Kasus: Demam berdarah dengue

  • Kemenkes: 131 Ribu Orang Indonesia Kena DBD Sepanjang 2025, Meninggal 544 Jiwa

    Kemenkes: 131 Ribu Orang Indonesia Kena DBD Sepanjang 2025, Meninggal 544 Jiwa

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI mencatat mulai Januari hingga akhir Oktober 2025 ada sebanyak 131.393 kasus demam berdarah dengue (DBD) dengan 544 kematian. Angka itu membuat Indonesia menjadi penyumbang sekitar 7 persen dari kasus DBD global.

    “Cukup besar dan sangat memprihatinkan,” kata Plt Dirjen Pengendalian Penyakit Kemenkes, Murti utami dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/11/2025).

    Murti menambahkan penyumbang kasus terbanyak DBD ditempati oleh wilayah Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta, yang padat penduduk. Di samping itu angka kejadian dan kematian akibat DBD di Indonesia disebutnya cenderung menurun dari tahun sebelumnya.

    “Saya nggak mau bilang kita harus berbangga hati karena kematian itu nggak boleh ada. Tetapi untuk kasus dengue kalau kita bandingkan 2024 memang terjadi penurunan yg cukup signifikan hampir 50 persen,” ungkap dia.

    Salah satu tantangan terbesar dalam penanggulangan demam berdarah dengue adalah sifat penyakitnya yang sering tidak menunjukkan gejala spesifik di awal infeksi.

    Gejala awalnya sering mirip dengan flu biasa, seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, dan ruam. Namun, dalam beberapa kasus, penyakit ini dapat berkembang menjadi dengue hemorrhagic fever (DHF) atau dengue shock syndrome (DSS), yang keduanya dapat berakibat fatal.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan dr Lily Krenowati menyebut di periode Januari-Agustus 2025, pembiayaan kasus dengue mencapai Rp 1,3 triliun. Sementara itu di tahun 2024, BPJS Kesehatan mengeluarkan sekitar Rp 2,9 triliun untuk penanganan DBD.

    “Proyeksi kami (pembiayaan DBD di tahun 2025) akan melebihi tahun 2024,” tandas dia.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • 10.000 pelajar di Jaksel bakal divaksin DBD

    10.000 pelajar di Jaksel bakal divaksin DBD

    Jakarta (ANTARA) – Sebanyak 10.000 pelajar Kelas 3 dan 4 Sekolah Dasar (SD) di Jakarta Selatan bakal disuntik vaksin Demam Berdarah Dengue (DBD).

    “Sebanyak 20.000 dosis vaksin dengue (vaksin DBD) akan diberikan kepada 10.000 pelajar Kelas 3 dan 4 SD di wilayah Kota Jakarta Selatan,” kata Asisten Perekonomian dan Pembangunan Kota Administrasi Jakarta Selatan, Sayid Ali saat dikonfirmasi di Jakarta, Ahad.

    Sayid mengatakan, pemberian vaksin ini sebagai upaya untuk menurunkan angka kasus DBD di Jakarta Selatan (Jaksel).

    Vaksin yang diberikan bermerek Qdenga dari Takeda Vaccines Inc. Pemberian Vaksin DBD dilaksanakan sebanyak 2 tahap.

    Tahap pertama dilakukan untuk sebanyak 10.000 dosis dan tiga bulan setelahnya masuk tahap kedua sebanyak 10.000 dosis lagi. Setiap anak diberikan vaksin masing-masing dua dosis.

    “DBD masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat, tanpa memandang usia maupun status sosial,” ujarnya.

    Terkait teknis pelaksanaan, kegiatan ini melibatkan sebanyak sembilan Puskesmas di Jakarta Selatan, 106 SD serta 10 rumah sakit rujukan.

    Pemerintah Kota Administrasi Jaksel berkomitmen mendukung pelaksanaan penelitian ini melalui koordinasi lintas sektoral, pemantauan aktif kasus serta menggerakkan partisipasi masyarakat.

    Terkait hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meluncurkan Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue sebagai langkah strategis dalam memperkuat perlindungan masyarakat dari ancaman DBD.

    Data Kementerian Kesehatan RI mencatat hingga 22 September 2025, terdapat 7.274 kasus DBD di Jakarta dengan 12 kematian.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Waspada Petaka Akhir Tahun Hantam Jakarta, Ini Peringatan BMKG

    Waspada Petaka Akhir Tahun Hantam Jakarta, Ini Peringatan BMKG

    Jakarta CNBC Indonesia – Dalam laporan ‘Prediksi Musim Hujan 2025/2026 di Indonesia’, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan terkait fenomena musim hujan di Indonesia yang terjadi dalam waktu tidak bersamaan.

    Dibandingkan kondisi normal, musim hujan 2025/2026 diprediksi datang lebih awal di sebagian besar wilayah Indonesia, dimulai pada September hingga November 2025.

    Adapun puncak musim hujan akan terjadi pada November-Desember 2025 di Indonesia bagian barat, lalu pada Januari-Februari 2026 di Indonesia bagian selatan dan timur.

    Fenomena La Nina yang terjadi ketika suhu permukaan laut di Pasifik Tengah Ekuator lebih dingin dari biasanya, diprediksi akan datang di akhir 2025. La Nina dapat meningkatkan curah hujan di Indonesia, terutama jika suhu perairan lokal hangat.

    Melihat kondisi cuaca di Indonesia, BMKG memberikan beberapa rekomendasi. Salah satu yang ditekankan adalah di sektor kesehatan, lebih spesifik terkait wabah demam berdarah (DBD) di Jakarta.

    “Prediksi menunjukkan kecocokan iklim untuk DBD meningkat tinggi pada Desember 2025-Januari 2026, dengan kelembapan lebih dari 80% dan risiko tinggi di Jakarta Utara, Selatan, dan Timur,” dikutip dari laporan BMKG, Kamis (9/10/2025).

    Untuk itu, BMKG mengimbau agar dilakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), larvasidasi, fogging, fokus, penyuluhan, serta monitoring melalui sistem peringatan dini DBD BMKG, yang bisa diakses melalui laman ini.

    Bukan cuma dari sektor kesehatan, BMKG juga memberikan rekomendasi di sektor pertanian, perkebunan, dan lingkungan secara umum.

    Di sektor pertanian, BMKG mengingatkan soal prediksi awal musim hujan di sentra produksi padi di Jawa dan Sumatera Selatan pada September-November 2025.

    “Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian jadwal tanam agar tidak bertepatan dengan periode puncak musim hujan, pemilihan varietas tahan genangan, perbaikan irigasi, serta dukungan pemerintah melalui benih cadangan, informasi iklim, dan asuransi pertanian,” tulis BMKG.

    Di wilayah perkebunan sawit, BMKG memprediksi sebagian Sumatera dan Kalimantan memperoleh hujan berlebih, sementara bagian utara Sumatera dan Kalimantan Barat lebih kering.

    Untuk itu, BMKG mengimbau adanya pengendalian hama secara intensif, pengelolaan drainase, penyesuaian pemupukan untuk mengurangi pencucian nutrisi, serta pemanfaatan air hujan.

    Meski sebagian besar wilayah perlu mewaspadai dampak curah hujan, tetapi ada beberapa wilayah yang sifat hujannya di bawah normal, yakni Sumatera Utara, Maluku, dan Papua bagian Selatan.

    Wilayah-wilayah tersebut berpotensi mengalami kekurangan air irigasi. Untuk itu, diperlukan efisiensi penggunaan air, penggunaan varietas tahan kering, penyesuaian pola tanam dengan prediksi BMKG, serta sosialisasi ke petani dan antisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

    Secara garis besar, BMKG mengatakan musim hujan membawa kelembapan tinggi yang memicu ketidaknyamanan termal, terutama di perkotaan.

    “Untuk itu, perlu optimalisasi drainase dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), perbaikan sirkulasi udara, serta peningkatan edukasi masyarakat untuk menjaga hidrasi dan adaptasi pakaian,” BMKG menuturkan.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Brasil Bangun ‘Pabrik Nyamuk’, Produksi Ratusan Juta Wolbachia demi Cegah DBD

    Brasil Bangun ‘Pabrik Nyamuk’, Produksi Ratusan Juta Wolbachia demi Cegah DBD

    Jakarta

    Brasil belum lama ini meresmikan ‘pabrik nyamuk’ wolbachia yang digunakan untuk mengatasi peredaran demam berdarah dengue (DBD). Pabrik bernama Oxitec yang terletak terletak di Campinas, negara bagian Sao Paulo Brasil dan memiliki luas 1.300 meter persegi itu dapat memproduksi sekitar 190 juta nyamuk tiap minggu.

    Dalam pabrik tersebut, nyamuk aedes aegypti penyebab DBD ‘disuntikkan’ bakteri wolbachia untuk mencegah virus dengue berkembang dalam tubuh nyamuk. Mekanisme ini yang membuat DBD bisa dicegah.

    Menurut data Oxitec, penurunan penularan dengue mencapai lebih dari 75 persen. Teknologi ini telah diakui secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan diadopsi oleh Kementerian Kesehatan Brasil sebagai bagian dari Program Nasional Pengendalian Dengue.

    Dikutip dari Oddity Central, ketika nyamuk-nyamuk ini berkembang biak, bakteri itu akan diturunkan juga pada keturunannya.

    Produksi nyamuk di pabrik Campinas dimulai dengan ribuan nampan berisi air bersuhu teratur, tempat larva berkembang. Setelah menjadi nyamuk dewasa, mereka dipindahkan ke dalam kandang dan diberi makanan favorit mereka, meliputi larutan gula dalam bola kapas untuk nyamuk jantan dan darah hewan yang disimpan dalam kantong menyerupai kulit manusia untuk nyamuk betina.

    Nyamuk-nyamuk itu hidup selama 4 minggu dalam kandang. Di situ, mereka berkembang biak dan bertelur di nampak yang diletakkan di dasar kandang.

    Metode wolbachia ini telah berhasil di beberapa negara lain. Namun, Brasil ingin membuat skala yang lebih luas. Ini dilakukan lantaran kasus DBD di Brasil meningkat tiap tahun. Pada tahun 2024 misalnya, Brasil mengalami wabah DBD paling parah dalam sejarah, menyumbang 80 persen kasus DBD dunia.

    “Brasil telah mengalami wabah dengue yang menghancurkan dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan untuk bertindak tidak pernah sebesar ini. Dengan kompleks baru di Campinas, kami siap mendukung perluasan program Wolbachia dari Kementerian Kesehatan, memastikan teknologi ini menjangkau masyarakat di seluruh negeri secara efisien dan hemat biaya,” kata direktur Oxitec Brasil, Natalia Verza Ferreira.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Orang Tua Wajib Tahu, Ini 4 Perbedaan Bintik Merah DBD & Biang Keringat

    Orang Tua Wajib Tahu, Ini 4 Perbedaan Bintik Merah DBD & Biang Keringat

    Jakarta

    Saat muncul bintik merah pada kulit anak, orang tua seringkali cemas. Anda mungkin akan khawatir apakah itu tanda Demam Berdarah Dengue (DBD) atau biang keringat biasa?

    Meski sekilas terlihat mirip, namun keduanya memiliki ciri khas berbeda. Karena itu dengan mengenali perbedaannya dapat membantu para orang tua untuk memberikan penanganan yang tepat, serta melindungi Si Kecil dari bahaya DBD.

    Perlu dipahami, DBD yang disebabkan gigitan nyamuk Aedes Aegypti jika terlambat ditangani bisa mengancam nyawa. Simak ulasan berikut tentang perbedaan antara bintik merah akibat DBD dan biang keringat.

    1. Waktu Muncul

    Umumnya bintik merah yang menjadi gejala DBD akan muncul pada hari ke-3 hingga ke-5 setelah demam, sebagai tanda pecahnya pembuluh darah kecil di bawah kulit. Sementara bintik merah biang keringat muncul segera setelah berkeringat. Terlebih dalam cuaca panas atau saat menggunakan pakaian yang tidak menyerap keringat.

    2. Lokasi Bintik Merah

    Bintik merah DBD menyebar di seluruh tubuh, terutama di lengan, kaki, wajah, dan dada. Bintik ini tidak terbatas pada area tertentu. Pada biang keringat, bintik merah biasanya terkonsentrasi di area lipatan kulit, seperti leher, ketiak, selangkangan, atau punggung.

    3. Bentuk dan Ukuran

    Bintik merah DBD relatif kecil, rata, dan menyebar luas. Terkadang tampak seperti ruam tanpa tonjolan. Biang keringat berbentuk bintik menonjol kecil, sering berkelompok seperti butiran pasir.

    4. Warna

    Jika diperhatikan dengan seksama, bintik merah DBD dan biang keringat memiliki warna yang sedikit berbeda. Bintik merah DBD cenderung berwarna merah terang atau gelap akibat pecahnya pembuluh darah. Sedangkan biang keringat berupa bintik berwarna merah muda hingga kemerahan, sesuai dengan tingkat iritasi pada kulit.

    Tak hanya itu, orang tua bisa memperhatikan gejala lain yang menyertai. Apabila anak mengidap DBD, selain bintik merah, biasanya juga disertai demam tinggi, nyeri otot atau sendi, mual, dan lemas.

    DBD membutuhkan penanganan medis segera karena ini bisa berkembang menjadi kondisi serius seperti dengue shock syndrome. Jika terdapat satu dari beberapa tanda bahaya DBD, seperti nyeri perut hebat, mimisan atau gusi berdarah, muntah terus menerus, sebaiknya segera bawa anak ke dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

    Selalu ingat bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Lindungi keluarga tercinta dari risiko DBD dengan HIT Aerosol yang 5x lebih efektif membunuh nyamuk seketika. Produk ini memiliki double nozzle sehingga mampu menjangkau ke seluruh ruangan, bahkan hingga ke lokasi tersembunyi nyamuk seperti bawah meja, belakang lemari, dan sudut ruangan.

    (anl/ega)

  • 500 Kasus DBD Tangsel, Wali Kota Genjot Program Pemantauan Jentik
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        29 September 2025

    500 Kasus DBD Tangsel, Wali Kota Genjot Program Pemantauan Jentik Megapolitan 29 September 2025

    500 Kasus DBD Tangsel, Wali Kota Genjot Program Pemantauan Jentik
    Penulis
    TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com
    – Jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) di Tangerang Selatan sepanjang Januari hingga September 2025 mencapai sekitar 500 orang.
    Untuk menekan angka tersebut, Wali Kota Benyamin Davnie menggenjot program Jumantik (Juru Pemantau Jentik) sebagai langkah pencegahan utama.
    “Dengan satu rumah satu orang memantau, kita bisa menekan angka DBD serendah mungkin,” ujar Benyamin saat dikonfirmasi
    Kompas.com
    , Senin (29/9/2025).
    Menurut Benyamin, pentingnya peran warga dalam memeriksa jentik nyamuk Aedes aegypti di rumah masing-masing.
    Dengan demikian, ia meminta seluruh kecamatan sudah melakukan silent surveillance.
    “Seluruh kecamatan sudah melakukan silent surveillance, diam-diam diperiksa. Biasanya jentik nyamuk ada di air bersih, di bawah kulkas, di bawah dispenser, di tempat makanan binatang, bahkan di bak mandi,” jelas Benyamin.
    Ia menekankan, masyarakat sering mengandalkan fogging saat ada kasus DBD, padahal fogging hanya membunuh nyamuk dewasa, sementara jentiknya tetap ada.
    Pemantauan jentik secara rutin di tiap rumah diharapkan memutus rantai penyebaran nyamuk sejak tahap awal.
    Selain itu, Benyamin menegaskan bahwa angka kasus DBD di Tangsel menunjukkan tren penurunan, meski pihaknya ingin menekannya lebih rendah agar kesehatan masyarakat tetap terjaga.
    “Sampai dengan hari ini jumlah penderita DBD kita 500-an. 500-an angkanya. Memang terus menurun ya. Terus angkanya sementara itu trennya menurun,” ujar Benyamin.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemkab sosialisasi program Wolbachia cegah DBD di Kepulauan Seribu

    Pemkab sosialisasi program Wolbachia cegah DBD di Kepulauan Seribu

    Jakarta (ANTARA) –

    Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Seribu menyosialisasikan program Wolbachia sebagai upaya mencegah penyebaran penyakit demam berdarah dengue (DBD) di daerah kepulauan tersebut.

    “Kegiatan sosialisasi ini penting untuk dilakukan sebagai bentuk pencegahan terkait penyebaran penyakit DBD di wilayah Kepulauan Seribu,” kata Wakil Bupati Kepulauan Seribu, Aceng Zaeni di Jakarta, Senin.

    Menurut dia, hari ini pihaknya melakukan edukasi kepada puluhan Aparatur Sipil Negeri (ASN) yang digelar di Gedung Mitra Praja, Jakarta Utara. Mobilisasi ini merupakan komitmen Pemkab Kepulauan Seribu untuk menekan penyebaran DBD.

    “ASN ini nanti akan menyampaikan pesan dari program ini kepada masyarakat dan juga ikut berperan dalam menyukseskan program ini.

    Menurut Aceng, kesadaran dan pengetahuan tentang penyebaran DBD di wilayah Kepulauan Seribu perlu dilakukan secara luas agar bisa mencegah penyebaran penyakit menular tersebut.

    “Tergetnya jelas agar tidak ada lagi kasus di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu,” kata dia.

    Sementara itu, Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Suku Dinas Kesehatan Kepulauan Seribu drg Wenny Ichwaniah mengatakan kegiatan sosialisasi dilakukan untuk memperkuat pengetahuan tentang penyakit DBD.

    Menurut dia, penyebaran DBD bisa berdampak pada kematian sehingga perlu menjadi perhatian dan diantisipasi semua pihak.

    “Kabupaten Kepulauan Seribu menyiapkan langkah melalui Wolbachia yang diharapkan bisa menekan penyebaran DBD,” kata dia

    Sebelumnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi meluncurkan program penanggulangan DBD dengan nyamuk Aedes Aegypti ber-Wolbachia di Kembangan Utara, Kembangan, Jakarta Barat, pada Oktober 2024.

    Kecamatan Kembangan dipilih sebagai lokasi pertama pelepasan atau penyebaran nyamuk ber-Wolbachia karena memiliki angka kasus DBD tertinggi pada 2023 dengan tingkat insiden (incidence rate) 54,1 per 100.000 penduduk.

    Adapun kasus DBD di Jakarta pada Januari hingga Maret 2025 ini sebanyak 1.416 kasus atau turun dibandingkan periode yang sama 2024, yakni 1.729 kasus. Kasus DBD terus melandai hingga Mei mendatang atau tak setinggi tahun lalu.

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 7.892 Kasus DBD Ditemukan di Lampung, 22 Orang Meninggal Dunia

    7.892 Kasus DBD Ditemukan di Lampung, 22 Orang Meninggal Dunia

    Liputan6.com, Jakarta – Dinas Kesehatan Provinsi Lampung mencatat sebanyak 7.982 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi sepanjang Januari hingga Juli 2025. Dari jumlah tersebut, 22 pasien dilaporkan meninggal dunia.

    “Data hingga minggu ke-31 atau akhir Juli 2025 menunjukkan sudah ada 7.982 warga terserang DBD. Sebanyak 22 di antaranya meninggal dunia,” kata Kepala Dinas Kesehatan Lampung, Edwin Rusli, Selasa (9/9/2025).

    Edwin bilang, ribuan kasus tersebut tersebar di 15 kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Lampung Utara menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi mencapai 1.913 kasus, disusul Lampung Tengah sebanyak 834 kasus.

    “Kasus DBD menyerang warga dari berbagai kelompok usia. Berdasarkan data yang kami terima, kelompok usia 14-40 tahun mendominasi dengan 44,8 persen kasus,” ungkap dia.

  • Godrej Ajak 20.000 Siswa SD Jadi ‘Pahlawan’ Pencegah DBD

    Godrej Ajak 20.000 Siswa SD Jadi ‘Pahlawan’ Pencegah DBD

    Jakarta

    Godrej Consumer Products Indonesia (GCPI) melalui brand HIT melanjutkan gerakan ‘Merdeka dari DBD’ dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan Hari Nyamuk Sedunia.

    ‘Merdeka dari DBD’merupakan kampanye edukasi interaktif yang membekali siswa sekolah dasar dengan pengetahuan dan kebiasaan hidup bersih untuk mencegah penyebaran demam berdarah dengue (DBD).

    GCPI berkomitmen menghapus penyakit yang ditularkan melalui vektor yang sejalan dengan visi keberlanjutan Good & Green. Di India, program EMBED telah berhasil melawan malaria; sementara di Indonesia, inisiatif ini fokus memberantas DBD.

    Corporate Communication & Sustainability Head, GCPI, Wahyu Radita, menegaskan bahwa peringatan Hari Kemerdekaan tidak hanya dimaknai sebagai perjuangan di medan perang, tetapi juga sebagai upaya melawan berbagai ancaman kesehatan, termasuk demam berdarah.

    “Momentum Hari Kemerdekaan mengingatkan kita bahwa perjuangan tidak hanya di medan perang, tetapi juga melawan ancaman kesehatan. Dengan edukasi yang tepat, kita membekali generasi muda untuk menjadi pahlawan di lingkungannya, melindungi diri, keluarga, dan bangsa dari DBD,” ujar Wahyu dalam keterangan tertulis, Jumat (22/8/2025).

    Melalui tokoh Super HITO, pahlawan pembasmi nyamuk, para siswa diajak belajar siklus hidup nyamuk, mengenali habitat berkembangbiaknya, dan mempraktikkan langkah pencegahan DBD seperti 3M Plus dan menjaga kebersihan rumah serta lingkungan.

    Godrej Ajak 20.000 Siswa SD Edukasi Pencegahan DBD. Foto: dok. Godrej

    Direktur Penyakit Menular Kemenkes RI, dr. Ina Agustina Isturini, M.K.M, menyoroti tingginya kasus demam berdarah di Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa kelompok usia anak 5-14 tahun menjadi yang paling rentan mengalami kematian akibat penyakit ini.

    “Kasus demam berdarah di Indonesia masih sangat tinggi. Yang memprihatinkan, angka kematian banyak terjadi pada anak usia 5-14 tahun. Pencegahan DBD harus dimulai dari kesadaran masyarakat, terutama anak-anak,” ujar dr. Ina.

    Hingga pertengahan 2025, tercatat lebih dari 67.000 kasus di seluruh Indonesia. Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus terbanyak, yaitu lebih dari 10.000 kasus. Jumlah ini mengingatkan bahwa ancaman DBD belum reda, dan pencegahan perlu dilakukan sejak dini.

    Adapun Dokter Spesialis Anak, dr. Miza Afrizal, p.A, Bmedsci.Mkes, menekankan pentingnya memahami fase kritis dalam demam berdarah. Ia menjelaskan bahwa tanda bahaya biasanya muncul sekitar 72 jam setelah demam, sehingga pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terlalu dini bisa memberikan hasil yang tampak normal dan menimbulkan rasa aman palsu bagi orang tua.

    “Di DBD, tanda bahaya justru muncul saat masuk fase kritis, sekitar 72 jam setelah demam mulai. Kalau lab dilakukan terlalu dini, hasilnya bisa kelihatan aman padahal bahayanya belum muncul. Kalau dicek terlalu cepat, risikonya adalah rasa aman palsu. Kemarin lab ‘bagus’, hari ini anak drop, tapi orang tua tenang karena percaya hasil kemarin. Maka, ingat 72 jam itu bukan 3 hari. Dan dalam DBD, timing bisa menyelamatkan nyawa,” jelasnya.

    Untuk itu, edukasi bukan hanya pencegahan,namun juga menekankan pentingnya deteksi dini yang tepat waktu. Banyak orang tua ingin cepat memeriksa lab saat anak demam, namun dalam kasus DBD, waktu pengecekan menjadi sangat krusial.

    Kepala Seksi SD Sudin Pendidikan Wilayah 1 Kota Adm. Jakarta Timur, Riswan Desri, Plt. memberikan apresiasi terhadap inisiatif GCPI yang mengajarkan pencegahan DBD dengan metode interaktif. Ia menilai keterlibatan siswa SD dalam program tersebut penting karena dapat membentuk generasi yang peduli terhadap kesehatan lingkungan.

    “Kami sangat mengapresiasi inisiatif GCPI yang mengajarkan pencegahan DBD secara interaktif. Dengan melibatkan siswa SD, kita mencetak generasi yang peduli kesehatan lingkungan dan mampu menularkan kebiasaan hidup bersih ke keluarga serta masyarakat,” katanya.

    Sebagai informasi, kegiatan edukasi diikuti oleh 500 siswa dan 25 relawan, dengan target ambisius untuk menjangkau 50.000 siswa SD di seluruh Indonesia pada tahun 2027. Hingga kini, lebih dari 20.000 siswa telah mendapatkan edukasi ini.

    Kegiatan ini terselenggara berkat dukungan dari Kementerian Kesehatan RI (P2P), Dinas Pendidikan DKI Jakarta, dan Puskesmas setempat. Beberapa siswa yang telah mengikuti program ini ditunjuk sebagai Sahabat Super HITO, agen perubahan di lingkungannya, menyebarkan ilmu pencegahan DBD kepada teman-teman dan keluarga di rumah.

    (prf/ega)

  • Godrej Ajak 20 Ribu Siswa SD Jadi Pahlawan Pencegah DBD

    Godrej Ajak 20 Ribu Siswa SD Jadi Pahlawan Pencegah DBD

    Jakarta: Godrej Consumer Products Indonesia (GCPI) melalui brand HIT kembali melanjutkan gerakan “Merdeka dari DBD”. Dalam semangat memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan Hari Nyamuk Sedunia GCPI mengajak 20 ribu siswa SD menjadi Pahlawan DBD.

    Merdeka dari DBD sendiri merupakan sebuah kampanye edukasi interaktif yang membekali siswa Sekolah Dasar dengan pengetahuan dan kebiasaan hidup bersih untuk mencegah penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD). Urgensi kampanye ini semakin tinggi, seiring dengan melonjaknya kasus DBD di Indonesia. Hingga pertengahan 2025, tercatat lebih dari 67.000 kasus di seluruh Indonesia.

    Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus terbanyak, yaitu lebih dari 10.000 kasus.  Jumlah ini mengingatkan bahwa ancaman DBD belum reda, dan pencegahan perlu dilakukan sejak dini.

    Sejalan dengan visi keberlanjutan Good & Green, GCPI berkomitmen menghapus penyakit yang ditularkan melalui vektor. Di India, program EMBED telah berhasil melawan malaria; sementara di Indonesia, inisiatif ini fokus memberantas DBD.

    “Kasus demam berdarah di Indonesia masih sangat tinggi. Yang memprihatinkan, angka kematian banyak terjadi pada anak usia 5–14 tahun. Pencegahan DBD harus dimulai dari kesadaran masyarakat, terutama anak-anak,” ujar Direktur Penyakit Menular, Kemenkes RI
    Agustina Isturini dalam acara Merdeka DBD di SDN Pondok Bambu 02 Kamis, 21 Agustus 2025.
     

    Ajak Siswa SD Jadi Pahlawan DBD Lewat Edukasi Interaktif

    Melalui tokoh Super HITO, pahlawan pembasmi nyamuk, para siswa diajak belajar siklus hidup nyamuk, mengenali habitat berkembangbiaknya, dan mempraktikkan langkah pencegahan DBD seperti 3M Plus dan menjaga kebersihan rumah serta lingkungan.

    Hari ini, kegiatan edukasi diikuti oleh 500 siswa dan 25 relawan, dengan target ambisius untuk menjangkau 50.000 siswa SD di seluruh Indonesia pada tahun 2027. Hingga kini, lebih dari 20.000 siswa telah mendapatkan edukasi ini.

    “Kami sangat mengapresiasi inisiatif GCPI yang mengajarkan pencegahan DBD secara interaktif. Dengan melibatkan siswa SD, kita mencetak generasi yang peduli kesehatan lingkungan dan mampu menularkan kebiasaan hidup bersih ke keluarga serta masyarakat,” kata Plt. Kepala Seksi SD Sudin Pendidikan Wilayah 1 Kota Adm. Jakarta Timur, Riswan Desri.

    Tak hanya pencegahan, edukasi juga menekankan pentingnya deteksi dini yang tepat waktu. Banyak orang tua ingin cepat memeriksa lab saat anak demam, namun dalam kasus DBD, waktu pengecekan menjadi sangat krusial.

    “Di DBD, tanda bahaya justru muncul saat masuk fase kritis, sekitar 72 jam setelah demam mulai. Kalau lab dilakukan terlalu dini, hasilnya bisa kelihatan aman padahal bahayanya belum muncul. Kalau dicek terlalu cepat, risikonya adalah rasa aman palsu. Kemarin lab ‘bagus’, hari ini anak drop, tapi orang tua tenang karena percaya hasil kemarin. Maka, ingat 72 jam itu bukan 3 hari. Dan dalam DBD, timing bisa menyelamatkan nyawa” jelas dr. Miza Afrizal, p.A, Bmedsci.Mkes

    Jakarta: Godrej Consumer Products Indonesia (GCPI) melalui brand HIT kembali melanjutkan gerakan “Merdeka dari DBD”. Dalam semangat memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan Hari Nyamuk Sedunia GCPI mengajak 20 ribu siswa SD menjadi Pahlawan DBD.
     
    Merdeka dari DBD sendiri merupakan sebuah kampanye edukasi interaktif yang membekali siswa Sekolah Dasar dengan pengetahuan dan kebiasaan hidup bersih untuk mencegah penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD). Urgensi kampanye ini semakin tinggi, seiring dengan melonjaknya kasus DBD di Indonesia. Hingga pertengahan 2025, tercatat lebih dari 67.000 kasus di seluruh Indonesia.
     
    Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus terbanyak, yaitu lebih dari 10.000 kasus.  Jumlah ini mengingatkan bahwa ancaman DBD belum reda, dan pencegahan perlu dilakukan sejak dini.

    Sejalan dengan visi keberlanjutan Good & Green, GCPI berkomitmen menghapus penyakit yang ditularkan melalui vektor. Di India, program EMBED telah berhasil melawan malaria; sementara di Indonesia, inisiatif ini fokus memberantas DBD.
     
    “Kasus demam berdarah di Indonesia masih sangat tinggi. Yang memprihatinkan, angka kematian banyak terjadi pada anak usia 5–14 tahun. Pencegahan DBD harus dimulai dari kesadaran masyarakat, terutama anak-anak,” ujar Direktur Penyakit Menular, Kemenkes RI
    Agustina Isturini dalam acara Merdeka DBD di SDN Pondok Bambu 02 Kamis, 21 Agustus 2025.
     

    Ajak Siswa SD Jadi Pahlawan DBD Lewat Edukasi Interaktif

    Melalui tokoh Super HITO, pahlawan pembasmi nyamuk, para siswa diajak belajar siklus hidup nyamuk, mengenali habitat berkembangbiaknya, dan mempraktikkan langkah pencegahan DBD seperti 3M Plus dan menjaga kebersihan rumah serta lingkungan.
     
    Hari ini, kegiatan edukasi diikuti oleh 500 siswa dan 25 relawan, dengan target ambisius untuk menjangkau 50.000 siswa SD di seluruh Indonesia pada tahun 2027. Hingga kini, lebih dari 20.000 siswa telah mendapatkan edukasi ini.
     
    “Kami sangat mengapresiasi inisiatif GCPI yang mengajarkan pencegahan DBD secara interaktif. Dengan melibatkan siswa SD, kita mencetak generasi yang peduli kesehatan lingkungan dan mampu menularkan kebiasaan hidup bersih ke keluarga serta masyarakat,” kata Plt. Kepala Seksi SD Sudin Pendidikan Wilayah 1 Kota Adm. Jakarta Timur, Riswan Desri.
     
    Tak hanya pencegahan, edukasi juga menekankan pentingnya deteksi dini yang tepat waktu. Banyak orang tua ingin cepat memeriksa lab saat anak demam, namun dalam kasus DBD, waktu pengecekan menjadi sangat krusial.
     
    “Di DBD, tanda bahaya justru muncul saat masuk fase kritis, sekitar 72 jam setelah demam mulai. Kalau lab dilakukan terlalu dini, hasilnya bisa kelihatan aman padahal bahayanya belum muncul. Kalau dicek terlalu cepat, risikonya adalah rasa aman palsu. Kemarin lab ‘bagus’, hari ini anak drop, tapi orang tua tenang karena percaya hasil kemarin. Maka, ingat 72 jam itu bukan 3 hari. Dan dalam DBD, timing bisa menyelamatkan nyawa” jelas dr. Miza Afrizal, p.A, Bmedsci.Mkes

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

    (RUL)