Tampang Zara Yupita Azra, Dokter Senior Undip Pelaku Bullying Aulia Risma Hingga Bundir
Kasus: bullying
-

Kaprodi hingga Senior Tersangka Perundungan Dokter Aulia PPDS Undip
Jakarta, CNN Indonesia —
Polda Jawa Tengah resmi menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan bullying dan pemerasan terkait kematian mahasiswa PPDS Anestesi Undip Aulia Risma.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Artanto menyebut penetapan tersangka dilakukan penyidik usai melakukan gelar perkara bersama Bareskrim Polri.
“Ditkrimum Polda Jateng setelah melakukan gelar perkara yang dihadiri penyidik Polda Jateng dan Bareskrim Polri. Kemudian, menetapkan 3 tersangka dalam kasus PPDS ini,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (25/12).
Artanto menjelaskan ketiga tersangka itu merupakan Kaprodi PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip berinisial TEN. Kemudian Kepala Staf Medis Kependidikan Prodi Anestesiologi berinisial SM dan senior korban di Prodi Anestesiologi Undip berinisial YZA.
“Inisialnya TEN selaku Kaprodi, SM selaku staf kependidikan dan YZA selaku enior mahasiswa,” jelasnya.
Kendati demikian, ia mengatakan penyidik masih belum melakukan penahanan kepada ketiga tersangka. Hanya saja, ia tidak mengungkap alasan belum dilakukannya upaya paksa penahanan tersebut.
Atas perbuatannya, ketiga tersangka dijerat Pasal 368 Ayat 1 KUHP juncto Pasal 378 KUHP juncto Pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun penjara.
Kasus dugaan bullying ini terkuak saat mahasiswi PPDS Anestesi Undip, dr Aulia Risma ditemukan meninggal di kosnya di Semarang pada 12 Agustus 2024 lalu.
Kematian dr Aulia Risma tersebut diduga berkaitan dengan perundungan di tempatnya menempuh pendidikan.
Kemenkes pun telah membekukan sementara PPDS Anestesi Undip. Menkes Budi Gunadi Sadikin beberapa waktu lalu mengatakan pencabutan pembekuan PPDS Anestesi Undip dilakukan setelah kasus dugaan bully tuntas.
Kasus dugaan perundungan itu pun dilaporkan pihak keluarga almarhumah dr Aulia Risma ke Polda Jateng 4 September 2024.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Artanto mengatakan kasus dugaan perundungan di lingkungan akademis PPDS Undip itu telah dinaikkan statusnya ke penyidikan sejak 7 Oktober 2024 lalu.
Hingga Oktober, kata Artanto, penyidik sudah memeriksa 48 saksi, baik yang berasal dari doktor senior maupun junior di program pendidikan tersebut.
Sebanyak 48 saksi itu berasal dari kakak kelas dan adik kelas korban almarhumah dr Aulia Risma, hingga pihak kampus.
“Semua saksi ini yang berkaitan berhubungan dengan kasus perkara perundungan atau bullying tersebut. Ini sangat berkaitan. Baik senior, junior, maupun saksi ahli, maupun dari pihak instansi yang terkait dengan permasalahan ini semua,” kata Artanto.
Artanto juga mengatakan dalam mengusut kasus tersebut, pihaknya mendalami soal pemerasan yang diduga terkait dengan perundungan di lingkungan akademis PPDS Anestesi Undip.
(tfq/bac)
[Gambas:Video CNN]
-

Kuasa Hukum Keluarga Dokter Aulia Risma Heran Dengan Sikap IDI: Kok Bela Pelaku, Bukan Korban? – Halaman all
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Kuasa hukum keluarga Risma, Misyal Achmad mengaku heran dengan sikap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang memberikan pendampingan hukum kepada tiga tersangka kasus pemerasan mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Sekadar informasi, Polda Jawa Tengah sudah menetapkan 3 orang sebagai tersangka kasus pemerasan terhadap almarhum dokter Aulia Risma Lestari.
Ketiga tersangka tersebut di antaranya TEN, Ketua Program Studi (Prodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran UNDIP; SM (perempuan) Kepala Staf Medis Kependidikan Prodi Anestesiologi; dan ZYA (perempuan) senior dokter Aulia.
Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (BHP2A PB IDI) pun menyiapkan langkah pembelaan dan bantuan hukum kepada tiga dokter yang jadi tersangka pemerasan tersebut.
Misyal menyayangkan langkah dari IDI tersebut.
Ia mengatakan korban Aulia yang juga anggota IDI malah keluarganya tidak didampingi penasihat hukum dari IDI.
Hingga akhirnya Misyal sendiri yang mendampingi keluarga dokter Aulia.
“Harusnya bukan saya yang mendampingi tapi dari IDI yang menyiapkan lawyer. Kok dia pilih pelaku bukan korbannya, aneh ini,” kata Misyalsaat dihubungi, Selasa (24/12/2024).
Di samping itu, Misyal mengaku telah mengajukan surat permohonan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk segera membentuk Satgas Anti Bullying yang anggotanya terdapat unsur kepolisian, kejaksaan, dan praktisi hukum.
Pengajuan pembentukan Satgas lintas sektoral ini dengan harapan kasus yang menimpa Aulia Risma tak terulang kembali.
“Satgas yang dibentuk selama ini kurang efektif jadi perlu ada lembaga-lembaga lain yang terlibat agar semua pelaku bullying bisa diproses pidana,” ujarnya.
Tak hanya itu, Misyal pun meminta pencopotan status dokter ketiga tersangka.
Misyal menilai, pencopotan status dokter terhadap tiga tersangka perlu dilakukan karena mereka dianggap telah sakit secara mental sehingga sudah tak memiliki empati.
“Kalau orang sakit secara mental bagaimana mereka bisa mengobati orang sakit?” ujarnya.
Pihaknya kini masih menyiapkan skema untuk bisa mencabut izin dokter yang dimiliki oleh para tersangka.
Termasuk izin praktik dan izin mengajar di kampus.
“Saya akan berjuang untuk mencabut status dokter dari para tersangka ini supaya mereka tidak lagi bisa menjadi dokter sampai kapanpun, itu akan saya perjuangkan,” katanya.
Dia pun jengah dengan kasus pemerasan yang dilakukan di lingkungan pendidikan kedokteran.
Ketika pemerasan dilakukan oleh kaum intelektual, baginya sangat berbahaya sekali.
“Orang-orang pintar melakukan kejahatan sangat membahayakan. Makanya ini harus diusut tuntas,” ujarnya.
Ketua BHP2A PB IDI Beni Satria mengakui bila pihaknya kini tengah melakukan diskusi bersama dengan BHP2A IDI Cabang Semarang untuk membantu 3 dokter yang jadi tersangka menjalani proses hukum.
“Kami berdiskusi dan mendampingi serta menyiapkan langkah pembelaan dan bantuan hukum kepada sejawat dokter yang sudah jadi tersangka,” kata dia saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (25/12/2024).
Beni menyebut tim IDI sedang berdiskusi dengan tim hukum dari Universitas Diponegoro (Undip).
Ia mengatakan sikap IDI yang memberikan dukungan kepada seorang dokter yang menjadi tersangka tidak bisa langsung diartikan sebagai pembenaran atas dugaan tindakan yang dilakukannya, melainkan lebih kepada memastikan bahwa hak-hak hukum dokter tersebut terpenuhi selama proses peradilan berlangsung.
Dukungan ini tidak bermaksud mengabaikan hak korban, melainkan sebatas memastikan bahwa proses hukum berjalan adil dan tidak melanggar hak-hak anggota IDI.
“Baik tersangka maupun korban memiliki hak yang sama di mata hukum untuk mendapatkan pendampingan dan perlindungan.”
“IDI sebagai organisasi profesi, memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memberikan dukungan kepada anggotanya, termasuk tersangka, selama proses hukum berlangsung. Proses hukum harus berjalan secara seimbang dan tidak memihak,” tegas dokter Beni.
Dalam hal ini, dukungan IDI terhadap anggota yang menjadi tersangka adalah bagian dari mekanisme organisasi untuk menjaga integritas anggotanya sampai ada putusan hukum yang mengikat.
Semua pihak diharapkan menahan diri dari penilaian sepihak dan memberi ruang bagi proses hukum untuk berjalan.
“Jika nantinya tersangka terbukti bersalah, IDI juga wajib mengambil langkah sesuai kode etik profesi dan peraturan yang berlaku,” ujar dia.
Peran Tiga Tersangka
Adapun ketiga dokter yang menjadi tersangka memiliki peran masing-masing dalam kasus pemerasan tersebut.
TEN Ketua Program Studi (Prodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip memanfaatkan senioritasnya di kalangan PPDS untuk meminta uang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang tidak diatur dalam akademik.
Sementara tersangka SM Kepala Staf Medis Kependidikan Prodi Anestesiologi Undip turut serta meminta uang BOP yang tidak diatur akademi dengan meminta langsung ke bendahara PPDS.
Tersangka ZYA dikenal sebagai senior korban yang paling aktif membuat aturan, melakukan bullying dan makian.
Para tersangka dijerat Pasal 368 ayat 1 KUHP tentang pemerasan, Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan/atau tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHP dan/atau secara melawan hukum memaksa orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP.
Ketiganya terancam hukuman penjara maksimal 9 tahun.
Kasus dokter Aulia Risma menjadi sorotan lantaran kasusnya terjadi di dunia pendidikan kedokteran.
Dokter Aulia menjadi korban bullying yang berujung kematian.
Dokter Aulia merupakan mahasiswa PPDS Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip).
(Tribunjateng.com/ iwan Arifianto/ Tribunnews.com/ Rina Ayu)Sebagian dari artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Kuasa Hukum Keluarga Mendiang Dokter Aulia Risma Sayangkan IDI Malah Siapkan Lawyer Bela Tersangka
-

Izin 3 Dokter Undip Pemeras Aulia Risma Diminta Dicabut, Kuasa Hukum Sayangkan Sikap IDI: Aneh – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM – Kuasa hukum keluarga Dokter Aulia Risma Lestari, Misyal Achmad minta izin tiga dokter tersangka pemerasan terhadap Dokter Aulia Risma dicabut.
Polda Jawa Tengah (Jateng) telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus pemerasan terhadap Dokter Aulia Risma.
Mereka adalah TEN, Ketua Program Studi (Prodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip).
Kemudian SM, kepala staf medis kependidikan Prodi Anestesiologi dan ZYA, senior korban di program anestesi.
Misyal menganggap ketiganya sakit mental, sehingga tak punya empati dan tega melakukan pemerasan terhadap Dokter Aulia Risma.
“Kalau orang sakit secara mental bagaimana mereka bisa mengobati orang sakit?” katanya saat dihubungi, Selasa (24/12/2024), dilansir TribunJateng.com.
Oleh karena itu, pihaknya menginginkan pencopotan status dokter terhadap tiga tersangka.
Kini, lanjutnya, ia tengah menyiapkan skema untuk bisa mencabut izin dokter dari tiga tersangka, termasuk izin praktik dan mengajar di kampus.
“Saya akan berjuang untuk mencabut status dokter dari para tersangka ini.”
“Supaya mereka tidak lagi bisa menjadi dokter sampai kapanpun, itu akan saya perjuangan,” ungkapnya.
Ia juga geram dengan kasus pemerasan yang dilakukan di lingkungan pendidikan kedokteran.
Menurutnya, ketika tindakan itu dilakukan oleh kaum intelektual, maka sangat berbahaya.
“Orang-orang pintar melakukan kejahatan sangat membahayakan, makanya ini harus diusut tuntas,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga menyayangkan sikap Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Pasalnya, IDI justru menyiapkan penasihat hukum untuk mendampingi para tersangka.
Sementara Dokter Aulia Risma yang juga seorang dokter dan menjadi korban tindakan kesewenang-wenangan justru tidak didampingi penasihat hukum dari IDI.
“Harusnya bukan saya yang mendampingi tapi dari IDI yang menyiapkan lawyer. Kok dia pilih pelaku bukan korbannya, aneh ini,” tandasnya.
Peran Para Tersangka
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto mengungkap peran tiga tersangka dalam kasus pemerasan yang berujung tewasnya Dokter Aulia Risma.
TEN, memanfaatkan senioritasnya di kalangan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) untuk meminta uang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang tidak diatur dalam akademik.
Kemudian SM, turut serta meminta uang BOP yang tidak diatur akademik dengan meminta langsung ke bendahara PPDS.
ZYA, yang merupakan senior korban paling aktif membuat aturan, melakukan bullying dan makian.
“Dari ketiga tersangka kami menyita barang bukti sebesar Rp97.770.000 hasil dari rangkaian peristiwa tersebut,” kata Artanto.
Kendati demikian Polda Jateng belum melakukan penahanan terhadap ketiganya.
Alasannya, masih menunggu keputusan dari penyidik, serta ketiganya yang dinilai kooperatif.
Diketahui, Dokter Aulia Risma merupakan mahasiswi PPDS Undip Semarang.
Ia ditemukan tewas di kamar kosnya pada Senin (12/8/2024).
Dokter Aulia Risma mengakhiri hidup diduga karena tak kuat mengalami perundungan saat menjalani PPDS Anestesi di Undip.
Menurut sumber yang tak ingin disebutkan identitasnya, korban diduga mengakhiri hidup dengan menyuntikkan obat bius jenis Roculax ke tubuhnya sendiri.
“Korban diduga melakukan bunuh diri dengan menyuntikkan Roculax di kamar kosnya,” katanya kepada TribunJateng.com, Rabu (14/8/2024).
Korban merupakan seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kardinah Kota Tegal yang sedang menjalani tugas belajar sebagai peserta PPDS Anestesi Undip.
Kasus ini kemudian bergulir setelah ibunda Dokter Aulia Risma melapor ke Polda Jateng, Rabu (4/9/2024).
Polisi kemudian menetapkan tiga tersangka setelah memeriksa 36 saksi.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Status Profesi 3 Dokter Tersangka Pemerasan Mahasiswi Undip Semarang Aulia Risma Terancam Dicopot
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana, TribunJateng.com/Iwan Arifianto)
-

Respons PB IDI Soal Tiga Dokter Undip Jadi Tersangka Kasus Aulia Risma Lestari – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (BHP2A PB IDI) Beni Satria turut merespons penetapan tiga dokter jadi tersangka dalam kasus Aulia Risma Lestari.
Pihaknya kini tengah melakukan diskusi bersama dengan BHP2A IDI Cabang Semarang, Jawa Tengah untuk membantu rekan sejawat tersebut dalam proses hukum.
“Kami berdiskusi dan mendampingi serta menyiapkan langkah pembelaan dan bantuan hukum kepada sejawat dokter yang sudah jadi tersangka,” kata dia saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (25/12/2024).
Beni menyebut juga, tim IDI sedang berdiskusi dengan tim hukum dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah.
Ia memaparkan bahwa sikap IDI yang memberikan dukungan kepada seorang dokter yang menjadi tersangka tidak bisa langsung diartikan sebagai pembenaran atas dugaan tindakan yang dilakukannya, melainkan lebih kepada memastikan bahwa hak-hak hukum dokter tersebut terpenuhi selama proses peradilan berlangsung.
Dukungan ini tidak bermaksud mengabaikan hak korban, melainkan sebatas memastikan bahwa proses hukum berjalan adil dan tidak melanggar hak-hak anggota IDI.
“Baik tersangka maupun korban memiliki hak yang sama di mata hukum untuk mendapatkan pendampingan dan perlindungan. IDI sebagai organisasi profesi, memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memberikan dukungan kepada anggotanya, termasuk tersangka, selama proses hukum berlangsung. Proses hukum harus berjalan secara seimbang dan tidak memihak,” tegas dokter Beni.
Dalam hal ini, dukungan IDI terhadap anggota yang menjadi tersangka adalah bagian dari mekanisme organisasi untuk menjaga integritas anggotanya sampai ada putusan hukum yang mengikat.
Semua pihak diharapkan menahan diri dari penilaian sepihak dan memberi ruang bagi proses hukum untuk berjalan.
“Jika nantinya tersangka terbukti bersalah, IDI juga wajib mengambil langkah sesuai kode etik profesi dan peraturan yang berlaku,” ujar dia.
Adapun ketiga dokter yang menjadi tersangka memiliki peran masing-masing. TEN (pria) Ketua Program Studi (Prodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip memanfaatkan senioritasnya di kalangan PPDS untuk meminta uang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang tidak diatur dalam akademik.
Sementara tersangka SM kepala staf medis kependidikan prodi Anestesiologi Undip turut serta meminta uang BOP yang tidak diatur akademi dengan meminta langsung ke bendahara PPDS.
Tersangka ZYA dikenal sebagai senior korban yang paling aktif membuat aturan, melakukan bullying dan makian. Kasus dokter Aulia Risma menjadi sorotan lantaran kasusnya terjadi di dunia pendidikan kedokteran.
Dokter Aulia menjadi korban perundungan yang berujung kematian. Dokter Aulia merupakan mahasiswa PPDS Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip).
-

Ini Sosok 3 Tersangka Kasus Kematian dr Aulia Mahasiswi PPDS Undip
Video: Ini Sosok 3 Tersangka Kasus Kematian dr Aulia Mahasiswi PPDS Undip
7,367 Views | Rabu, 25 Des 2024 09:57 WIB
Polda Jawa Tengah (Jateng) telah menetapkan 3 tersangka merupakan Kaprodi hingga senior dalam kasus dugaan bullying dan pemerasan yang mengakibatkan tewasnya mahasiswa PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dr Aulia Risma.
Tri Aljumanto/Arina Zulfa Ul Haq – 20DETIK
-

Respons Kemenkes Pasca 3 Dokter Jadi Tersangka pada Kasus Bully Lalu Berujung Kematian Dokter Aulia – Halaman all
Kemenkes mendukung upaya hukum yang tengah berproses dalam kasus dokter Aulia Risma Lestari yang meninggal karena diduga alami bully.
Tayang: Rabu, 25 Desember 2024 12:36 WIB
Handout/Tribun Jateng
Dokter Program Pendidikan Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Aulia Risma Lestari (30), ditemukan tewas diduga bunuh diri di kamar kos kawasan Lempongsari, Gajahmungkur, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (14/8/2024).
Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) mendukung upaya hukum yang tengah berproses dalam kasus dokter Aulia Risma Lestari, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro Semarang yang menjadi korban perundungan hingga berujung kematian.
Hal ini merespons penetapan tiga tersangka dalam kasus pemerasan terhadap korban dokter Aulia.
“Karena ini sudah menjadi urusan hukum, maka kami (Kemenkes) no comment dan kami serahkan ke kepolisian,” ujar Dirjen Yankes Kemenkes Azhar Jaya saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (25/12/2024).
Diketahui ketiga tersangka tersebut berinisial TEN (pria) Ketua Program Studi (Prodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip, SM (perempuan) kepala staf medis kependidikan prodi Anestesiologi Undip, dan ZYA (perempuan) yang merupakan senior dari dr Aulia.
Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto menjelaskan pada Selasa (24/12/2024) bahwa peran para tersangka dalam kasus ini yakni TEN memanfaatkan senioritasnya di kalangan PPDS untuk meminta uang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang tidak diatur dalam akademik.
Sementara tersangka SM turut serta meminta uang BOP yang tidak diatur akademi dengan meminta langsung ke bendahara PPDS.
Tersangka ZYA dikenal sebagai senior korban yang paling aktif membuat aturan, melakukan bullying dan makian.
“);
$(“#latestul”).append(“”);
$(“.loading”).show();
var newlast = getLast;
$.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’61’,img:’thumb2′}, function(data) {
$.each(data.posts, function(key, val) {
if(val.title){
newlast = newlast + 1;
if(val.video) {
var vthumb = “”;
var vtitle = ” “;
}
else
{
var vthumb = “”;
var vtitle = “”;
}
if(val.thumb) {
var img = “”+vthumb+””;
var milatest = “mr140”;
}
else {
var img = “”;
var milatest = “”;
}
if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
else subtitle=””;
if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
else cat=””;$(“#latestul”).append(“”+img+””);
}
else{
$(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
$(“#test3”).val(“Done”);
return false;
}
});
$(“.loading”).remove();
});
}
else if (getLast > 150) {
if ($(“#ltldmr”).length == 0){
$(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
}
}
}
});
});function loadmore(){
if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
$(“#latestul”).append(“”);
$(“.loading”).show();
var newlast = getLast ;
if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
newlast=0;
$.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
$.each(data.posts, function(key, val) {
if(val.title){
newlast = newlast + 1;
if(val.video) {
var vthumb = “”;
var vtitle = ” “;
}
else
{
var vthumb = “”;
var vtitle = “”;
}
if(val.thumb) {
var img = “”+vthumb+””;
var milatest = “mr140”;
}
else {
var img = “”;
var milatest = “”;
}
if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
else subtitle=””;
if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
else cat=””;
$(“#latestul”).append(“”+img+””);
}else{
return false;
}
});
$(“.loading”).remove();
});
}
else{
$.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
$.each(data.posts, function(key, val) {
if(val.title){
newlast = newlast+1;
if(val.video) {
var vthumb = “”;
var vtitle = ” “;
}
else
{
var vthumb = “”;
var vtitle = “”;
}
if(val.thumb) {
var img = “”+vthumb+””;
var milatest = “mr140”;
}
else {
var img = “”;
var milatest = “”;
}
if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
else subtitle=””;$(“#latestul”).append(“”+img+””);
}else{
return false;
}
});
$(“.loading”).remove();
});
}
}Berita Terkini
-

Kaprodi Anestesiologi FK Undip dan Tersangka Kasus Pemerasan Mahasiswi PPDS Terancam 9 Tahun Penjara – Halaman all
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG – Tiga orang tersangka dalam dalam kasus pemerasan terhadap dr Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, terancam hukuman 9 tahun penjara.
Tiga orang yang telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus itu yakni; TEN (pria) Ketua Program Studi (Prodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran (FK) Undip, SM (perempuan) kepala staf medis kependidikan prodi Anestesiologi Undip, dan ZYA (perempuan) yang merupakan senior dari dr Aulia.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng Kombes Pol Artanto mengatakan ketiga tersangka itu dijerat tiga pasal berlapis, meliputi kasus pemerasan pasal 368 ayat 1 KUHP, penipuan pasal 378 KUHP, pasal 335 soal pengancaman atau teror terhadap orang lain.
“Untuk ancaman hukumannya maksimal 9 tahun,” ujar Artanto dalam jumpa pers di Mapolda Jateng, Selasa (24/12/2024).
Selain menetapkan tiga orang tersangka, penyidik di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah juga menyita sejumlah barang bukti.
Barang bukti yang disita itu di antaranya adalah uang sebesar Rp97.770.000.
“Dari ketiga tersangka kami menyita barang bukti sebesar Rp97.770.000. Hasil dari rangkaian dari peristiwa tersebut,” kata Kombes Pol Artanto.
Kombes Pol Artanto juga menjelaskan peran ketiga tersangka dalam kasus pemerasan yang berujung kematian dr Aulia Risma Lestari itu.
Dijelaskan Artanto, dalam kasus ini TEN memanfaatkan senioritasnya di kalangan PPDS untuk meminta uang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang tidak diatur dalam akademik.
Sementara SM turut serta meminta uang BOP yang tidak diatur akademi dengan meminta langsung ke bendahara PPDS.
Kemudian tersangka ZYA dikenal sebagai senior korban yang paling aktif membuat aturan, melakukan bullying dan makian.
Meski tiga orang telah menjadi tersangka, Artanto menyebut mereka belum ditahan karena masih menunggu keputusan penyidik.
Alasan lainnya, ketiga tersangka juga dinilai kooperatif.
“Iya belum (ditahan) itu pertimbangan penyidik. (Kapan ditahan?) Nanti nunggu penyidik,” katanya.
Kasus pemerasan terhadap dr Aulia Risma Lestari ini sudah bergulir sejak 4 September 2024 ketika ibunda Risma Nuzmatun Malinah melaporkan kasus itu ke Polda Jawa Tengah.
Kasus ini menjadi perbincangan setelah dr Aulia Risma Lestari ditemukan tewas di kamar kosnya di Kota Semarang, pada Senin (12/8/2024).
Dokter Aulia mengakhiri hidupnya diduga karena tak kuat menjalani PPDS Anestesi di Undip.
Menurut sumber yang tak ingin disebutkan identitasnya, korban diduga mengakhiri hidup dengan menyuntikkan obat bius jenis Roculax ke tubuhnya sendiri.
“Korban diduga melakukan bunuh diri dengan menyuntikkan Roculax di kamar kosnya,” katanya kepada TribunJateng.com, Rabu (14/8/2024).
dr Aulia adalah seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kardinah Kota Tegal yang sedang menjalani tugas belajar sebagai peserta PPDS Anestesi Undip.
Tante Dokter Aulia, Vieta mengatakan, keponakannya kerap mendapat tekanan dari senior selama masa pendidikan dokter spesialis.
Bahkan, dokter Aulia sering diminta membelikan rokok tengah malam dan menyiapkan makanan untuk senior dengan biaya pribadi.
Belakangan beredar rekaman suara diduga Dokter Aulia saat menjalani PPDS Anestesi di Undip.
Rekaman suara itu ditujukan untuk ayahnya, Mohamad Fakhruri (65).
Pesan suara itu dikirimkan Dokter Aulia melalui pesan WhatsApp.
Dalam rekaman itu, terdengar suara tangisan Dokter Aulia yang tidak kuat menjalani PPDS.
Kasus ini kemudian dilaporkan ke polisi selang hampir satu bulan sejak kematian dokter Aulia di kamar kosnya di Lempongsari, Kota Semarang, pada 15 Agustus 2024.
Polisi lantas menetapkan tersangka selepas memeriksa sebanyak 36 saksi.
Kuasa hukum keluarga Risma, Misyal Achmad mengaku cukup puas dengan penetapan tiga tersangka tersebut.
Menurut dia, dari tiga tersangka itu Kaprodi adalah sosok yang paling harus bertanggung jawab karena dia dibayar oleh negara untuk mengawal pendidikan, tapi justru membiarkan hal-hal yang tidak pantas tersebut terjadi.
Kemudian tersangka lainnya dari bagian keuangan itu yang mengumpulkan uang-uang dari mahasiswa PPDS.
Tersangka ketiga dari sesama residen atau senior korban saat menempuh pendidikan.
“Kami dari keluarga sudah cukup puas, tinggal nanti dikembangkan karena memang kalau saya lihat dapat informasinya itu ada lebih dari satu residen,” paparnya.
Kendati demikian, pihaknya menyayangkan sikap pihak kepolisian yang belum menahan ketiga tersangka.
Ia mengakui penahanan tersebut memang wewenang kepolisian, terutama untuk kasus dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun.
Namun, dia berharap para tersangka segera ditahan karena berpotensi menghilangkan barang bukti mengingat proses kasusnya cukup lama.
“Kami berharap pihak Polda segera melakukan penahanan untuk menjaga supaya tidak ada barang bukti lainnya yang bisa ihilangkan,” katanya.
Tribun telah mengkonfirmasi kejadian tersebut kepada Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP), Suharnomo melalui layanan pesan singkat.
Namun, konfirmasi tersebut belum direspons.
-

Breaking News: 3 Orang Jadi Tersangka Kasus PPDS Undip: Kaprodi, Kepala Staf Medis, Senior dr Aulia – Halaman all
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG – Polisi akhirnya menetapkan tiga tersangka dalam kasus pemerasan terhadap dr Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah.
Tiga orang yang ditetapkan menjadi tersangka itu yakni; TEN (pria) Ketua Program Studi (Prodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip, SM (perempuan) kepala staf medis kependidikan prodi Anestesiologi Undip, dan ZYA (perempuan) yang merupakan senior dari dr Aulia.
“Iya ada tiga tersangka, mereka para senior korban,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng Kombes Pol Artanto di Mapolda Jateng, Selasa (24/12/2024).
Kombes Artanto menjelaskan peran para tersangka dalam kasus ini yakni TEN memanfaatkan senioritasnya di kalangan PPDS untuk meminta uang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang tidak diatur dalam akademik.
Sementara tersangka SM turut serta meminta uang BOP yang tidak diatur akademi dengan meminta langsung ke bendahara PPDS.
Tersangka ZYA dikenal sebagai senior korban yang paling aktif membuat aturan, melakukan bullying dan makian.
“Dari ketiga tersangka kami menyita barang bukti sebesar Rp97.770.000. Hasil dari rangkaian dari peristiwa tersebut,” sambung Artanto.
Ketiga tersangka, kata Artanto, dijerat tiga pasal berlapis, meliputi kasus pemerasan pasal 368 ayat 1 KUHP, penipuan pasal 378 KUHP, pasal 335 soal pengancaman atau teror terhadap orang lain.
“Untuk ancaman hukumannya maksimal 9 tahun,” ujarnya.
Artanto menyebut, ketiga belum ditahan karena masih menunggu keputusan dari penyidik. Alasan lainnya, ketiga tersangka juga dinilai kooperatif. Iya belum (ditahan) itu pertimbangan penyidik. (Kapan ditahan?) Nanti nunggu penyidik.
Kasus tersebut sudah bergulir sejak S september 2024 ketika ibunda Risma Nuzmatun Malinah melaporkan kasus itu ke Polda Jawa Tengah.
Kasus tersebut dilaporkan ke polisi selang hampir satu bulan sejak kematian Risma di kamar kosnya di Lempongsari, Kota Semarang, pada 15 Agustus 2024.
Polisi menetapkan tersangka selepas memeriksa sebanyak 36 saksi.
Kuasa hukum keluarga Risma, Misyal Achmad mengaku, cukup puas dengan penetapan tiga tersangka tersebut.
Ketiganya adalah Kaprodi yang paling harus bertanggung jawab karena dia dibayar oleh negara untuk mengawal pendidikan, tapi justru membiarkan hal-hal yang tidak pantas tersebut terjadi.
Kemudian tersangka lainnya dari bagian keuangan itu yang mengumpulkan uang-uang dari mahasiswa PPDS.
Tersangka ketiga dari sesama residen atau senior korban saat menempuh pendidikan.
“Kami dari keluarga sudah cukup puas tinggal nanti dikembangkan karena memang kalau saya lihat dapat informasinya itu ada lebih dari satu residen,” paparnya.
Kendati demikian, pihaknya menyayangkan kepolisian yang belum menahan tiga tersangka.
Ia mengakui penahanan tersebut memang wewenang kepolisian, terutama untuk kasus dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun.
Namun, dia berharap tersangka segera ditahan karena berpotensi dapat menghilangkan barang bukti mengingat proses kasusnya cukup lama.
“Kami berharap pihak Polda segera melakukan penahanan untuk menjaga supaya tidak ada barang bukti lainnya yang bisa dihilangkan,” jelasnya.
Tribun telah mengkonfirmasi kejadian tersebut kepada Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP), Suharnomo melalui layanan pesan singkat.
Namun, konfirmasi tersebut belum direspon.
-

Kasus Bullying Dokter Aulia PPDS Undip Sudah Ada Tersangka, Kemenkes Buka Suara
Jakarta –
Kasus dugaan bullying dan pemerasan mahasiswa PPDS anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip) dr Aulia Risma mulai memasuki babak baru. Pihak kepolisian mengakui telah menetapkan tersangka.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jateng, Kombes Dwi Subagio membenarkan hal tersebut. Namun, dirinya masih belum bisa memberikan nama terkait tersangka.
“Betul (penetapan tersangka), Hasil gelar PPDS sudah ada. Monggo bisa ditanyakan ke Kabid Humas, ditunggu saja dari Kabid Humas,” kata Dwi saat dihubungi wartawan, dikutip dari detikJateng, Selasa (24/12/2024).
Sementara itu Kabid Humas Polda Jateng Kombes Artanto mengatakan akan segera memberikan kabar baik terkait hasil penyidikan dr Aulia Risma..
Merespons hal ini, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Azhar Jaya mendukung penuh usaha yang telah dilakukan pihak kepolisian untuk membantu mengungkap kasus ini.
“Karena ini sudah menjadi ranah hukum ke kepolisian, kami serahkan ke kepolisian,” kata Azhar Jaya saat ditemui di Karawang, Jawa Barat, Selasa (24/12/2024).
“Tapi yang jelas dengan adanya penetapan tersangka ini kami akan berkoordinasi dengan teman-teman di FK Undip,” lanjut dia.
Azhar juga akan meninjau ulang apakah FK Undip telah memperbaiki sistem pendidikan mereka terkait PPDS agar kejadian bullying tidak lagi terjadi.
“Kalau segala sesuatunya sudah berjalan, sudah diterapkan standar-standar yang baru untuk mencegah bullying, kami akan buka lagi (prodi anestesi) di Undip,” kata Azhar.
“Yang jelas, kami (Kemenkes) memberikan perhatian khusus pada almarhumah,” tutupnya.
(dpy/kna)