kab/kota: Yerusalem

  • Dunia Menentang Ide Kontroversial Trump Ambil Alih Gaza

    Dunia Menentang Ide Kontroversial Trump Ambil Alih Gaza

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengungkapkan ide kontroversial untuk mengambil alih dan memiliki jalur Gaza. Usulan itu ditentang keras dunia.

    Dirangkum detikcom, Minggu (9/2/2025), ide tersebut disampaikan Trump dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih. Secara mengejutkan, Trump menyatakan bahwa AS akan menguasai Jalur Gaza dan mengembangkannya secara ekonomi, setelah merelokasi warga Palestina di sana ke tempat-tempat lainnya.

    Trump mencetuskan “kepemilikan jangka panjang” oleh AS atas Jalur Gaza. Dia sesumbar menyebut AS akan meratakan Jalur Gaza dan membersihkan semua bangunan yang hancur di sana untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan menciptakan ribuan lapangan kerja.

    Dia mengklaim hal itu akan “sangat dibanggakan” dan membawa stabilitas besar di kawasan Timur Tengah.

    Dalam pernyataan terbarunya, Trump menyebut Israel akan menyerahkan Jalur Gaza kepada AS setelah perang melawan Hamas berakhir.

    “Jalur Gaza akan diserahkan kepada Amerika Serikat oleh Israel pada akhir pertempuran,” cetus Trump dalam pernyataan terbarunya via media sosial Truth Social, seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (7/2/2025).

    Trump, dalam pernyataannya, juga menegaskan bahwa tentara AS tidak akan diperlukan di Jalur Gaza. Penegasan ini mengklarifikasi pernyataan sebelumnya ketika dia menolak untuk mengesampingkan pengerahan pasukan militer AS ke Jalur Gaza.

    Dunia bereaksi keras atas ide kontroversial Trump. Presiden Palestina Mahmoud Abbas, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, menolak tegas rencana Trump dan menegaskan Palestina tidak akan melepaskan tanah, hak dan situs-situs suci mereka.

    Ditegaskan juga Abbas bahwa Jalur Gaza merupakan bagian integral dari tanah negara Palestina, bersama dengan Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

    Penolakan juga disampaikan oleh Hamas, dengan salah satu pejabat seniornya, Sami Abu Zuhri, mengecam rencana Trump itu sebagai upaya mengusir warga Palestina dari tanah air mereka.

    “Kami menganggapnya sebagai resep untuk menimbulkan kekacauan dan ketegangan di kawasan karena masyarakat Gaza tidak akan membiarkan rencana seperti itu terjadi,” sebutnya.

    Tak hanya Palestina dan Hamas, Arab Saudi juga tegas menolak upaya apa pun untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Ditegaskan oleh Riyadh bahwa posisinya dalam mendukung Palestina tidak dapat dinegosiasikan.

    Sementara, Menteri Luar Negeri (Menlu) Mesir Badr Abdelatty menyerukan rekonstruksi cepat Jalur Gaza tanpa harus mengusir warga Palestina dari wilayah tersebut, setelah Trump melontarkan usulan mengejutkan tersebut.

    Dalam percakapan dengan Perdana Menteri (PM) Palestina Mohammed Mustafa di Kairo, Abdelatty menekankan “pentingnya melanjutkan proyek pemulihan dini… dengan laju yang dipercepat… tanpa warga Palestina meninggalkan Jalur Gaza, terutama dengan komitmen mereka terhadap tanah mereka dan penolakan untuk meninggalkannya”.

    Senada, Raja Yordania Abdullah II menolak “upaya apa pun” untuk mengambil alih wilayah Palestina dan mengusir warganya. Seperti diketahui, Trump kerap mengusulkan supaya warga Gaza direlokasi sejumlah negara seperti Mesir dan Yodarnia.

    Dalam pertemuan dengan Abbas, Raja Abdullah II mendesak upaya “untuk menghentikan kegiatan permukiman dan menolak setiap upaya untuk mencaplok tanah dan menggusur warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat, menekankan perlunya menempatkan warga Palestina di tanah mereka”.

    Negara-negara lainnya yang menentang ide kontroversial Trump antara lain Uni Emirat Arab, Turki, Indonesia, Malaysia. Kemudian Inggris, Prancis, Jerman, Liga Arab, China, Rusia, dan Brasil.

    (taa/knv)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Israel Pasangkan Gelang Berisi Ancaman ke Tahanan Palestina yang Dibebaskan, Paksa Tonton Video Ini – Halaman all

    Israel Pasangkan Gelang Berisi Ancaman ke Tahanan Palestina yang Dibebaskan, Paksa Tonton Video Ini – Halaman all

    Israel Pasangkan Gelang Berisi Ancaman pada Tahanan Palestina yang Dibebaskan, Apa Bunyinya?

    TRIBUNNEWS.COM – Israel dilaporkan memasangkan gelang-gelang berisi pesan-pesan ancaman ke tahanan politik Palestina yang dibebaskan dari penahanan Israel pada pertukaran sandera-tahanan putaran kelima tahap pertama.

    RNTV, dalam laporannya, Sabtu (8/2/2025) menyebut kalau gelang-gelang tersebut dipasang Israel pada para tahanan Palestina sebelum pembebasan mereka.

    “Gelang berisi ancaman eksplisit,” kata laporan tersebut merujuk pada video-video yang beredar luas yang menampilkan keberadaan gelang-gelang itu di lengan para tahanan Palestina.

    Dari rekaman video, gelang-gelang itu menampilkan pesan-pesan seperti: “Orang-orang abadi tidak akan disakiti… Aku memburu musuh-musuhku dan menangkap mereka!” 

    “Para aktivis dan pengamat telah mengutuk tindakan ini sebagai taktik intimidasi yang bertujuan untuk menanamkan rasa takut pada para tahanan yang dibebaskan bahkan setelah mereka dibebaskan,” tulis laporan tersebut.

    Menurut media Israel berbahasa ibrani, Channel 12, Dinas Penjara Israel telah mendistribusikan gelang-gelang ini kepada tahanan Palestina yang dibebaskan berdasarkan perjanjian gencatan senjata Gaza.

    Di sisi lain, laporan itu juga menyoroti perlakuan berbeda yang dilakukan gerakan Hamas terhadap sandera Israel yang dibebaskan.

    “Hamas telah memberikan hadiah peringatan kepada para tawanan yang dibebaskan setelah mereka dibebaskan dari Gaza,” kata laporan itu.

    Bulan Sabit Merah Palestina melaporkan bahwa sedikitnya tujuh tahanan yang dibebaskan dipindahkan ke rumah sakit karena kondisi kesehatan yang buruk.

    Pada hari Sabtu, sebuah bus yang membawa tahanan politik Palestina yang dibebaskan sebagai bagian dari tahap kelima kesepakatan pertukaran gencatan senjata tiba di kota Ramallah, Tepi Barat.

    PAKAI GELANG ANCAMAN – Foto tangkapan layar dari video yang menunjukkan seorang tahanan Palestina yang dibebaskan Israel mengenakan gelang berisi pesan ancaman dari Israel, Sabtu (8/2/2025). Israel membebaskan 183 tahanan Palestina sebagai imbalan pembebasan 3 sandera Israel di Deir Al Balah, Gaza, di hari itu.

    Dipaksa Tonton Video Kehancuran Gaza

    Selain perlakuan tersebut, Pasukan Pendudukan Israel (IDF) dan Dinas Penjara (IPS) Israel dilaporkan juga memaksa para tahanan Palestina yang dibebaskan ini untuk menonton video yang mereka buat.

    “IDF dan IPS telah memproduksi video berdurasi tiga menit yang menyoroti kehancuran di Jalur Gaza untuk ditunjukkan kepada tahanan politik Palestina sebelum mereka dibebaskan,” tulis RNTV.

    Seperti diketahui, pembebasan ratusan tahanan Palestina ini merupakan bagian dari tahap pertama kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas.

    “Video ini dimaksudkan untuk memperlihatkan korban jiwa yang sangat besar akibat agresi yang sedang berlangsung di Gaza, dengan banyak tahanan, yang memiliki akses terbatas ke media selama penahanan mereka, menyaksikan kehancuran tersebut untuk pertama kalinya,” kata laporan itu.

    Video tersebut diduga tidak hanya bertujuan untuk memberi tahu para tahanan politik tentang penghancuran tersebut, tetapi juga untuk “memberikan efek jera.”

    Menurut laporan Channel 12 Israel, beberapa tahanan tampak terkejut oleh rekaman tersebut, dan satu orang diduga pingsan setelah menontonnya.

    Selain video tersebut, Israel melakukan penggerebekan di Tepi Barat menjelang pembebasan, yang menargetkan rumah-rumah tahanan yang dijadwalkan akan dibebaskan.

    Militer IDF juga memperingatkan para tahanan agar tidak merayakan pembebasan anggota keluarga mereka.

    Tokoh Palestina yang Dibebaskan

    Seperti diberitakan, dalam putaran kelima pertukaran sandera-tahanan Hamas-Israel dalam kerangka gencatan senjata, sebanyak pembebasan 3 sandera Israel oleh Hamas ditukar dengan pembebaskan 183 tahanan politik Palestina oleh Israel, hari ini.

    Kesepakatan tersebut, yang melibatkan pertukaran tahanan tersebut dengan tawanan “Israel” Or Levy, Eli Sharabi, dan Ohad Ben Ami, melibatkan beberapa pejabat pemimpin senior, dan individu dengan hukuman penjara yang panjang.

    Di antara tokoh-tokoh paling terkenal yang dibebaskan adalah anggota sayap bersenjata Hamas, Brigade Qassam, Iyad Abu Shkheidem, yang mengatur bahan peledak untuk serangan bom bunuh diri pada tahun 2004 di Beer Sheeba, yang menewaskan 18 warga Israel dan melukai 80 orang.

    Ia juga diduga terlibat dalam persiapan bahan peledak untuk serangan yang direncanakan di Yerusalem.

    Tokoh terkemuka lainnya adalah Hatem al-Jayusi, salah satu pendiri Brigade Aqsa, yang menjalani enam hukuman seumur hidup atas perannya dalam serangan selama Intifada Kedua.

    Tahanan terkemuka lainnya termasuk Shadi Al-Barghouti, yang dihukum karena serangan di dalam Israel dan menjalani hukuman 27 tahun, dan Jamal Al-Tawil, seorang pemimpin senior Hamas yang ditangkap pada tahun 2021 karena diduga mengatur ulang kegiatan Hamas di Tepi Barat.

    Selain itu, Falah Ratib Shahadeh, seorang anggota Fatah yang ditangkap pada tahun 2004 karena merekrut sel-sel perlawanan dan melakukan serangan.

    Orang-orang lain dalam daftar tersebut termasuk Yousef al-Mabhouh, yang dihukum karena keterlibatannya dalam peluncuran roket dan kegiatan perlawanan, dan Jamal Tawil, seorang pemimpin senior Hamas yang aktif dalam mengorganisasi kerusuhan di Tepi Barat.

    Tokoh Fatah lainnya yang akan dibebaskan adalah Ahmad Atiya Ibrahim al-Ja’afrah, yang awalnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan akan diasingkan setelah dibebaskan.

    Beberapa tahanan yang dibebaskan, termasuk Ali Haroub, diduga terlibat dalam perencanaan serangan-serangan besar, seperti penculikan, dengan bantuan tahanan keamanan di dalam penjara-penjara Israel.

    Pertukaran tahanan ini dilakukan setelah serangkaian pembebasan sebelumnya, termasuk putaran keempat, yang membebaskan 183 tahanan, dan putaran ketiga, yang membebaskan 110 tahanan Palestina, termasuk 32 orang yang menjalani hukuman seumur hidup.

    Khususnya, tujuh dari tahanan yang dibebaskan akan dideportasi ke luar Palestina, dan rincian afiliasinya mencakup 38 dari Hamas, 30 dari Fatah, satu dari Jihad Islam, dan tiga individu yang tidak terafiliasi.

    Menjelang pertukaran tahanan, pasukan Israel melakukan penggerebekan di Tepi Barat, yang menargetkan rumah-rumah tahanan yang dijadwalkan untuk dibebaskan.

    Selain itu, militer Israel memperingatkan para tahanan untuk tidak merayakan pembebasan anggota keluarga mereka.

    Pembebasan tahanan ini menandai langkah penting lainnya dalam gencatan senjata dan negosiasi penahanan yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, melanjutkan proses yang telah menyaksikan pembebasan ratusan tahanan pada tahap awal perjanjian.

     

    (oln/rntv/*)

  • 7 Tahanan Palestina yang Dibebaskan Langsung Dibawa ke Rumah Sakit, Hamas: Israel Membunuh Perlahan – Halaman all

    7 Tahanan Palestina yang Dibebaskan Langsung Dibawa ke Rumah Sakit, Hamas: Israel Membunuh Perlahan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Israel dan Hamas melakukan pertukaran tawanan pada Sabtu (8/2/2025), sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata.

    Hamas telah membebaskan 3 sandera Israel, sementara Israel membebaskan 183 tahanan Palestina dari berbagai penjara di seluruh negeri.

    Mengutip Al Jazeera, Dinas Penjara Israel mengonfirmasi bahwa mereka telah membebaskan 183 tahanan Palestina, yang kemudian dipulangkan ke Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza.

    Namun, kondisi beberapa tahanan Palestina yang dibebaskan dilaporkan tidak dalam keadaan baik.

    Tujuh di antara mereka langsung dilarikan ke rumah sakit setelah tiba di Ramallah, menurut Masyarakat Tahanan Palestina.

    “Semua tahanan yang dibebaskan hari ini membutuhkan perawatan medis, pengobatan, dan pemeriksaan akibat kebrutalan yang mereka alami selama beberapa bulan terakhir. Tujuh orang di antaranya harus segera dipindahkan ke rumah sakit,” kata Abdullah al-Zaghari, ketua lembaga tersebut.

    Bulan Sabit Merah Palestina juga mengonfirmasi bahwa tujuh tahanan tersebut kini sedang dirawat di rumah sakit.

    Di Ramallah, Tepi Barat, bus yang membawa 42 tahanan Palestina disambut oleh kerumunan yang bersorak.

    Di antara yang dibebaskan adalah Eyad Abu Shkaidem, yang dijatuhi 18 hukuman seumur hidup oleh Israel karena diduga mengatur serangan bunuh diri sebagai balasan atas pembunuhan seorang pemimpin Hamas pada tahun 2004.

    “Hari ini, saya terlahir kembali,” kata Shkaidem kepada wartawan saat tiba di Ramallah, di tengah sorakan kerumunan.

    Beberapa tahanan yang dibebaskan terlihat dalam kondisi kesehatan yang buruk dan mengeluhkan perlakuan buruk selama di penjara.

    “Pendudukan telah mempermalukan kami selama lebih dari setahun,” kata Shkaidem.

    Menurut Al Jazeera, terlihat pemandangan emosional saat tahanan Palestina yang dibebaskan turun dari bus di luar Rumah Sakit Eropa di Khan Younis.

    Orang-orang tampak berpelukan satu sama lain.

    Setelah pemeriksaan medis selesai, para tahanan yang dibebaskan diharapkan untuk kembali ke lingkungan tempat tinggal mereka, yang sebagian besar telah hancur akibat serangan Israel selama 15 bulan.

    Mengutip The New Arab, Hamas menuduh Israel menjalankan kebijakan “pembunuhan perlahan” terhadap tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel.

    “Fakta bahwa tujuh tahanan langsung dipindahkan ke rumah sakit setelah dibebaskan mencerminkan tindakan sistematis dan penganiayaan yang dilakukan otoritas penjara Israel,” kata Hamas dalam pernyataannya.

    Hamas juga menuduh pemerintah Israel yang ekstremis menerapkan kebijakan yang secara perlahan membunuh tahanan di dalam penjara.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Sandera Israel: Pemerintah Kami Gagal, Terima Kasih Al-Qassam Sudah Menjaga Saya Tetap Aman – Halaman all

    Sandera Israel: Pemerintah Kami Gagal, Terima Kasih Al-Qassam Sudah Menjaga Saya Tetap Aman – Halaman all

    Sandera Israel: Pemerintah Kami Gagal, Terima Kasih Al Qassam Sudah Menjaga Saya Tetap Aman

     

    TRIBUNNEWS.COM – Sandera Israel yang dibebaskan Hamas dalam putaran kelima tahap pertama pertukaran sandera-tahanan demi gencatan senjata Gaza mengirim pesan kepada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dan pemerintah Israel, Sabtu (8/2/2025).

    Seperti diketahui, ada tiga sandera Israel yang dibebaskan Hamas dalam putaran kelima dengan imbalan pembebasan 183 tahanan Palestina dari penjara Israel.

    Tiga sandera itu adalah Eli Sharabi (52), Or Levy (34), dan Ohad Ben Ami (56) dibebaskan dari lokasi di Deir al Balah, Gaza tengah.

    Laporan PC, menyebutkan seorang sandera Israel menyatakan kalau pemerintah negaranya gagal dalam mencapai target di agresi militer di Gaza.

    Dia juga menyatakan rasa terima kasihnya kepada Brigade Al-Qassam yang justru bisa menjaganya secara aman dari bombardemen buta Israel selama agresi.

    “Pemerintah kami gagal, dan saya berterima kasih kepada Brigade Al-Qassam karena telah menjaga saya tetap aman,” kata seorang sandera Israel setelah dibebaskan Hamas, seperti dilansir PC, Sabtu.

    Adapun laporan RNTV menyatakan, sandera Israel yang dibebaskan, Or Levi, menyerukan upaya lanjutan untuk menyelesaikan tahapan perjanjian gencatan senjata dan memajukan negosiasi untuk fase kedua kesepakatan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas.

    Dalam pernyataan setelah pembebasannya, Levi mendesak pemerintah Israel untuk terus melanjutkan negosiasi, sambil menekankan pentingnya melanjutkan upaya untuk mengakhiri agresi.

    Ia juga mengirim pesan kepada keluarga tawanan Israel, mendesak mereka untuk melanjutkan upaya mereka untuk menyelesaikan kesepakatan secara penuh.

    Hal ini terjadi saat negosiasi internasional terus berlanjut mengenai tahap kedua perjanjian, dengan tekanan dari pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai resolusi yang memastikan pembebasan lebih banyak tahanan dan tawanan. 

    “Di sisi lain, keluarga tawanan Israel menyampaikan urgensi tersebut dengan menyatakan bahwa tidak ada waktu lagi yang terbuang dan menyerukan agar semua tawanan yang tersisa segera dipulangkan,” kata laporan RNTV.

    Dalam sebuah pernyataan, komite keluarga sandera Israel yang berada di tangan Hamas menekankan perlunya melanjutkan upaya hingga tawanan terakhir dibebaskan dari Gaza.

    Pernyataan itu muncul saat negosiasi untuk pertukaran tahanan lebih lanjut masih belum pasti, dengan meningkatnya tekanan dari keluarga dan mediator internasional untuk mengamankan pembebasan tambahan.

    SANDERA ISRAEL DIBEBASKAN – Foto ini diambil pada Selasa (4/2/2025) dari publikasi resmi Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) pada Sabtu (1/2/2025), menunjukkan sandera Israel, Keith Siegel, melambaikan tangan kepada warga Palestina dengan didampingi anggota Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) selama pertukaran tahanan ke-4 pada Sabtu (1/2/2025) sebagai bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas di Jalur Gaza. Tiga sandera Israel; Ofer Calderon, Yarden Bibas, dan Keith Siegel, dibebaskan dengan imbalan 183 tahanan Palestina. (Telegram Brigade Al-Qassam)

    Pengakuan Keith Siegel

    Pernyataan sandera Israel dalam pembebasan Sabtu ini mengingatkan pada pernyataan mantan sandera Israel, Keith Siegel, yang baru-baru ini dibebaskan setelah 15 bulan di Gaza.

    Saat dibebaskan Hamas, Keith menyatakan kalau pejuang perlawanan Palestina, Hamas, memastikan untuk memenuhi semua kebutuhannya selama masa penahanan.

    Dilansir PressTV, warga negara ganda AS-Israel tersebut, termasuk di antara tiga tawanan yang dibebaskan pada Sabtu (1/2/2025).

    Sebelum dibebaskan, Siegel merekam pesan video sebagai ucapan perpisahan dan terima kasih kepada Brigade Al-Qassam, sayap bersenjata Hamas.

    “Anda telah memperlakukan kami dengan baik selama 15 bulan terakhir,” ujarnya.

    Brigade Al-Qassam kemudian merilis video tersebut pada Minggu.

    “Para pejuang yang menjaga saya selama periode ini memastikan semua kebutuhan saya terpenuhi, mulai dari makanan, minuman, obat-obatan, vitamin, hingga perawatan mata, monitor tekanan darah, dan kebutuhan lainnya.”

    “Hamas juga memastikan makanan yang disediakan sesuai dengan kondisi kesehatan saya, seperti makanan vegetarian tanpa minyak.”

    “Para penjaga memperlakukan saya dengan baik,” tambahnya.

    PEMBEBASAN SANDERA – Tangkap layar yang diambil pada Senin (3/2/2025) menampilkan sandera Israel Keith Siegel diserahkan ke Palang Merah dan meninggalkan Kota Gaza, Sabtu (1/2/2025). Keith Siegel menyatakan Hamas memastikan untuk memenuhi semua kebutuhannya selama masa penahanan. (Tangkap layar YouTube Al Jazeera English)

    Di sisi lain, Siegel mengkritik pemerintah Israel karena tidak berbuat cukup untuk mencapai kesepakatan pembebasan para tahanan, sehingga memperpanjang perang yang menyebabkan banyak korban dan kerusakan.

    Gadi Moses, 80 tahun, tawanan tertua dan orang pertama yang dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas, juga memberi tahu keluarganya bahwa ia “diperlakukan dengan hormat” selama di Gaza.

    Moses dibebaskan setelah 482 hari ditawan di Gaza pada Kamis (30/1/2025).

    Dalam pesan yang disampaikan kepada keluarganya, putranya mengatakan bahwa Moses hidup dalam kondisi yang sama dengan para penculiknya dan memakan makanan yang sama.

    “Ia hidup dalam kondisi yang sama dengan para penculiknya dan makan apa yang mereka makan bersama.”

    “Mereka juga memberinya buku-buku tentang lingkungan dan Islam serta kacamata baca.”

    “Pengeboman Israel sangat menakutkan baginya,” tambahnya.

    Hamas sebelumnya menyatakan, militer Israel berulang kali dan sengaja menargetkan lokasi tempat para tawanan Israel ditahan.

    Mereka menuduh Israel berusaha menyingkirkan tawanan mereka dengan segala cara.

    Seorang tawanan Israel lainnya yang dibebaskan pada akhir November lalu mengatakan bahwa para pejuang perlawanan melindunginya selama pemboman Israel di Gaza.

    Chen Goldstein-Almog dan tiga anaknya ditawan selama Operasi Banjir al-Aqsa pada Oktober 2023.

    Chen mengenang bahwa mereka tinggal di suatu tempat di belakang sebuah supermarket ketika serangan udara Israel menghantam di dekatnya.

    “Para penjaga kami, penculik kami, berdiri di atas kami, melindungi kami dengan tubuh mereka dari serangan.”

    Wanita Israel itu juga menceritakan, ia sempat bertanya kepada anggota Hamas apakah mereka akan dibunuh.

    “Tetapi mereka menjawab: Kami akan mati sebelum kalian.”

    Bus Tahanan Palestina Tiba di Ramallah

    Dalam laporan perkembangan pertukaran sandera-tahanan putaran kelima ini, RNTV memberikan update kalau bus-bus yang membawa tahanan politik Palestina yang dibebaskan tiba di Ramallah, Tepi Barat.

    Kantor Informasi Tahanan Palestina mengumumkan bahwa Israel akan membebaskan 183 tahanan politik Palestina pada hari Sabtu sebagai bagian dari gelombang kelima dari fase pertama kesepakatan pertukaran tahanan.

    Daftar tersebut mencakup 18 tahanan yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, 54 lainnya dengan hukuman berat, dan 111 tahanan dari Gaza yang ditangkap setelah 7 Oktober 2023.

    Berikut ini adalah pembagian tahanan Palestina yang akan dibebaskan dari Penjara Israel dalam gelombang ke-5:

    42 dari Tepi Barat
    Tiga dari Yerusalem
    27 dari Gaza
    111 tahanan politik dari Gaza ditangkap setelah 7 Oktober

    (oln/RNTV/*)

  • Putaran Ke-5 Pertukaran Sandera Hamas-Israel: Al Qassam Pilih Lokasi yang Belum Pernah Dimasuki IDF – Halaman all

    Putaran Ke-5 Pertukaran Sandera Hamas-Israel: Al Qassam Pilih Lokasi yang Belum Pernah Dimasuki IDF – Halaman all

    Putaran Ke-5 Pertukaran Sandera Hamas-Israel: Qassam Pilih Lokasi yang Belum Pernah Diinjak IDF
     

    TRIBUNNEWS.COM – Putaran kelima tahap pertama pertukaran sandera-tahanan antara Hamas dan Israel berlangsung pada Sabtu (8/2//2025).

    Pertukaran sandera tahanan ini merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata Gaza yang sedang berlangsung.

    3 Sandera Israel Ditukar 183 Tahanan Palestina

    Mekanisme pertukaran ini secara umum dilakukan dengan Hamas membebaskan tawanan Israel, sementara Pendudukan Israel membebaskan tahanan politik Palestina dari penjara-penjara pendudukan mereka.

    Kantor Media Tahanan, lembaga independen urusan tahana Palestina mengumumkan kalau Pendudukan Israel akan membebaskan 183 tahanan Palestina pada Sabtu ini.

    “Jumlah itu sebagai bagian dari gelombang kelima dari fase pertama kesepakatan pertukaran,” tulis pernyataan lembaga tersebut, dikutip dari laporan langsung RNTV, Sabtu.

    Daftar tersebut mencakup 18 tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup, 54 lainnya dengan hukuman berat, dan 111 tahanan dari Gaza yang ditangkap setelah 7 Oktober 2023.

    Dalam konteks yang sama, juru bicara Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, Abu Obaida mengumumkan nama-nama tawanan Israel yang akan dibebaskan pada hari Sabtu.

    Brigade tersebut memutuskan untuk membebaskan sandera Israel yaitu: Or Levy, Eli Sharabi, dan Ohad Ben Ami pada Sabtu ini.

    BENTUK PAGAR – Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas, mengerahkan personelnya untuk membuntuk pagar manusia di lokasi pembebasan 3 sandera Israel di Gaza, Sabtu (8/2/2025). Sebanyak 3 sandera Israel ini dibebaskan dengan imbalan pembebasan 183 tahanan Palestina dalam kerangka gencatan senjata di Gaza.

    Rekaman video menunjukkan anggota Hamas dikerahkan pada Sabtu di dua wilayah berbeda di Gaza sebagai persiapan untuk pertukaran tahanan putaran kelima.

    “Pembebasan tawanan Israel diperkirakan akan berlangsung di dua lokasi berbeda,” kata laporan RNTV. 

    Dua dari mereka akan dibebaskan di Gaza bagian tengah, di sepanjang Jalan Salah Al-Din antara Nuseirat dan Deir Al-Balah, sementara tahanan ketiga akan dibebaskan di Kota Gaza atau di bagian utara jalur tersebut.

    PEMBEBASAN SANDERA – Tangkap layar pemandangan dari udara di lokasi pembebasan 3 sandera Israel oleh Hamas pada di Gaza, Sabtu (8/2/2025). Sebanyak 3 sandera Israel ini akan ditukar dengan pembebasan 183 tahanan Palestina dari Penjara Israel.

    Radio militer Israel melaporkan, untuk pertama kalinya, Hamas akan membebaskan tahanan dari Gaza tengah, suatu wilayah di mana pasukan Israel sebelumnya tidak beroperasi.

    Brigade Al-Qassam memang kerap menjadikan prosesi pembebasan sandera Israel ini sebagai panggung olok-olok bagi militer Israel (IDF) yang selama 15 bulan berusaha habis-habisan meleyapkan mereka, dan gagal.

    Pemilihan lokasi oleh Brigade Al-Qassam ini juga memiliki makna simbolik ketangguhan milisi Palestina dalam menghadapi superioritas IDF bahwa terlepas dari klaim Israel, masih ada wilayah di Gaza yang belum dikuasai IDF. 

    Serah terima dijadwalkan akan berlangsung pada pagi hari, sekitar pukul 10.00 waktu Gaza, pukul 11.00 waktu Amman, YOrdania.

    Pasukan Israel Serbu Rumah Keluarga Tahanan Palestina

    Kantor Media Tahanan juga melaporkan bahwa Pasukan Pendudukan Israel (IDF) sedang melakukan penggerebekan terhadap rumah-rumah keluarga tahanan yang diperkirakan akan dibebaskan hari ini.

    Operasi ini berlangsung di berbagai kota dan desa di seluruh Tepi Barat dan Yerusalem.
     
    Radio militer Israel melaporkan kalau lembaga keamanan Israel telah mengonfirmasi bahwa mereka akan mencegah pawai perayaan apa pun pada hari Sabtu untuk pembebasan tahanan Palestina.

    Prosesi pembebasan sandera Israel putaran kelima tahap pertama pertukaran sandera-tahanan Hamas dan Israel ini masih berlangsung.

    Laporan merujuk pada perkembangan situasi di lapangan.

    (oln/rntv/*)

     

     

     

  • BKSAP nilai rencana Trump terhadap Gaza provokatif

    BKSAP nilai rencana Trump terhadap Gaza provokatif

    Ketua BKSAP DPR RI Mardani Ali Sera. ANTARA/HO-DPR RI

    BKSAP nilai rencana Trump terhadap Gaza provokatif
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Sabtu, 08 Februari 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Mardani Ali Sera mengecam keras rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump merelokasi warga Palestina ke luar Jalur Gaza dan mengambil alih Jalur Gaza yang dinilainya sangat provokatif.

    “Pernyataan Trump sangat provokatif. Oleh karena itu, harus kita lawan!” kata Mardani dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (7/2).

    Menurut dia, gagasan Trump yang membangkang terhadap hukum, parameter, dan norma internasional itu akan menghapus hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri, serta mendukung rencana Israel melakukan pembersihan etnis (ethnic cleansing).

    Mardani mendesak AS maupun semua pihak mematuhi landasan hukum internasional, di antaranya Konvensi Jenewa 1949 yang melarang pemindahan paksa penduduk dari wilayah yang diduduki.

    “Baik Amerika Serikat maupun Israel sudah meratifikasi konvensi ini sehingga yang mereka lakukan melanggar aturan internasional yang mereka sendiri juga sudah sepakati,” ujarnya.

    Ia lantas menyitir Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, yang dalam Pasal 7 dan Pasal 8 di antaranya menyatakan bahwa pemindahan secara langsung atau tidak langsung oleh kekuasaan pendudukan atas sebagian penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya, atau deportasi atau pemindahan seluruh atau sebagian penduduk wilayah yang diduduki ke dalam atau ke luar wilayah ini.

    “Ini dapat diartikan sebagai kejahatan perang. Pernyataan Trump mengindikasikan bahwa Amerika Serikat merasa memiliki kekuasaan pendudukan atas tanah Palestina dalam jangka panjang,” tuturnya.

    Ketua BKSAP DPR RI mengingatkan pula kepada AS dan Israel bahwa bahwa genosida merupakan kejahatan kemanusiaan yang diatur dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Konvensi itu disahkan Majelis Umum PBB pada tahun 1948 dan ikut ditandatangani oleh AS maupun Israel.

    “Pelaku genosida dapat dikenai sanksi berupa hukuman penjara, denda, dan penyitaan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang memang memiliki kewenangan hukum untuk mendakwa pelaku genosida,” ucapnya.

    Mardani juga mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil sikap tegas dalam menolak rencana Trump tersebut, serta menggalang dukungan internasional bagi rakyat Palestina.

    “Kita harus menekan Israel agar mematuhi berbagai hukum internasional melalui diplomasi bilateral dan multilateral, serta mekanisme internasional lainnya. Jangan sampai tercipta kesan bahwa gencatan senjata yang sementara ini menjadi cuci dosa atas kejahatan Israel,” urainya.

    Ia memandang perlu Indonesia terus menjalin dukungan dengan negara-negara di PBB untuk menaati dan menjalankan keputusan ICC dan ICJ (Mahkamah Internasional) dengan terus menuntut Israel dan para pimpinannya atas kejahatan genosida, apartheid, maupun kejahatan kemanusiaan lainnya.

    Wakil rakyat ini menyerukan kepada komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Liga Arab, untuk menolak rencana itu dan mengambil langkah-langkah diplomatik guna mencegah pemindahan paksa warga Palestina..

    “Hak untuk tinggal di Tanah Air adalah hak fundamental yang tidak bisa diganggu gugat. Kami berdiri bersama rakyat Palestina dalam perjuangan mereka untuk keadilan dan hak asasi manusia!” katanya.

    Terakhir, Mardani menegaskan komitmen BKSAP DPR RI pada forum-forum persidangan internasional bahwa Indonesia akan senantiasa mendukung perjuangan Palestina dalam mempertahankan hak-haknya.

    “Utamanya kemerdekaan Palestina berdasarkan prinsip solusi dua negara dengan batas wilayah 1967, termasuk Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina,” kata dia.

    Sumber : Antara

  • Respons Kelompok Yahudi hingga Muslim Tanggapi Rencana Trump Ingin Ambil Alih Gaza – Halaman all

    Respons Kelompok Yahudi hingga Muslim Tanggapi Rencana Trump Ingin Ambil Alih Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Dalam konferensi pers bersama di Gedung Putih dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa (4/2/2025)malam, Presiden Donald Trump mengusulkan agar warga Palestina di Gaza dipindahkan ke luar wilayah.

    Sementara Amerika Serikat mengambil alih dan mengubah Jalur Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah.”

    Seperti yang diharapkan, usulan Trump tersebut dikritik keras oleh organisasi-organisasi Muslim di Amerika Serikat dan di tempat lain, sementara reaksi di antara organisasi-organisasi Yahudi Amerika beragam.  

    Forum Kebijakan Israel menyatakan rencana Presiden Trump untuk memindahkan warga Palestina keluar dari Gaza tanpa persetujuannya dan agar AS mengambil alih kendali langsung atas wilayah tersebut tidak dapat dilaksanakan dan akan merusak kepentingan AS dan stabilitas regional. 

    Mereka menambahkan usulan agar Amerika mengambil alih Gaza meremehkan hak-hak warga Palestina yang tidak ingin dipindahkan.

    “Membahayakan sandera Israel yang tersisa dengan kemungkinan membatalkan kesepakatan penyanderaan dan gencatan senjata.”

    Mereka juga  menyulut pendapat Hamas sebagai satu-satunya aktor yang bersedia melawan dugaan rencana untuk menghancurkan nasionalisme Palestina.

    Komite Yahudi Amerika mengatakan rencana Trump untuk mengambil alih Gaza oleh Amerika menimbulkan pertanyaan.

    “Yang pertama adalah dampak pengumuman tersebut terhadap gencatan senjata dan perjanjian pembebasan sandera.”

     “Pembebasan semua sandera yang tersisa, dan pemenuhan tujuan akhir perjanjian untuk membebaskan Gaza dari kekuasaan Hamas harus tetap menjadi prioritas AS dan Israel,” bunyi pernyataan AJC.

    Liga Anti-Pencemaran Nama Baik (Anti-Defamation League) menyatakan percaya bahwa semua rencana harus memperhitungkan kebutuhan keamanan Israel dan kesejahteraan warga Palestina di Gaza.

    Amy Spitaltnik, CEO Dewan Yahudi untuk Urusan Publik menulis di media sosial bahwa usulan Trump sangat mengerikan dan kejam bagi warga Palestina. 

    “Sangat bodoh dalam hal kepentingan AS. Dan sangat bertentangan dengan masa depan Israel sendiri—karena tidak ada Israel yang demokratis dan Yahudi tanpa penentuan nasib sendiri Palestina.”

    Kelompok Zionis Liberal J Street menyatakan, J Street tidak dapat menyatakan penolakan yang cukup kuat terhadap gagasan yang diajukan oleh Presiden Trump mengenai Gaza. 

    “Tidak ada kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa jijik kami terhadap gagasan pemindahan paksa warga Palestina dengan bantuan Amerika Serikat.”

    Halie Soifer, CEO Dewan Demokratik Yahudi Amerika, menyatakan bahwa , gagasan Trump mengambil alih Gaza, termasuk dengan pengerahan pasukan AS, tidak hanya ekstrem.

    “Itu sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Di dunia mana ini terjadi? Bukan dunia yang kita tinggali. Netanyahu memuji pemikirannya yang ‘di luar kebiasaan’, tetapi jujur ​​saja—itu gila.”

    Mort Klein, kepala Organisasi Zionis Amerika, melihat usulan Trump sebagai “deklarasi luar biasa yang dapat memastikan berakhirnya kelompok teroris Islam-Arab Hamas, dan mengamankan Israel selatan setelah puluhan tahun serangan teroris dan peluncuran rudal dari Hamas di Gaza.”

    “Ini juga akan menjadi langkah besar menuju perdamaian sejati di kawasan itu,” seraya menambahkan bahwa “langkah Trump dapat memungkinkan Israel dan AS untuk mengembangkan oasis tepi laut ini sebagai surga di Timur Tengah.

    Sekaligus memberi Israel tanah yang dibutuhkannya untuk berkembang sebagai raksasa teknologi, ilmiah, budaya, dan agama.”

    Tanggapan AIPAC terhadap pernyataan Trump tidak menyebutkan Gaza.

    Sebaliknya, unggahan mereka di X mengatakan: “Kami memuji @POTUS@realDonaldTrump karena mengarahkan kampanye tekanan maksimum di seluruh pemerintah terhadap Iran. Karena rezim Iran mempercepat program senjata nuklirnya, sekaranglah saatnya untuk bertindak. Siapa pun yang membeli, mengirim, membiayai, atau bertransaksi dengan minyak bumi Iran harus dikenai sanksi. Kami mendesak pemerintah untuk menerapkan dan menegakkan UU SHIP, sebuah RUU bipartisan yang menargetkan pelabuhan dan kilang minyak Tiongkok yang memproses minyak Iran.”

    Reaksi dari kelompok Muslim

    Omar Shakir, direktur Human Rights Watch untuk Israel dan Palestina menyebut rencana Trump tak bermoral.

    “Mengusir warga Palestina akan menjadi ‘kekejian moral.’ Hukum humaniter internasional melarang pemindahan paksa penduduk di wilayah yang diduduki. Jika pemindahan paksa tersebut meluas, hal itu dapat dianggap sebagai kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya kepada Reuters.

    Dr. Sara Husseini, direktur Komite Palestina Inggris, menyatakan bahwa rencana Trump merupakan perpanjangan dari perampasan dan dehumanisasi tanpa henti terhadap warga Palestina yang telah kita alami selama beberapa dekade.

    “Israel semakin berani melanggar hukum humaniter internasional, berkat impunitas yang diberikan oleh AS, Inggris, dan sekutu lainnya, bersama dengan penyediaan dukungan militer dari pemerintah AS dan Inggris berturut-turut.”

    Liga Arab mengatakan dalam sebuah pernyataan mengkritik Trump.

    “Merupakan resep untuk ketidakstabilan” dan tidak memajukan negara Palestina.

    Kelompok yang beranggotakan 22 orang itu juga menyatakan bahwa mereka menolak pemindahan warga Palestina dan bahwa Gaza merupakan bagian integral dari negara Palestina di masa depan.

    Dewan Hubungan Amerika-Islam menyatakan  Gaza adalah milik rakyat Palestina, bukan Amerika Serikat.

    “Seruan Presiden Trump untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka sama sekali tidak mungkin. Jika rakyat Palestina diusir secara paksa dari Gaza, kejahatan terhadap kemanusiaan ini akan memicu konflik yang meluas, mengakhiri hukum internasional, dan menghancurkan citra dan kedudukan internasional bangsa kita yang tersisa.”

    Organisasi Kerja Sama Islam menilai bahwa rencana Trump berkontribusi terhadap konsolidasi pendudukan, pemukiman kolonial, dan perampasan tanah Palestina dengan paksa.

    “Ini yang merupakan pelanggaran mencolok terhadap prinsip-prinsip hukum internasional dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang relevan.”

    Netanyahu Lirik Arab Saudi

    Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan, Arab Saudi memiliki cukup tanah untuk memberikan Palestina sebuah negara.

    “Saudi dapat mendirikan negara Palestina di Arab Saudi ; mereka punya banyak tanah di sana,” katanya, dikutip dari The Jerusalem Post.

    Dalam wawancara dengan Channel 14 pada hari Kamis (6/2/2025), Netanyahu ditanya tentang syarat normalisasi Palestina.

    Netanyahu mengatakan tidak akan membuat perjanjian yang akan membahayakan Israel.

    “Terutama bukan negara Palestina. Setelah 7 Oktober? Tahukah Anda apa itu? Ada negara Palestina, yang disebut Gaza. Gaza, yang dipimpin oleh Hamas, adalah negara Palestina, dan lihat apa yang kita dapatkan – pembantaian terbesar sejak Holocaust,” kata perdana menteri.

    Wawancara tersebut dilakukan selama kunjungan Netanyahu ke Washington, yang diawali dengan konferensi pers bersama dengan Presiden AS Donald Trump di mana presiden mengumumkan rencananya agar AS mengendalikan Jalur Gaza.

    Selain itu, keduanya membahas potensi normalisasi hubungan dengan Arab Saudi.

    “Saya pikir perdamaian antara Israel dan Arab Saudi tidak hanya mungkin, saya pikir itu akan terjadi,” katanya.

    Namun, segera setelah konferensi pers, Kementerian Luar Negeri Saudi menyatakan tidak akan membahas hubungan dengan Israel tanpa berdirinya negara Palestina.

    Awal minggu ini, sejumlah pejabat Israelmengatakan kepada The Jerusalem Post bahwa mereka khawatir Netanyahu akan bersedia mengakhiri perang di Gaza dan menunda aneksasi Tepi Barat demi memajukan kesepakatan normalisasi dengan Arab Saudi.

    Para pejabat khawatir bahwa perdana menteri akan menggunakan penundaan aneksasi sebagai kompromi.

    Yakni dalam upaya untuk mempengaruhi Riyadh agar tidak menuntut jalan menuju negara Palestina.

    Rencana AS

    Sementara diberitakan eurointegration, Presiden AS Donald Trump telah menegaskan kembali rencananya bagi Amerika Serikat untuk “mengambil alih” Jalur Gaza tanpa melibatkan pasukan Amerika.

    Trump mengatakan di  Truth Social  bahwa Israel dapat menyerahkan Gaza kepada Amerika Serikat setelah permusuhan berakhir, yang memungkinkan AS untuk meluncurkan apa yang ia yakini sebagai salah satu proyek paling mengesankan di Bumi.

    Jalur Gaza akan diserahkan kepada Amerika Serikat oleh Israel setelah pertempuran berakhir. Warga Palestina, seperti Chuck Schumer, sudah akan dimukimkan kembali di komunitas yang jauh lebih aman dan lebih indah, dengan rumah-rumah baru dan modern di wilayah tersebut.

    AS, yang bekerja sama dengan tim-tim pengembang hebat dari seluruh dunia, akan perlahan-lahan dan hati-hati memulai pembangunan yang kelak akan menjadi salah satu pembangunan terbesar dan paling spektakuler di dunia.

    “Tidak diperlukan tentara AS! Stabilitas untuk kawasan itu akan terwujud!!!”

    Chuck Schumer, Pemimpin Minoritas Senat dan seorang Demokrat, mengkritik Trump dalam pidatonya minggu lalu karena “ceroboh dan melanggar hukum”.

    Pada tanggal 4 Februari, Trump menyatakan bahwa AS dapat ” mengambil alih ” Gaza dan “melakukan pekerjaan di sana” dengan mengubah wilayah Palestina menjadi “Riviera” baru di Timur Tengah.

    Ia juga menganjurkan pemindahan warga Palestina dari Gaza ke negara lain.

    Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio  mendukung  rencana Trump, dengan menyatakan bahwa “Gaza HARUS BEBAS dari Hamas”.

    Steve Witkoff, utusan khusus AS untuk Timur Tengah,  mengatakan  usulan Trump untuk pemukiman kembali Palestina akan memberi mereka “lebih banyak harapan” untuk masa depan yang lebih baik.

    Irlandia Disorot

    Belum rampung wacana dan rencana pemindahan warga Gaza keluar dari Palestina, Menteri Pertahanan (Menhan) Israel Katz baru-baru ini membuat pernyataan kontroversial.

    Belakangan, ia mengusulkan sebuah negara menjadi lokasi selanjutnya pemindahan warga Gaza.

    Negara tersebut adalah Irlandia.

    Bukan tanpa sebab, Katz memiliki alasan tersendiri agar Irlandia bersedia menerima relokasi tersebut. 

    Diberitakan Irish Independent pada Kamis (6/2/2025), Israel Katz, hari ini memerintahkan tentara untuk menyiapkan rencana guna mengizinkan “keberangkatan sukarela” penduduk dari Jalur Gaza.

    Ia mengusulkan Irlandia sebagai salah satu negara yang diwajibkan secara hukum untuk mengizinkan penduduk Gaza memasuki wilayah mereka.

    Menurutnya, Irlandia adalah salah satu negara yang “menyampaikan tuduhan dan klaim palsu terhadap Israel atas tindakannya di Gaza”.

    Tegas PBB

    Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan kepada Presiden Donald Trump pada hari Rabu untuk menghindari pembersihan etnis di Gaza.

    Setelah pemimpin AS tersebut mengusulkan agar warga Palestina diusir dan Amerika Serikat mengambil alih daerah kantong yang dilanda perang tersebut.

    “Dalam mencari solusi, kita tidak boleh memperburuk masalah. Sangat penting untuk tetap setia pada dasar hukum internasional. Sangat penting untuk menghindari segala bentuk pembersihan etnis,” kata Guterres dalam pertemuan komite PBB yang telah direncanakan sebelumnya.

    “Kita harus menegaskan kembali solusi dua negara,” katanya.

    Sekretaris Jenderal PBB mengatakan solusi tidak boleh “memperburuk masalah” saat ia menanggapi usulan Presiden AS Donald Trump untuk menduduki Gaza, diberitakan The New Arab.

    Meskipun Guterres tidak menyebutkan Trump atau usulannya mengenai Gaza selama pidatonya di hadapan Komite tentang Pelaksanaan Hak-Hak yang Tidak Dapat Dicabut dari Rakyat Palestina, juru bicaranya Stephane Dujarric mengatakan kepada wartawan sebelumnya bahwa akan menjadi “asumsi yang adil” untuk memandang pernyataan Guterres sebagai sebuah tanggapan.

    Sebelumnya pada hari Rabu Guterres juga berbicara dengan Raja Yordania Abdullah tentang situasi di kawasan itu, kata Dujarric.

    Perserikatan Bangsa-Bangsa telah lama mendukung visi dua negara yang hidup berdampingan dalam batas-batas yang aman dan diakui. 

    Palestina menginginkan sebuah negara di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, semua wilayah yang diduduki secara ilegal oleh Israel sejak 1967.

    “Setiap perdamaian yang langgeng akan memerlukan kemajuan yang nyata, tidak dapat diubah, dan permanen menuju solusi dua negara, diakhirinya pendudukan, dan didirikannya negara Palestina yang merdeka, dengan Gaza sebagai bagian integralnya,” kata Guterres.

    “Negara Palestina yang layak dan berdaulat, yang hidup berdampingan secara damai dan aman dengan Israel adalah satu-satunya solusi berkelanjutan bagi stabilitas Timur Tengah,” katanya.

    Israel menarik tentara dan pemukim dari Gaza pada tahun 2005. 

    Wilayah tersebut telah dikuasai oleh Hamas sejak tahun 2007 tetapi masih dianggap berada di bawah pendudukan Israel oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Israel dan Mesir mengendalikan akses.

    Ramai-ramai Menolak

    Para menteri Arab dan seorang pejabat Palestina telah menyampaikan surat kepada Menlu AS, Marco Rubio untuk menyatakan penolakan mereka terhadap pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza.

    Lima menteri luar negeri Arab dan seorang pejabat senior Palestina menolak rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengusir paksa warga Palestina dari Gaza, dan mengusulkan agar mereka terlibat dalam proses rekonstruksi wilayah tersebut, Axios melaporkan. 

    Para pejabat tersebut dilaporkan menyampaikan surat kepada Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, yang merupakan upaya bersama sekutu Arab Amerika Serikat untuk menekan Trump agar mengingkari pernyataannya.

    Trump telah berulang kali menyarankan agar Mesir dan Yordania menerima pengungsi Palestina dari Gaza, dengan menyebut Jalur Gaza sebagai “lokasi pembongkaran” akibat pemboman Israel selama berbulan-bulan. Perang tersebut telah menyebabkan sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza mengungsi.

    Berbicara di atas Air Force One, Trump mengklaim bahwa ia telah membahas masalah tersebut dengan el-Sisi, dengan menyatakan,

    “Saya berharap ia mau mengambil sebagian. Kami banyak membantu mereka, dan saya yakin ia akan membantu kami… Namun saya rasa ia akan melakukannya, dan saya rasa Raja Yordania juga akan melakukannya.” Namun, Mesir membantah bahwa pembicaraan tersebut telah terjadi.

    Negara-negara Arab secara historis menolak usulan untuk menggusur warga Palestina dari tanah mereka.

    Sejak pecahnya perang di Gaza pada Oktober 2023, baik Mesir maupun Yordania telah memperkuat penentangan mereka terhadap usulan tersebut. 

    Yordania, yang telah menampung lebih dari dua juta warga Palestina dan menghadapi tekanan ekonomi, telah menolak gagasan tersebut secara langsung.

     “Solusi untuk masalah Palestina terletak di Palestina,” kata Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, dikutip dari AL MAYADEEN.

    Oleh karena itu, menteri luar negeri Arab Saudi, UEA, Qatar, Mesir, dan Yordania, serta penasihat presiden Palestina Hussein al-Sheikh, berkumpul di Kairo pada hari Sabtu dan akhirnya memutuskan untuk membahas masalah tersebut dalam sebuah surat kepada Rubio. 

    Apa isi surat itu? 

    Para pejabat menekankan bahwa Timur Tengah sudah berjuang dengan populasi pengungsi dan terlantar terbesar di dunia, yang menekankan kondisi ekonomi dan sosial yang rapuh di kawasan itu.  

    Mereka memperingatkan bahwa pemindahan lebih lanjut, meskipun sementara, dapat meningkatkan risiko ketidakstabilan regional, radikalisasi, dan kerusuhan.

    Mereka juga menggarisbawahi perlunya melibatkan penduduk Palestina dalam rekonstruksi Gaza , dengan menegaskan bahwa mereka harus memiliki peran dalam membangun kembali tanah mereka dan tidak boleh dikesampingkan dalam proses tersebut, yang seharusnya didukung oleh masyarakat internasional.  

    Selain itu, para menteri Arab memperingatkan terhadap kemungkinan pengusiran warga Palestina oleh “Israel”, menegaskan kembali dukungan tegas mereka terhadap tekad warga Palestina untuk tetap berada di tanah mereka dan menekankan bahwa tindakan seperti itu akan membawa dimensi baru yang berbahaya terhadap konflik tersebut.  

    “Warga Palestina akan tinggal di tanah mereka dan membantu membangunnya kembali, dan tidak boleh dilucuti hak mereka selama pembangunan kembali, dan harus mengambil kepemilikan atas proses tersebut dengan dukungan masyarakat internasional,” bunyi surat tersebut. 

    Pada tingkat yang lebih luas, para menteri menyampaikan kesediaan negara mereka untuk bekerja sama dengan visi Presiden Trump untuk perdamaian Timur Tengah, dengan menyatakan keyakinannya pada kemampuannya untuk mencapai apa yang tidak dapat dicapai oleh presiden AS sebelumnya.

    Mereka menekankan bahwa pendekatan yang paling efektif adalah solusi “dua negara” dan menegaskan kesiapan mereka untuk mendorong kondisi regional yang akan menjamin keamanan “Israel” dan Palestina.

    (Tribunnews.com/ Chrysnha)

  • Rencana Trump untuk Gaza, Cerminan Kebijakan Pro-Netanyahu

    Rencana Trump untuk Gaza, Cerminan Kebijakan Pro-Netanyahu

    Jakarta

    Dua minggu setelah dilantik kembali sebagai presiden, Donald Trump menerima tamu internasional pertamanya, yakni Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

    Keduanya bekerja sama erat selama masa jabatan pertama Trump, termasuk ketika Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem Barat pada 2017.

    Sejak itu, banyak hal berubah di Timur Tengah. Pada 7 Oktober 2023, Hamas, yang diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh AS, Jerman, dan beberapa negara lainnya, melancarkan serangan teror ke Israel yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 250 orang.

    Sebagai tanggapan, Israel melancarkan kampanye militer besar-besaran di Jalur Gaza. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, yang datanya dianggap kredibel oleh PBB, serangan ini telah menewaskan setidaknya 47.000 warga Palestina yang sebagian besar adalah warga sipil. Pada pertengahan Januari 2024, sekitar 90% populasi Gaza telah mengungsi, dan tahap pertama dari gencatan senjata mulai berlaku.

    Di tengah ketidakjelasan gencatan senjata tahap kedua dan ketiga, Trump memanfaatkan kunjungan Netanyahu ke Washington untuk mempresentasikan visinya bagi masa depan Gaza yang kontroversial.

    Apa yang ingin dilakukan Trump?

    Kesepakatan gencatan senjata saat ini tidak mencakup rencana jangka panjang untuk rekonstruksi Gaza yang hancur akibat lebih dari 15 bulan serangan Israel. Di sinilah rencana Trump muncul. Dia ingin AS terlibat dalam rekonstruksi dan pengembangan ekonomi wilayah pesisir Palestina tersebut.

    Trump mengaitkan rencananya dengan ambisi menguasai Gaza secara politik. Dalam konferensi pers di Gedung Putih bersama Netanyahu, Trump menyatakan bahwa AS harus memiliki “kepemilikan jangka panjang” atas Gaza, yang ia bayangkan bisa menjadi “Riviera di Timur Tengah.”

    Di media sosialnya, Truth Social, Trump kembali menyatakan niatnya untuk mengambil alih Gaza dari Israel setelah perang berakhir.

    “Palestina … akan direlokasi ke komunitas baru yang lebih aman dan indah, dengan rumah-rumah modern di kawasan sekitar. Mereka akhirnya bisa hidup bahagia, aman, dan bebas,” tulis Trump.

    Ia juga menegaskan bahwa pasukan AS tidak perlu dikerahkan, lalu menutup pernyataannya dengan, “Stabilitas kawasan akan terwujud!!!”

    Pilihan kata Trump mengingatkan pada pernyataan Jared Kushner, menantunya sekaligus mantan penasihat Timur Tengah, dalam wawancara dengan Harvard University pada Februari 2024.

    “Properti di tepi pantai Gaza bisa sangat bernilai jika orang-orang lebih fokus membangun mata pencaharian,” kata Kushner. “Situasinya memang tidak menguntungkan, tetapi jika saya jadi Israel, saya akan mencoba memindahkan penduduk keluar dan membersihkan area tersebut.”

    Bagaimana nasib warga Palestina di Gaza?

    “Saya rasa orang-orang seharusnya tidak kembali ke Gaza,” kata Trump saat duduk di samping Netanyahu di Kantor Oval. “Gaza tidak bisa dihuni saat ini. Kita perlu lokasi lain … area yang indah untuk merelokasi mereka secara permanen, dengan rumah-rumah yang layak agar mereka bisa bahagia, tidak ditembak, tidak dibunuh, dan tidak ditikam sampai mati.”

    Saat ditanya lebih lanjut oleh wartawan, Trump tampak mengoreksi pernyataannya, dengan mengatakan bahwa “Riviera” barunya akan dihuni oleh “orang-orang dari seluruh dunia … termasuk warga Palestina, banyak orang akan tinggal di sana.”

    Pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza akan melanggar hukum kemanusiaan internasional, yang melarang deportasi atau pemindahan penduduk sipil dari wilayah pendudukan, kecuali dalam keadaan darurat keamanan.

    Trump tampaknya berasumsi bahwa sekitar 1,8 juta warga Palestina akan secara sukarela meninggalkan Gaza. “Satu-satunya alasan mereka ingin kembali ke Gaza adalah karena mereka tidak punya alternatif,” katanya.

    Ia mengusulkan agar Mesir atau Yordania menampung warga Gaza yang tersisa, tetapi kedua negara ini telah secara tegas menolak ide tersebut.

    Apa efek dari kebijakan Trump di Gaza?

    Selama masa kepresidenan pertamanya, Trump membuat keputusan yang berdampak luas di Timur Tengah. Pada 2019, ia mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan yang diduduki, membatalkan kebijakan AS selama setengah abad. Pada 2017, ia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

    Di sisi lain, Trump berupaya memperkuat hubungan diplomatik Israel dengan negara-negara tetangga. Sebelumnya, Israel hanya menandatangani perjanjian damai dengan Mesir (1979) dan Yordania (1994). Namun, pada 2020, di bawah kepemimpinan Trump, Uni Emirat Arab dan Bahrain menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel. Maroko menyusul kemudian.

    Salah satu elemen penting dari kebijakan Trump adalah upaya melibatkan Arab Saudi. Meski tidak berbatasan langsung dengan Israel, wilayah barat laut Saudi hanya terpisah beberapa kilometer dari ujung selatan Israel.

    Pada 2023, di bawah kepemimpinan Joe Biden, kesepakatan antara Saudi dan Israel hampir tercapai. Namun, setelah serangan Hamas pada 7 Oktober dan respons militer Israel yang besar-besaran, prospek normalisasi hubungan ini menjadi tidak pasti.

    Trump juga pernah menggagas “NATO Arab,” aliansi pertahanan yang melibatkan AS, Israel, Mesir, Yordania, dan enam negara Teluk Sunni sebagai benteng melawan Iran. Meski memiliki kepentingan serupa, Raja Salman dari Arab Saudi menegaskan bahwa negaranya tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel tanpa penyelesaian dua negara.

    Kebijakan Trump dan Solusi Dua Negara

    Solusi dua negara adalah konsep yang banyak didukung oleh kekuatan dunia, termasuk Jerman dan sebagian besar negara Uni Eropa. Saat Irlandia, Spanyol, dan Norwegia mengakui Palestina sebagai negara pada 2024, mereka juga menegaskan komitmen pada solusi ini.

    Lebih dari 140 negara telah mengakui Palestina sebagai negara sejak 1988, tetapi AS, Jerman, dan negara G7 lainnya belum melakukannya. PBB juga belum mengakuinya sebagai negara penuh, meskipun memberikan status pengamat non-anggota.

    Solusi ini bertujuan menciptakan dua negara merdeka, yakni Israel dan Palestina, dengan perbatasan yang diakui dan dihormati. Namun, sejak berdirinya Israel pada 1948, prinsip-prinsip ini terus dilanggar.

    Perjanjian Oslo 1993 membuka jalan bagi otonomi Palestina dengan menyerahkan sebagian kendali atas Tepi Barat yang diduduki.

    Pada masa kepresidenan pertamanya, Trump awalnya menjauh dari solusi dua negara, tetapi pada 2020 ia meluncurkan rencana yang dikritik sebagai terlalu berpihak pada Israel. Israel terus memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat, yang semakin mengikis kemungkinan solusi dua negara.

    Sejak serangan 7 Oktober, pemerintahan sayap kanan Netanyahu semakin menolak solusi ini. Pada Juli 2024, Parlemen Israel bahkan mengesahkan resolusi yang menolak pembentukan negara Palestina, dengan alasan bahwa itu akan dianggap sebagai hadiah bagi Hamas.

    Artikel ini diterjemahkan dari DW berbahasa Inggris

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Rencana Trump Pindah Paksa Warga Gaza ke Yordania akan Jadi Deklarasi Perang Yordania dengan Israel? – Halaman all

    Rencana Trump Pindah Paksa Warga Gaza ke Yordania akan Jadi Deklarasi Perang Yordania dengan Israel? – Halaman all

    Apakah Yordania Mengatakan akan Berperang karena Rencana Donald Trump di Gaza?

    TRIBUNNEWS.COM- Laporan minggu ini yang menunjukkan bahwa perang antara Yordania dan Israel dapat dipicu oleh rencana pembersihan etnis di Gaza oleh Presiden AS Donald Trump.

    Laporan menunjukkan bahwa Yordania telah menyatakan kesediaannya untuk berperang dengan Israel atas rencana pembersihan etnis Donald Trump di Jalur Gaza.

    Hal ini terjadi setelah Donald Trump mengatakan pada hari Rabu bahwa ia ingin melihat AS “memiliki” Gaza dan bahwa negara-negara seperti Mesir dan Yordania, harus dan akan menyerap populasi Palestina yang mengungsi, sambil mengklaim “semua orang menyukai” rencananya.

    Baik Mesir maupun Yordania dengan tegas menolak gagasan tersebut dan menegaskan kembali dukungan mereka terhadap pembentukan negara Palestina di masa depan.

    Komentar keras dari Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi menyusul pengumuman Donald Trump menunjukkan bahwa Amman akan mengambil sikap tegas terhadap Israel jika Perdana Menteri Benjamin Netanyahu secara paksa mengusir penduduk Gaza.

    Akan tetapi, akankah kerajaan itu bertindak sejauh terlibat dalam perang dengan Israel sebagai respons terhadap pembersihan etnis lebih lanjut di tanah Palestina?

    Beberapa media telah mengklaim demikian, khususnya setelah laporan berbahasa Arab mengutip pernyataan Safadi: 

    “Jika ada upaya untuk memindahkan warga Palestina secara paksa ke Yordania, kami akan menghadapinya dengan segala kemampuan kami. Ini adalah pernyataan perang terhadap Yordania, dan kami akan menanggapinya.”

    Beberapa pengamat urusan Yordania-Palestina mengatakan komentar Safadi menekankan betapa seriusnya situasi.

    “Dia mengatakan komentar-komentar ini untuk menekankan implikasi dari rencana Trump – inilah yang dimaksud Safadi. Ini adalah garis merah bagi Yordania, mereka juga khawatir hal ini akan memicu perang saudara karena telah mengobarkan ketakutan dan kekhawatiran masyarakat akan masa depan tentang lebih banyak pengungsi di negara ini,” katanya kepada TNA .

    “Jadi, Yordania mengirim pesan kepada Trump, Amerika dan Israel, agar mereka tidak mencoba. Bukannya mereka ingin berperang, tetapi mereka harus menghentikan hal ini terjadi,” tambahnya.

    Adoni mengatakan urgensi dalam retorika tersebut digunakan karena rencana Trump telah menjadi “bahaya strategis bagi kelangsungan hidup Yordania dan tahta Hashemite, inilah sebabnya dia mengatakan mereka akan berperang”.

    Ia juga mencatat bahwa hari Jumat akan terlihat banyak aktivitas di seluruh Yordania untuk mengekspresikan penolakan terhadap rencana Trump melalui protes massa yang akan menandai salah satu momen langka di mana opini publik dan sikap resmi cocok.

    Faktor lain yang perlu dipertimbangkan, kata Adoni, adalah jika Yordania mau menerima pengungsi Palestina, “mereka akan dituduh tunduk kepada Israel dan mereka tidak mampu melakukan itu”.

    Ia mengatakan banyak yang percaya bahwa tindakan tersebut akan menjadi “akhir bagi Yordania” dan penggunaan kata “pemindahan” oleh Israel berarti “pengusiran”.

    Deklarasi perang?

    Komentar dari Safadi muncul menyusul perang brutal di Gaza yang menyebabkan seluruh penduduk mengungsi, dan serangan mengerikan di Tepi Barat di mana 70 warga Palestina, termasuk 10 anak-anak, tewas dan sekitar 26.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.

    Dalam wawancara sebelumnya, Safadi mengatakan Israel terus menggusur dan berupaya memindahkan penduduk ke Yordania, sebuah situasi yang tidak akan diterima kerajaan tersebut, di mana lebih dari separuh penduduknya lahir di Palestina.

    “Mengusir warga Palestina dari Tepi Barat ke Yordania berarti memindahkan krisis yang telah diciptakan oleh pendudukan dan semakin memburuk,” kata Safadi.

    Pada bulan September tahun lalu, ia juga memperingatkan bahwa setiap upaya Israel untuk mengusir warga Palestina di Tepi Barat ke negaranya akan ditafsirkan sebagai “deklarasi perang” dalam sebuah konferensi pers.

    Beberapa laporan menunjukkan bahwa Yordania akan menutup perbatasannya jika warga Palestina mulai menyeberang ke negara itu, yang merupakan hasil yang lebih mungkin terjadi jika terjadi program pembersihan etnis massal.

    Perkembangan terkini terjadi saat Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas bertemu dengan Raja Yordania Abdullah di Amman, di mana ia menekankan perlunya mencapai perdamaian yang adil dan komprehensif berdasarkan solusi dua negara, yang mengarah pada pembentukan negara Palestina merdeka, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

    Separuh dari 11 juta penduduk Yordania adalah warga Palestina, dan sejak berdirinya Israel pada tahun 1948 selama Nakba, banyak warga Palestina yang mencari perlindungan di sana.

    Menurut angka PBB, 2,2 juta warga Palestina terdaftar sebagai pengungsi di Yordania.

    SUMBER: NEW ARAB

  • 13 Negara Tolak Usulan Trump Relokasi Warga Gaza, Timur Tengah Sudah Terbebani Populasi Pengungsi – Halaman all

    13 Negara Tolak Usulan Trump Relokasi Warga Gaza, Timur Tengah Sudah Terbebani Populasi Pengungsi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza dari tanah mereka mendapat kecaman dari banyak kalangan.

    Mulai dari China, Malaysia, Iran, Indonesia hingga enam negara Arab menentang gagasan relokasi warga Gaza ini.

    Sejumlah negara Eropa juga menentang keras gagasan Trump merelokasi warga Gaza dan menyebut ide ini merupakan tindakan yang melanggar hukum.

    Trump berniat memindahkan warga Gaza ke sejumlah negara, seperti Mesir dan Yordania.

    Indonesia juga sempat disebut sebagai opsi lokasi relokasi warga Gaza.

    Berikut daftar negara yang menolak usulan Trump untuk merelokasi warga Gaza:

    China

    Tiongkok menentang relokasi warga Gaza dari Palestina dan pengambil alihan wilayah ini sebagaimana usulan Trump.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, mengatakan pemerintah meyakini warga Palestina yang berhak memerintah negara itu.

    “Itu adalah prinsip dasar pemerintah pasca konflik di Gaza,” kata Lin saat konferensi pers pada Rabu, dikutip dari Anadolu Agency.

    “Kami menentang pemindahan paksa warga Gaza,” imbuh dia.

    Malaysia

    Malaysia juga dengan tegas menolak usulan Trump soal relokasi warga Gaza.

    Dalam rilis resmi, Kementerian Luar Negeri Malaysia menentang keras rencana apapun untuk memindahkan secara paksa warga Gaza dari tanah air.

    “Malaysia dengan tegas menentang setiap usulan yang bisa menyebabkan pemindahan paksa atau pemindahan warga Palestina dari tanah air mereka,” terang rilis Kemlu Malaysia, dikutip dari AFP, Rabu (5/2/2025).

    Kemlu Malaysia menyatakan tindakan tak manusiawi seperti itu merupakan pembersihan etnis dan merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional dan berbagai resolusi PBB.

    Iran

    Iran turut menyampaikan penolakan serupa.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Esmail Baghei mengatakan gagasan itu sama saja membersihkan warga dari tanah air mereka.

    “Ide pembersihan warga Gaza sebagai bagian dari rencana pemusnahan kolonial rakyat Palestina telah lama berlangsung dengan menggunakan senjata dan amunisi mematikan Amerika, serta dukungan politik, intelijen, dan finansialnya,” kata Baghaei, dikutip dari Press TV Iran.

    Ia mengatakan kampanye genosida Israel selama 15 bulan gagal mengusir warga Palestina.

    Baghaei lalu mengatakan meski ada paksaan politik dan manipulasi demografi, Israel dan sekutu dekatnya AS tak bisa memaksa warga Palestina pergi.

    “Ini tanah air mereka dan mereka telah membayar harga yang sangat tinggi untuk tetap di sana dan melanjutkan perjuangan heroik mereka demi penentuan nasib sendiri dan kebebasan,” ujar Baghaei.

    Indonesia

    Dikutip dari CNN, Kementerian Luar Negeri Indonesia menolak dengan tegas pemindahan warga Palestina.

    “Indonesia dengan tegas menolak segala upaya untuk secara paksa merelokasi warga Palestina atau mengubah komposisi demografis wilayah pendudukan Palestina,” demikian rilis Kemlu, Rabu (5/2/2025).

    Menurut Kemlu, tindakan semacam itu menghambat realisasi kemerdekaan Palestina sebagaimana cita-cita solusi dua negara berdasarkan perbatasan 1967 dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.

    Solusi dua negara merupakan kerangka yang disepakati komunitas internasional untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. 

    Indonesia juga menyerukan komunitas internasional untuk memastikan penghormatan terhadap hukum internasional, khususnya hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri serta hak mendasar untuk kembali ke tanah air mereka.

    6 Negara Arab: Arab Saudi, Mesir, UEA, Qatar, Yordania, dan perwakilan dari Otoritas Palestina

    Keenam negara Arab menggelar pertemuan di Kairo pada awal Februari untuk merespons perkembangan soal Gaza.

    Enam negara Arab menyampaikan penolakan soal gagasan Trump dalam surat yang dikirim ke Menteri Luar Negeri Marco Rubio pada pekan lalu.

    Surat itu ditandatangani Menlu Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Yordania, dan perwakilan dari Otoritas Palestina.

    Dalam surat, keenam negara Arab itu menekankan bahwa Timur Tengah sudah terbebani dengan populasi pengungsi dan orang-orang yang terpaksa mengungsi ke berbagai negara lain di dunia.

    Mereka juga menyoroti kondisi ekonomi dan sosial di kawasan ini sangat rentan.

    “Kita harus waspada agar tak meningkatkan risiko ketidakstabilan regional dengan pemindahan lebih lanjut, bahkan jika hanya sementara, karena hal ini bisa meningkatkan risiko radikalisasi dan kerusuhan di seluruh kawasan,” tulis keenam negara itu dalam surat, dikutip Axios.

    Jerman

    Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock dengan tegas menolak gagasan Donald Trump mengambilalih Gaza, Al Mayadeen melaporkan.

    Baerbock memperingatkan bahwa setiap upaya untuk mengusir penduduk sipil Gaza hanya akan memperdalam penderitaan dan memicu kerusuhan lebih lanjut.

    “Pengusiran penduduk sipil Palestina dari Gaza tidak hanya tidak dapat diterima dan melanggar hukum internasional,” ungkapnya.

    “Hal itu juga akan menyebabkan penderitaan baru dan kebencian baru,” katanya.

    Prancis

    Kementerian Luar Negeri Prancis menyuarakan sentimen ini.

    Prancis menegaskan tidak ada negara ketiga yang boleh mengambil alih kendali Gaza dan bahwa setiap keputusan tentang masa depannya harus sejalan dengan solusi dua negara. 

    Spanyol

    Demikian pula, Menteri Luar Negeri Spanyol José Manuel Albares menolak gagasan pemukiman kembali secara paksa. 

    “Gaza adalah bagian dari negara Palestina masa depan, yang didukung Spanyol dan yang harus hidup berdampingan dan rukun [dengan Israel], menjamin kemakmuran dan keamanan bagi Negara Israel, yang karenanya kami juga menginginkan normalisasi penuh hubungan dengan negara-negara Arab,” katanya di Madrid dalam sebuah konferensi pers.

    Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok hak asasi manusia juga mengkritik rencana tersebut, menggambarkannya sebagai pelanggaran hukum internasional dan memperingatkan potensi dampak kemanusiaannya.

    Para ahli telah mengemukakan sejumlah kendala yang membuat usulan Trump sangat tidak realistis. 

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)