agustus 2000.
    Hambali juga diduga terlibat dalam peristiwa serangan bom di Atrium Senen, Jakarta, pada 1 Agustus 2001.
    Ia juga merupakan orang di belakang serangan bom Kedutaan Besar Australia (9 September 2004), bom Bali 2 (1 Oktober 2005), dan terakhir bom Marriot-Ritz Carlton (17 Juli 2009).
    Akhirnya, Hambali ditangkap dalam operasi gabungan CIA-Thailand di Ayutthaya, Thailand pada 14 Agustus 2003.
    Hambali kemudian dipindahkan ke penjara militer Amerika Serikat di Guantanamo, Kuba, pada September 2006, setelah ditahan di penjara rahasia milik CIA.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korupsi Akuisisi ASDP, KPK Siap Tahan Bos PT Jembatan Nusantara

    Korupsi Akuisisi ASDP, KPK Siap Tahan Bos PT Jembatan Nusantara

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan menahan Bos PT Jembatan Nusantara Group Adjie setelah kondisi kesehatannya membaik. Adjie merupakan salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) pada 2019-2022.

    Penahanan terhadap Adjie sempat ditunda karena yang bersangkutan tengah sakit dan dirawat di RS Polri. “Nanti tunggu sampai sembuh dahulu. Setelah itu, baru dilakukan upaya paksa lagi,” ujar Ketua KPK Setyo Budiyanto, Sabtu (14/6/2025).

    Setyo menegaskan, KPK tetap menghormati hak asasi manusia (HAM) sehingga tindakan penahanan tidak bisa dilakukan terhadap tersangka yang sedang sakit. “Sakit itu tidak bisa dipaksakan. Saya dapat laporan yang bersangkutan dibantarkan ke rumah sakit,” ucapnya.

    Sebelumnya, KPK memeriksa Adjie pada Rabu (11/6/2025). Seusai pemeriksaan, penyidik membantarkan penahanan Adjie dan membawanya ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut.

    Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan empat tersangka. Selain Adjie, ada Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi, Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono, serta Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Muhammad Yusuf Hadi. Seluruhnya sudah dicegah ke luar negeri.

    Tak hanya menetapkan tersangka, KPK juga telah menyita sejumlah aset mewah yang diduga berasal dari hasil korupsi. Di antaranya delapan bidang tanah dan bangunan, termasuk tiga rumah mewah di kompleks elite Surabaya senilai total Rp 500 miliar.

    Selain itu, turut disita uang tunai Rp 200 juta, perhiasan senilai Rp 800 juta, jam tangan mewah bertabur berlian, hingga cincin berlian eksklusif. Total nilai aset yang disita KPK sejauh ini mencapai Rp 1,2 triliun.

    “Seluruh aset ini diduga berasal dari tindak pidana korupsi dan akan dirampas untuk pemulihan kerugian negara,” ungkap Juru Bicara KPK Budi Prasetyo.

    KPK memperkirakan kerugian negara akibat kasus korupsi kerja sama dan akuisisi ini mencapai Rp 893 miliar. Jumlah tersebut kemungkinan masih bisa bertambah seiring pendalaman penyidikan.

    Kasus ini menjadi sorotan publik lantaran besarnya nilai kerugian negara serta banyaknya aset mewah yang berhasil disita. KPK menegaskan akan terus menelusuri aliran dana dan mempercepat proses hukum demi menyelamatkan uang negara.

  • Yusril: Status Kewarganegaraan Hambali Belum Dapat Dipastikan

    Yusril: Status Kewarganegaraan Hambali Belum Dapat Dipastikan

    Yusril: Status Kewarganegaraan Hambali Belum Dapat Dipastikan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan
    Yusril Ihza Mahendra
    menyampaikan, hingga saat ini status kewarganegaraan Encep Nurjaman Riduan Isamuddin alias
    Hambali
    belum dapat dipastikan secara hukum.
    “Belum dapat dipastikan
    status kewarganegaraan Hambali
    secara hukum,” kata Yusril dalam keterangan resmi, Sabtu (14/6/2025).
    Sejak 2003, Hambali ditahan oleh otoritas Amerika Serikat di fasilitas Guantanamo Bay, Kuba. Hambali dituduh militer Amerika Serikat terlibat dalam serangkaian tindakan terorisme internasional di berbagai negara.
    Hambali juga dituduh menjadi dalang di balik
    kasus bom Bali
    pada 2002. Hambali dikabarkan sedang diadili oleh pengadilan militer Amerika Serikat setelah lebih dari 20 tahun ditahan di Guantanamo.
    “Yang saya katakan adalah Indonesia pada prinsipnya tidak mengenal adanya dwi kewarganegaraan,” ujar Yusril.
    “Jika ada WNI yang dengan sadar menjadi warga negara lain, dan memegang paspor negara lain, maka status kewarganegaraan Indonesianya (WNI) otomatis gugur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” sambungnya.
    Saat ditangkap di Thailand, Hambali tidak memegang paspor dan tak menunjukkan identitas sebagai WNI. Ia justru menunjukkan paspor dari dua negara berbeda, yakni Spanyol dan Thailand.
    Kondisi tersebut yang membuat sulitnya upaya verifikasi yang akurat terkait status kewarganegaraan Hambali.
    “Hambali ditangkap tidak menunjukkan paspor Indonesia, tetapi paspor Spanyol dan Thailand,” jelas Yusril.
    “Hingga kini, kita belum memperoleh data yang sahih dan dokumen resmi yang membuktikan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia,” sambungnya menambahkan.
    Yusril menjelaskan, Indonesia menganut prinsip single citizenship atau kewarganegaraan tunggal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
    Pasal 23 UU tersebut menyebutkan, seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia jika yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
    Adanya ketentuan ini, apabila Hambali secara sah memperoleh kewarganegaraan lain dan tidak pernah memohon agar kembali menjadi WNI, maka secara hukum ia tak lagi berstatus WNI.
    Dengan keadaan demikian, maka pemerintah Indonesia berdasarkan UU Keimigrasian berwenang untuk menangkal warga negara asing yang dianggap merugikan kepentingan negara untuk memasuki wilayah negara RI.
    “Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang telah menjadi warga negara asing dan tidak ada permohonan resmi untuk kembali menjadi WNI, maka Indonesia tidak dapat mengklaimnya sebagai warga negara kita,” ujar Yusril.
    “Dalam kasus Hambali, situasinya belum terang. Karena itu, posisi pemerintah Indonesia masih menunggu kejelasan status dan dokumen resminya,” tegasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Fadli Zon Terbantahkan Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban Pemerkosaan '98
                        Nasional

    7 Fadli Zon Terbantahkan Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban Pemerkosaan '98 Nasional

    Fadli Zon Terbantahkan Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban Pemerkosaan 98
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS,com
    – Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    dalam beberapa waktu terakhir dikecam atas pernyataannya yang menyebut tidak adanya pemerkosaan pada
    kerusuhan Mei 1998
    .
    Fadli Zon mengatakan, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Namun, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkata lain dengan pernyataan Fadli Zon.
    Sebagai informasi, TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dibentuk berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara PEranan Wanita, dan Jaksa Agung.
    Adapun anggota TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya.
    Dalam laporan tersebut, TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan 1998.
    Bentuk kekerasan seksual dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).
    “Selain korban-korban kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei, TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan Mei. Kasus-kasus kekerasan seksual ini ada kaitannya dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan,” bunyi laporan tersebut.
    Berdasarkan hasil analisis TGPF, kekerasan seksual telah terjadi selama kerusuhan dan merupakan satu bentuk serangan terhadap martabat manusia yang telah menimbulkan penderitaan yang dalam dan rasa takut dan trauma yang luas.
    “Kekerasan seksual terjadi karena adanya niat tertentu, peluang, serta pembentukan psikologi massa yang seolah-olah membolehkan tindakan tersebut dilakukan sehingga melipatgandakan terjadinya perbuatan tersebut,” bunyi laporan TGPF.
    Laporan itu juga menjelaskan, adanya kesimpangsiuran terkait jumlah korban pemerkosaan jika mengacu pada hukum yang mensyaratkan adanya laporan korban, ada/tidaknya tanda-tanda persetubuhan, dan/atau tanda-tanda kekerasan serta saksi dan petunjuk.
    “Di pihak lain, keadaan traumatis, rasa takut yang mendalam serta aib yang dialami oleh korban dan keluarganya, membuat mereka tidak dapat mengungkapkan segala hal yang mereka alami,” bunyi laporan itu.
    Sejarawan dan aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia menilai, pernyataan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan pada kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah dusta.
    Ita yang pernah menjadi Tim Relawan Kemanusiaan yang digagas Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bercerita bahwa ia dan relawan lainnya sampai kewalahan menangani banyaknya pemerkosaan di Jakarta pada Mei 1998.
    “Jadi apa yang disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, itu adalah sebuah dusta,” kata Ita dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Jumat (13/6/2025).
    Ita menuturkan, seorang menteri semestinya mengembalikan memori atau ingatan sebagai reparasi untuk menyembuhkan trauma bangsa ini.
    “Untuk menyembuhkan trauma dari kaum perempuan yang menjadi korban. Tetapi justru dia menegasikan, menyangkal tentang peristiwa perkosaan Mei 1998,” tegas Ita.
    Oleh karena itu, Ita menuntut Fadli Zon untuk menyampaikan permintaan maaf kepada korban karena sampai saat ini masih tertekan dengan kasus pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Fadli Zon Terbantahkan Laporan TGPF: 52 Orang Jadi Korban Pemerkosaan '98
                        Nasional

    5 Fadli Zon Sebut Tak Ada Pemerkosaan Massal Mei 1998, Usman Hamid: Kekeliruan yang Fatal Nasional

    Fadli Zon Sebut Tak Ada Pemerkosaan Massal Mei 1998, Usman Hamid: Kekeliruan yang Fatal
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia,
    Usman Hamid
    , menyampaikan bahwa pernyataan Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    yang menyebut tidak ada pemerkosaan pada kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah kekeliruan yang fatal.
    “Fadli Zon menyatakan bahwa pemerkosaan selama kerusuhan Mei 1998 adalah rumor, pernyataan ini mengandung kekeliruan yang fatal,” kata Usman saat konferensi pers bersama para aktivis perempuan yang digelar secara daring, Jumat (13/6/2025).
    Menurut Usman, rumor merupakan cerita yang tidak dapat diterima sebagai bukti di pengadilan tanpa adanya otoritas yang mengetahui kebenarannya.
    Sementara itu, kasus pemerkosaan Mei 98 sudah diakui secara faktual oleh otoritas yang diputuskan bersama Menteri Pertahanan, Menteri Keamanan, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, hingga Jaksa Agung.
    “Jadi otoritas yang mengetahui kebenaran peristiwa itu, dengan demikian, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon kehilangan kredibilitasnya,” imbuhnya.
    Padahal, kata Usman, kasus pemerkosaan yang terjadi pada kerusuhan Mei 98 itu telah disimpulkan oleh Komnas HAM sebagai
    pelanggaran HAM
    berat.
    “Jadi kesimpulannya pemerkosaan massal itu ada, dan seluruhnya merupakan pelanggaran HAM,” ujarnya.
    Karena itu, menurut Usman, pernyataan Fadli Zon justru seperti penyangkalan terhadap sebuah pelanggaran HAM.
    “Satu saja perempuan diperkosa, itu adalah sebuah tragedi, itu adalah sebuah pelanggaran HAM. Jadi saya kira pernyataan menteri ini lebih tampil sebagai penyangkalan,” ucapnya.
    Sebelumnya, dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
    Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon.
    Fadli mengaku, pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
    Diketahui, saat ini pemerintah tengah menggodok penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan dari era Presiden Soekarno.
    “Jadi, yang kita inginkan tone-nya dari sejarah kita itu adalah tone yang positif. Dari era Bung Karno sampai era Presiden Jokowi dan seterusnya,” tutur dia saat ditemui di Cibubur, Depok, Jawa Barat, Minggu (1/6/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.