Kampung Bilik Bakal Jadi TPU, Warga Tolak Disebut “Liar” dan Minta Jaminan Nasib
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Rencana Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat membangun lahan pemakaman (TPU) baru di kawasan Pegadungan dan Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, menuai polemik dari warga sekitar.
Keberatan warga muncul karena undangan sosialisasi dari pemerintah dinilai menyinggung dan menyebut mereka sebagai “penghuni liar”.
Kasudin Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat, Dirja Kusumah, menjelaskan rencana itu masih dalam tahap sosialisasi kepada warga.
“Saat ini dalam tahap sosialisasi. Letaknya itu nanti di sebelah
TPU Tegal Alur
. Akses masuknya juga sama jalannya, di sebelah TPU Tegal Alur,” kata Dirja saat dikonfirmasi, Senin (24/11/2025).
Dirja menambahkan, sosialisasi dilakukan karena banyaknya bangunan semi permanen yang berdiri di atas lahan yang merupakan aset Pemda DKI Jakarta.
“Kurang lebih 65 hektar, tapi kan itu lahannya itu masih banyak bangunan-bangunan liar, jadi kami sosialisasikan dulu gitu untuk akan adanya TPU ini nanti ke warga-warga yang ada di sana,” ujarnya.
Meski begitu, undangan sosialisasi memunculkan protes karena dinilai menyinggung status warga. Budi (46), salah satu warga RT 02 RW 07 yang tinggal di lokasi selama 25 tahun, menegaskan keberadaan warga diakui secara administratif, dibuktikan dengan KTP dan partisipasi dalam Pemilu.
“Kami menolak dong (disebut liar). Nyoblos juga nyoblos. KTP pun sama, DPR RI, sampai ke Gubernur, sampai ke Presiden nih, punya hak pilih,” ujar Budi.
Ia juga menyoroti adanya papan nomor rumah resmi dari RT dan RW di rumahnya.
“Nah ini aja kan ada ini (nomor rumah), resmi, artinya kan kami terdata, enggak liar, enggak,” ucap Budi.
Lusi (42), warga lainnya, juga merasa sakit hati saat menerima undangan dari kelurahan yang menuliskan “penghuni dan bangunan liar”.
“Kemarin kan ada kami dapat (undangan) ini dari mereka, dari pihak tim lurah. Di undangannya itu mengatasnamakan penghuni dan bangunan liar. Itu yang saya tangkap. Sadis, kan?” kata Lusi.
Akibat polemik tersebut, warga menunda penyerahan data kependudukan untuk pendataan warga terdampak. Budi menjelaskan, penyerahan data akan dianggap sebagai persetujuan untuk pindah, padahal belum ada kesepakatan resmi terkait relokasi.
“Sementara ini kita masih menunda dulu penyerahan data warga. Menolak kan kalau bahasa mereka penolakan, kan, kita tunda. Sebelum adanya kejelasan tadi,” ungkap Budi.
Warga menegaskan mendukung pembangunan TPU, tetapi meminta kepastian tertulis terkait hak mereka sebelum penggusuran dilakukan.
“Kami sebagai warga negara, intinya kami siap mengikuti peraturan pemerintah. Tapi terkadang peraturan pemerintah itu kan apakah memang benar-benar berpihak kepada rakyat? Kalau masih ada nuansa yang belum jelas, sementara ini kita masih menolak, atau menunda,” ujar Budi.
Namun, ia menyayangkan mekanisme sosialisasi yang dinilai tidak transparan dan terkesan terburu-buru. Warga hanya menuntut adanya perjanjian tertulis yang akan menjamin hak-hak mereka sebelum eksekusi lahan dilakukan.
Meskipun menolak penggusuran terburu-buru, warga memahami minimnya lahan makam di Jakarta Barat dan mendukung pembangunan TPU.
“Kami juga mendukung setiap warga masyarakat yang ketika sudah meninggal itu perlu diurus, gitu, ya, dengan adanya pembangunan TPU. Ya, kita sepakat, kami mendukung itu,” jelas Budi.
Namun, Budi menegaskan bahwa hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan kebutuhan warga yang masih hidup.
“Tapi alangkah baiknya juga nih warga juga yang masih punya nyawa nih harus diurus juga, diperhatikan juga. Harapannya, ya, kami minta solusi yang terbaik aja lah. Jangan cuma hanya sekadar wacana aja,” lanjutnya.
Lusi menambahkan, lahan TPU Tegal Alur yang jaraknya sekitar 300 meter dari permukiman masih luas, sehingga penggusuran seharusnya tidak dilakukan terburu-buru.
“Kalau genting kayaknya enggak. TPU Tegal Alur aja masih luas banget kan? Ya mending rapiin di sana kalau mau cepet, enggak usah buru-buru menggusur warga,” ujarnya.
Budi juga menyoroti adanya dualisme kepemilikan lahan. Pemda mengklaim lahan seluas 65 hektar sebagai aset yang diserahkan oleh PT Duta Pertiwi, namun di lokasi terdapat plang yang menunjukkan lahan atas nama RH Soedirdjo seluas 300 hektar.
“Jadi, kan masih ada dualisme yang belum jelas, ini memang sebenarnya tanah punya siapa?” ujar Budi.
Pantauan
Kompas.com
menunjukkan dua plang kepemilikan lahan di area depan perkampungan.
Satu berisi klaim individu atas nama RH Soedirdjo berdasarkan HGU No.1/Kamal, dan satu lagi berwarna hijau berisi informasi bahwa area tersebut merupakan aset Pemprov DKI Jakarta.
“Tanah Milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Cq. Dinas Pertamanan dan Hutan Kota,” tulis plang tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kampung Bilik Bakal Jadi TPU, Warga Tolak Disebut "Liar" dan Minta Jaminan Nasib Megapolitan 25 November 2025
/data/photo/2025/11/25/69249f1211f83.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)