kab/kota: Yerusalem

  • Afrika Perjuangkan Kursi Tetap Dewan Keamanan di Sidang Umum PBB

    Afrika Perjuangkan Kursi Tetap Dewan Keamanan di Sidang Umum PBB

    Jakarta

    Para pemimpin Afrika yang menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) di New York tahun ini datang dengan agenda jelas: memperjuangkan keterwakilan yang lebih besar di organisasi dunia, mendorong perdamaian dan keamanan, serta menggalang sumber daya untuk pembangunan berkelanjutan.

    Tahun ini, UNGA mendapat moto, “Lebih Baik Bersama: 80 Tahun dan Lebih untuk Perdamaian, Pembangunan, dan Hak Asasi Manusia”. Pemimpin Afrika diperkirakan akan menuntut keterwakilan yang mencerminkan meningkatnya relevansi geopolitik Benua Hitam dan mengoreksi marjinalisasi historis yang telah lama terjadi.

    Namun, aspirasi tersebut dibayangi tantangan mendesak dan tuntutan reformasi yang belum terwujud.

    Sidang berlangsung di tengah krisis global dari Gaza hingga Ukraina, dan diwarnai pertanyaan besar soal apakah Amerika Serikat, dengan kebijakan luar negeri Donald Trump, masih siap memegang peran kepemimpinan di dunia.

    Namun konflik di wilayah Sahel dan bagian timur Republik Demokratik Kongo (DRC), misalnya, di mana pemberontak M23 yang didukung Rwanda menguasai wilayah timur, termasuk kota Goma dan Bukavu, kemungkinan tidak akan mendapat perhatian besar di Sidang Umum PBB.

    Tuntutan reformasi menguat

    Tuntutan reformasi terhadap PBB bukan hal baru. Namun tahun ini, pemimpin Afrika kembali menuntut kursi permanen di Dewan Keamanan PBB. Mereka menyebut struktur yang ada saat ini sudah usang dan tidak adil.

    Meski negara Afrika menyumbang besar dalam misi perdamaian PBB dan pembangunan global, representasi di pengambilan keputusan penting tetap minim.

    “Kelima anggota tetap ini pada dasarnya membuat keputusan atas nama lebih dari 85% populasi dunia yang tinggal di negara-negara Selatan Global,” ujar Ramaphosa.

    “Mereka terus menggunakan hak veto untuk melumpuhkan aksi kolektif dan menghalangi respons tepat waktu terhadap krisis, bahkan ketika pelanggaran hukum internasional terjadi secara terang-terangan,” tambahnya.

    Ketimpangan ini, kata Ramaphosa, merusak netralitas dan kredibilitas PBB.

    Jalan terjal kursi tetap

    Namun jalan Afrika menuju kursi tetap di Dewan Keamanan PBB masih panjang dan rumit.

    “Kita tahu bahwa untuk menambah kursi permanen di Dewan Keamanan, perlu ada amandemen Piagam PBB, yang merupakan dokumen dasar pendirian lembaga ini,” kata analis hubungan internasional Michael Kwadwo Nketiah kepada DW. “Amandemen itu memerlukan dukungan dua pertiga dari negara anggota.”

    “Afrika harus bisa meyakinkan semua anggota lain agar menerima ide bahwa Afrika layak mendapatkan kursi tetap di Dewan Keamanan,” ujar Nketiah. “Itu saja sudah menjadi tantangan besar.”

    Bahkan jika Uni Afrika berhasil mendapatkan dukungan dua pertiga dari 193 negara anggota PBB, resolusi tersebut tetap harus diratifikasi oleh lima anggota tetap: Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Cina dan Rusia.

    “Kelima negara ini belum pernah, dan tampaknya tidak akan, bersedia berbagi kekuasaan dengan anggota lain,” tambah Nketiah.

    Desakan pengakuan negara Palestina

    Cyril Ramaphosa menjadi suara paling vokal dari Afrika dalam mengecam kekerasan yang terus berlangsung di Gaza. Dia berulang kali menegaskan bahwa Afrika Selatan tidak akan tinggal diam terhadap perang tersebut.

    Dalam unggahan di platform X pada Senin (22/9), Ramaphosa menulis bahwa Afrika Selatan berkomitmen pada “pembentukan Negara Palestina yang berdampingan secara damai dengan Negara Israel, berdasarkan perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.”

    Pemimpin Afrika lain juga menyampaikan solidaritas terhadap Palestina, dengan membandingkan perjuangan Palestina dan sejarah kolonialisme serta penindasan yang pernah dialami Afrika.

    “Banyak negara Afrika sejak lama sudah mengakui Palestina,” kata Fidel Amakye Owusu, analis keamanan yang fokus pada urusan Afrika dan geopolitik, kepada DW.

    “Apa yang dianggap baru oleh Barat dalam pengakuan Palestina ini, bagi Afrika adalah hal lama,” ujar Owusu. “Kami selalu mengakui Palestina, dan solusi dua negara sudah lama menjadi agenda.”

    Pekan ini, sejumlah negara seperti Prancis, Inggris, Kanada, Portugal, dan Australia menyatakan pengakuan terhadap Negara Palestina.

    Menurut Owusu, Ramaphosa kini mendorong agar Palestina dinaikkan statusnya dari pengamat menjadi anggota penuh PBB – yang menjamin hak suara dan, bila waktunya tiba, membuka jalan untuk duduk di Dewan Keamanan.

    “Tapi itu akan sangat sulit, karena artinya kelima anggota tetap Dewan Keamanan harus menyetujui,” ujarnya.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Lihat juga Video: Panasnya Pertemuan Trump-Ramaphosa Seusai Singgung Genosida di Afrika

    (ita/ita)

  • Presiden Erdogan Serukan Keanggotaan Penuh PBB untuk Palestina di Tengah Upaya Pengakuan

    Presiden Erdogan Serukan Keanggotaan Penuh PBB untuk Palestina di Tengah Upaya Pengakuan

    JAKARTA – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang tengah berada di Amerika Serikat untuk mengikuti rangkaian Sidang Majelis Umum ke-80 PBB, dalam unggahan media sosial Hari Selasa mendesak keanggotaan penuh bagi Palestina sambil menyatakan harapan akan tindakan yang lebih konkret setelah beberapa negara mendeklarasikan pengakuan terhadap Negara Palestina.

    “Saya berharap negara-negara yang berani mengakui Negara Palestina akan mendukung pendirian bersejarah ini dengan langkah-langkah yang tegas, nyata, dan bersifat pencegahan. Gencatan senjata harus dideklarasikan, bantuan kemanusiaan ke Gaza harus mengalir tanpa hambatan, dan Israel harus menarik pasukannya dari Gaza. Gaza adalah bagian tak terpisahkan dari Palestina dan milik Palestina. Palestina akan menentukan bagaimana mereka akan memerintah tanah mereka sendiri,” ujar Presiden Erdogan, dikutip dari Daily Sabah 24 September.

    “Sudah saatnya Palestina menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sangat penting untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan Palestina, memberikan dukungan finansial dan teknis yang lebih kuat, dan melanjutkan kegiatan organisasi bantuan kemanusiaan seperti UNRWA,” kata Presiden Erdogan.

    Presiden Erdogan berjanji, Turki akan melanjutkan perjuangannya “hingga terbentuknya Negara Palestina yang utuh secara geografis berdasarkan perbatasan tahun 1967 dan dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.”

    Dikutip dari UN News, upaya terbaru untuk menjadikan Palestina anggota penuh PBB dilakukan 18 April 2024. Namun, rancangan resolusi yang merekomendasikan Majelis Umum PBB untuk menjadikan Palestina negara anggota, kandas lantaran veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB. Secara keseluruan, 12 negara mendukung, 2 abstain dan 1 menolak.

    Diketahui, Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal secara resmi mengakui Palestina pada Hari Minggu, menandai tonggak penting bagi kenegaraan Palestina menjelang High Level Week Sidang Majelis Umum PBB pekan ini, di mana lebih banyak negara diperkirakan akan mengikutinya.

    Prancis, Monaco, Luksemburg, Malta dan Andorra mengumumkan pengakuannya atas Negara Palestina pada Hari Senin, disusul dengan San Marino pada Hari Selasa.

  • Apakah Pengakuan dari Banyak Negara Berpengaruh Bagi Palestina?

    Apakah Pengakuan dari Banyak Negara Berpengaruh Bagi Palestina?

    Jakarta

    Prancis menjadi negara terkini yang secara resmi mengakui negara Palestina.

    Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengatakan, “Waktunya untuk perdamaian telah tiba” dan “tidak ada yang membenarkan perang yang sedang berlangsung di Gaza”.

    Prancis dan Arab Saudi menjadi tuan rumah pertemuan puncak satu hari di Majelis Umum PBB yang berfokus pada rencana solusi dua negara untuk konflik tersebut. Negara-negara G7, Jerman, Italia, dan AS, tidak hadir.

    Macron mengonfirmasi bahwa Belgia, Luksemburg, Malta, Andorra, dan San Marino juga akan mengakui negara Palestina, setelah UK, Kanada, Australia, dan Portugal mengumumkan pengakuan tersebut pada Minggu (21/09).

    Macron mengatakan kepada konferensi tersebut bahwa waktunya telah tiba untuk menghentikan perang dan membebaskan sisa sandera Israel yang ditawan oleh Hamas.

    Ia memperingatkan tentang “bahaya perang tanpa akhir” seraya menegaskan “kebenaran harus selalu menang atas kekuatan”.

    Menurutnya, komunitas internasional telah gagal membangun perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah sehingga “kita harus melakukan segala daya upaya untuk menjaga kemungkinan solusi dua negara” yang akan mempertemukan “Israel dan Palestina dalam damai dan aman”.

    Ia mengatakan Prancis hanya akan membuka kedutaan untuk negara Palestina ketika semua sandera yang ditahan Hamas dibebaskan dan gencatan senjata telah disepakati.

    Menjelang pengumuman Macron, bendera Palestina dan Israel dipajang di Menara Eiffel pada Minggu (21/09) malam.

    Sejumlah balai kota di Prancis juga mengibarkan bendera Palestina pada Senin (22/09), meski pemerintah Prancis mengimbau kepada para wali kota untuk menjaga netralitas.

    AFP via Getty ImagesBendera Palestina dipajang di bagian depan Balai Kota Paris, Prancis, Senin (22/09).

    Pengakuan negara Palestina oleh Prancis, Kerajaan Bersatu (UK), Kanada, dan Australia, merupakan momen penting.

    “Palestina tidak pernah sekuat ini di seluruh dunia dibanding sekarang,” kata Xavier Abu Eid, mantan pejabat Palestina.

    “Dunia kini bergerak untuk Palestina.”

    Diplomat Palestina, Huzam Zomlot, pada awal bulan ini menyatakan pengakuan tersebut menjadi momen krusial.

    “Apa yang akan dilihat di New York, mungkin adalah upaya terakhir untuk mengimplementasikan solusi dua-negara. Jangan sampai itu gagal” kata Zomlot memperingatkan.

    “Itu berarti Israel hidup berdampingan dengan negara Palestina yang layak. Saat ini, keduanya tidak terwujud,” ujar Zomlot yang merupakan Kepala Misi Palestina untuk UK.

    Persoalannya kini: Apakah pengakuan simbolis dari banyak negara ini berpengaruh? Kemudian, siapa kelak pemimpinnya ketika negara ini kembali berdiri?

    Akankah cukup pengakuan simbolis?

    Saat ini, Palestina menghadapi berbagai krisis, salah satunya terkait kepemimpinan. Mahmoud Abbas kini berusia hampir 90 tahun.

    Sementara Marwan Baghouti yang diprediksi berpotensi menjadi pemimpin, kini tengah dipenjara.

    Hamas yang “dihancurkan” dan wilayah Tepi Barat yang mulai “terpecah” juga menambah genting krisis kepemimpinan di Palestina.

    Akan tetapi, pengakuan internasional yang berdatangan tetap berarti.

    “Itu bisa sangat berharga. Meski tergantung juga mengapa negara-negara ini melakukannya dan apa sebenarnya niat mereka,” kata pengacara Palestina, Diana Buttu.

    Seorang pejabat pemerintah UK, yang tidak ingin disebutkan namanya, berkata pengakuan simbolis saja tidak cukup.

    “Pertanyaannya adalah apakah kita bisa mendapatkan kemajuan menuju sesuatu yang bermakna sehingga Majelis Umum PBB tidak hanya menjadi pesta pengakuan,” ujarnya.

    Deklarasi New York yang diumumkan akhir Juli 2025 berisi penegasan terhadap solusi dua negara dengan sejumlah syarat seperti:

    Pengakuan kenegaraan Palestina dengan dukungan bagi Otoritas Palestina (PA)Membuka akses bantuan kemanusiaan, rekonstruksi dan pemulihan di Gaza dan Tepi BaratPenyatuan Gaza dan Tepi BaratNormalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab.

    Deklarasi ini disebut mengikat para penandatangan, termasuk UK, untuk mengambil “langkah-langkah konkret, terikat waktu, dan tidak dapat dibatalkan untuk penyelesaian damai masalah Palestina.”

    AFP via Getty ImagesMarwan Barghouti muncul sebagai pemimpin populer selama pemberontakan Palestina kedua.

    Persoalannya, syarat yang harus segera dipenuhi pascapengakuan ini kemungkinan berhadapan dengan hambatan yang sangat besar, kata pejabat di London.

    Apalagi hingga saat ini, AS memiliki hak veto di PBB terkait pengakuan negara Palestina dan pernah berulangkali menggunakannya.

    Pada Agustus, AS juga mengambil langkah tidak biasa dengan mencabut atau menolak visa bagi puluhan pejabat Palestina, yang kemungkinan melanggar aturan PBB sendiri.

    Abbas, bahkan, hanya bisa memberikan pernyataan melalui video pada sidang umum PBB.

    Selain itu, Trump tampaknya masih terpaku pada versi “Rencana Riviera” yang memuat tujuan AS mengambil “posisi kepemilikan jangka panjang” atas Gaza.

    Namun, jika pengakuan simbolis ini berdampak, bagaimana kelanjutannya?

    Apa saja syarat negara dan bagaimana realitanya?

    Konvensi Montevideo 1933 menetapkan empat kriteria untuk sebuah negara. Berikut kriterianya:

    Populasi permanen: Palestina bisa memenuhi kriteria ini, meskipun perang di Gaza membuat kondisi penduduknya sangat berisiko.Kapasitas untuk menjalin hubungan internasional: Dr. Zomlot adalah bukti dari kemampuan ini.Wilayah yang ditentukan: Inilah poin yang belum terpenuhi. Tanpa kesepakatan perbatasan yang pasti dan tanpa proses perdamaian yang nyata, sulit untuk mengetahui dengan jelas wilayah Palestina.Pemerintahan yang berfungsi: Ini merupakan tantangan besar bagi Palestina.

    Mengenai wilayah, ada tiga bagian area yang didambakan warga Palestina sebagai suatu negara, yaitu: Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.

    Sayangnya, ketiga wilayah ini diduduki oleh Israel sejak Perang Enam Hari 1967.

    BBC

    Sekilas melihat peta, terlihat awal masalahnya. Tepi Barat dan Jalur Gaza telah terpisah secara geografis oleh Israel selama tiga perempat abad atau tepatnya sejak kemerdekaan Israel pada tahun 1948.

    Memasuki 1967 dengan serangan yang dilancarkan Israel, perluasan permukiman telah menggerogoti Tepi Barat hingga memecahnya menjadi entitas politik dan ekonomi.

    Baca juga:

    Situasi ini terus berlanjut. Kehadiran militer Israel dan permukiman Yahudi membuat Otoritas Palestina (PA), yang dibentuk setelah Kesepakatan Damai Oslo pada 1990-an, hanya menguasai sekitar 40% wilayah.

    Sementara itu, Yerusalem Timur, yang dianggap Palestina sebagai ibu kota mereka, kini dikelilingi permukiman Yahudi yang secara bertahap memutus kota tersebut dari Tepi Barat.

    Nasib Gaza, tentu saja, jauh lebih buruk. Setelah hampir dua tahun perang yang dipicu oleh serangan Hamas pada Oktober 2023, sebagian besar wilayahnya telah hancur.

    Selain wilayah yang sudah tercerai berai dan porak poranda, Palestina harus berhadapan dengan persoalan kepemimpinan.

    ‘Kami butuh kepemimpinan baru’

    Untuk menjawab problem kepemimpinan baru ini, perlu dirunut lagi sejarah yang melingkupi Palestina.

    Pada 1994, kesepakatan antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengarah pada pembentukan Otoritas Nasional Palestina (PA).

    Otoritas ini memiliki kendali sipil parsial atas warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.

    Namun, sejak konflik berdarah pada 2007 antara Hamas dan faksi utama PLO, Fatah, warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat diperintah oleh dua pemerintahan yang bersaing.

    Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat, yang diakui secara internasional, dengan presidennya Mahmoud Abbas.

    Bloomberg via Getty ImagesAbbas hampir menginjak usia ke-90

    Perpecahan politik ini terus berlangsung selama 18 tahun, ditambah 77 tahun pemisahan geografis, membuat Tepi Barat dan Jalur Gaza semakin terpisah.

    Politik Palestina kian mengkristal dan membuat sebagian besar warga Palestina sinis terhadap pemimpin mereka. Bahkan mereka sulit percaya akan adanya rekonsiliasi internal, apalagi menjadi sebuah negara yang utuh.

    Adapun pemilihan presiden dan parlemen terakhir diadakan pada 2006. Dengan kata lain, tidak ada warga Palestina di bawah usia 36 tahun yang pernah memberikan suara di Tepi Barat atau Gaza.

    “Sangat tidak masuk akal bahwa kami tidak mengadakan pemilihan selama ini,” kata pengacara Palestina Diana Buttu.

    “Kami butuh kepemimpinan baru.”

    Di tengah serangan bertubi-tubi di Gaza sejak Oktober 2023, masalah ini menjadi semakin mendesak.

    Di hadapan kematian puluhan ribu warganya, Otoritas Palestina yang dipimpin Abbas, yang bermarkas di Tepi Barat, hanya seolah menjadi penonton yang tak berdaya.

    MAHMUD HAMS/AFP via Getty ImagesLebih dari 60.000 orang telah tewas di Gaza sejak Oktober 2023, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas.

    Siapakah sosok pemimpin Palestina di masa depan?

    Mundur beberapa dekade silam, Ketua Otoritas Nasional Palestina, Yasser Arafat, kembali dari pengasingan bertahun-tahun. Para politisi Palestina lokal pun mulai merasa terpinggirkan.

    “Orang dalam” mulai merasa kesal dengan gaya kepemimpinan yang dominan dari “orang luar” Arafat. Isu korupsi di lingkaran Arafat juga berdampak pada reputasi Otoritas Palestina.

    Di sisi lain, Otoritas Palestina juga seperti tidak mampu menghentikan kolonisasi bertahap Israel di Tepi Barat. Dengan demikian, janji kemerdekaan dan kedaulatan pun urung ditepati.

    Padahal pada September 1993, terjadi jabat tangan bersejarah Arafat dengan mantan Perdana Menteri Israel, Yizhak Rabin, di halaman Gedung Putih yang melambungkan harapan merdeka dan berhentinya penjajahan di tanah Palestina.

    REUTERS/Gary HershornJabat tangan bersejarah Arafat dengan Yizhak Rabin di halaman Gedung Putih, bersama Presiden AS Bill Clinton.

    Memasuki tahun-tahun selanjutnya, politik di Palestina kian tidak kondusif karena inisiatif perdamaian yang gagal, perluasan terus-menerus pemukiman Yahudi, kekerasan oleh ekstremis dari kedua belah pihak, pergeseran politik Israel ke kanan, dan perpecahan kekerasan pada 2007 antara Hamas dan Fatah.

    “Dalam keadaan normal, tokoh-tokoh baru dan generasi baru seharusnya muncul,” kata sejarawan Palestina Yezid Sayigh.

    “Namun hal itu tidak mungkin terjadi. Penduduk Palestina di wilayah yang diduduki sudah terpecah belah secara besar-besaran ke dalam ruang-ruang kecil yang terpisah, dan hal itu membuat hampir tidak mungkin bagi tokoh-tokoh baru untuk muncul dan bersatu.”

    Baca juga:

    Kendati demikian, nama Marwan Barghouti muncul kemudian. Lahir dan dibesarkan di Tepi Barat, ia aktif di Fatah sejak usia 15 tahun.

    Barghouti muncul sebagai pemimpin populer selama pemberontakan Palestina kedua, sebelum ditangkap dan didakwa merencanakan serangan yang menewaskan lima warga Israel.

    Ia selalu membantah tuduhan itu, meski tetap dipenjara di Israel sejak 2002.

    Namun, ketika warga Palestina membicarakan calon pemimpin masa depan, mereka berakhir membicarakan seorang pria yang telah dipenjara selama hampir seperempat abad itu.

    Getty ImagesRumor tentang korupsi di lingkaran Arafat tidak banyak membantu meningkatkan reputasi Otoritas Palestina.

    Jajak pendapat terbaru oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina yang berbasis di Tepi Barat menemukan bahwa 50% warga Palestina akan memilih Barghouti sebagai presiden, jauh mengungguli Mahmoud Abbas, yang telah menjabat sejak 2005.

    Meskipun Barghouti adalah anggota senior Fatah, faksi yang berkonflik dengan Hamas, namanya disebut-sebut sebagai salah satu tahanan politik yang ingin dibebaskan Hamas sebagai imbalan bagi sandera Israel di Gaza. Namun, Israel tidak menunjukkan indikasi akan membebaskannya.

    AFP via Getty ImagesSebuah jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa Barghouti adalah pilihan utama rakyat Palestina untuk pemimpin, jauh di depan Mahmoud Abbas.

    Pada pertengahan Agustus, sebuah video beredar, memperlihatkan Barghouti yang berusia 66 tahun dalam kondisi kurus dan lemah diejek oleh Menteri Keamanan Israel, Itamar Ben Gvir.

    Ini adalah kali pertama Barghouti terlihat secara publik dalam beberapa tahun terakhir.

    Netanyahu dan kemerdekaan negara Palestina

    Bahkan sebelum Serangan ke Gaza, penolakan Benjamin Netanyahu terhadap kemerdekaan Palestina sudah jelas.

    Pada Februari 2024, ia mengatakan, “Semua orang tahu bahwa saya adalah orang yang selama puluhan tahun menghalangi pembentukan negara Palestina yang akan mengancam keberadaan kita.”

    Meskipun ada seruan internasional agar Otoritas Palestina (PA) mengambil alih kendali Gaza, Netanyahu bersikeras bahwa PA tidak akan memiliki peran dalam pemerintahan Gaza di masa depan, karena Abbas disebutnya tidak mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober.

    Baca juga:

    Pada Agustus, Israel memberikan persetujuan akhir untuk proyek pemukiman yang secara efektif akan memisahkan Yerusalem Timur dari Tepi Barat.

    Rencana untuk 3.400 unit perumahan disetujui yang kemudian memantik pernyataan Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich bahwa rencana ini akan mengubur gagasan negara Palestina “karena tidak ada yang perlu diakui dan tidak ada yang akan mengakui”.

    Reuters”Hari setelah perang di Gaza, baik Hamas maupun Otoritas Palestina tidak akan ada di sana,” kata Netanyahu pada pertengahan Februari.

    “Ini bukanlah keadaan baru. Itu telah terjadi selama bertahun-tahun,” kata sejarawan Palestina Yezid Sayigh.

    “Bahkan saat bisa membawa malaikat Mikail ke bumi dan menjadikannya kepala Otoritas Palestina sekali pun, tetap tidak akan membuat perbedaan. Karena kondisi saat ini membuat kesuksesan apa pun menjadi mustahil,” ujar Sayigh.

    Satu hal yang pasti: jika negara Palestina benar-benar terbentuk, Hamas tidak akan memimpinnya.

    Ini berdasarkan pada Deklarasi New York pada Juli lalu yang disponsori oleh Prancis dan Arab Saudi.

    Di situ, ada pernyataan bahwa “Hamas harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan senjatanya kepada otoritas Palestina.”

    Atas pernyataan itu, Deklarasi New York ini didukung oleh semua negara Arab dan kemudian diadopsi oleh 142 anggota Majelis Umum PBB.

    Adapun Hamas, mereka menyatakan siap menyerahkan kekuasaan di Gaza kepada administrasi teknokrat yang independen.

    Bagaimana masa depan harapan Palestina?

    Masa depan jangka panjang Gaza mungkin terletak di antara Deklarasi New York, rencana Trump, dan rencana rekonstruksi Arab.

    Dalam rencana tersebut tidak menyebutkan Otoritas Palestina, hanya merujuk pada “pemerintahan mandiri Palestina yang direformasi”, atau hubungan masa depan antara Gaza dan Tepi Barat.

    Baca juga:

    Semua rencana, dengan cara yang sangat berbeda, berharap dapat menyelamatkan sesuatu dari bencana yang menimpa Gaza dalam dua tahun terakhir.

    Apapun yang muncul, hal itu harus menjawab pertanyaan tentang bagaimana Palestina dan kepemimpinannya akan terlihat.

    Namun, bagi Palestina seperti Diana Buttu, ada masalah yang jauh lebih mendesak.

    Dia ingin komunitas internasional mencegah lebih banyak pembunuhan rakyat Palestina.

    “Dan melakukan sesuatu untuk menghentikannya.”

    Getty ImagesTrump dan Starmer memiliki pandangan yang berbeda mengenai masalah tersebut.

    Lihat Video ‘Bendera Palestina Dikibarkan di London setelah Pengakuan Inggris’:

    (ita/ita)

  • Menlu Arab Saudi Ajak Semua Negara Akui Palestina

    Menlu Arab Saudi Ajak Semua Negara Akui Palestina

    New York

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, mengajak semua negara untuk mengakui negara Palestina. Hal ini disampaikan setelah pengumuman resmi Prancis mengakui negara Palestina dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Pengakuan oleh Prancis itu disampaikan dalam konferensi internasional tingkat tinggi tentang implementasi solusi dua negara, yang digelar menjelang dimulainya Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS). Konferensi internasional itu diketuai bersama oleh Saudi dan Prancis.

    “Kami mengajak semua negara lainnya untuk mengambil langkah bersejarah serupa yang akan berdampak besar dalam mendukung upaya implementasi solusi dua negara,” kata Pangeran Faisal dalam forum tersebut, seperti dilansir Al Arabiya, Selasa (23/9/2025).

    Pangeran Faisal mengatakan bahwa posisi bersejarah Prancis untuk mengakui negara Palestina, serta banyak negara lainnya, “mencerminkan keinginan masyarakat internasional untuk menegakkan keadilan bagi rakyat Palestina”.

    Dia menambahkan bahwa Saudi ingin menindaklanjuti untuk memastikan implementasi hasil konferensi tersebut, termasuk mengakhiri perang Gaza.

    Pangeran Faisal menegaskan kembali sikap Saudi yang menuntut solusi dua negara berdasarkan perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota untuk negara Palestina.

    Macron Umumkan Prancis Akui Negara Palestina, Desak Perang Gaza Diakhiri

    Presiden Emmanuel Macron, yang hadir dalam konferensi tersebut, menyampaikan pengakuan resmi Prancis untuk negara Palestina. Dia mendesak diakhirinya segera perang Gaza, dan menyatakan bahwa “waktunya untuk perdamaian telah tiba”.

    “Saya menyatakan bahwa hari ini, Prancis mengakui negara Palestina,” kata Macron dalam pernyataannya dalam konferensi tersebut pada Senin (22/9) waktu setempat.

    Macron menekankan bahwa pengakuan tersebut merupakan “satu-satunya solusi yang akan memungkinkan Israel hidup dalam damai”.

    Macron, seperti dilansir Anadolu Agency, juga mengatakan bahwa pengakuan oleh Prancis untuk negara Palestina “merupakan kekalahan bagi Hamas, sama seperti bagi semua pihak yang mengobarkan antisemitisme, memelihara obsesi anti-Zionis, dan yang menginginkan penghancuran negara Palestina”.

    “(Pengakuan) Ini membuka jalan bagi negosiasi yang bermanfaat, bermanfaat bagi Israel dan Palestina yang berupaya mewujudkan rencana perdamaian dan keamanan untuk semua,” imbuhnya.

    Macron juga mengumumkan bahwa Prancis akan membuka Kedutaan Besar untuk Negara Palestina setelah semua sandera di Gaza dibebaskan dan gencatan senjata terwujud.

    Sebelum Prancis, beberapa negara Barat lainnya, seperti Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal, juga secara resmi mengakui negara Palestina.

    Lihat Video ‘Israel: Perang di Gaza Bisa Berakhir Besok, Jika…’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Apa Artinya Mengakui Negara Palestina? Mengapa Dilakukan Sekarang?

    Apa Artinya Mengakui Negara Palestina? Mengapa Dilakukan Sekarang?

    Jakarta

    Palestina adalah negara yang “ada dan tidak ada”. Di satu sisi, Palestina diakui oleh banyak negara, memiliki misi diplomatik di luar negeri, bahkan memiliki tim yang bertanding di ajang olahraga internasional seperti Olimpiade.

    Namun, di sisi lain, karena perselisihan berkepanjangan dengan Israel, Palestina tidak memiliki batas wilayah yang diakui secara internasional, ibu kota yang disepakati, maupun tentara.

    Akibat pendudukan militer Israel di Tepi Barat, Otoritas Palestina, dibentuk setelah perjanjian damai pada 1990-an, tidak sepenuhnya memiliki kendali atas tanah dan rakyatnya.

    Sementara di Gaza, wilayah yang diduduki oleh Israel, sedang terjadi perang yang menimbulkan kehancuran besar.

    Mengingat statusnya semacam negara semu, pengakuan terhadap Palestina mau tidak mau bersifat simbolis.

    Pengakuan ini akan mewakili pernyataan moral dan politik yang kuat, tetapi tidak banyak berpengaruh di lapangan.

    Betapapun, simbolisme dari pengakuan ini kuat. Sebagaimana ditegaskan mantan Menteri Luar Negeri Kerajaan Bersatu (United Kingdom/UK), David Lammy, dalam pidatonya di PBB pada bulan Juli.

    “UK memikul beban tanggung jawab khusus untuk mendukung solusi dua negara.”

    Dia mengutip Deklarasi Balfour 1917ditandatangani menteri luar negeri pendahulunya, Arthur Balfour yang pertama kali menyatakan dukungan UK untuk “pembentukan tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina”.

    Bettmann via Getty ImagesSeorang marinir menurunkan Bendera UK yang secara resmi mengakhiri kekuasaan UK di Palestina pada 1948.

    Britania Raya (Inggris) mulai terlibat secara mendalam di Palestina setelah Perang Dunia Pertama.

    Keterlibatan ini terjadi ketika Inggris diberi mandat oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk mengendalikan wilayah tersebut antara 1922 hingga 1948.

    Berdasarkan mandat ini, suatu negara diizinkan secara hukum untuk mengelola wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari Kekaisaran Jerman dan Ottoman, yaitu pihak yang kalah dalam perang.

    Namun, Inggris saat itu mencoba melakukan tindakan yang sangat rumitbahkan ada yang menyebutnya mustahil.

    Di satu sisi, Inggris berjanji untuk mendukung “rumah nasional bagi orang-orang Yahudi,” sebagaimana yang tercantum dalam deklarasi tersebut.

    Namun Inggris juga berjanji untuk melindungi hak-hak mayoritas Arab yang tinggal di sana.

    Janji-janji yang saling bertentangan ini, dikombinasikan dengan meningkatnya ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab, menyebabkan kerusuhan selama beberapa dekade.

    Ketika Inggris meninggalkan wilayah itu pada 1948, dan setelah negara Israel dideklarasikan, perang dan pengungsian banyak warga Palestina pun terjadi.

    Sejumlah sejarawan melihat perilaku Inggris saat itu telah membentuk konflik Israel-Palestina modern dan penyelesaian wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai Palestina sebagai urusan internasional yang belum selesai.

    Pendukung Israel, di sisi lain, sering menunjukkan bahwa Lord Balfour tidak merujuk secara eksplisit kepada Palestina atau mengatakan apa pun tentang hak-hak nasional mereka.

    Seperti yang dikatakan Lammy, politisi “sudah terbiasa mengucapkan kata-kata ‘solusi dua negara’”.

    Frasa tersebut merujuk pada pembentukan negara Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, secara umum mengikuti garis-garis yang ada sebelum perang Arab-Israel 1967, dengan Yerusalem Timur diduduki oleh Israel sejak perang tersebut sebagai ibu kotanya.

    Namun, upaya internasional untuk mewujudkan solusi dua negara tidak membuahkan hasil.

    Kolonisasi yang dilakukan Israel di sebagian besar wilayah Tepi Barattindakan yang ilegal menurut hukum internasionaltelah mengubah konsep solusi dua negara menjadi slogan yang sebagian besar kosong.

    Guy Smallman/Getty ImagesPara aktivis berkumpul di halaman Parlemen untuk memperingati Hari Aksi Nasional untuk Palestina pada 14 Desember 2024 di London, Inggris.

    Siapa yang mengakui Palestina sebagai negara?

    Palestina saat ini diakui oleh sekitar 75% dari 193 negara anggota PBB.

    Di PBB, ia berstatus “negara pengamat tetap”, yang mengizinkan partisipasi tetapi tidak memiliki hak suara.

    Dengan Inggris dan Prancis di antara negara-negara yang menjanjikan pengakuan selama pertemuan Majelis Umum PBB (kelompok tersebut juga mencakup Kanada, Australia, Belgia, dan Malta), Palestina akan segera menikmati dukungan dari empat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

    China dan Rusia sama-sama mengakui Palestina pada 1988.

    Ini akan menjadikan AS, sekutu terkuat Israel sejauh ini, sebagai minoritas satu-satunya.

    Washington telah mengakui Otoritas Palestina, yang saat ini dipimpin oleh Mahmoud Abbas, sejak pembentukannya pada pertengahan 1990-an.

    Sejak itu, beberapa presiden telah menyatakan dukungan mereka terhadap pembentukan negara Palestina. Namun, Presiden AS Donald Trump bukan salah satunya.

    Di bawah dua pemerintahannya, kebijakan AS sangat berpihak pada Israel.

    Mengapa UK dan negara lain melakukannya sekarang?

    Pemerintahan UK berulang kali berbicara tentang pengakuan negara Palestina, tetapi hanya sebagai bagian dari proses perdamaian, idealnya “pada saat dampaknya maksimal”.

    Mereka meyakini melakukannya hanya sebagai isyarat atau simbolis adalah sebuah kesalahan.

    Tindakan itu mungkin membuat orang merasa berbuat semestinya, tetapi tidak akan benar-benar membawa perubahan nyata di lapangan.

    Namun, kejadian-kejadian tersebut jelas telah memaksa beberapa pemerintah untuk bertindak.

    Kelaparan di Gaza, meningkatnya kemarahan atas operasi militer Israel, dan perubahan besar dalam opini publiksemuanya berperan dalam membawa kita ke titik ini.

    ReutersPara ahli keamanan pangan global yang didukung PBB memperingatkan “skenario terburuk kelaparan saat ini sedang terjadi” di Jalur Gaza.

    Beberapa orang memilih untuk membuat janji tersebut bersyarat.

    Bagi Kanada, pengakuan didasarkan pada komitmen Otoritas Palestina untuk mereformasi diri, menyelenggarakan pemilihan umum pada 2026, dan mendemiliterisasi negara Palestina.

    Ketika pemerintah UK mengumumkan keputusannya, ia meletakkan beban pada pihak lain, dengan mengatakan bahwa mereka akan mengakui Palestina pada sidang Majelis Umum PBB, kecuali pemerintah Israel mengambil langkah tegas untuk mengakhiri penderitaan di Gaza, mencapai gencatan senjata, menahan diri dari mencaplok wilayah di Tepi Barat, dan berkomitmen pada proses perdamaian yang menghasilkan solusi dua negara.

    Tindakan tersebut menimbulkan kebingungan, dengan beberapa kritikus berpendapat, pengakuan sama sekali tidak boleh bersyarat, khususnya pada tindakan Israel.

    Dengan mengoordinasikan tindakan mereka, negara-negara yang mengusulkan untuk mengakui Negara Palestina berharap dapat membuat dampak yang lebih besar, membantu menggalang pendapat tentang cara mengakhiri perang di Gaza dan proses politik seperti apa yang harus diikuti.

    Mengapa beberapa negara masih belum mengakui Palestina sebagai negara?

    Negara-negara yang tidak mengakui Palestina sebagai negara pada umumnya karena tidak ada negosiasi yang harus diselesaikan dengan Israel.

    “Meskipun hanya sebatas janji-janji belaka tentang perlunya mendirikan negara Palestina, AS bersikeras pada negosiasi langsung antara Israel dan Palestina, yang secara efektif berarti memberi Israel hak veto atas aspirasi Palestina untuk menentukan nasib sendiri,” kata Profesor Fawaz Gerges, pakar hubungan internasional dan politik Timur Tengah di London School of Economics.

    Perundingan damai dimulai pada 1990-an dan kemudian menetapkan tujuan solusi dua negara, ketika warga Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan di negara terpisah.

    Namun, proses perdamaian mulai mengendur secara perlahan sejak awal 2000-an, bahkan sebelum 2014, ketika perundingan antara Israel dan Palestina di Washington gagal.

    Masalah yang paling pelik masih belum terselesaikan, termasuk batas wilayah dan negara Palestina di masa depan, status Yerusalem, dan nasib pengungsi Palestina dari perang 1948-1949 yang terjadi setelah deklarasi pembentukan Israel.

    Israel menentang keras tawaran keanggotaan Palestina di PBB.

    Duta Besar Israel untuk PBB, Gilad Erdan, seperti dikutip dari kantor berita AFP pada April 2024, mengatakan fakta bahwa diskusi tersebut berlangsung “sudah merupakan kemenangan bagi teror genosida”.

    Negara-negara yang bermaksud memelihara hubungan baik dengan Israel akan menyadari bahwa mengakui negara Palestina akan membuat sekutu mereka marah.

    Beberapa pihak, termasuk pendukung Israel, berpendapat bahwa Palestina tidak memenuhi kriteria utama untuk kenegaraan yang ditetapkan dalam Konvensi Montevideo 1933penduduk tetap, wilayah yang ditentukan, pemerintahan, dan kapasitas untuk menjalin hubungan dengan negara lain.

    Tetapi yang lain menerima definisi yang lebih fleksibel, dengan lebih menekankan pada pengakuan oleh negara lain.

    Apa kata AS?

    Pemerintahan Presiden AS Donald Trump tidak pernah merahasiakan penentangannya terhadap pengakuan negara Palestina tersebut.

    Trump sendiri mengakui bahwa ia memiliki “perbedaan pendapat dengan Perdana Menteri [UK] mengenai hal tersebut” dalam konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri UK, Kier Starmer pada 18 September lalu.

    Bahkan, jelas bahwa posisi AS telah mengeras menjadi penentangan langsung terhadap konsep kemerdekaan Palestina.

    Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, bilang Hamas akan “merasa lebih berani” oleh dorongan internasional untuk mengakui Palestina.

    Rubio juga mengatakan AS telah memperingatkan mereka yang mendukung pengakuan bahwa hal itu kemungkinan akan memprovokasi Israel untuk mencaplok Tepi Barat.

    Apa arti semua ini bagi Palestina di PBB?

    Palestina memegang status negara pengamat non-anggota, seperti halnya Takhta Suci.

    Pada 2011, Palestina mengajukan permohonan untuk menjadi negara anggota penuh PBB, tetapi gagal karena kurangnya dukungan di Dewan Keamanan PBB dan tidak pernah sampai pada pemungutan suara.

    Namun, pada 2012, Majelis Umum PBB memutuskan untuk meningkatkan status Palestina menjadi “negara pengamat non-anggota,” yang memungkinkan mereka untuk ikut serta dalam perdebatan di Majelis, meskipun mereka tidak dapat memberikan suara pada resolusi.

    Keputusan PBB pada 2012 iniyang disambut baik di Tepi Barat dan Jalur Gaza, tetapi dikritik oleh AS dan Israeljuga memungkinkan Palestina untuk bergabung dengan organisasi internasional lainnya, termasuk pengadilan tertinggi PBB, Mahkamah Kriminal Internasional, yang mereka lakukan pada 2015.

    SHAHZAIB AKBER/EPA-EFE/REX/ShutterstockSejumlah negara mengakui negara Palestina.

    Pada Mei 2024, Majelis Umum PBB meningkatkan hak-hak Palestina dalam organisasi tersebut dan mendesak agar diterima sebagai anggota, setelah perdebatan sengit.

    Resolusi tersebut memperbolehkan Palestina untuk mengambil bagian penuh dalam perdebatan, mengusulkan agenda penting, dan memilih perwakilannya dalam komite, tetapi tidak memberikan hak suara.

    Keanggotaan hanya dapat diberikan oleh Dewan Keamanan PBB.

    Pada April tahun itu, Amerika Serikat, sebagai salah satu dari lima anggota tetap, memveto penerimaan Palestina sebagai sebuah negara, dan menyebut langkah itu “prematur”.

    Resolusi Dewan Keamanan mengikat secara hukum, sedangkan resolusi Majelis Umum tidak.

    “Menjadi anggota penuh PBB akan memberi Palestina lebih banyak pengaruh diplomatik, termasuk kemampuan untuk mensponsori resolusi secara langsung, hak suara di Majelis Umum (sebagai negara ‘non-anggota’, saat ini tidak mereka miliki), dan kemungkinan kursi/suara di Dewan Keamanan,” kata Khaled Elgindy, direktur program Palestina dan urusan Palestina-Israel di lembaga pemikir Middle East Institute di Washington.

    “Namun, semua ini tidak akan menghasilkan solusi dua negarayang hanya dapat terwujud dengan mengakhiri pendudukan Israel,” tambahnya.

    Namun, Gilbert Achcar, profesor studi pembangunan dan hubungan internasional di Sekolah Studi Oriental dan Afrika di London, meyakini “Otoritas Palestina tidak akan mencapai lebih banyak lagi” dengan keanggotaan penuh PBB.

    “Ini akan tetap menjadi kemenangan simbolis: pengakuan ‘Negara Palestina’ fiktif versus realitas ‘Otoritas Palestina’ yang tak berdaya di sebagian kecil wilayah yang diduduki pada 1967 dan sepenuhnya bergantung pada Israel,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa “itu masih jauh dari ‘negara Palestina yang merdeka dan berdaulat’”.

    Laporan tambahan oleh BBC Global Journalism

    (ita/ita)

  • Palestina Buka Kedubes di Inggris Usai Diakui Sebagai Negara

    Palestina Buka Kedubes di Inggris Usai Diakui Sebagai Negara

    London

    Pelastina resmi membuka Kedutaan Besar (Kedubes) di London usai Inggris memberikan pengakuan. Bendera Palestina pun berkibar di London.

    Dilansir AFP, Selasa (23/9/2025), Kepala Misi Pelestina Husam Zomlot memuji pengakuan yang “sudah lama dinantikan” tersebut saat bendera dikibarkan di depan kerumunan di luar gedung di Hammersmith, London barat.

    Sambil mengangkat plakat bertuliskan “Kedutaan Besar Negara Palestina”, Zomlot mengatakan bahwa plakat tersebut akan segera dipasang, “sementara menunggu beberapa proses hukum dan birokrasi”.

    Zomlot menyebut langkah pengakuan tersebut sebagai “pengakuan atas ketidakadilan bersejarah” di tengah “penderitaan yang tak terbayangkan” bagi rakyat Palestina dalam perang di Gaza.

    Ia mengatakan pengakuan Inggris ini memiliki resonansi tersendiri karena Inggris berperan penting dalam meletakkan dasar bagi pembentukan Negara Israel pada tahun 1948, melalui Deklarasi Balfour tahun 1917.

    Menteri Luar Negeri Inggris Yvette Cooper mengatakan Otoritas Palestina kini dapat “mendirikan kedutaan besar dan duta besar di Inggris”.

    “Kami akan menetapkan langkah-langkah diplomatik dengan Otoritas Palestina, akan ada serangkaian tahapan dan proses yang berbeda untuk dilalui,” ujar Cooper kepada BBC.

    “Di sisi praktis, hal terpenting adalah bahwa hal itu menjadi bagian dari proses tersebut untuk memastikan semua pihak terus berupaya mencapai solusi dua negara,” tambahnya.

    Ketika ditanya kapan konsulat Inggris di Yerusalem timur akan menjadi kedutaan, Cooper mengatakan bahwa kedutaan tersebut telah ada lebih lama daripada negara Israel, “jadi untuk saat ini akan tetap ada, dan kami akan menetapkan proses diplomatik dengan Otoritas Palestina”.

    Menyusul pengumuman hari Minggu, Kementerian Luar Negeri Inggris memperbarui halaman saran perjalanannya untuk menghapus referensi “Wilayah Palestina yang Diduduki”, menggantinya dengan “Palestina”.

    (lir/lir)

  • Raja Salman Cs Respons Inggris Dkk Akui Negara Palestina, Bilang Ini

    Raja Salman Cs Respons Inggris Dkk Akui Negara Palestina, Bilang Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Beberapa negara dan organisasi Arab menyambut baik pengakuan resmi negara Palestina oleh negara-negara Barat. Hal ini diungkapkan setelah Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal mengakui Palestina sebagai sebuah negara.

    Arab Saudi menyambut baik langkah tersebut. Riyadh mengatakan bahwa langkah tersebut “menegaskan komitmen tulus negara-negara sahabat ini untuk mendukung jalan perdamaian dan memajukan solusi dua negara berdasarkan resolusi PBB yang sah dan relevan”.

    Kuwait, dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri, memuji pengakuan tersebut. Negara itu mengatakan bahwa hal itu “akan berkontribusi untuk meningkatkan peluang perdamaian di kawasan dan mendukung upaya internasional yang bertujuan untuk solusi dua negara.”

    “Kami menekankan perlunya semua negara lain mengambil langkah serupa untuk menjaga keamanan, stabilitas, dan kemakmuran kawasan,” ujar Kementerian Kuwait, dikutip Senin (22/9/2025)

    Oman juga menyambut baik pengumuman tersebut. Muscat menganggapnya sebagai perkembangan yang sangat signifikan terkait solusi dua negara serta keamanan dan perdamaian regional.

    “Mengakui negara Palestina untuk menjamin hak sah rakyat Palestina untuk mendirikan negara merdeka mereka berdasarkan perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya,” seru Kementerian Luar Negeri Oman.

    Raja Yordania Abdullah II memuji keputusan Australia untuk mengakui negara Palestina dalam pertemuan dengan Perdana Menteri (PM) Anthony Albanese di New York.

    “Pengakuan resmi oleh Inggris, Kanada, dan Australia” sejalan dengan meningkatnya keinginan internasional untuk mengakhiri pendudukan dan mewujudkan hak asasi rakyat Palestina untuk mendirikan negara mereka berdasarkan solusi dua negara.

    Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) menyebut pengumuman tersebut sebagai “perkembangan sejarah yang penting menuju tercapainya keadilan dan legitimasi internasional”.

    Sebelumnya, Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal secara resmi mengakui Palestina menjelang Sidang Umum PBB. Dengan tambahan ini, sekitar tiga perempat negara anggota PBB telah mengakui Palestina, dengan Irlandia, Spanyol, dan Norwegia telah meresmikan pengakuan tahun lalu.

    (tps/șef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pria Ini Kena Penyakit Langka, Tangan dan Kakinya Bak Kulit Kayu

    Pria Ini Kena Penyakit Langka, Tangan dan Kakinya Bak Kulit Kayu

    Jakarta

    Seorang pria dijuluki ‘manusia pohon’ karena mengidap kondisi langka yang mengerikan. Kondisi itu membuat tangan dan kakinya berubah menyerupai kulit kayu.

    Dalam kebanyakan kasus, satu-satunya pengobatan yang dijuluki ‘tree man syndrome’ atau sindrom manusia pohon adalah amputasi.

    Dikutip dari Daily Star, kondisi ini dikenal sebagai epidermodysplasia verruciformis. Penyakit ini menyebabkan pertumbuhan kulit yang tidak tersembuhkan dan hanya mempengaruhi beberapa orang di seluruh dunia.

    Pertumbuhan penyakit ini dipicu oleh adanya kecacatan pada sistem kekebalan tubuh yang meningkatkan risiko seseorang tertular human papillomavirus (HPV). Ahli bedah plastik di Michigan, Amerika Serikat, Dr Anthony Youn mengatakan bahwa sindrom ini sangat menyakitkan.

    “Ini adalah kondisi yang sangat langka, biasanya diwariskan oleh kedua orang tua. Orang dengan kondisi ini memiliki kelemahan dalam menghadapi HPV, virus yang sama yang menyebabkan kutil kelamin,” ujar Dr Youn dalam sebuah video di YouTube.

    “Biasanya muncul pada orang usia 20-an,” tambahnya.

    Orang tersebut juga mengalami gangguan kekebalan tubuh, sehingga mereka lebih mungkin tertular penyakit lain. Pertumbuhan ini juga bisa menjadi kanker jika tidak diobati.

    Mahmoud Taluli (44) di Gaza adalah salah satu orang yang mengidap kondisi ini. Pasien tersebut tidak dapat menggunakan tangannya selama lebih dari satu dekade, mengidap ribuan lesi yang menyakitkan di sekujur tubuhnya.

    Pada tahun 2019, Taluli menjalani serangkaian operasi untuk mengangkat lesi yang menyerupai kulit kayu. Dokter di Pusat Medis Universitas Hadassah di Yerusalem mencangkok kulit dari bagian lain tubuhnya untuk menutupi luka setelah lesi pohon diangkat.

    Sejauh ini, operasi tersebut terbukti berhasil, dan Taluli bersikeras bahwa operasi tersebut telah mengubah hidupnya. Artinya, ia bisa bebas beraktivitas dan bermain dengan anak-anaknya.

    “Selain rasa sakitnya, penyakit ini sangat berbahaya dan dapat mudah berkembang menjadi kanker. Taluli akhirnya tidak dapat menggerakkan tangannya,” terang dokter bedah yang menangani Taluli.

    “Ia menjadi pendiam dan takut akan situasi apapun yang dapat membuatnya menunjukkan tangannya kepada orang lain. Ia selalu menutupi tangannya dan hidup terasa sangat sulit baginya,” lanjutnya.

    Namun, tidak semua orang seberuntung Taluli, Sejak 2016 Abul Bajandar (28) telah menjalani 25 operasi untuk menghilangkan benjolan di tangan dan kakinya yang disebabkan oleh kondisi tersebut.

    Ia dijuluki sebagai ‘manusia pohon’ Bangladesh dan terpaksa memohon ke dokternya untuk meredakan rasa sakit yang tidak tertahankan itu. Akhirnya, dokter mengamputasi tangannya yang tertutup benjolan seperti kulit kayu tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/naf)

  • Hamas Sambut Inggris Cs Akui Negara Palestina, Desak Israel Setop Gempur Gaza

    Hamas Sambut Inggris Cs Akui Negara Palestina, Desak Israel Setop Gempur Gaza

    Jakarta

    Hamas menyambut terbuka sikap negara-negara Barat yang mengakui negara Palestina. Kelompok Hamas menilai hal itu sebagai kemenangan warga Palestina.

    “Perkembangan ini merupakan kemenangan bagi hak-hak Palestina dan keadilan perjuangan kami,” kata pejabat senior Hamas Mahmud Mardawi dilansir AFP, Senin (22/9/2025).

    Dia mengatakan pengakuan dari negara barat terhadap negara Palestina merupakan bukti keteguhan rakyat Palestina dalam mempertahankan tanah airnya.

    “Sejauh apa pun pendudukan melakukan kejahatannya, mereka tidak akan pernah bisa menghapus hak-hak nasional kami,” ujar Mardawi.

    Pernyataan itu disampaikan Hamas pada Minggu (21/9). Usai adanya pengakuan dari negara Barat terhadap negara Palestina, Hamas juga mendesak Israel segera menghentikan operasi militernya di jalur Gaza.

    “Langkah-langkah tersebut harus mencakup penghentian segera perang genosida yang dilancarkan terhadap rakyat kami di Jalur Gaza dan menghadapi proyek-proyek aneksasi dan Yahudisasi yang sedang berlangsung di Tepi Barat dan Yerusalem,” kata kelompok Hamas dalam sebuah pernyataan.

    Sejauh ini ada empat negara yang telah secara resmi mengumumkan mengakui negara Palestina. Keempat negara itu mulai dari Inggris, Australia, Kanada, dan Portugal. Pengumuman itu disampaikan oleh Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri masing-masing negara pada Minggu (21/9)

    (ygs/yld)

  • Portugal akan Deklarasikan Pengakuan Negara Palestina

    Portugal akan Deklarasikan Pengakuan Negara Palestina

    JAKARTA – Pemerintah Portugal akan secara resmi mengakui Negara Palestina pada Minggu (21/9). Portugas menyusul sejumlah negara yang akan mengumumkan pengakuan terhadap negara Palestina pada sidang umum PBB.

    “Kementerian Luar Negeri menegaskan bahwa Portugal akan mengakui Negara Palestina, sebagaimana telah disampaikan Menteri Paulo Rangel awal pekan ini. Deklarasi Resmi Pengakuan Negara Palestina akan berlangsung pada Minggu, 21 September, sebelum Konferensi Tingkat Tinggi pekan depan,” demikian disampaikan kementerian tersebut dilansir ANTARA dari Sputnik, Sabtu, 20 September.

    Sebelumnya, pada 25 Juli, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan Prancis akan secara resmi mengakui Negara Palestina dalam Sidang Majelis Umum PBB pada September.

    Selanjutnya, pada 28–30 Juli, konferensi internasional tingkat tinggi tentang Palestina digelar di New York dengan Prancis dan Arab Saudi sebagai ketua bersama.

    Usai konferensi tersebut, Kementerian Luar Negeri Prancis menerbitkan pernyataan bersama para menteri luar negeri dari 15 negara Barat yang menyerukan pengakuan negara Palestina.

    Hingga kini, Negara Palestina telah diakui oleh 147 negara, termasuk Rusia. Pada 2024, Amerika Serikat memveto keanggotaan penuh Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam tahun yang sama, sepuluh negara telah mengakui Palestina, antara lain Irlandia, Norwegia, Spanyol, dan Armenia.

    Rusia menegaskan bahwa penyelesaian konflik Israel-Palestina hanya dapat dicapai melalui solusi dua negara yang disetujui PBB. Skema ini mencakup pembentukan negara Palestina dalam perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.