Kasus: bullying

  • Diaspora RI Tanggapi Australia Larang Medsos untuk Anak

    Diaspora RI Tanggapi Australia Larang Medsos untuk Anak

    Larangan media sosial di Australia untuk anak di bawah usia 16 tahun resmi dimulai hari Kamis ini (10/12), menandai upaya pertama di dunia untuk melindungi anak-anak dari kecanduan ponsel dan bahaya daring.

    Mulai sekarang, sekelompok platform media sosial akan menghadapi denda hingga A$50 juta, sekitar Rp554 miliar, jika mereka tidak mengambil “langkah-langkah yang diperlukan” untuk mencegah anak-anak dan remaja di bawah usia 16 tahun memiliki akun media sosial.

    Tapi Pemerintah Australia mengakui larangan tersebut tidak akan sempurna.

    Selain itu, remaja di bawah 16 tahun masih dapat melihat konten media sosial yang tersedia untuk umum yang tidak memerlukan “login”.

    Dengan kata lain, pembatasan konten di media sosial tidak akan sempurna.

    Namun, pemerintah Australia bersikeras larangan ini tetap patut dicoba untuk melindungi anak-anak dari “doomscrolling” yang tak ada habisnya dan bahaya lainnya seperti perundungan siber dan “grooming”.

    Tanggapan yang beragam dari diaspora Indonesia

    Kebijakan baru ini disambut beragam oleh sejumlah orangtua diaspora Indonesia di Australia.

    Dian Fikriani di Melbourne adalah ibu dari seorang anak yang berusia sembilan tahun bernama Gesit Mardika.

    Dian mengetahui bahwa yang dimaksud dengan pelarangan bermedsos bagi remaja ini sebenarnya hanya larangan untuk memiliki akun di sejumlah platform dan bukan larangan mengakses sepenuhnya.

    Menurut Dian, selama ini memang anaknya tidak memiliki akun media sosial dan masih mengakses konten melalui akunnya.

    “Memang masih ada celahnya, tetapi kebijakan ini cukup membantu orangtua,” kata Dian.

    Ia mengatakan larangan remaja bermedsos bisa membantu mencegah perundungan atau “bullying” di dunia maya yang kerap dialami mereka yang memiliki akun medsos.

    “Anak-anak ini rentan terkena bullying dari teman-temannya sendiri [di medsos] daripada dari orang yang tidak mereka kenal.”

    Vironica Hadi memiliki seorang putri berusia 15 tahun, yang sudah memiliki akun media sosial dengan sepengetahuan dan sepengawasannya.

    Vironica menilai kebijakan melarang memiliki akun tapi masih bisa mengakses platform media sosial tanpa perlu “login” adalah kebijakan yang “tanggung.”

    “Menurutku kalau mau di-ban ya sekalian saja, jangan bisa akses tapi enggak bisa posting, bikin story, atau comment,” kata dia.

    “Dan untuk mereka yang sudah punya akun medsos dengan sepengetahuan dan pengawasan orangtuanya, kasihan juga melihat tiba-tiba mereka enggak bisa lagi bikin apa-apa,” tambahnya yang selama ini mencoba untuk mengecek aktivitas putrinya di media sosial secara berkala.

    Menyadari kesulitan teknis untuk menutup seluruh akses media sosial seluruhnya untuk remaja, Vironica mengusulkan agar platform memberi limit akses harian untuk setiap akun yang dimiliki remaja.

    “Misalnya dalam sehari mereka cuma bisa mengakses akun medsosnya dua jam, saya pikir itu sudah maksimal’ setelah itu ter-logout, mungkin itu lebih masuk akal,” katanya.

    Sigit Lestanto, ayah dari dua orang anak berusia 12 dan 10 tahun, selama ini sudah memberlakukan limit harian sebagai upaya membatasi akses anak-anaknya ke media sosial.

    “Dua jam, itu maksimal ya,” kata Sigit.

    Ia menceritakan anak-anaknya biasa mengakses Instagram, Roblox, dan YouTube Kids.

    Menanggapi kebijakan Australia yang terbaru, Sigit memilih berada “di tengah-tengah”, karena menurut dia selalu ada sisi positif dan negatif dari teknologi, termasuk media sosial.

    “Media atau teknologi itu kayak senjata, tergantung siapa yang pakai … saya masih melihat bahwa ada sisi positif dari teknologi.”

    Untuk itu, Sigit mengatakan peran orangtua masih signifikan dalam akses anak-anak ke teknologi internet.

    Zaneta Subrata, yang memiliki seorang putra berusia 11 tahun mendukung kebijakan pemerintah yang melarang remaja dan anak-anak sampai 16 tahun memiliki akun media sosial.

    “Masalah mental health, bullying, dan lain-lain yang marak ini memang related kok menurut saya dengan akses media sosial ini.”

    “Ketika mereka punya personal account, mereka bisa mulai chat sama orang-orang, dan di sanalah semuanya berawal … bisa menjadi korban bully atau mereka yang mem-bully orang lain.”

    Meski begitu, Zaneta menilai kebijakan ini tidak begitu efektif karena anak-anak masih bisa mengakses “feed” konten dari platform-platform tersebut.

    “Pengawasan yang paling efektif ya masih pengawasan dari orangtuanya sendirilah ya, menurut saya.”

    Di sisi lain, Zaneta mengatakan mungkin ada sisi baik dari aturan ini yang bisa diadaptasi oleh Indonesia.

    “Karena menurut saya medsos di Indonesia out of control banget, media sosial kayak sesuatu yang penting banget di Indonesia, jumlah followers dan like menjadi ukuran status dan eksistensi, jadi mungkin [kebijakan] ini bisa dicontoh, setidaknya ada sesuatu yang diatur.”

    Tanggapan di Australia dan dunia

    Dalam pidatonya hari Kamis ini, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mendorong anak-anak untuk “memanfaatkan liburan sekolah yang akan datang sebaik-baiknya, daripada menghabiskannya dengan menggulir ponsel.”

    “Mulailah menekuni cabang olahraga baru, pelajari alat musik baru, atau baca buku yang sudah lama tersimpan di rak bukumu,” ujarnya.

    “Yang terpenting, habiskan waktu berkualitas bersama teman dan keluarga, secara tatap muka langsung.”

    Pemerintah Australia juga menegaskan daftar aplikasi dan situs media sosial yang dibatasi masih akan bertambah dalam beberapa waktu ke depan.

    Meskipun larangan media sosial untuk remaja di bawah 16 tahun ini populer di kalangan banyak orang tua di Australia, beberapa anak di kota-kota kecil dan pedalaman mengatakan larangan ini hanya akan memperburuk isolasi sosial, terutama bagi remaja LGBTQIA+, yang telah menemukan penerimaan dan dukungan di komunitas daring.

    Dua remaja di Australia, misalnya, pernah memperjuangkan larangan tersebut hingga ke Pengadilan Tinggi.

    Langkah kedua remaja berusia 15 tahun ini didukung oleh Digital Freedom Project, yang mengklaim undang-undang tersebut membatasi hak tersirat atas kebebasan berkomunikasi politik.

    Kelompok tersebut awalnya mengumumkan pada bulan November bahwa mereka mencoba untuk menunda undang-undang tersebut.

    Namun, pengadilan akan menyidangkan kasus khusus tahun depan.

    Sementara anak-anak muda lainnya menyambut baik larangan tersebut, mengatakan mereka kesal dengan cara perusahaan teknologi membuat mereka kecanduan dengan menggunakan data mereka untuk mengembangkan algoritma yang adiktif.

    Larangan media sosial di Australia menandai pertama kalinya suatu negara mencoba melawan raksasa teknologi besar, yang juga mendapat banyak perhatian negara-negara lain.

    Uni Eropa kini sedang mempertimbangkan larangan serupa, serta usulan untuk “jam malam”, aplikasi verifikasi usia, dan pembatasan fitur-fitur yang membuat ketagihan, seperti “scrolling” konten medsos tanpa henti dan notifikasi yang berlebihan.

    Malaysia akan bergabung dengan daftar negara yang membatasi akses ke media sosial bagi remaja di bawah 16 tahun, dengan aturan yang akan berlaku mulai 1 Januari mendatang.

    Tonton juga video “Pelarangan Medsos Buat Anak Australia Bakal Berjalan Mulus Nggak Ya?”

  • Siasat Kemenkes Cegah Bullying di PPDS ‘Hospital Based’

    Siasat Kemenkes Cegah Bullying di PPDS ‘Hospital Based’

    Jakarta

    Kasus bullying di lingkungan Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) kerap jadi sorotan. Berbagai laporan sempat muncul terkait adanya praktik perundungan yang dinilai merusak kesehatan mental, hingga memicu desakan agar disediakan pengawasan serta perlindungan.

    Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Yuli Farianti, MEpid menegaskan, rumah sakit vertikal Kemenkes sudah memiliki satuan petugas (satgas) yang menangani kasus bullying.

    “Itu semua punya satgasnya sendiri dan kemudian kita juga sudah pasang CCTV, dan lain-lain,” kata dr Yuli di kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2025).

    Selain itu, khusus untuk PPDS hospital based, Kemenkes telah menyediakan e-logbook atau catatan online bernama Wellbeing. Fasilitas ini dapat digunakan oleh PPDS yang mungkin ingin bercerita dan berkeluh kesah tanpa takut ada yang tahu.

    dr Yuli menekankan yang mengetahui isi dari e-logbook itu hanya dari pihak Kemenkes, kaprodi yang dinamai DIO, hingga direktur rumah sakit.

    “Jadi, hanya yang terbatas yang tahu fitur itu, sehingga dia dilindungi. Ini yang di hospital based,” tutur dia.

    “Tapi, untuk semua nanti rumah sakit sudah membentuk satgas. Meski begitu, dalam rangka menjaga privasi teman-teman yang takut mengadu atau takut ketahuan dan kena lagi, mereka akan difasilitasi e-logbook tadi. Mereka bisa berkeluh kesah dan yang tahu kita,” sambungnya.

    Tahap selanjutnya, dr Yuli mengungkapkan tim satgas yang telah tersedia di rumah sakit akan menelusuri. Hal ini dilakukan agar orang yang mengalami bullying tidak akan terdampak lagi.

    Selain itu, evaluasi juga rutin dilakukan setiap enam bulan untuk yang hospital based.

    “Dan kemarin baru saja keluar hasil yang perlu ditindaklanjuti dan lain-lain. Mudah-mudahan dengan mekanisme ini, tidak ada lagi bullying dan kita sudah memfasilitasi untuk tidak takut speak up,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/up)

  • Dugaan Bullying di SMPN Tangsel, Polisi Libatkan Ahli Pidana hingga Forensik
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        9 Desember 2025

    Dugaan Bullying di SMPN Tangsel, Polisi Libatkan Ahli Pidana hingga Forensik Megapolitan 9 Desember 2025

    Dugaan Bullying di SMPN Tangsel, Polisi Libatkan Ahli Pidana hingga Forensik
    Tim Redaksi
    TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com
    – Polres Tangerang Selatan (Tangsel) masih menyelidiki kasus dugaan perundungan terhadap siswa SMPN Tangsel, MH (13), yang meninggal dunia pada Minggu (16/11/2025).
    Dalam penyelidikan tersebut, polisi melibatkan sejumlah ahli untuk memastikan penyebab kematian korban secara objektif dan berbasis data medis.
    “Kita sedang memeriksa para ahli, ahlinya ahli pidana yang kita ambil dari universitas, abis itu dari kementerian PPA, dan juga dengan ahli forensik,” ujar Kasat Reskrim Polres Tangsel, AKP Wira Graha Setiawan saat dihubungi, Selasa (9/12/2025).
    Dasar analisis para ahli tersebut mengacu pada rekam medis korban.
    Oleh karena itu, dokter dilibatkan untuk membaca serta menyimpulkan temuan dari rekam medis tersebut.
    “Inikan
    basic
    -nya kita hanya berdasarkan dari rekam medis nih. Kemarin saya minta PPA buat cari ahli dokter yang bisa membaca rekam medis dan menyimpulkan itu,” kata dia.
    Selain itu, penyidik juga masih melanjutkan pemeriksaan terhadap keluarga korban untuk memperdalam keterangan terkait kondisi korban sebelum meninggal.
    “Yang kita lakukan adalah tetap pemeriksaan terhadap keluarga korban,” imbuh dia.
    Sebelumnya, Polisi telah memeriksa enam saksi terkait dugaan perundungan yang dialami MH.
    Saksi yang dimintai keterangan termasuk sejumlah guru di sekolah korban.
    MH diduga menjadi korban perundungan pada 20 Oktober 2025, ketika kepalanya dihantam kursi besi oleh teman sekelasnya.
    Ia mengalami luka serius dan sempat dirawat di rumah sakit swasta di Tangerang Selatan, sebelum dirujuk ke RS Fatmawati pada 9 November 2025.
    Kondisinya terus menurun dan ia masuk ICU dengan intubasi sejak 11 November, hingga meninggal pada Minggu pagi.
    Kabar duka itu pertama kali dibagikan LBH Korban yang mendampingi keluarga.
    “Korban sudah tidak ada. Ini saya lagi otw RS,” kata Alvian, pendamping LBH Korban, yang menerima kabar sekitar pukul 06.00 WIB.
    Kepala Dinas Pendidikan Tangsel, Deden Deni, turut membenarkan informasi tersebut.
    Polisi juga memastikan penyelidikan akan terus berjalan, termasuk pendalaman terhadap enam saksi yang telah diperiksa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Desember 2025

    Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain Nasional 8 Desember 2025

    Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Pesatnya kemajuan teknologi informasi membawa dampak signifikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk cara anak-anak tumbuh dan berinteraksi.
    Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, ruang digital juga menyimpan potensi risiko yang mengancam tumbuh kembang anak, mulai dari paparan konten berbahaya,
    cyber bullying
    , hingga eksploitasi data pribadi.
    Menyadari urgensi tersebut, sejumlah negara memperkuat regulasi ruang digitalnya, seperti Australia, Britania Raya, China, Amerika Serikat (AS), Jepang, termasuk Indonesia.
    Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam
    Pelindungan Anak
    , yang dikenal sebagai
    PP Tunas
    , Pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi anak di ruang digital.
    PP Tunas hadir bukan untuk membatasi kreativitas anak di dunia digital, melainkan memastikan mereka tetap aman dan terlindungi. 
    Regulasi ini bertujuan meningkatkan tanggung jawab Penyelenggara Sistem Elektronik (
    PSE
    ) serta mewujudkan tata kelola sistem elektronik yang ramah anak.
    Selain Indonesia, beberapa negara di bawah ini memiliki regulasi terkait pelindungan anak di ruang digital dengan ketentuan yang beragam. 
    1. Australia
    Australia mengesahkan Online Safety Act 2024 sebagai amandemen Online Safety Act 2021 untuk melindungi warganya dari penyalahgunaan ruang digital, seperti pelecehan berbasis gambar,
    cyber abuse
    , atau
    cyber bullying
    .
    Melalui kebijakan tersebut, pemerintah setempat berkomitmen mempercepat respons penghapusan konten dengan memberikan wewenang kepada eSafety Commissioner (eSafety) untuk menghapus konten daring yang dinilai berbahaya.
    Terkait penggunaan media sosial, Parlemen Australia mewajibkan platform media sosial tertentu, yang memiliki konten atau layanan berdasarkan batasan usia, untuk memastikan anak-anak di bawah usia 16 tahun tidak memiliki akun.
    Kebijakan yang diterapkan Australia berfokus pada penguatan regulator, batasan usia kepemilikan akun media sosial, dan penghapusan konten secara cepat.
    Di sisi lain, PP Tunas mengatur akses digital anak berdasarkan usia 13, 16, dan 18 tahun. Anak usia 13 tahun hanya boleh mengakses platform berisiko rendah, usia 16 tahun dapat menggunakan layanan berisiko kecil hingga sedang, sementara usia 16–18 tahun bisa mengakses fitur yang lebih luas.
    Terkait batas minimum usia kepemilikan akun media sosial, PP Tunas tidak mengatur hal ini secara rinci seperti Online Safety Act 2024 milik Australia. Namun, kebijakan terkait pembatasan ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri (Permen)
    Komdigi
    .
    Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar mengatakan, saat ini Komdigi sedang menyusun permen yang mengatur ketentuan teknis, termasuk batasan minimum usia untuk platform yang mengharuskan kepemilikan akun.
    “Diharapkan, (permen) bisa diselesaikan dan terbit dalam waktu yang tidak terlalu lama,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/12/205).
    Meski memiliki perbedaan, Online Safety Act 2024 dan PP Tunas sepakat untuk melindungi konsumen, terutama anak-anak, dari paparan materi berbahaya dalam ruang digital.
    2. Britania Raya
    Pada Januari 2020, Britania Raya melalui Information Commissioner’s Office (ICO) mengesahkan Age Appropriate Design Code (Children’s Code).
    Regulasi tersebut mewajibkan penyedia layanan daring untuk merancang
    ruang digital yang ramah anak
    dengan mempertimbangkan kebutuhannya.
    Selain itu, setiap platform juga harus proaktif menilai usia pengguna dan memastikan pengaturan privasi dirancang pada tingkat privasi tertinggi bagi anak. Platform digital juga dilarang menggunakan teknik
    nudging
    yang mendorong anak memberikan data pribadi yang tidak diperlukan.
    Children’s Code yang berlaku di Britania Raya sejak September 2020 selaras dengan isi PP Tunas. Keduanya menuntut PSE untuk menciptakan ruang digital yang ramah anak.
    PP Tunas Pasal 17 huruf A secara khusus melarang PSE menerapkan praktik terselubung dan tidak transparan yang mendorong anak mengungkapkan data pribadi lebih dari yang diperlukan. Adapun Pasal 19 melarang
    profiling
    data anak untuk kepentingan komersialisasi.
    Kedua pasal tersebut sejalan dengan prinsip Children’s Code dalam membatasi pengumpulan dan pemanfaatan data anak.
    3. China
    Minor Protection Law (MPL) & Online Gaming Regulations di China menerapkan pendekatan yang ketat dengan fokus pada pelindungan anak dari bahaya
    game online
    dan kecanduan internet. 
    Kebijakan tersebut mewajibkan platform
    game online
    menampilkan nama asli pengguna, membatasi durasi bermain bagi anak di bawah 18 tahun, serta melarang penyediaan layanan
    game online
    untuk anak di bawah 18 tahun pada pukul 10.00 malam hingga 08.00 pagi.
    Seperti halnya MPL di China, PP Tunas Pasal 15 juga mengatur tanggung jawab PSE dalam menyediakan layanan
    game online
    . Namun, PP Tunas lebih menekankan pada tanggung jawab perlindungan data anak, sementara China lebih fokus pada pembatasan waktu dan durasi.
    Jika dibandingkan dengan regulasi dari tiga negara tersebut, PP Tunas mengatur tanggung jawab PSE secara komprehensif, mulai dari rancangan platform, pelindungan data, hingga kewajiban menyediakan fitur pengamanan digital bagi anak.
    Peneliti media sosial dan kesejahteraan sekaligus dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Eka Riyanti Purboningsih menyambut positif kehadiran PP Tunas.
    Menurut Eka, perlindungan anak di ruang digital merupakan hal yang rentan karena ruang digital terkadang sulit diawasi orangtua dan arus informasinya tidak dapat disaring. Oleh karena itu, ia mengaku bersyukur dengan lahirnya PP Tunas.
    “PP Tunas menunjukkan perhatian dan
    concern
    pemerintah pada perlindungan anak di era digital. Saya pribadi bersyukur akhirnya keluar juga PP ini,” ujar Eka, seperti dikutip Kompas.com, Senin (1/12/2025).
    Ia menilai, tantangan penerapan PP Tunas terletak pada konsistensi, kolaborasi, dan dukungan lintas pihak. Eka menekankan pentingnya keterlibatan orangtua dan guru sebagai pendamping utama anak di rumah dan di sekolah.
    “Dengan melibatkan sekolah, kita bisa menjangkau mayoritas anak di Indonesia. Guru bisa menjadi ujung tombak edukasi digital yang sehat,” ucapnya.
    Senada dengan Eka, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan mengatakan bahwa edukasi digital juga harus diberikan kepada orangtua dan sekolah sebagai komponen penting dalam menciptakan perlindungan anak di ruang digital.
    Menurutnya, kini terdapat jurang antara pemahaman anak dengan orangtua terkait internet dan gawai yang membuat orangtua tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai pendamping aktivitas anak di ruang digital.
    “Di sisi lain, ada orangtua yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang digital cukup memadai, tetapi sibuk dan tidak punya waktu untuk membersamai, mendampingi, mengedukasi, dan mengawasi anak,” kata Kawiyan, dilansir dari Kompas.com, Rabu (26/11/2025).
    Sementara itu, sekolah wajib menyediakan fasilitas internet untuk mendukung kegiatan belajar dengan tetap memastikan tidak ada penyimpangan selama anak-anak beraktivitas di ruang digital.
    “Sekolah harus menjadi ruang aman bagi anak untuk belajar dan mengembangkan diri, termasuk aman di ruang digital. Melindungi anak bukan dengan melarang mereka membawa
    handphone
    (HP) ke sekolah, tetapi bagaimana anak bisa bersikap bijak,” jelas Kawiyan.
    Lebih lanjut, ia menekankan bahwa tanpa edukasi dan pendampingan, anak-anak akan tetap menjadi pihak yang paling rawan terhadap kekerasan di ranah digital.
    “Karena itu, penting sekali jika PP Tunas mewajibkan PSE untuk melakukan edukasi dan memberdayakan ekosistem digital kepada orangtua, anak, sekolah, dan masyarakat,” tegas Kawiyan.
    Ia berharap, pemerintah dapat menjalankan PP Tunas dengan pengawasan ketat serta memastikan produk, layanan, dan fitur yang disediakan PSE sudah ramah anak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Marak Kasus Perundungan di Jakarta, Tania Nadira: Stop Bullying

    Marak Kasus Perundungan di Jakarta, Tania Nadira: Stop Bullying

    Jakarta, Beritasatu.com – Selebritas sekaligus anggota DPRD Jakarta Fatimah Tania Nadira Alatas prihatin dengan maraknya kasus bullying di ibu kota.

    Mantan istri Tommy Kurniawan itu menekankan, pentingnya kesadaran masyarakat, khususnya di lingkungan sekolah, untuk menanggulangi perundungan.

    Tania Nadira menyebut, fenomena bullying kini bukan lagi hal kecil, melainkan semakin kompleks seiring perkembangan teknologi dan media digital.

    “Fenomena bullying ini bukan hanya fenomena yang kecil lagi tapi sekarang semakin kompleks dan semakin hari ada saja laporan yang mengkhawatirkan, apalagi ini eranya digital,” ujar Tania Nadira Alatas dikutip Instagram miliknya, Minggu (7/12/2025).

    Tania Nadira Alatas menyebut, merendahkan orang lain bukanlah hal yang bisa dianggap candaan.

    “Berbeda itu hak, tapi menghina itu salah. Kuat buat berarti merendahkan orang lain dan bullying bukan candaan. Bullying menyisakan luka yang tidak terlihat tapi akan menyakitkan,” terangnya.

    Ia menekankan, pentingnya menjadi alasan seseorang merasa lebih kuat, bukan lebih terluka, serta menghargai perjuangan setiap orang.

    Tania Nadira Alatas mengatakan, bullying berdampak panjang bagi korban, termasuk menurunnya prestasi, trauma, hilangnya rasa percaya diri, hingga risiko depresi dan menyakiti diri sendiri.

    “Maka itu stop bullying, start caring, dan mari tingkatkan kesadaran, ketegasan, sanksi, serta jaminan keamanan terhadap seluruh warga, khususnya anak dan remaja,” tuturnya.

    Berdasarkan data KPAI dan jaringan pemantau pendidikan Indonesia (JPPI), kekerasan atau perundungan di lingkungan pendidikan terus meningkat. Korban paling banyak berasal dari sekolah dasar (SD) sebesar 26%, sekolah menengah pertama (SMP) yaitu 25%, dan sekolah menengah atas (SMA) sebesar 18,79%.

    Bentuk perundungan yang terjadi didominasi, yaitu kekerasan fisik sebesar 55,5%, dan kekerasan verbal/psikis sebesar 29,3%.

  • Gaspol Hari Ini: Perjalanan Panjang David Ozora Bangkit dari Bullying
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 Desember 2025

    Gaspol Hari Ini: Perjalanan Panjang David Ozora Bangkit dari Bullying Nasional 6 Desember 2025

    Gaspol Hari Ini: Perjalanan Panjang David Ozora Bangkit dari Bullying
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Perjalanan David Ozora selama dua tahun sebagai penyintas kekerasan bukanlah hal yang mudah.
    David menjadi korban penganiayaan berat oleh Mario Dandy pada awal 2023 lalu, sebuah kasus yang menyita perhatian nasional karena tingkat kekerasannya dan keterlibatan pelaku dari keluarga pejabat.
    Akibat peristiwa itu, David sempat koma dan menjalani perawatan panjang.
    Bahkan, ia masih harus menanggung dampak psikis serta psikologis hingga kini.
    Ayah David,
    Jonathan Latumahina
    , mengatakan, proses memulihkan rasa aman dan kepercayaan diri anaknya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
    “Yang harus diketahui oleh orangtua, trauma karena
    bullying
    itu dibawa sampai mati,” kata Jonathan, dalam podcast Gaspol! yang tayang di YouTube Kompas.com, Sabtu (6/12/2025).
    “Supaya kita
    aware
    , dampak dari
    bullying
    itu enggak sesederhana itu. Kalau zaman dulu itu ada namanya plonco, (kekerasan) enggak sesederhana itu,” sambung dia.
    Setahun terakhir, keluarga menghadapi berbagai tantangan, mulai dari perawatan medis berkala hingga penyesuaian David dalam kembali berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
    Jonathan menuturkan, David sempat kembali bersekolah formal.
    Namun, masa adaptasi itu tidak berjalan mulus.
    David yang masih membawa dampak psikologis dari peristiwa
    kekerasan
    kerap menunjukkan perilaku membandel.
    Melihat kondisi tersebut, Jonathan akhirnya memutuskan untuk meminta David mengundurkan diri demi memulihkan diri secara lebih terarah.
    “Ini untuk mengajarkan hidup, itu ada yang namanya konsekuensi dari hal-hal yang kamu lakukan,” kata Jonathan.
    Meski begitu, Jonathan mengakui bahwa hubungan dirinya dengan David justru berubah menjadi lebih dekat.
    Proses pendampingan yang intens selama masa pemulihan membuat keduanya lebih terbuka dan saling memahami kebutuhan masing-masing.
    Seperti apa kisah lengkapnya?
    Simak obrolan selengkapnya dalam podcast Gaspol! yang tayang perdana hari ini, pukul 20.00 WIB.

    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Upaya Pemerintah Cegah Candu Digital: Tunggu Anak Siap Sesuai Perkembangannya
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 Desember 2025

    Upaya Pemerintah Cegah Candu Digital: Tunggu Anak Siap Sesuai Perkembangannya Nasional 6 Desember 2025

    Upaya Pemerintah Cegah Candu Digital: Tunggu Anak Siap Sesuai Perkembangannya
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Di tengah euforia kemajuan teknologi digital, sebuah ancaman senyap kian menguat, yakni candu digital, kondisi yang merujuk pada kecanduan terhadap ponsel, media sosial, dan berbagai layanan daring.
    Secara neurologis, fenomena problematik tersebut dipicu oleh pelepasan dopamin yang intens, terjadi ketika pengguna, terutama anak-anak dan remaja, mendapatkan
    reward
    secara cepat dan terus menerus saat menjelajah internet.
    Masalahnya, anak-anak belum memiliki kemampuan untuk “mengerem” sensasi itu. Ketika dipaksa berhenti, mereka mengalami mengidam (
    craving
    ) yang intens, sehingga bisa bermanifestasi sebagai sifat mudah marah (
    irritable
    ), pembangkangan, agresi, atau berusaha keras untuk kembali ke layar mereka.
    Buku
    Sekilas tentang PP TUNAS, Pelindungan Anak di Ruang Digital
    yang dirilis Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media (DJKPM) menyatakan, sekitar 48 persen pengguna internet di Indonesia adalah anak di bawah usia 18 tahun.
    Lebih mengkhawatirkan lagi, disebutkan bahwa lebih dari 80 persen anak mengakses internet setiap hari dengan rata-rata durasi tujuh jam sehari. 
    Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 menyebutkan, 39,71 persen anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler, sedangkan 35,57 persen lainnya sudah mengakses internet. 
    Sementara itu, riset UNICEF Indonesia bertema “Online Knowledge and Practice of Children in Indonesia: Baseline Study 2023” memaparkan, anak-anak usia 8–18 tahun mengaku menggunakan internet sekitar 5,4 jam per hari.
    Dari riset yang sama, sekitar 50,3 persen anak mengaku pernah melihat konten dewasa (materi seksual/pornografi) di media sosial. Kemudian, 48 persen anak pernah mengalami perundungan (
    bullying
    ), yang kebanyakan dilakukan dalam dunia daring.
    Data tersebut menjadi materi dasar penyusunan regulasi, ditambah dengan maraknya kasus konten negatif,
    eksploitasi data pribadi
    , dan
    cyberbullying

    Untuk menghadapi ancaman digital bagi anak yang kian marak, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas) tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak. 
    Regulasi tersebut dirancang untuk menciptakan ruang digital aman, menangani dampak negatif, seperti konten tidak layak, kecanduan digital, dan eksploitasi data anak.
    Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menegaskan, PP Tunas merupakan bukti keseriusan pemerintah melindungi anak-anak dari kejahatan di ruang digital.
    “Tunas adalah bentuk keberpihakan negara terhadap anak-anak. Kami ingin ruang digital menjadi ruang yang aman, sehat, dan mendukung tumbuh kembang anak Indonesia. Ini bukan sekadar kebijakan, tetapi ikhtiar kolektif kita semua sebagai bangsa,” ujarnya mengutip komdigi.go.id, Jumat (28/3/2025).
    Fokus utama PP Tunas adalah mewajibkan penyelenggara sistem elektronik (PSE) menyaring konten berbahaya, memberikan mekanisme pelaporan yang mudah, dan memastikan remediasi yang cepat.
    PP Tunas juga mengatur verifikasi usia pengguna, penerapan pengamanan teknis, dan larangan profiling data anak untuk kepentingan komersial.
    Salah satu peraturan teknis tersebut mengatur verifikasi umur untuk mengakses layanan digital, termasuk media sosial, berdasarkan tingkat risiko dan kebutuhan akan persetujuan orangtua atau wali.
    Sebagai contoh, usia di bawah 13 tahun hanya diperbolehkan memiliki akun pada produk dan layanan digital berisiko rendah yang dirancang khusus untuk anak-anak serta harus seizin orangtua. 
    Sehubungan dengan itu, PP Tunas mewajibkan PSE memiliki mekanisme kontrol orangtua untuk memantau, membatasi akses, melindungi data pribadi anak, hingga menyediakan fitur
    screen time
    yang bisa digunakan orangtua.
    Lebih dari itu, pemerintah juga meluncurkan tunasdigital.id, yaitu panduan praktis bagi orangtua untuk menjaga anak-anak di dunia maya.
    Platform yang juga merupakan turunan dari PP Tunas itu hadir untuk mencegah anak-anak terpapar konten negatif, eksploitasi dan pelecehan, serta mengantisipasi penggunaan gawai secara berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan psikologis anak serta melindungi data pribadi.
    Meutya menjelaskan, platform tersebut tidak hanya berisi materi teoritis, tetapi juga akan diisi dengan beragam
    sharing
    pengalaman dari para bunda, tips menjaga anak saat berselancar di ruang digital, hingga konten edukatif dari para pakar.
    “Konten dari para pakar sangat penting, misalnya terkait mana sih aplikasi yang aman untuk anak, mana aplikasi yang untuk umur dewasa, mana
    games
    yang bisa dimainkan untuk anak-anak usia sekian dan mana games yang belum boleh,” jelasnya.
    Beberapa pengamat dan praktisi
    perlindungan anak
    menyambut positif penerbitan PP Tunas sebagai langkah maju untuk melindungi ruang digital yang aman dan ramah bagi anak.
    Salah satunya adalah Ketua Forum Anak Sukowati (Forasi) Sragen, Sasa Widya. Ia menyambut baik hadirnya PP Tunas yang dapat melindungi anak-anak dan kelompok rentan di dunia maya. 
    “Dengan adanya PP Tunas, kami merasa pemerintah semakin memperkuat langkah perlindungan anak di ruang digital. Ini sejalan dengan apa yang sudah kami lakukan selama ini,” katanya melansir Kompas.com, Rabu (15/10/2025). 
    Sasa mengaku cukup sering menemukan berbagai bentuk konten negatif di dunia maya yang bisa berpotensi membahayakan anak-anak, mulai dari
    chat
    bernada seksual, ujaran kebencian, hingga promosi judi
    online

    “Kalau ada ketemu hal begitu, tindakan yang kami sarankan ke teman-teman adalah memblokir akun tersebut. Sejauh ini belum pernah menemukan kasus ekstrem, tapi yang ringan seperti itu cukup sering,” tuturnya.
    Sementara itu, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mengingatkan pemerintah untuk tidak berhenti pada pembuatan regulasi, tetapi juga pada pengawasan. 
    Ketua LPAI Seto Mulyadi mengatakan, sanksi tegas akan memberikan efek jera bagi penyelenggara platform digital dan mendorong mereka untuk mematuhi regulasi yang telah ditetapkan.
    “Platform digital yang melanggar perlu dicabut izinnya. Kami berharap pemerintah tidak hanya memberikan peringatan, tetapi juga tindakan nyata untuk memastikan bahwa anak-anak kita terlindungi dari konten yang berbahaya,” tegasnya mengutip komdigi.go.id, Minggu (30/3/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DKI kemarin, lansia terjebak reruntuhan hingga rekrutmen pegawai TJ

    DKI kemarin, lansia terjebak reruntuhan hingga rekrutmen pegawai TJ

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah peristiwa mewarnai Jakarta pada Kamis (4/12), mulai dari seorang perempuan lansia yang terjebak reruntuhan hingga rekrutmen pegawai Transjakarta (TJ).

    Berikut berita selengkapnya yang dapat Anda simak kembali pagi ini:

    1. Petugas evakuasi lansia yang terjebak reruntuhan bangunan di Tambora

    Petugas mengevakuasi seorang wanita lansia yang sedang sakit bernama Rodiah (68) dan terjebak reruntuhan bangunan di Jalan Kopi, RT 08 RW 03 Roa Malaka, Tambora, Jakarta Barat, pada Kamis.

    Baca di sini

    2. “Bullying” di sekolah, sejumlah orang tua siswa lapor polisi

    Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta, Justin Adrian Untayana mengatakan, Dinas Pendidikan harus mencabut izin operasional sekolah yang tak mampu memberikan keamanan dan keadilan di sekolah serta tidak merespon terhadap perundungan (bullying).

    Baca di sini

    3. Jakut sediakan 35 layanan HIV

    Pemerintah Kota Jakarta Utara telah menyediakan 35 layanan “Human Immunodeficiency Virus” (HIV) sehingga dapat dimanfaatkan masyarakat dalam mendapatkan layanan pengobatan dan pencegahan penularan penyakit tersebut.

    Baca di sini

    4. Jakut tambal tanggul Pelindo Muara Baru yang bocor

    Suku Dinas Sumber Daya Air Jakarta Utara menambal tanggul Pelindo Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, yang bocor akibat permukaan air laut naik sehingga menyebabkan tekanan pada struktur tanggul.

    Baca di sini

    5. Rekrutmen pegawai Transjakarta gratis

    PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) tak mengenakan biaya untuk seluruh tahapan proses rekrutmen calon pegawai sehingga masyarakat perlu waspada terhadap informasi lowongan kerja yang beredar.

    Baca di sini

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • “Bullying” di sekolah, sejumlah orang tua siswa lapor polisi

    “Bullying” di sekolah, sejumlah orang tua siswa lapor polisi

    Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta, Justin Adrian Untayana mengatakan, Dinas Pendidikan harus mencabut izin operasional sekolah yang tak mampu memberikan keamanan dan keadilan di sekolah serta tidak merespon terhadap perundungan (bullying).

    “‘Bullying’ terus dihadapi oleh anak-anak kita di sekolah. Hal ini sangat disayangkan karena saya juga sudah berulangkali menyoroti permasalahan ini,” kata Justin di Jakarta, Kamis.

    Dia mengungkapkan, ada sejumlah orang tua yang telah melapor ke Kepolisian terkait “bullying” di Sekolah Dasar Kristen (SDK) Penabur Kelapa Gading, Jakarta Utara (Jakut).

    Justin menilai bahwa adanya laporan kepada Kepolisian oleh para orang tua murid perihal perundungan merupakan indikasi pihak sekolah tidak merespon keluhan mereka.

    “Dilaporkannya kasus-kasus ‘bullying’ ini kepada pihak Kepolisian semakin mempertebal dugaan ketidakseriusan pihak sekolahan,” katanya.

    Kemungkinan besar para orang tua dari murid yang terdampak melaporkan hal itu karena tak kunjung mendapatkan keadilan dari pihak sekolah.

    Ia menyatakan, apabila pihak sekolah serius dalam mengatasi “bullying” dan menindak para pelakunya secara tegas, mungkin para orang tua murid tidak perlu menghabiskan energi untuk pergi ke Kepolisian.

    Justin menambahkan bahwa sebelumnya ada juga orang tua siswa di SD Gandhi School Ancol yang melaporkan kasus “bullying” terhadap anaknya. Kejadian-kejadian ini menunjukkan adanya darurat perundungan di Jakarta.

    Dia pun mendorong penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Anti-Bullying untuk mengatasi masalah perundungan di Jakarta.

    “Kita harus mempertimbangkan pemberian sanksi denda dan atau kurungan bagi orang tua-orang tua yang anaknya melakukan ‘bullying’ di Jakarta,” kata dia.

    Selain itu, seharusnya sekolah juga bisa secara tegas menerapkan sanksi-sanksi nyata terhadap murid-muridnya yang melakukan perundungan sekalipun dalam kadar yang ringan.

    “Apabila tak mampu sebaiknya cabut saja izin operasi dari sekolah-sekolah tersebut,” katanya.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Literasi Keuangan hingga Kesehatan Mental Jadi Fokus Penguatan ASN Tuban

    Literasi Keuangan hingga Kesehatan Mental Jadi Fokus Penguatan ASN Tuban

    Tuban (beritajatim.com) – Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Tuban membahas pentingnya kesehatan sebagai pondasi kinerja pelayanan publik dengan menyasar sebanyak 600 peserta terdiri dari ASN, Kepala Desa beserta Perangkat Desa, Kepala Sekolah dan Pelajar.

    Dalam diskusi ini, BKPSDM kemas menjadi Gelaran Tuban Rapakat Sesi 2 di Jatirogo dengan narasumber yang dihadirkan yaitu Indrawan Nugroho dari Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Timur, dr. Ita Fajria Tamim, M.Kes., seorang dokter dan penulis, dan Umi Kulsum sebagai Kepala Kantor Kemenag Tuban.

    Dalam paparannya, Indrawan Nugroho selaku Asisten Direktur Pengawasan Pelayanan Publik Dan Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa kesehatan masyarakat juga harus dilihat pada aspek finansial. Menurutnya, literasi keuangan yang baik, akan menjadi aparatur dan masyarakat bisa lebih terjamin kehidupannya.

    “Mereka akhirnya terhindar dari berbagai tindak kejahatan finansial seperti pinjaman online illegal, penipuan, hingga pencurian data pribadi,” ujar Indrawan Nugroho.

    Namun, disisi lain dr. Ita Fajria Tamim menekankan perlunya kesadaran secara personal maupun kolektif untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Fisik yang kuat hendaknya dibarengi dengan mental yang sehat. “Upaya ini dapat ditempuh dengan menghindarkan diri dari perilaku negatif, seperti bullying dan berprasangka buruk,” ungkap dr. Ita Fajria Tamim.

    Sedangkan, Kepala Kantor Kemenag Tuban, Umi Kulsum justru mengajak masyarakat untuk mendukung upaya pemerintah dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Sehingga, untuk mewujudkannya dengan mempersiapkan generasi penerus mulai dari sebelum pernikahan. “Dengan membekali remaja dengan pemahaman yang lengkap, akan melahirkan generasi penerus yang unggul,” jelas Umi Kulsum.

    Sementara itu, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Tuban, dr. Moh. Masyhudi menjelaskan soal tema yang diangkat, menjadi ASN yang sehat merupakan pondasi pelayanan yang berkualitas. Artinya, kondisi ASN sehat secara fisik dan mental akan menunjang tata pemerintahan maupun pelayanan publik.

    “Selain sehat fisik dan mental, aparatur Pemkab Tuban diharapkan mampu mewujudkan sehat sosial dan digital. Kondisi ini mendukung tranformasi digital dan inovasi pelayanan,” kata Moh. Masyhudi.

    Mantan Direktur RSUD dr. R. Koesma ini juga menekankan ASN agar selalu menjaga perilaku hidup sehat, mampu mengelola stres, pemeriksaan kesehatan berkala, dan mewujudkan perilaku kerja yang sehat. Sehingga, dalam pelaksanaannya, diperlukan komitmen kuat agar 4 dimensi kesehatan tersebut bisa terjaga.

    “Harapannya, adanya kegiatan ini kian memperkuat komitmen ASN Tuban untuk menjadi aparatur yang sehat, berintegritas, dan lebih dekat dengan masyarakat,” pungkasnya. [dya/aje]