Kaltim Terancam “Bom Waktu” Bencana: Hutan Menyusut, Tambang dan Sawit Jadi Sorotan Regional 10 Desember 2025

Kaltim Terancam “Bom Waktu” Bencana: Hutan Menyusut, Tambang dan Sawit Jadi Sorotan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        10 Desember 2025

Kaltim Terancam “Bom Waktu” Bencana: Hutan Menyusut, Tambang dan Sawit Jadi Sorotan
Tim Redaksi
SAMARINDA, KOMPAS.com
– Deretan banjir bandang dan longsor yang menelan korban serta melumpuhkan permukiman di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar bencana alam.
Bagi
Kalimantan Timur
(Kaltim), peristiwa itu adalah cermin masa depan jika pola pengelolaan hutan dan sumber daya alam terus berjalan seperti sekarang.
Pengamat Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Mulawarman
,
Saipul Bahtiar
, menilai risiko bencana di Kaltim bukan lagi potensi, melainkan bom waktu yang ditanam lewat kebijakan negara selama puluhan tahun.
“Ini bukan kejadian tiba-tiba. Dari era kayu, lalu masuk ke tambang terbuka dan sawit. Semua itu sama-sama menebang hutan. Dampaknya hari ini mulai kita rasakan,” kata Saipul dalam wawancara, Rabu (10/12/2025).
Saipul menelusuri akar persoalan sejak era Orde Baru, ketika Kalimantan menjadi pusat eksploitasi kayu untuk pasar domestik dan ekspor.
Setelah era kayu meredup, eksploitasi bergeser ke pertambangan, yang pada awalnya masih menggunakan metode tertutup.
Perubahan drastis terjadi sejak awal 2000-an.
Model tambang terbuka dan ekspansi besar-besaran perkebunan sawit mulai dijalankan secara paralel, didukung kebijakan nasional dan kemudahan perizinan.
“Tambang terbuka dan sawit itu sama-sama mengunduli lahan. Hutan ditebang, lalu diganti lahan industri,” ujarnya.
Menurut Saipul, pergeseran ini mengubah struktur ekologis Kaltim secara fundamental.
Daya serap air yang selama ini dijaga hutan hujan tropis perlahan hilang, sementara permukaan tanah berubah menjadi bentang lahan terbuka yang rentan banjir dan longsor.
Pemerintah kerap menyebut aktivitas tambang dan sawit telah memenuhi standar ramah lingkungan. Namun, Saipul menilai klaim itu tidak sejalan dengan kondisi di lapangan.
Salah satu indikator yang disorot adalah kualitas air sungai.
Sungai Mahakam dan sejumlah anak sungainya menjadi sumber utama air baku masyarakat, namun kini terpapar limbah industri.
“Air sungai sudah tercemar sisa batubara, pupuk sawit, dan pestisida. Tapi inilah air yang dipakai warga untuk minum dan kebutuhan harian,” katanya.
Kondisi tersebut, menurut Saipul, menunjukkan adanya kegagalan negara dalam melindungi hak dasar warga atas lingkungan hidup yang sehat.
Masalah lain yang tak kalah krusial adalah reklamasi pascatambang.
Secara aturan, perusahaan wajib memulihkan lahan setelah izin berakhir.
Namun di lapangan, lubang-lubang tambang dibiarkan menganga.
“Dana jaminan reklamasi itu tidak rasional. Jumlahnya jauh dari cukup untuk mengembalikan lahan ke kondisi semula. Akhirnya reklamasi formalitas saja,” ujar Saipul.
Ia menyebut, bekas lubang tambang yang berubah menjadi danau tanpa pengamanan kini tersebar di berbagai wilayah Kaltim, bahkan dekat permukiman warga.
Saipul menegaskan, kerusakan lingkungan di Kaltim diperparah oleh perubahan jenis vegetasi.
Akar pohon hutan hujan tropis berfungsi menyerap, menyimpan, dan mengatur aliran air.
Fungsi ini tidak tergantikan oleh tanaman monokultur seperti sawit.
“Ketika hutan diganti sawit atau tambang, sistem alami pengendali banjir hilang. Dalam kondisi hujan ekstrem, bencana tinggal menunggu waktu,” katanya.
Ia menilai, potensi bencana di Kaltim bahkan lebih besar dibanding wilayah Sumatera dan Aceh, mengingat skala bukaan lahan yang sudah sangat luas.
Dalih pertumbuhan ekonomi kerap digunakan untuk mempertahankan ekspansi tambang dan sawit.
Namun, Saipul mempertanyakan narasi bahwa investasi otomatis membawa kesejahteraan masyarakat.
“Yang menikmati keuntungan itu pemilik modal. Masyarakat sekitar tambang justru mewarisi banjir, jalan rusak, dan kemiskinan,” ujarnya.
Saipul menyebut banyak wilayah kaya batubara di Kaltim tetap tertinggal secara sosial dan infrastruktur.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan antara kontribusi sumber daya alam dan kesejahteraan rakyat.
Sejak kewenangan perizinan ditarik ke pemerintah pusat, menurut Saipul, proses mitigasi bencana justru makin diabaikan.
Banyak izin diterbitkan tanpa kajian risiko ekologis yang serius.
“Ini bentuk pengabaian mitigasi. Ketika bencana terjadi, yang disalahkan pemerintah sebelumnya. Pola seperti ini berulang dan tidak pernah selesai,” katanya.
Ia menilai, kebijakan hari ini lebih berorientasi pada angka pendapatan jangka pendek ketimbang keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat.
Saipul menegaskan, revisi kebijakan masih mungkin dilakukan.
Namun, jika pola eksploitasi terus berlanjut, Kaltim berisiko menghadapi bencana yang jauh lebih besar di masa depan.
“Kalau mau jujur, ini memang terlambat. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” ujarnya.
Ia juga mengkritik klaim keberhasilan daerah yang sering dibanggakan lewat besarnya kontribusi Kaltim terhadap pendapatan nasional.
Menurut Saipul, data penguasaan lahan, pajak, dan manfaat ekonomi belum pernah dibuka secara transparan ke publik.
Menurut Saipul, akar persoalan terletak pada penguasaan sumber daya alam oleh swasta.
Selama batubara dan sawit dikelola privat, manfaatnya tidak akan mengalir ke masyarakat luas.
“Kalau benar untuk kesejahteraan rakyat, seharusnya dikelola negara lewat BUMN atau BUMD. Kalau tidak, ini hanya pembohongan publik,” tegasnya.
Ia mengingatkan, tanpa perubahan arah kebijakan, Kaltim berpotensi mewarisi krisis lingkungan yang lebih parah daripada bencana yang kini melanda wilayah lain di Indonesia.
“Yang tersisa nanti bukan kesejahteraan, tapi alam yang hancur dan masyarakat yang menanggung akibatnya,” tutup Saipul.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.