Potret Kaum Marginal di Jakarta: Diusir dari Kolong, “Terdampar” di Trotoar
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di trotoar sempit yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki, Ale (40) duduk bersandar pada dinding penuh coretan grafiti.
Terlihat barang-barang miliknya tas, kantong plastik, dan gerobak kayu menempel di sampingnya.
“Sudah hampir dua tahun saya di sini. Awalnya cuma numpang lewat nyari barang bekas, tapi lama-lama susah, jadi saya bertahan saja,” kata Ale warga kolong asal Bogor, saat ditemui
Kompas.com
di tepi rel Jalan Latuharhary, Menteng,
Jakarta
Pusat, Jumat (21/11/2025).
Tak jauh dari lokasi itu, tumpukan karung dan kantong plastik hitam berisi barang bekas tampak rapi, siap dijual kembali.
Seorang pria tampak memilah botol plastik, kardus, dan barang bekas lainnya, aktivitas yang menjadi sumber nafkah sehari-hari.
Dua gerobak kayu besar yang sudah usang berdiri di dekatnya, menjadi alat kerja sekaligus tempat penyimpanan.
Setelah beberapa kali dipindahkan dari kolong jembatan oleh petugas, mereka kini mengisi celah publik trotoar dan tepi rel untuk bertahan hidup.
Karno (50), asal Banyumas, Jawa Tengah, sudah hampir tiga tahun hidup di tepi rel setelah penertiban kolong jembatan dekat stasiun.
“Awalnya tidur di kolong jembatan, tapi sering ada penertiban. Akhirnya pindah ke tepi rel di sini. Agak aman, walau tetap harus waspada kalau malam,” ujar dia.
Sukinem (38), perempuan asal Brebes, menceritakan pengalamannya yang berbeda. Ia datang ke Jakarta sendiri, meninggalkan anak-anaknya yang tinggal bersama orang tua di kampung.
“Suami sudah tidak ada. Saya ke sini untuk cari uang. Kalau ada lebih, saya kirim. Tapi sehari-hari cukup buat makan. Kalau hujan atau banyak penertiban, ya tidak dapat apa-apa,” ujar dia sambil menata gerobak berisi kardus dan botol plastik.
Sementara Sarwono (42) memilih pertigaan setelah kantor Komnas HAM sebagai tempat tinggal sementara bersama istri dan anaknya.
“Kami tidur bertiga di pojokan pertigaan, pakai terpal dan kardus. Malam jarang tidur pulas, harus jaga anak dan barang. Dekat sini lebih mudah kerja, dekat kantor dan jalan-jalan Menteng,” ujar dia.
Bagi mereka, pindah ke trotoar dan tepi rel bukan pilihan ideal, tapi terpaksa karena tidak ada alternatif tempat tinggal.
Meski sempit dan berisiko, lokasi ini dianggap lebih aman daripada tidur di kolong jembatan yang sering menjadi sasaran penertiban.
Hidup di jalanan berarti harus kreatif mencari penghasilan.
Warga kolong mengandalkan barang bekas, botol plastik, kardus, dan sisa makanan dari pedagang pasar atau kantor di sekitar Menteng.
“Kalau ada acara kantor atau pasar buang botol plastik, satu gerobak bisa dapat Rp 15.000. Kalau sepi, cuma Rp 7.000,” kata Ale.
Pendapatannya juga tak menentu.
Jika sedang banyak barang bekas, ia bisa mengantongi Rp 50.000. Paling sedikit, ia mendapat Rp 10.000.
Uang tersebut hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Sementara Sukinem memiliki penghasilan yang lebih terbatas.
“Rata-rata Rp 30.000–40.000. Kalau hujan atau ada penertiban, ya tidak dapat apa-apa. Yang penting bisa dikirim sedikit ke anak di kampung,” ujarnya.
Pendapatan yang tidak menentu memaksa warga kolong hidup sederhana, berbagi barang, dan memaksimalkan apa yang mereka miliki.
Gerobak dan karung menjadi alat kerja sekaligus tempat penyimpanan sementara barang-barang mereka.
Kasatpol PP Jakarta Selatan, Nanto Dwi Subekti, memastikan penertiban dilakukan secara humanis.
“Saat ini kami hanya melakukan penjangkauan dan patroli rutin. Kalau ada yang bandel, baru dilakukan penertiban. Kalau kedapatan saat operasi PMKS, mereka dikirim ke panti sosial,” jelasnya.
Patroli rutin dilakukan tiap hari untuk menjaga ruang publik tetap aman.
Namun kenyataannya, warga kolong tetap kembali ke trotoar atau tepi rel karena tidak memiliki alternatif tempat tinggal permanen.
Ningsih (45), pemilik warung di dekat lintasan rel Jalan Guntur, mengamati fenomena ini dari dekat.
“Kalau hujan, mereka pergi sebentar, lalu balik lagi. Ada bantuan pemerintah, tapi memang tidak mengubah pilihan mereka. Tetap hidup di jalan,” ujarnya.
Warga sekitar sudah terbiasa melihat aktivitas warga kolong.
“Liat saja mereka, kadang ke Pasar Rumput berpindah-pindah. Ada yang sama anaknya, ada yang berdua sama istrinya, atau ada yang sendiri,” ujar Ningsih.
Sedangkan Riyan (31), ojek pangkalan di sekitar lokasi juga berpendapat mengenai keberadaan warga kolong.
“Kasihan sih, tapi hidup di Jakarta memang harus siap punya uang untuk tempat tinggal. Kalau tidak ada pilihan, mereka balik lagi ke kolong atau trotoar,” kata dia.
Bagi warga kolong, Menteng dan sekitarnya bukan hanya sekadar lokasi, tetapi juga sumber mata pencaharian.
“Kalau jauh dari sini, istri dan anak saya susah kalau hujan atau ada apa-apa. Dekat sini lebih mudah kerja mulung plastik dan kardus,” kata Ale.
Menurut pengamat perkotaan Yayat Supriyatna, warga kolong memilih lokasi strategis karena faktor ekonomi dan keamanan.
“Mereka memilih tempat yang relatif aman dari razia Satpol PP, tidak mengganggu permukiman warga, dan dekat dengan mata pencaharian,” ujar Yayat saat dihubungi Kompas.com, Jumat.
Keberadaan komunitas juga penting.
Dukungan komunitas memungkinkan warga kolong berbagi ruang, menjaga keamanan barang-barang mereka, dan mengurangi risiko gangguan dari aparat maupun warga sekitar.
Selain itu, lokasi yang dekat fasilitas umum, seperti WC publik atau taman, juga memudahkan mereka memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
“Gerobak berfungsi ganda sebagai tempat tinggal sekaligus alat kerja. Mereka memilih tempat dekat fasilitas umum untuk kebutuhan sanitasi,” tutur Yayat.
Menurut Yayat Supriyatna, strategi warga kolong mencerminkan adaptasi terhadap keterbatasan ekonomi dan ruang kota.
“Mobilitas mereka terbatas, radius aktivitas sekitar 1–3 km, dan biasanya menempati lokasi yang dianggap paling aman mulai jam 8 pagi hingga malam,” ujar dia.
Yayat menekankan, perilaku warga kolong tidak sekadar soal kemiskinan, tetapi juga tentang pemahaman terhadap ruang kota.
“Kelompok ini termarginalkan, namun mereka paham memilih tempat tinggal yang efisien, dekat mata pencaharian, aman dari gangguan, dan memiliki kemudahan sanitasi,” kata dia.
Lokasi yang dipilih bukan sembarangan.
“Mereka memahami wilayah itu secara teritorial, mengatur hidup secara kolektif, dan menempati lokasi pada jam-jam paling aman. Ini strategi bertahan hidup kelompok termarjinalkan yang sangat pragmatis,” ujar Yayat.
Fenomena warga kolong di Menteng dan sekitar lintasan rel menjadi contoh nyata kompleksitas urban Jakarta.
Kota yang berkembang pesat dengan kawasan elite tetap menyisakan ruang bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, memaksa mereka mengisi celah-celah kota yang bersifat publik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: HAM
-

Jika Berani Tunjukkan dan Buktikan Ijazahnya, Pakar Hukum Sebut Banyak Hal yang Tidak Perlu Terjadi
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum sekaligus eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (WamenkumHAM) era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Denny Indrayana, punya pernyataan menarik di tengah panasnya isu pembahasan ijazah palsu Joko Widodo.
Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, Denny Indrayana menyebut banyak hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Hal tersebut tidak perlu bahkan tidak harus terjadi, jika mantan Presiden Jokowi dari awal menunjukkan dan membuktikan ijazahnya asli.
Ini disebut Denny bisa saja tidak berkepanjangan jika dari awal berani ditunjukkan.
“Kalau Pak Jokowi sedari awal berani menunjukkan ijazah aslinya,” tulisnya dikutip Minggu (23/11/2025).
Beberapa yang tidak perlu bahkan tidak terjadi seperti proses pidana yang menjerat beberapa nama. Di mana banyak pihak meyakini hal tersebut adalah kriminalisasi.
Bahkan sampai rakyat harus dikorbankan hingga mendekam di penjara karena pembahasan isu ini.
“Tidak perlu ada proses pidana, dan tidak ada rakyat yang masuk penjara,” tuturnya.
Sebelumnya, Dokter Tifa, Roy Suryo, Rismon Sianipar dan lima orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka ditetapkan sebagai terangka dalam kasus tudingan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Seperti diketahui, Baru-baru ini Hakim MK, Arsul Sani, secara terbuka memperlihatkan ijazahnya usai muncul laporan terhadapnya. Arsul Sani bahkan mempersilakan awak media memotret ijazah itu.
Hal berbeda dilakukan oleh mantan presiden Jokowi. Bukannya memperlihatkan ijazah secara terbuka, ayah Wapres Gibran itu justru melaporkan sejumlah pihak yang meneliti ijazahnya.
-

PWI dan Polri kolaborasi gelar anugerah jurnalistik sambut HPN 2026
“Misalnya, kisah-kisah kecil yang tumbuh menjadi jejak kebaikan, langkah-langkah senyap anggota Polri yang menjelma kehadiran bagi masyarakat, dan tindakan-tindakan humanis yang lebih fasih berbicara daripada seribu pernyataan,”
Jakarta (ANTARA) – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat berkolaborasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menggelar Anugerah Jurnalistik PWI (AJP) menyambut Hari Pers Nasional (HPN) 2026 yang akan dipusatkan di Serang, Banten pada 9 Februari 2026.
Ketua Panitia Anugerah Jurnalistik PWI 2025 Eddy Iriawan dalam keterangan diterima di Jakarta, Minggu menjelaskan anugerah itu diharapkan menjadi jendela yang menampilkan sisi-sisi pengabdian Polri yang kerap luput dari sorotan publik.
“Misalnya, kisah-kisah kecil yang tumbuh menjadi jejak kebaikan, langkah-langkah senyap anggota Polri yang menjelma kehadiran bagi masyarakat, dan tindakan-tindakan humanis yang lebih fasih berbicara daripada seribu pernyataan,” ujarnya.
Eddy, yang juga Wakil Ketua III Departemen Hukum dan HAM PWI Pusat tersebut menyatakan lomba itu menjadi ruang bagi para pewarta untuk menangkap denyut kemanusiaan di balik tugas kepolisian.
“Kami mengambil tema besar ‘Profesionalisme dan Humanis Polri di Mata Pewarta Indonesia’. Lomba ini merupakan kolaborasi strategis yang sangat baik bagi wartawan untuk menangkap sisi-sisi humanis Polri. Kami mengajak seluruh jurnalis dari berbagai platform untuk menyajikan narasi inspiratif, sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya mereka menjaga keamanan sambil mengedepankan pelayanan publik,” tuturnya.
Eddy menjelaskan di tahun ini, AJP melombakan lima kategori, yaitu: televisi, media cetak, media daring, fotografi, dan infografis. Setiap karya dapat dikirimkan langsung ke Sekretariat PWI Pusat atau melalui alamat email yang telah ditentukan per kategori.
Sementara itu, Ketua Umum PWI Pusat yang juga Direktur Utama LKBN Antara Akhmad Munir mengatakan AJP diberikan kepada wartawan yang menghasilkan karya terbaik tentang pengabdian, profesionalisme, dan peran Polri dalam menjaga keamanan serta ketertiban masyarakat.
“Melalui AJP, kami ingin mendorong wartawan di seluruh Indonesia untuk menulis tentang profesionalisme dan dedikasi polisi dalam menjaga keamanan. Ini menjadi inspirasi dan edukasi bagi masyarakat,” ucap Munir.
Sedangkan, Ketua Panitia Hari Pers Nasional 2026 Zulmansyah Sekedang mengharapkan AJP tahun ini bukan sekadar kompetisi, melainkan ruang perjumpaan antara jurnalisme dan kemanusiaan serta menjadi kontribusi bagi terbangunnya citra aparat negara yang semakin profesional.
“Semoga penghargaan ini menjadi penyemangat bagi insan pers di seluruh Indonesia,” ujar Zulmansyah yang juga Sekjen PWI Pusat itu.
Untuk memastikan integritas dan kualitas karya, panitia AJP menetapkan beberapa syarat, yakni peserta adalah pewarta aktif dari berbagai platform media di Indonesia, karya jurnalistik yang diikutsertakan wajib sudah dipublikasikan di media masing-masing peserta (media cetak, elektronik atau daring) dalam periode waktu yang ditentukan.
Selanjutnya, setiap peserta wajib melampirkan bukti publikasi karya (misalnya clipping, link berita, atau tayangan siaran).
Adapun, alamat email pengiriman karya sesuai kategori, yaitu televisi.ajpwi@gmail.com (kategori televisi, mediacetak.ajpwi@gmail.com (media cetak, mediaonline.ajpwi@gmail.com (media daring, fotografi.ajpwi@gmail.com (fotografi, dan infografis.ajpwi@gmail.com (infografis).
Pengumpulan karya dimulai sejak 20 November 2025 hingga batas akhir pada 10 Januari 2026. Dilanjutkan dengan sidang dewan juri yang berlangsung pada 11-28 Januari 2026 untuk menyeleksi karya terbaik yang tidak hanya kuat secara jurnalistik, tetapi juga menghadirkan kedalaman makna.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Satu Data HAM Diluncurkan, Pemerintah Siapkan Tata Kelola Data Terpadu
Jakarta –
Menteri HAM Natalius Pigai menyatakan perlunya kebijakan pembangunan di Tanah Air disokong dengan data-data HAM yang akurat, mutakhir, dan terintegrasi. Dengan ini, Kementerian HAM meluncurkan Satu Data HAM, yakni sebuah inisiatif konkret untuk mengakhiri persoalan fragmentasi data HAM di Tanah Air.
“Penguatan tata kelola data merupakan fondasi penting dalam membangun peradaban HAM sebagaimana digagas Presiden Prabowo Subianto dalam Asta Cita,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (21/11/2025).
Hal tersebut ia sampaikan pada acara Kick off Satu Data HAM di Hotel Shangrila, Jakarta. Untuk diketahui, Inisiatif Satu Data HAM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi Satu Data Indonesia (SDI) sebagaimana diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019. Dalam penyusunan Satu Data HAM, Kementerian HAM berdialog secara intensif bersama Bappenas selaku dewan pengarah SDI dan BPS sebagai Pembina data.
Lebih lanjut, dalam acara bertajuk ‘Satu Tahun Prabowo-Gibran, Satu Data HAM’, Pigai menjelaskan platform Satu Data HAM memungkinkan kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk berbagi pakai data secara terstandar.
Hingga kini, sambung Pigai, Kementerian HAM telah merampungkan baik dari aspek regulasi melalui Permen HAM Nomor 13 Tahun 2025 tentang Satu Data HAM, Keputusan Menteri HAM Nomor MHA-1.TI.06.03 Tahun 2025 Tentang Penyelenggara Satu Data HAM, tampilan awal platform (mock up), hingga perencaaan tata Kelola data melalui Grand Design Satu Data HAM.
“Satu Data HAM ini adalah etalase pembangunan HAM di Indonesia, yang tidak hanya menggambarkan upaya perlindungan HAM yang dilakukan pemerintah tetapi juga meliputi pemenuhan dan penghormatan HAM,” ujar Pigai.
Lebih lanjut, Pigai memaparkan sejak berdiri pada 21 Oktober 2024 Kementerian HAM telah melakukan pemetaan menyeluruh terhadap tantangan penerapan HAM dalam kebijakan pembangunan. Dari proses tersebut, persoalan terkait data HAM yang tersebar dan tidak saling terhubung, baik di kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah dinilai masih menjadi masalah.
Dengan ini, dia mengajak seluruh kementerian/lembaga, pemerintah daerah hingga masyarakat sipil dan akademisi, untuk turut serta memberikan masukan dalam membangun Satu Data HAM. Pasalnya, Pigai yakin pembangunan ekosistem Satu Data HAM akan berdampak positif dalam upaya pemerintah untuk mendorong kebijakan pembangunan yang lebih mengedepankan keadilan dan kemanusiaan.
“Acara Kick-Off Satu Data HAM menjadi langkah awal menuju tata Kelola data HAM yang lebih baik. Dengan semangat kolaborasi nasional, Kementerian HAM berharap Satu Data HAM dapat menjadi salah satu fondasi atau pilar penting bagi peradaban HAM dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045,” pungkas Pigai.
Sementara itu, Kepala Pusat Data dan Informasi HAM Linda Pratiwi menyampaikan pihaknya telah mematangkan roadmap Satu Data HAM untuk lima tahun mendatang. Beberapa milestones hingga lima tahun ke depan telah disusun di antaranya penyusunan regulasi, Pembangunan infrastruktur, integrasi data-data HAM nasional, interoperabilitas layanan, pengembangan Artificial Intelligence, hingga penguatan Satu Data HAM sebagai bagian krusial dalam Pembangunan kebijakan HAM berbasis data.
“Mulai tahun depan, kami akan memulai konsolidasi data-data HAM bersama Kementerian dan lembaga hingga pemerintah daerah,” kata Linda.
Turut hadir di antaranya Irwasum Polri, Sekretaris Utama Badan Gizi Nasional, Sekretaris Kemenekraf, dan Plh. Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta, serta sejumlah pejabat eselon 2 kementerian dan Lembaga pada acara kick off Satu Data HAM.
(akn/ega)
-
/data/photo/2025/11/11/691318cf010fb.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Natalius Pigai Siap Fasilitasi Masyarakat yang Tak Puas dengan KUHAP Baru
Natalius Pigai Siap Fasilitasi Masyarakat yang Tak Puas dengan KUHAP Baru
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyatakan, Kementerian HAM siap menfasilitasi masyarakat yang tidak puas dengan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang baru disahkan DPR.
“Kita tetap berada dan berpijak kepada orang yang merasa aspek-aspek HAM-nya masih belum maksimal. Silakan menyampaikan pendapatnya, pikirannya, perasaannya, berdiskusi, dan berdialog dengan
Kementerian HAM
. Kementerian HAM akan memfasilitasi,” kata Pigai di Hotel Shangri-La, Jakarta, Jumat (21/11/2025).
Pigai mengatakan, Kementerian HAM akan terbuka untuk menyampaikan kepada pemerintah dan
DPR
mengenai aspek HAM yang belum ditampung dalam RKUHAP.
“Kementerian HAM terbuka pintu untuk menyampaikan kepada pihak-pihak yang berkewajiban untuk melakukan koreksi kalau di dalam KUHAP tersebut tidak mewadahi aspek-aspek yang beririsan dengan hak asasi manusia,” ujarnya.
Meski demikian, Natalius menilai proses penegakan hukum dalam KUHAP yang baru memiliki unsur HAM sebanyak 80 persen.
Dia mengatakan, selain menyampaikan kepada Kementerian HAM, masyarakat juga dapat melakukan uji materi atau
judicial review
ke Mahkamah Konstitusi (MK) bila tetap tidak puas dengan
KUHAP baru
.
“Oleh karena itu, kalau akan memperumit ruang hidup dan kebebasan serta hak asasi anak cucu kita dan cicit kita, maka silakan ajukan judicial review. Kementerian HAM tidak tanggung-tanggung memberi dukungan kalau hanya soal HAM,” ucap dia.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi undang-undang.
Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026, pada Selasa (18/11/2025).
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman dalam laporannya menyampaikan bahwa KUHAP memerlukan pembaruan untuk memperkuat posisi warga negara dalam hukum.
KUHAP baru yang telah disahkan DPR disebutnya telah mengakomodasi kebutuhan kelompok rentan; memperjelas syarat penahanan; perlindungan dari penyiksaan; penguatan dan perlindungan hak korban; kompensasi; restitusi; rehabilitasi; hingga keadilan restoratif.
“Di KUHAP yang lama, negara itu terlalu powerful, aparat penegak hukum terlalu powerful. Kalau di KUHAP yang baru, warga negara diperkuat, diberdayakan haknya, diperkuat melalui juga penguatan profesi advokat sebagai orang yang mendampingi warga negara,” ujar Habiburokhman membacakan laporan Komisi III dalam rapat paripurna.
KUHAP yang baru disahkan menjadi undang-undang dibutuhkan seiring bakal berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2026.
“Komisi III bersama rekan-rekan pemerintah mengucapkan syukur alhamdulillah atas telah selesainya pembahasan RUU tentang KUHAP yang sangat dibutuhkan seluruh penegak hukum di negeri ini yang akan mendampingi penggunaan KUHP,” ujar Habiburokhman.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Meta Bakal Nonaktifkan Akun Facebook & Instagram Anak di Bawah 16 Tahun di Australia
Bisnis.com, JAKARTA — Meta mulai mengirimkan pemberitahuan penonaktifan kepada pengguna Facebook dan Instagram berusia di bawah 16 tahun.
Langkah ini dilakukan menjelang penerapan aturan baru pemerintah Australia yang melarang anak di bawah usia tersebut menggunakan media sosial.
Melansir TechCrunch, Kamis (20/11/2025), Meta akan menutup akses akun yang sudah ada ketika kebijakan mulai berlaku pada 10 Desember 2025.
Selain itu, mulai 4 Desember, pengguna baru berusia di bawah 16 tahun tidak lagi bisa membuat akun.
Meta menyatakan akun yang dinonaktifkan akan tetap tersimpan dan dapat diakses kembali setelah pengguna berusia 16 tahun. Namun, tantangan terbesar bagi perusahaan adalah memverifikasi usia pengguna, mengingat banyak orang tidak memasukkan data umur secara akurat ketika mendaftar.
Celah keamanan sekecil apa pun berpotensi membahayakan data pribadi pengguna, termasuk dokumen resmi yang tersimpan dalam sistem. Kasus kebocoran data verifikasi pernah terjadi sebelumnya.
Pada tahun lalu, 404 Media mengungkap AU10TIX, perusahaan penyedia layanan verifikasi identitas yang digunakan TikTok dan Uber meninggalkan kredensial administratif terbuka di internet selama lebih dari setahun, sehingga data sensitif pengguna dapat diakses pihak tidak berwenang.
Aturan baru pemerintah Australia yang melarang anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial merupakan turunan dari amandemen Online Safety Act yang disahkan pemerintah federal Australia pada 29 November 2024.
Aturan ini mewajibkan platform media sosial melakukan upaya yang dinilai memadai untuk menegakkan larangan, dengan risiko denda hingga 50 juta dolar Australia bagi perusahaan yang tidak mematuhi.
Perdana Menteri Anthony Albanese menyatakan kebijakan tersebut bertujuan mengurangi dampak buruk media sosial terhadap anak, mengembalikan masa kecil mereka, serta memberi ketenangan bagi orang tua.
Dorongan regulasi ini didukung berbagai faktor. Pada Mei 2024, pemerintah membentuk Joint Parliamentary Select Committee untuk menyelidiki dampak media sosial terhadap masyarakat.
Pada periode yang sama, News Corp bersama gerakan 36months mengampanyekan peningkatan batas usia minimum menjadi 16 tahun dengan mengaitkan penggunaan media sosial pada peningkatan masalah kesehatan mental remaja.
Kampanye tersebut mendapat dukungan luas dari orang tua, politisi, pendidik, tenaga kesehatan, serta ditandatangani lebih dari 127.000 pendukung. Namun, kebijakan ini menuai penolakan dari 140 akademisi domestik dan internasional serta sejumlah organisasi kesehatan mental yang menilai larangan usia terlalu simplistis dan membutuhkan pendekatan regulasi yang lebih struktural.
Kelompok pegiat HAM juga menyatakan kebijakan tersebut berpotensi melanggar hak anak atas akses informasi dan privasi. Meski demikian, larangan ini mendapat dukungan bipartisan. Survei pada November 2024 menunjukkan 77% publik Australia mendukung kebijakan tersebut.
Menariknya, laporan akhir komite parlemen di bulan yang sama tidak merekomendasikan larangan usia, namun pemerintah tetap meloloskan aturan tersebut secara cepat dengan ruang konsultasi publik terbatas. Kebijakan ini akan berlaku penuh pada akhir 2025.
-

Gerak Cepat Reformasi Polri Tersandung Pengesahan UU KUHAP
Bisnis.com, JAKARTA — Langkah pemerintah untuk lakukan reformasi Polri tengah tersandung usai Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disahkan.
Presiden Prabowo Subianto telah membentuk tim yang dinamakan Komisi Percepatan Reformasi Polri pada 7 November 2025 melalui melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tim tersebut dibentuk tak lain ditugaskan untuk membawa perubahan bagi wajah Polri yang belakangan citranya tidak terlalu positif.
Namun, di tengah langkah memperbaiki citra Polri, pengesahan UU KUHAP baru dinilai justru bertolak belakang dengan langkah pembenahan lembaga penegak hukum tersebut.
Pasalnya, sejumlah pihak menyoroti sejumlah pasal yang dinilai dapat membuat polisi justru semakin kuat dan sewenang-wenang.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman membantah jika pasal-pasal yang dipersoalkan bakal membuat polisi menjadi semakin kuat tersebut tidak benar.
Dia menyebut poster-poster yang diunggah di media sosial soal jika RKUHAP disahkan, aparat kepolisian dapat melakukan penyadapan, penyitaan, hingga penangkapan tanpa izin hakim adalah produk hoax.
“Ada semacam poster di media sosial yang isinya tidak benar. Disebutkan kalau RKUHAP disahkan, polisi bisa melakukan (hal-hal tertentu) ke kamu tanpa izin hakim. Ini tidak benar sama sekali,” tegas Habiburokhman.
Sementara itu, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas mengatakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang yang menyesuaikan kebutuhan perkembangan zaman.
Pernyataan itu dia sampaikan saat menyampaikan pandangan pemerintah atas pengesahan RUU tersebut, Senin (18/11/2025), di Kompleks Parlemen.
“Kami mewakili Presiden menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, khususnya Komisi III DPR RI yang terhormat,” kata Supratman.
Menurutnya, KUHAP menjadi tonggak kemandirian hukum bangsa Indonesia, serta menegaskan prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Penjelasan dalam KUHAP dinilai relevan dengan perkembangan zaman saat ini dan dinamika sosial masyarakat. Menurutnya, pembaharuan KUHAP juga mampu membantu mengatasi kejahatan lintas negara, kejahatan siber, hingga meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
“RUU KUHAP memuat sejumlah pembaharuan mendasar yang disusun untuk menyesuaikan sistem hukum acara pidana dalam perkembangan zaman,” ujarnya.
Kontradiksi Reformasi Polri
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai alih-alih melakukan reformasi kepolisian, pemerintah bersama DPR justru tengah merancang dan mempercepat proses pengesahan produk legislasi, yakni KUHAP yang akan memperkuat monopoli kewenangan dan diskresi kepolisian sehingga semakin menjadikannya lembaga superpower.
Sementara mekanisme check and balances atau pengawasan terhadap kepolisian kian diperlemah. Situasi ini justru berlangsung belum lama berselang pasca komite yang bertujuan untuk melakukan pembenahan menyeluruh terhadap kepolisian ini ditetapkan.
Dalam laporannya disebutkan, kegagalan praktik penangkapan pelaku yang profesional dan akuntabel serta gagalnya upaya reformasi kepolisian selama ini, tidak dapat dilepaskan dari kegagalan dalam mengatur kewenangan kepolisian dan mendesain mekanisme pengawasan terhadap kepolisian yang selama ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dengan ketentuan KUHAP sebelumnya, berbagai kasus penyiksaan, salah tangkap, rekayasa kasus, kriminalisasi, penyalahgunaan kewenangan, penelantaran perkara, hingga diskriminasi dalam penegakan hukum kerap terjadi dan dilakukan oleh kepolisian menjalankan tugas dan fungsi konstitusionalnya dalam penegakan hukum, hal mana kerap dipotret dalam berbagai catatan berbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga negara independen.
“Sementara dengan Rancangan KUHAP saat ini justru memperkuat kendali dan monopoli kewenangan serta memperluas diskresi polisi, justru akan melanggengkan berbagai praktik penyalahgunaan wewenang (abuse of power), kegagalan penegakan hukum, hingga praktik impunitas oleh kepolisian,” tulis laporan tersebut.
-

Heboh Penerbangan Misterius, Israel Pindahkan Warga Gaza secara ‘Sukarela’?
Jakarta –
Bukan penerbangan pertama dari Israel, tetapi pastinya yang paling menyedot perhatian. Akhir pekan lalu, sebanyak 153 warga Palestina dari Gaza tiba di Afrika Selatan dengan pesawat sewaan dari Bandara Ramon, Israel. Mereka mendarat tanpa dokumen lengkap.
Dengan kontrol perbatasan yang begitu ketat -termasuk di wilayah Palestina yang harus mereka lintasi sebelum mencapai bandara -otoritas Afrika Selatan tak habis pikir bagaimana pesawat itu bisa lepas landas.
Belakangan, terungkap perjalanan itu diatur oleh sebuah organisasi bernama Al-Majd Europe.
Di situsnya, Al-Majd mengklaim mengurus “evakuasi kemanusiaan”. Namun sejak musim panas lalu, aktivis sudah mencium kejanggalan pada sejumlah penerbangan yang mereka kelola.
Organisasi bayangan
Al-Majd mengklaim berdiri di Jerman pada tahun 2010 dan kini berkantor di Yerusalem. Namun, pencarian di registri pemerintah Jerman maupun Israel tidak menemukan keberadaan organisasi tersebut.
Situsnya menggunakan foto-foto dari krisis di tempat lain, dan mengklaim sebagai milik mereka sendiri. Lokasi server tersembunyi oleh perangkat privasi. Sementara tombol “donasi” tak berfungsi. Penelusuran DW menemukan rekening Bitcoin yang mereka cantumkan hanya pernah menerima setara US$106 – bertolak belakang dengan klaim bahwa aktivitas al-Majd Europe hanya didanai dari donasi.
Para penumpang Palestina yang terbang ke Afrika Selatan mengaku membayar US$1.500–US$2.000, ditransfer ke rekening pribadi.
Dua perusahaan sewaan – Fly Yo dari Rumania dan Kibris Turkish Airlines dari Siprus – yang menerbangkan rombongan itu juga ternyata dimiliki pengusaha Israel.
Operasi pemerintah Israel?
Rangkaian fakta itu memicu kecurigaan aktivis, politisi, dan media Afrika Selatan bahwa Al-Majd berperan dalam rencana memindahkan warga Palestina dari Gaza.
“Laporan mengenai warga yang diterbangkan ke tujuan tak jelas oleh Al-Majd sangat mengkhawatirkan,” kata Tania Hary, Direktur Eksekutif Gisha, organisasi Israel untuk kebebasan bergerak warga Palestina. “Entitas yang meragukan ini tampak memanfaatkan keputusasaan orang dan mulai menggerakkan visi Israel soal transfer penduduk Palestina.”
Pada Februari 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana “Gaza Riviera”, yang mensyaratkan relokasi warga Gaza ke negara ketiga. Pada bulan yang sama, Al-Majd mulai beriklan di media sosial. Maret lalu, pemerintah Israel mengumumkan pembentukan “direktorat emigrasi sukarela” di bawah Kementerian Pertahanan.
Saat itu pun, kelompok-kelompok HAM di Israel sudah membunyikan alarm. Hingga kini, pegiat mengaku masih belum memiliki informasi mengenai aktivitas direktorat tersebut. Hary menyebut kebijakan “emigrasi sukarela” didukung politisi senior Israel, dan badan intelijen negara pernah mengirim pesan singkat ke warga Gaza, yang “mengundang mereka menjajaki opsi keberangkatan” ke luar negeri.
DW meminta klarifikasi Kementerian Pertahanan Israel soal kaitan dengan Al-Majd, tetapi tak ada jawaban hingga Selasa (18/11) malam.
‘Membantu orang untuk hidup’
DW berhasil menghubungi seorang pria bernama Omar, nomor yang tercantum di situs Al-Majd. Lewat WhatsApp, dia mengaku sebagai warga Palestina di Yerusalem, namun menolak menyebut nama lengkap dengan alasan keamanan.
Omar menyebut tudingan mengenai hubungan Al-Majd dengan pemerintah Israel berasal dari Hamas dan Otoritas Palestina – dua kelompok, katanya, yang tak ingin warga Gaza pergi.
Omar mengakui bahwa untuk membawa orang keluar Gaza menuju bandara di Israel, Al-Majd harus berkoordinasi dengan COGAT, badan di bawah Kementerian Pertahanan Israel yang mengatur urusan resmi Israel di Gaza.
“Saya membantu rakyat saya di Gaza, ini bukan emigrasi,” ujar Omar. “Saya membantu mereka yang ingin hidup, bukan mati di Gaza.”
Namun dia menolak menjawab pertanyaan sulit: hubungannya dengan Lind, bagaimana dia menyewa pesawat milik pengusaha Israel, tentang situs yang tidak bekerja, serta sumber keuangan Al-Majd. Omar juga “tak ingat” berapa banyak warga Gaza yang sudah dibawa keluar oleh Al-Majd.
Apakah Al-Majd terkait pemerintah Israel, hanya inisiatif warga yang mendukung kebijakan resmi, atau sekadar upaya mencari keuntungan – semuanya masih gelap.
Kerja sama aparat Israel
Yang pasti, operasi penerbangan gelap itu mustahil terjadi tanpa restu aparat keamanan Israel.
Sejak 1967, Israel membatasi ketat pergerakan warga Palestina, dengan kadar ketat–longgar tergantung tensi politik. Sebelum perang terakhir, warga Gaza hanya boleh keluar untuk bekerja, berobat, atau “kasus kemanusiaan luar biasa”.
Sejak blokade pulih total pasca serangan Hamas 7 Oktober 2023, keluar dari Gaza makin sulit – meski sejak diumumkannya direktorat emigrasi, media Israel melaporkan prosesnya sedikit lebih longgar.
Tak ada data resmi jumlah warga Gaza yang telah meninggalkan wilayah itu.
WHO mencatat 2.589 evakuasi medis tahun ini, dengan 5.000 pendamping. Awal 2024, lebih dari 100 ribu warga Gaza diduga sempat menyeberang ke Mesir. Namun sejak Mei, jumlahnya merosot.
Isu emigrasi yang sensitif
Kepergian warga Gaza adalah isu politik yang sarat sensitivitas.
“Setiap orang berhak hidup aman dan bermartabat di negaranya, berhak meninggalkan negara untuk alasan apa pun, dan berhak kembali,” kata Omar Shakir, Direktur Israel–Palestina di Human Rights Watch. “Masalahnya, pemerintah Israel punya rekam jejak panjang mencegah pengungsi Palestina kembali ke rumah.”
Pada Mei, survei Palestinian Center for Policy and Survey Research menyebut sekitar separuh warga Palestina di wilayah pendudukan ingin mengajukan emigrasi. Kolom komentar di TikTok Al-Majd dipenuhi seruan putus asa.
“Dalam kondisi Gaza yang hancur seperti hari ini, segala bentuk ‘dorongan’ tidak bisa disebut pilihan bebas,” kata Hary. “Lebih-lebih karena Israel tak menjamin orang yang pergi akan boleh kembali. Kondisi tak layak huni yang dipadukan dengan promosi ‘keberangkatan sukarela’ menandai pola transfer paksa yang dikemas sebagai pilihan.”
Transfer paksa masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan menurut hukum internasional.
“Tak ada unsur sukarela dalam kepergian warga Gaza saat ini,” kata Shakir. “Kebijakan pemerintah Israel memang bertujuan membuat Gaza tak layak dihuni, dan gencatan senjata tak mengubah itu.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Yuniman FaridTonton juga video “Israel Lancarkan Serangan Udara ke Gaza, 10 Orang Tewas”
(ita/ita)
-

Dosen UMY Sebut KUHAP Baru Berpotensi Langgar Konstitusi!
Yogyakarta, Beritasatu.com – Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan DPR kembali memicu polemik publik. Sejumlah pihak menilai aturan baru ini memberikan kewenangan besar kepada aparat penegak hukum tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, terutama terkait penyadapan, penahanan, dan penyitaan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Biantara Albab, mengkritisi sejumlah poin tersebut. Menurutnya, beberapa ketentuan justru mempertahankan pola lama yang cenderung dominatif dan membuka peluang penyalahgunaan kewenangan sehingga bertentangan dengan semangat pembaruan hukum.
“Masih ada aturan yang menanggalkan hak-hak warga negara. Ini menunjukkan produk hukum sangat dipengaruhi konfigurasi politik. Ketika konfigurasi politiknya demokratis, regulasinya aspiratif; jika condong otoriter, hasilnya dominatif dan jauh dari perlindungan hak-hak sipil,” ujar Bian pada Rabu (19/11/2025).
Dari perspektif hukum tata negara, Bian menilai beberapa ketentuan dalam KUHAP berpotensi melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 28D tentang hak atas kepastian hukum serta Pasal 28G mengenai hak atas rasa aman. Ia menegaskan perluasan kewenangan, seperti penyadapan dan penahanan tidak boleh dilakukan tanpa supervisi pengadilan karena berisiko menghilangkan mekanisme checks and balances.
“Jika penyadapan atau penahanan dilakukan tanpa keterlibatan pengadilan, berarti tidak ada kontrol institusional. Warga negara bisa menjadi korban penyadapan atau penangkapan tiba-tiba tanpa mekanisme pengawasan dan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi serta konstitusi,” tegasnya.
Tidak hanya substansi aturan, Bian juga menyoroti proses legislasi yang dinilai minim ruang dialog publik. Padahal, dalam negara demokratis, penyusunan undang-undang harus dilakukan secara inklusif agar tidak multitafsir dan tidak menimbulkan risiko penyalahgunaan di lapangan.
Dalam situasi seperti ini, Bian menekankan pentingnya masyarakat memahami hak-hak dasar ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum. Pemahaman tersebut menjadi perlindungan awal untuk mencegah potensi tindakan sewenang-wenang.
“Masyarakat harus tahu batas kewenangan aparat dan potensi pelanggaran HAM yang mungkin muncul. Semakin paham masyarakat, semakin sempit ruang bagi abuse of power,” tutupnya.
/data/photo/2025/11/21/692042d08945d.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/18/691c619dd37af.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)