kab/kota: Yerusalem

  • Mesir: Rencana Rekonstruksi Gaza Rampung, Dipresentasikan di Pertemuan Darurat Arab pada Selasa – Halaman all

    Mesir: Rencana Rekonstruksi Gaza Rampung, Dipresentasikan di Pertemuan Darurat Arab pada Selasa – Halaman all

    Mesir: Rencana Rekonstruksi Gaza Rampung, Dipresentasikan di Pertemuan Darurat Arab pada Selasa
     

    TRIBUNNEWS.COM – Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdel Aati, Minggu (2/3/2025) menyatakan kalau para menteri luar negeri dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) akan menggelar rapat di Arab Saudi setelah pertemuan puncak darurat Arab pada Selasa, 4 Maret 2025.

    Ia mengatakan kalau rencana rekonstruksi Gaza telah selesai dan akan disampaikan pada pertemuan puncak (konferensi tingkat tinggi/KTT) darurat Arab pada Selasa untuk disetujui.

    Abdel-Ati menambahkan, negaranya akan melanjutkan upaya intensif untuk memulai negosiasi tahap kedua perjanjian gencatan senjata di Gaza.

    Dia juga menyinggung soal manuver Israel yang memblokir semua bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza dalam rangka menekan Hamas untuk menyetujui perpanjangan tahap pertama gencatan senjata.

    “Penggunaan bantuan sebagai senjata hukuman kolektif dan kelaparan di Gaza tidak dapat diterima dan tidak diperbolehkan,” katanya merujuk pada aksi Israel memblokir bantuan ke Gaza.

    Tolak Kelola Gaza Dengan Imbalan Keringanan Utang

    Sebelumnya, pada Rabu (26/2/2025), Mesir menyatakan, menolak usulan untuk mengelola Gaza karena mengganggap wacara itu sebagai hal yang ‘tidak dapat diterima’

    Mesir tidak mau mengambil alih pemerintahan Gaza, dengan menyebut gagasan tersebut bertentangan dengan sikap posisi Mesir dan negara-negara Arab yang telah lama berlaku terkait masalah Palestina.

    Mesir dan negara-negara Arab ingin masalah Palestina dikendalikan oleh faksi dan entitas Palestina dan terus mendorong ‘Solusi Dua Negara’ dengan Israel.

    “Setiap gagasan atau usulan yang menyimpang dari pendirian Mesir dan Arab [tentang Gaza]… ditolak dan tidak dapat diterima,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tamim Khalaf seperti dikutip kantor berita negara, MENA.

    Pernyataan ini dilontarkan sehari setelah pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid melontarkan gagasan tersebut.

    Mantan perdana menteri Israel dan pemimpin oposisi Yair Lapid mengadakan konferensi pers tentang anggaran negara yang akan datang, di Tel Aviv pada 16 Mei 2023. (JACK GUEZ / AFP)

    Imbalan Keringanan Utang

    Yair Lapid, Selasa, mengusulkan agar Mesir mengambil alih kendali administratif Jalur Gaza hingga 15 tahun dengan imbalan keringanan utang luar negerinya yang bernilai lebih dari 150 miliar dolar AS.

    Rencana tersebut mengusulkan  Mesir bertanggung jawab mengelola daerah kantong tersebut selama delapan tahun, dengan opsi untuk memperpanjangnya hingga 15 tahun.

    Lapid mengumumkan rencana tersebut saat berpidato di Foundation for Defense of Democracies (FDD) di Washington, DC dan kemudian mengunggahnya di X, menurut surat kabar Maariv, Israel.

    “Saya baru-baru ini menyampaikan rencana di Washington untuk hari setelah perang di Gaza,” tulisnya.

    “Inti dari rencana tersebut: Mesir akan memikul tanggung jawab atas Gaza selama (hingga) 15 tahun, sementara pada saat yang sama utang luar negerinya sebesar $155 miliar akan dibatalkan oleh masyarakat internasional.”

    “Setelah hampir satu setengah tahun pertempuran, dunia terkejut mengetahui bahwa Hamas masih menguasai Gaza,” tambahnya.

    Lapid menyalahkan pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu karena gagal membangun “pemerintahan efektif di Gaza yang akan mengusir Hamas,”.

    Lapid juga mengatakan kalau Israel menghadapi dua masalah keamanan utama di sepanjang perbatasan selatannya.

    Masalah pertama Israel menurut dia adalah, “Dunia membutuhkan solusi baru untuk Gaza: Israel tidak dapat setuju Hamas tetap berkuasa, Otoritas Palestina tidak mampu menjalankan Gaza, pendudukan Israel tidak diinginkan, dan kekacauan yang terus berlanjut merupakan ancaman keamanan serius bagi Israel.”

    Masalah kedua, kata Lapid, adalah “ekonomi Mesir berada di ambang kehancuran dan mengancam stabilitas Mesir dan seluruh Timur Tengah: utang luar negeri sebesar $155 miliar tidak memungkinkan Mesir membangun kembali ekonominya dan memperkuat militernya.”

    Ia mengusulkan “satu solusi: Mesir akan memikul tanggung jawab pengelolaan Jalur Gaza selama 15 tahun, sementara utang luar negerinya akan ditanggung oleh masyarakat internasional dan sekutu regionalnya.”

    Selama 18 tahun terakhir, Israel telah memberlakukan blokade terhadap Gaza, yang secara efektif mengubahnya menjadi penjara terbuka.

    Genosida baru-baru ini telah menyebabkan sekitar 1,5 juta dari 2,4 juta penduduk daerah kantong itu mengungsi.

    Seorang warga Palestina berjalan di jalanan berdebu dengan latar belakang kehancuran Gaza karena bombardemen buta Israel selama satu tahun sejak 7 Oktober 2023. (MNA)

    Mesir Pemain Utama Pembangunan Gaza

    Lapid mengklaim bahwa selama 15 tahun, “Gaza akan dibangun kembali dan kondisi untuk pemerintahan sendiri akan tercipta. Mesir akan menjadi pemain utama dan akan mengawasi rekonstruksi, yang selanjutnya akan memperkuat ekonominya.”

    “Solusi ini memiliki preseden historis,” katanya.

    “Mesir pernah menguasai Gaza di masa lalu. Ini dilakukan dengan dukungan Liga Arab, dengan pemahaman bahwa ini adalah situasi sementara. Mesir melindungi Jalur Gaza atas nama Palestina. Inilah yang perlu terjadi lagi hari ini.”

    Mesir menguasai Jalur Gaza selama hampir dua dekade setelah berdirinya Israel pada tahun 1948, ketika milisi Zionis merebut tanah Palestina dan melakukan pembantaian yang menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi.

    Hamas sebelumnya menolak rencana untuk melucuti senjata atau dipindahkan dari Gaza, dengan menyatakan bahwa masa depan daerah kantong itu harus ditentukan melalui konsensus nasional Palestina.

    Israel terus menduduki wilayah Palestina, Suriah, dan Lebanon, menolak untuk menarik diri atau mengakui negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya dalam batas-batas sebelum tahun 1967.

    Gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan telah berlaku di Gaza sejak bulan lalu, menghentikan perang Israel, yang telah menewaskan hampir 48.350 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan meninggalkan daerah kantong itu dalam reruntuhan.

    November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

    Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di daerah kantong tersebut.

    Rekonstruksi Gaza Butuh Rp 327 Triliun

    Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi diperkirakan akan mengunjungi Riyadh untuk membahas rencana Arab untuk Gaza, yang dapat melibatkan pendanaan regional hingga 20 miliar dolar atau Rp 327 Triliun untuk rekonstruksi wilayah kantung Palestina itu.

    Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi kemungkinan akan mengunjungi Riyadh pada hari Kamis, menurut dua pejabat keamanan Mesir, untuk membahas rencana Arab untuk Gaza, yang mungkin melibatkan hingga $20 miliar atau Rp 327 Triliun dari wilayah tersebut untuk rekonstruksi.

    Negara-negara Arab bersiap untuk memperdebatkan rencana untuk Gaza sehari setelahnya sebagai tanggapan atas saran Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk membangun kembali wilayah di bawah kendali AS sambil membersihkan etnis Palestina.

    Berita ini muncul saat Kementerian Keamanan Israel mengumumkan rencana untuk membentuk direktorat untuk pemindahan paksa dan pembersihan etnis di Gaza dengan nama “emigrasi sukarela dari Gaza.”

    Rencana tersebut akan mencakup “pilihan keberangkatan,” yaitu cara mengusir warga Palestina dari tanah mereka , melalui darat, laut, dan udara. 

    Arab Saudi, Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, dan Qatar akan mengevaluasi dan membahas proposal Arab di Riyadh sebelum menyampaikannya pada pertemuan puncak Arab yang dijadwalkan di Kairo pada tanggal 4 Maret, empat orang yang mengetahui masalah tersebut mengatakan kepada Reuters. 

    Pada hari Jumat, pertemuan para pemimpin negara Arab, termasuk Yordania, Mesir, UEA, dan Qatar, dijadwalkan di Arab Saudi, yang mendorong upaya Arab pada rencana Trump, tetapi beberapa sumber mengindikasikan tanggalnya belum ditetapkan.

    Pada konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat “akan mengambil alih,” “memiliki,” dan mengubah Jalur Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah.”  

    Lebih buruknya lagi, ia mengungkapkan minggu lalu bahwa warga Palestina tidak akan memiliki hak untuk kembali ke Gaza, dan menyatakan bahwa wilayah tersebut, “Saya akan memilikinya.”

    Usulan Arab, yang terutama didasarkan pada rencana Mesir, menyerukan pembentukan komite nasional Palestina untuk mengelola Gaza tanpa keterlibatan Hamas, serta keterlibatan internasional dalam rehabilitasi tanpa pemindahan warga Palestina ke luar negeri.

    Menurut peneliti Emirat Abdulkhaleq Abdullah, komitmen sebesar $20 miliar atau Rp 327 Triliun dari pemerintah Arab dan Teluk untuk dana tersebut, yang telah diidentifikasi oleh dua sumber sebagai jumlah yang masuk akal, mungkin menjadi motivasi yang efektif bagi Trump untuk mengadopsi konsep tersebut.

    Kabinet Otoritas Palestina menyatakan hari Selasa bahwa tahap pertama dari rencana yang sedang dipertimbangkan akan menelan biaya sekitar $20 miliar atau Rp 327 Triliun selama tiga tahun, sementara sumber-sumber Mesir mengungkapkan kepada Reuters bahwa pembicaraan tentang kontribusi keuangan kawasan itu masih berlangsung.

    Menurut orang dalam, rencana itu mengharuskan pembangunan kembali diselesaikan dalam waktu tiga tahun.

    Senator Richard Blumenthal mengatakan kepada wartawan di Tel Aviv pada hari Senin bahwa pembicaraannya dengan para pemimpin Arab, khususnya Raja Abdullah, menunjukkan bahwa “mereka memiliki penilaian yang sangat realistis tentang apa peran mereka seharusnya.”

     

     

     

    (oln/thntnl/anadolu/*)

     
     

  • Hari Pertama Ramadan, Buldoser Israel Hancurkan Rumah di Tepi Barat Palestina

    Hari Pertama Ramadan, Buldoser Israel Hancurkan Rumah di Tepi Barat Palestina

    Tepi Barat

    Buldoser militer Israel memasuki kamp pengungsi Nour Shams di Tepi Barat, Palestina, yang diduduki oleh Israel. Buldoser itu menghancurkan rumah-rumah dan merusak jalan-jalan di lingkungan al-Manshiya pada hari pertama Ramadan.

    Dilansir Anadolu Agency, Minggu (2/3/2025), kepala Komite Rakyat kamp Nour Shams, Nihad Al-Shawish, mengatakan beberapa buldoser militer menyerbu lingkungan al-Manshiya dan menghancurkan jalan-jalan serta sebagian bangunan tempat tinggal pada Sabtu (1/3).

    Dia mengatakan pasukan Israel memaksa penduduk di sekitar area kamp Nour Shams untuk mengungsi. Dia menyebut Israel bersiap menghadapi ‘ledakan skala besar’.

    “Tentara telah memerintahkan semua penduduk kamp untuk pergi,” kata Shawish.

    Serangan militer di Nour Shams telah memasuki hari ke-21. Pasukan Israel telah menargetkan kota-kota di Tepi Barat utara, khususnya Jenin dan Tulkarem, selama lebih dari sebulan.

    Serangan militer itu telah menewaskan sedikitnya 64 orang dan membuat ribuan orang mengungsi. Pada 23 Februari, tank-tank Israel memasuki kamp pengungsi Jenin dalam eskalasi militer yang belum pernah terjadi sejak 2002.

    Pihak berwenang Palestina telah memperingatkan serangan militer Israel yang terus berlanjut merupakan bagian dari rencana yang lebih luas oleh pemerintah Netanyahu untuk mencaplok Tepi Barat dan mendeklarasikan kedaulatan atas wilayah itu. Palestina menganggap aksi itu berarti menandai berakhirnya solusi dua negara.

    Mahkamah Internasional menyatakan pendudukan Israel yang telah berlangsung lama atas wilayah Palestina adalah ‘melanggar hukum’ dan menuntut evakuasi semua permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

    Lihat juga Video: Israel Kini Bombardir Tepi Barat, 10 Warga Palestina Tewas

    (haf/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Negara Palestina yang Berdaulat Mencakup Gaza dan Tepi Barat

    Negara Palestina yang Berdaulat Mencakup Gaza dan Tepi Barat

    PBB – Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan bahwa negara Palestina yang berdaulat di bawah pemerintahan Palestina harus mencakup Jalur Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.

    Dalam pengarahan media di Markas Besar PBB, Jumat (28/2), Guterres “kerangka politik yang jelas” untuk memastikan stabilitas dan pemulihan jangka panjang di wilayah tersebut.

    “Itu berarti Gaza tetap menjadi bagian integral dari negara Palestina yang merdeka, demokratis, dan berdaulat, tanpa pengurangan wilayahnya atau pemindahan paksa penduduknya,” ujarnya.

    Lebih lanjut Guterres menyatakan bahwa baik Gaza maupun Tepi Barat yang diduduki—termasuk Yerusalem Timur—harus diperlakukan sebagai satu kesatuan secara politik, ekonomi, dan administratif, dan diperintah oleh pemerintah Palestina yang diterima dan didukung oleh rakyat Palestina

    “Ini berarti mencegah segala bentuk pembersihan etnis dan tidak boleh ada kehadiran militer Israel dalam jangka panjang di Gaza,” katanya.

    Pada saat yang sama, Sekjen PBB mengakui bahwa kekhawatiran keamanan dari Israel juga harus ditangani.

    Sumber: RIA Novosti/Sputnik

  • Israel Terapkan Pembatasan di Kompleks Masjid Al-Aqsa Selama Ramadan 2025 – Halaman all

    Israel Terapkan Pembatasan di Kompleks Masjid Al-Aqsa Selama Ramadan 2025 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Selama bulan Ramadan 2025, Israel mengumumkan akan menerapkan pembatasan di kompleks Masjid Al-Aqsa.

    “Pembatasan keamanan akan diberlakukan di kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki selama bulan suci Ramadan,” kata Juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, dikutip dari surat kabar The Times of Israel.

    Dia tidak merinci tindakan apa saja yang dilakukan.

    Tahun lalu, otoritas Israel tidak mengizinkan pria Palestina di bawah usia 55 tahun dan wanita di bawah usia 50 tahun untuk memasuki kompleks tersebut.

    Larangan itu diberlakukan dengan alasan “demi alasan keamanan”, Al Jazeera melaporkan.

    Bahkan tahun lalu, ribuan petugas polisi Israel dikerahkan ke seluruh Kota Tua Yerusalem.

    Pembatasan Israel di Masjid Al-Aqsa selama Ramadan

    Berikut ini beberapa poin penting tentang pembatasan yang diberlakukan oleh Israel selama bulan Ramadan 2025 di kompleks Masjid Al-Aqsa:

    – Hanya pria berusia lebih dari 55 tahun dan wanita berusia lebih dari 50 tahun dari Tepi Barat yang diduduki yang diizinkan mengunjungi masjid.

    – Tahanan Palestina yang baru dibebaskan dari penjara Israel akan dilarang mengunjungi kompleks Masjid Al-Aqsa selama Ramadan.

    – Israel mengklaim bahwa pembatasan ini serupa dengan yang diberlakukan tahun lalu.

    Otoritas Palestina menyebutnya sebagai tindakan “rasis dan provokatif.”

    – Sebanyak 3.000 personel keamanan Israel akan dikerahkan di sekitar Yerusalem Timur, termasuk di pos pemeriksaan menuju Masjid Al-Aqsa.

    – Pengunjung beragama Yahudi masih diizinkan untuk berkunjung, namun tidak diperbolehkan berdoa di kompleks tersebut, sesuai dengan konvensi yang ada, mengingat kompleks ini adalah situs kuil Yahudi yang dihancurkan pada tahun 70 M.

    – Meski begitu, dalam beberapa tahun terakhir, kelompok ultranasionalis sayap kanan, termasuk mantan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, telah menentang konvensi ini, menyebabkan ketegangan dengan mencoba berdoa di kompleks tersebut.

    Ramadan Gaza di Tengah Perang

    Umat Muslim di Gaza sedang mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadan di tengah kondisi yang sulit.

    Puasa tahun ini masih diselimuti dengan peperangan yang terus berlangsung, Al Jazeera melaporkan.

    Gencatan senjata yang rapuh antara Hamas dan Israel diperkirakan berakhir pada Sabtu (1/3/2025).

    Kenyataan ini menambah ketegangan di wilayah tersebut.

    Hamas Serukan Tekanan Internasional Terhadap Israel Terkait Gencatan Senjata

    Pejuang Palestina Hamas menyerukan tekanan internasional untuk memastikan kelanjutan perjanjian gencatan senjata.

    “Dengan berakhirnya fase pertama perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan, kami berkomitmen penuh untuk melaksanakan semua klausul perjanjian dalam semua tahap dan rinciannya,” kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan resmi.

    “Kami menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menekan pendudukan Zionis agar berkomitmen penuh terhadap perannya dalam perjanjian ini dan segera memasuki fase kedua tanpa penundaan atau keraguan,” tambah pernyataan tersebut.

    Tahap pertama gencatan senjata berakhir pada Sabtu (1/3/2025).

    Perwakilan serta mediator dari kedua belah pihak kini berkumpul di Mesir untuk membahas tahap kedua dari perjanjian ini.

    Langkah tersebut diharapkan dapat menghasilkan kemajuan dalam proses perdamaian yang lebih luas.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Uni Eropa Serukan agar Status Khusus Yerusalem Dipertahankan – Halaman all

    Uni Eropa Serukan agar Status Khusus Yerusalem Dipertahankan – Halaman all

    Uni Eropa Serukan agar Status Khusus Yerusalem Dipertahankan

    TRIBUNNEWS.COM- Uni Eropa (UE) kemarin menyerukan agar status khusus Yerusalem dipertahankan, dan memperingatkan konsekuensi dari setiap upaya untuk mengubah situasi saat ini, di tengah tindakan ketat Israel yang membatasi akses umat Muslim ke Masjid Al-Aqsa selama bulan Ramadan.

    Dalam sebuah pernyataan , para kepala misi Uni Eropa di Yerusalem dan Ramallah mengatakan: 

    “Uni Eropa dan negara-negara anggotanya mengingat kembali pentingnya Situs Suci dan menyerukan dengan tegas untuk menegakkan Status Quo, sesuai dengan pemahaman sebelumnya. Dalam kerangka ini, para jamaah harus dapat mengakses situs suci mereka dengan bebas.”

    “Uni Eropa dan negara-negara anggotanya juga mengingat peran khusus Yordania dalam menegakkan Status Quo dan menegaskan kembali dukungan mereka terhadap pelaksanaan peran ini melalui Wakaf Yerusalem.”

    Mereka menyoroti bahwa para pemimpin gereja di Yerusalem Timur telah menjelaskan “tekanan keuangan yang terus mereka hadapi dari otoritas Israel setempat melalui penerapan pajak kota secara retroaktif atas properti mereka, terlepas dari penggunaannya, yang berbeda dengan praktik lama dan perjanjian sebelumnya untuk tidak mengenakan pajak atas properti gereja.”

    “Posisi Uni Eropa terhadap Yerusalem tetap tidak berubah: status dan karakter khusus Yerusalem dan Kota Tua, keutuhan tempat-tempat sucinya, dan kelangsungan hidup semua komunitasnya harus dilestarikan dan dihormati oleh semua pihak.”

    Mereka memperingatkan bahwa “setiap upaya sepihak untuk mengubah Status Quo akan menimbulkan dampak yang sangat tidak stabil.”

    Pada hari Minggu, Perusahaan Penyiaran Publik Israel ( Kan ) melaporkan bahwa polisi Israel telah disiagakan tinggi sebagai persiapan untuk Ramadan, dengan rencana untuk mengerahkan 3.000 petugas setiap hari di pos pemeriksaan menuju Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa.

    Seperti tahun sebelumnya, polisi merekomendasikan agar pemerintah memberikan izin masuk ke Masjid Al-Aqsa hanya untuk 10.000 warga Palestina dari Tepi Barat yang diduduki. 

    Menurut rekomendasi tersebut, izin akan diberikan kepada pria berusia 55 tahun ke atas, wanita berusia 50 tahun ke atas, dan anak-anak hingga usia 12 tahun jika didampingi oleh orang dewasa.

    Pernyataan Uni Eropa tersebut mencatat bahwa para kepala misinya mengunjungi Al-Haram Al-Sharif (Masjid Al-Aqsa) pada hari Selasa dan bertemu dengan Departemen Wakaf Islam di Yerusalem. 

    Kunjungan tersebut digambarkan sebagai bagian dari pertukaran informasi rutin yang didedikasikan untuk keragaman agama dan budaya di Yerusalem dan Kota Tua.

    Selama kunjungan tersebut, Wakaf memberi pengarahan kepada delegasi tentang perkembangan dan kekhawatiran terkini, termasuk pelanggaran yang memengaruhi status quo saat ini. 

    Wakaf juga menyatakan keprihatinan atas pembatasan yang diberlakukan terhadap akses ke Al-Aqsa selama bulan suci Ramadan, yang akan dimulai akhir pekan ini.

     

    SUMBER: MIDDLE EAST MONITOR

  • Israel Berlakukan Pembatasan Keamanan di Al-Aqsa Selama Ramadan

    Israel Berlakukan Pembatasan Keamanan di Al-Aqsa Selama Ramadan

    Yerusalem

    Pemerintah Israel mengumumkan akan menerapkan apa yang disebutnya sebagai “pembatasan keamanan” di kompleks Masjid Al-Aqsa yang ada di Kota Tua, Yerusalem, selama bulan suci Ramadan, yang akan dimulai pada akhir pekan.

    Ratusan ribu warga Palestina, seperti dilansir AFP, Jumat (28/2/2025), datang ke kompleks Masjid Al-Aqsa untuk menjalankan salat selama Ramadan. Kompleks Masjid Al-Aqsa, merupakan situs tersuci ketiga dalam Islam, terletak di Yerusalem Timur yang diduduki dan dianeksasi Israel.

    Tahun ini, bulan suci Ramadan bertepatan dengan gencatan senjata Gaza yang rapuh, yang menghentikan sebagian besar pertempuran antara Israel dan Hamas setelah perang dahsyat menewaskan puluhan ribu orang di daerah kantong Palestina tersebut.

    “Pembatasan yang biasa dilakukan demi keselamatan publik akan diberlakukan seperti yang terjadi setiap tahun,” kata juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, dalam pengarahan online kepada wartawan.

    Tahun lalu, di tengah perang Gaza, pemerintah Israel memberlakukan pembatasan terhadap pengunjung yang datang ke Al-Aqsa, khususnya bagi warga Palestina yang datang dari Tepi Barat.

    Hanya pria berusia 55 tahun ke atas dan wanita berusia 50 tahun ke atas yang diizinkan memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa “untuk alasan keamanan”. Sementara ribuan polisi Israel dikerahkan di seluruh area Kota Tua, Yerusalem.

    Mencer mengindikasikan dalam pernyataannya bahwa tindakan pencegahan akan diambil lagi tahun ini.

    “Tentu saja, yang tidak akan kami biarkan dan tidak akan disetujui oleh negara mana pun adalah orang-orang yang berusaha memicu kekerasan dan serangan terhadap orang lain,” katanya, tanpa merinci soal pengerahan polisi tahun ini.

    Kompleks Masjid Al-Aqsa merupakan simbol identitas nasional Palestina.

    Namun kompleks suci itu juga merupakan tempat tersuci bagi agama Yahudi, yang menyebutnya sebagai Temple Mount. Berdasarkan konvensi lama, umat Yahudi diperbolehkan berkunjung tetapi tidak diizinkan berdoa di kompleks suci tersebut.

    Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak ultranasionalis Yahudi yang menentang aturan tersebut, termasuk politisi sayap kanan Israel Itamar Ben-Gvir yang secara terang-terangan berdoa di kompleks Al-Aqsa saat menjabat Menteri Keamanan Nasional tahun 2023-2024.

    Pemerintah Israel telah berulang kali menegaskan akan mempertahankan status quo di kompleks suci itu. Namun kekhawatiran warga Palestina mengenai masa depan Al-Aqsa telah menjadikannya titik rawan kekerasan.

    Tahun lalu, Tel Aviv mengizinkan umat Muslim menjalankan salat di Masjid Al-Aqsa dalam jumlah yang sama seperti tahun sebelumnya meskipun perang berkecamuk di Jalur Gaza.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Delegasi Israel ke Kairo, Hamas Sekali Lagi Bikin Zionis Tak Punya Pilihan Selain Berunding – Halaman all

    Delegasi Israel ke Kairo, Hamas Sekali Lagi Bikin Zionis Tak Punya Pilihan Selain Berunding – Halaman all

    Delegasi Israel ke Kairo, Hamas Sekali Lagi Sukses Bikin Zionis Tak Punya Pilihan Selain Berunding

    TRIBUNNEWS.COM – Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, Kamis (27/2/2025) mengeluarkan pernyataan terkait situasi konflik yang terjadi di Jalur Gaza.

    Pada pernyataan itu, Hamas menegaskan kembali komitmennya terhadap perjanjian gencatan senjata Gaza, dengan mengatakan upaya Israel untuk menghalangi pembebasan tahanan telah gagal.

    Israel membebaskan 596 tahanan Palestina semalam setelah Hamas menyerahkan jenazah empat tawanan Israel. Tel Aviv juga diperkirakan akan membebaskan 46 tahanan Palestina pada hari Kamis.

    “Kami melakukan pembebasan tahanan heroik kami bersamaan dengan penyerahan sisa-sisa tawanan musuh (Zionis) untuk mencegah pendudukan (Israel) terus menghindari persyaratan perjanjian,” kata Hamas dalam sebuah pernyataan dilansir Anews.

    Israel diketahui memang sempat mengulur pembebasan ratusan tahanan Palestina dalam putaran ketujuh pertukaran sandera-tahanan dalam kerangka tahap pertama (Fase I) Gencatan Senjata yang akan berakhir pada Sabtu (28/2/2025).

    Manuver Israel itu diiringi ancaman kalau gencatan senjata bisa sewaktu-waktu berhenti dan perang Gaza bisa dimulai kapan saja.

    Namun, dengan pembebasan tahanan Palestina ini, Hamas mengklaim kalau Israel sekali lagi tidak punya pilihan kecuali untuk berunding.

    “Upaya Israel untuk menghalangi pembebasan tahanan kami telah gagal. Musuh tidak punya pilihan lain selain memulai negosiasi tahap kedua” dari perjanjian tersebut, tambahnya.

    Kelompok Perlawanan Palestina itu menegaskan komitmennya terhadap kesepakatan gencatan senjata dan kesiapan untuk memulai negosiasi tahap kedua.

    “Satu-satunya cara untuk membebaskan tawanan pendudukan di Gaza adalah melalui negosiasi dan kepatuhan terhadap apa yang telah disepakati,” tegasnya.

    “Setiap upaya oleh (Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu dan pemerintahannya untuk membatalkan atau menghalangi perjanjian tersebut hanya akan menyebabkan lebih banyak penderitaan bagi para tawanan (sandera Israel) dan keluarga mereka.”

    Sejauh ini, 25 tawanan Israel dan delapan jenazah sandera Israel telah dikembalikan dari Gaza sebagai imbalan atas ratusan tahanan Palestina di bawah tahap pertama gencatan senjata Gaza dan kesepakatan pertukaran tahanan.

    Perjanjian tersebut, yang mulai berlaku pada 19 Januari, menghentikan perang destruktif Israel di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 48.300 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan meninggalkan daerah kantong itu dalam reruntuhan.

    Israel memperkirakan bahwa 59 sandera masih ditawan di Gaza, dengan sedikitnya 20 di antaranya masih hidup, dan mereka diperkirakan akan dibebaskan pada fase kedua gencatan senjata, yang mengharuskan Israel menarik pasukannya sepenuhnya dari Gaza dan mengakhiri perang secara permanen.

    KONDISI MEMPRIHATINKAN – Sejumlah tahanan Palestina yang dibebaskan Israel dilaporkan berada dalam kondisi terluka dan memprihatinkan saat tiba dengan bus di Rumah Sakit Eropa di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 27 Februari 2025. Pembebasan ini dilakukan Israel setalah Hamas kembali menyerahkan empat jenazah sandera Israel.

    Kondisi Parah Para Tahanan Palestina yang Dibebaskan Israel

    Israel pada Kamis ini membebaskan 596 warga Palestina yang ditahan di penjara sebagai bagian dari pertukaran ketujuh di bawah gencatan senjata Gaza dan kesepakatan tahanan-sandera dengan Hamas .

    Peristiwa ini terjadi setelah kelompok Palestina menyerahkan jasad empat sandera Israel kepada Palang Merah .

    Menurut kantor berita resmi Palestina Wafa, 37 warga Palestina dibebaskan di Ramallah, Tepi Barat yang diduduki tengah dan lima di Yerusalem Timur.

    Seorang tahanan yang diterima oleh Bulan Sabit Merah Palestina, dalam keadaan koma, dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Tepi Barat.

    Sebanyak 456 warga Palestina dibebaskan dan dipindahkan ke Jalur Gaza, menurut Saleh Al-Hams, direktur keperawatan di Rumah Sakit Eropa Gaza di Khan Younis.

    “Para tahanan berada dalam kondisi sangat kurus kering, beberapa di antaranya tidak dapat berjalan karena pemukulan dan penyiksaan hebat yang mereka alami,” kata Hams.

    Ia menambahkan bahwa “sebagian besar tahanan menderita penyakit kulit, dan satu kasus dirawat di rumah sakit semalam karena fibrosis paru-paru.”

    Pejabat kesehatan mencatat bahwa di antara yang dibebaskan terdapat 15 staf kesehatan, yang ditahan dari rumah sakit selama perang Israel di Gaza.

    Menurut Hamas, 11 dari mereka yang dibebaskan ke Jalur Gaza adalah tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup atau jangka panjang yang telah ditangkap sebelum 7 Oktober 2023, sementara yang lainnya ditahan oleh tentara Israel di Gaza setelah itu.

    Hamas menambahkan bahwa 97 tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup atau hukuman jangka panjang juga dideportasi ke Mesir.

    Amani Sarahneh dari Masyarakat Tahanan Palestina mengatakan kepada Anadolu bahwa otoritas Israel telah memblokir pembebasan 46 tahanan anak-anak dan wanita.

    Ia menambahkan bahwa otoritas Israel menunda pembebasan mereka sampai verifikasi penuh atas jenazah yang diterima dari Gaza.

    Dengan pemindahan empat jenazah lagi pada Rabu malam, Hamas menyelesaikan pembebasan 33 warga Israel, termasuk delapan jenazah, di bawah fase pertama, 42 hari gencatan senjata yang berakhir akhir pekan ini.

    Delegasi Israel ke Kairo

    Terkait dengan negosiasi tahap II gencatan senjata Gaza, Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar mengatakan pada hari Kamis bahwa delegasi Israel akan pergi ke Kairo untuk melihat apakah ada titik temu untuk dinegosiasikan.

    Pada tahap pertama gencatan senjata, Mesir bersama Qatar dan campur tangan Amerika Serikat (AS) menjadi mediator gencatan senjata Hamas-Israel dalam kerangka pertukaran sandera Israel dan tahanan Palestina.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya menginstruksikan delegasi negosiasinya untuk berangkat ke Kairo pada Kamis untuk melanjutkan perundingan gencatan senjata Gaza, kantornya mengatakan dalam sebuah pernyataan.

    Langkah ini menunjukkan kalau niat Tel Aviv melanjutkan perang di Gaza untuk menuntaskan target perang yang belum tercapai, mulai memudar.

    Selama agresi militer 15 bulan di Gaza, militer Israel (IDF) belum mampu memenuhi tujuan perang, yaitu memberangus Hamas dan mengembalikan sandera Israel yang ditahan Hamas di Gaza.

    Meski telah melakukan bombardemen buta, Israel nyatanya harus melalui perundingan untuk mendapatkan warga negara mereka kembali dari tangan Hamas.

    Sebaliknya, November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

    Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di daerah kantong tersebut.

    (oln/anews/*)

     

  • Tepi Barat yang Bisa Menjadi ‘Gaza Baru’ di Palestina

    Tepi Barat yang Bisa Menjadi ‘Gaza Baru’ di Palestina

    PIKIRAN RAKYAT – Lembaga Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) prihatin dengan kondisi masyarakat di Tepi Barat atau West Bank, Palestina.

    Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini mengatakan orang-orang yang berada di Tepi Barat mengalami dampak buruk imbas serangan Israel di wilayah tersebut sejak 5 minggu lalu. 

    Lazzarini mengatakan 60 orang termasuk anak-anak tewas imbas agresi Israel. Selain itu, infrastruktur publik juga mengalami kehancuran dan bisa mengganggu aktivitas warga.

    “Kehidupan masyarakat berubah drastis, trauma dan kehilangan kembali menghantui. Sekitar 40.000 orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka, terutama di kamp pengungsian di wilayah utara,” ujarnya dilaporkan kantor berita Palestina, WAFA.

    Tak hanya itu, Israel juga telah membatasi aktivitas warga Palestina di Tepi Barat. Hal ini menimbulkan ketakutan, ketidakpastian, dan kesedihan.

    “Lebih dari 5.000 anak yang biasanya bersekolah di sekolah UNRWA telah kehilangan kesempatan pendidikan, beberapa di antaranya telah kehilangan kesempatan pendidikan selama lebih dari 10 minggu,” katanya.

    Belum lagi, pasien-pasien yang dirawat tidak dapat mengakses layanan kesehatan. Juga, warga yang tinggal di Tepi Barat tidak mendapatkan air, listrik, dan layanan dasar lainnya.

    Saat ini semakin banyak orang yang bergantung pada bantuan kemanusiaan di tengah lembaga-lembaga bantuan kewalahan dan sangat kekurangan sumber daya.

    “Tim UNRWA kami melacak orang-orang yang mengungsi dan terus menyediakan mereka makanan yang sangat dibutuhkan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan dasar untuk menjaga mereka tetap hangat,” tutur pejabat PBB tersebut.

    Lazzarini menyebut Tepi Barat saat ini tengah menjadi medan perang dan bisa saja menjadi ‘Gaza Baru’ jika melihat situasi yang ada.

    “Warga Palestina adalah yang paling menderita. Ini harus diakhiri,” katanya.

    Prihatin

    Melihat situasi terkini di Tepi Barat, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menyatakan keprihatinan dengan kondisi yang ada.

    “Komite Palang Merah Internasional sangat prihatin dengan dampak operasi keamanan yang sedang berlangsung terhadap penduduk sipil di Jenin dan Tulkarem, Tubas dan lokasi lain di Tepi Barat utara,” kata ICRC dalam sebuah pernyataan dilaporkan Anadolu.

    Operasi yang dilakukan Israel telah menyebabkan warga sipil mengungsi. Tak hanya itu, warga Palestina juga dihadapkan situasi sulit dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan, perawatan medis, dan tempat tinggal.

    Tentara Israel melancarkan operasi militer di Tepi Barat utara sejak bulan lalu, menewaskan sedikitnya 60 orang dan membuat ribuan orang mengungsi.

    Itu merupakan serangan militer Israel terbaru dalam eskalasi yang sedang berlangsung di Tepi Barat, di mana sedikitnya 923 warga Palestina tewas dan hampir 7.000 orang terluka dalam serangan tentara Israel dan pemukim ilegal sejak dimulainya serangan Israel terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.

    Mahkamah Internasional pada Juli mengatakan bahwa pendudukan lama Israel atas wilayah Palestina adalah ilegal, dan menuntut evakuasi semua pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Respons Mesir yang Diminta Israel Kelola Gaza Selama 15 Tahun dengan Imbalan Keringanan Utang – Halaman all

    Respons Mesir yang Diminta Israel Kelola Gaza Selama 15 Tahun dengan Imbalan Keringanan Utang – Halaman all

    Respons Mesir yang Diminta Israel Kelola Gaza Selama 15 Tahun dengan Imbalan Keringanan Utang

    TRIBUNNEWS.COM – Mesir, Rabu (26/2/2025) menyatakan, menolak usulan untuk mengelola Gaza karena mengganggap wacara itu sebagai hal yang ‘tidak dapat diterima’

    Mesir tidak mau mengambil alih pemerintahan Gaza, dengan menyebut gagasan tersebut bertentangan dengan sikap posisi Mesir dan negara-negara Arab yang telah lama berlaku terkait masalah Palestina.

    Mesir dan negara-negara Arab ingin masalah Palestina dikendalikan oleh faksi dan entitas Palestina dan terus mendorong ‘Solusi Dua Negara’ dengan Israel.

    “Setiap gagasan atau usulan yang menyimpang dari pendirian Mesir dan Arab [tentang Gaza]… ditolak dan tidak dapat diterima,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tamim Khalaf seperti dikutip kantor berita negara, MENA.

    Pernyataan ini dilontarkan sehari setelah pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid melontarkan gagasan tersebut.

    Mantan perdana menteri Israel dan pemimpin oposisi Yair Lapid mengadakan konferensi pers tentang anggaran negara yang akan datang, di Tel Aviv pada 16 Mei 2023. (JACK GUEZ / AFP)

    Imbalan Keringanan Utang

    Yair Lapid, Selasa, mengusulkan agar Mesir mengambil alih kendali administratif Jalur Gaza hingga 15 tahun dengan imbalan keringanan utang luar negerinya yang bernilai lebih dari 150 miliar dolar AS.

    Rencana tersebut mengusulkan  Mesir bertanggung jawab mengelola daerah kantong tersebut selama delapan tahun, dengan opsi untuk memperpanjangnya hingga 15 tahun.

    Lapid mengumumkan rencana tersebut saat berpidato di Foundation for Defense of Democracies (FDD) di Washington, DC dan kemudian mengunggahnya di X, menurut surat kabar Maariv, Israel.

    “Saya baru-baru ini menyampaikan rencana di Washington untuk hari setelah perang di Gaza,” tulisnya.

    “Inti dari rencana tersebut: Mesir akan memikul tanggung jawab atas Gaza selama (hingga) 15 tahun, sementara pada saat yang sama utang luar negerinya sebesar $155 miliar akan dibatalkan oleh masyarakat internasional.”

    “Setelah hampir satu setengah tahun pertempuran, dunia terkejut mengetahui bahwa Hamas masih menguasai Gaza,” tambahnya.

    Lapid menyalahkan pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu karena gagal membangun “pemerintahan efektif di Gaza yang akan mengusir Hamas,”.

    Lapid juga mengatakan kalau Israel menghadapi dua masalah keamanan utama di sepanjang perbatasan selatannya.

    Masalah pertama Israel menurut dia adalah, “Dunia membutuhkan solusi baru untuk Gaza: Israel tidak dapat setuju Hamas tetap berkuasa, Otoritas Palestina tidak mampu menjalankan Gaza, pendudukan Israel tidak diinginkan, dan kekacauan yang terus berlanjut merupakan ancaman keamanan serius bagi Israel.”

    Masalah kedua, kata Lapid, adalah “ekonomi Mesir berada di ambang kehancuran dan mengancam stabilitas Mesir dan seluruh Timur Tengah: utang luar negeri sebesar $155 miliar tidak memungkinkan Mesir membangun kembali ekonominya dan memperkuat militernya.”

    Ia mengusulkan “satu solusi: Mesir akan memikul tanggung jawab pengelolaan Jalur Gaza selama 15 tahun, sementara utang luar negerinya akan ditanggung oleh masyarakat internasional dan sekutu regionalnya.”

    Selama 18 tahun terakhir, Israel telah memberlakukan blokade terhadap Gaza, yang secara efektif mengubahnya menjadi penjara terbuka.

    Genosida baru-baru ini telah menyebabkan sekitar 1,5 juta dari 2,4 juta penduduk daerah kantong itu mengungsi.

    Seorang warga Palestina berjalan di jalanan berdebu dengan latar belakang kehancuran Gaza karena bombardemen buta Israel selama satu tahun sejak 7 Oktober 2023. (MNA)

    Mesir Pemain Utama Pembangunan Gaza

    Lapid mengklaim bahwa selama 15 tahun, “Gaza akan dibangun kembali dan kondisi untuk pemerintahan sendiri akan tercipta. Mesir akan menjadi pemain utama dan akan mengawasi rekonstruksi, yang selanjutnya akan memperkuat ekonominya.”

    “Solusi ini memiliki preseden historis,” katanya.

    “Mesir pernah menguasai Gaza di masa lalu. Ini dilakukan dengan dukungan Liga Arab, dengan pemahaman bahwa ini adalah situasi sementara. Mesir melindungi Jalur Gaza atas nama Palestina. Inilah yang perlu terjadi lagi hari ini.”

    Mesir menguasai Jalur Gaza selama hampir dua dekade setelah berdirinya Israel pada tahun 1948, ketika milisi Zionis merebut tanah Palestina dan melakukan pembantaian yang menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi.

    Hamas sebelumnya menolak rencana untuk melucuti senjata atau dipindahkan dari Gaza, dengan menyatakan bahwa masa depan daerah kantong itu harus ditentukan melalui konsensus nasional Palestina.

    Israel terus menduduki wilayah Palestina, Suriah, dan Lebanon, menolak untuk menarik diri atau mengakui negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya dalam batas-batas sebelum tahun 1967.

    Gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan telah berlaku di Gaza sejak bulan lalu, menghentikan perang Israel, yang telah menewaskan hampir 48.350 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan meninggalkan daerah kantong itu dalam reruntuhan.

    November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

    Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di daerah kantong tersebut.

     

    (oln/thntnl/anadolu/*)

  • Tanda-Tanda Nyata Israel Akan Bangun Negara Khusus Yahudi di 100 Persen Wilayah Palestina – Halaman all

    Tanda-Tanda Nyata Israel Akan Bangun Negara Khusus Yahudi di 100 Persen Wilayah Palestina – Halaman all

    Tanda-Tanda Nyata Israel Akan Bangun Negara Khusus Yahudi di 100 Persen Wilayah Palestina

     

    TRIBUNNEWS.COM – Kekhawatiran akan hilangnya peluang mewujudkan ‘Solusi Dua Negara’ meningkat seiring makin intensifnya serangan pasukan Israel ke Tepi Barat.

    Pengerahan peralatan berat tempur, macam tank dan lapis baja, khususnya di bagian Tepi Barat utara, dianggap sebagai tanda-tanda nyata Israel mewujudkan rencana besar mereka mendirikan negara khusus Yahudi di wilayah Palestina.

    “Operasi militer besar-besaran ini meningkatkan kekhawatiran atas tujuan Israel yang lebih luas dari agresi tersebut, yaitu perluasan wilayah lebih lanjut (pembangunan pemukiman baru Yahudi), pemindahan paksa warga Palestina , dan aneksasi bertahap wilayah Palestina yang diduduki,” tulis Anews, dikutip Rabu (26/2/2025).

    Pasukan Israel telah menewaskan lebih dari 60 warga Palestina, menangkap sedikitnya 365 orang, menggusur lebih dari 40.000 orang, dan menghancurkan sejumlah rumah dan properti di Tepi Barat yang diduduki sejak melancarkan operasi, yang disebut “Tembok Besi,” pada 21 Januari, beberapa hari setelah gencatan senjata berlaku di Jalur Gaza.

    Pada Minggu (23/2/2025) kemarin, Israel mengerahkan tank di Tepi Barat untuk pertama kalinya dalam lebih dari 20 tahun, sementara Menteri Pertahanan Israel Katz mengatakan tentara akan tetap berada di beberapa kamp pengungsi “selama tahun depan.”

    IDF KERAHKAN BULDOSER – Buldoser militer dan kendaraan tempur Israel mengobrak-obrik kawasan Tepi Barat bagian Utara dalam agresi militer terbesar sejak 2002 silam per Rabu (28/8/2024). (rntv/tangkap layar)

    Rencana Israel Caplok Tepi Barat Kini Jelas Terlihat

    Ketika operasi militer IDF, yang dimulai di kota Jenin dan kamp pengungsi Jenin yang berdekatan, menyebar ke beberapa kota Tepi Barat, para analis mengatakan tujuan lama Israel untuk mencaplok wilayah Palestina yang diduduki kini lebih jelas dari sebelumnya.

    “Israel punya rencana untuk mencaplok Tepi Barat dan menjepit warga Palestina ke wilayah sekecil mungkin, khususnya untuk mengusir mereka dari Area C,” kata akademisi Palestina asal Inggris Kamel Hawwash kepada Anadolu, merujuk pada pembagian Tepi Barat yang mencakup sekitar 60 persen wilayah Palestina.

    “Israel juga mempersenjatai para pemukim sehingga mereka dapat meneror, membakar, dan menghancurkan rumah dan mobil (warga Palestina),” kata penjelasan tersebut.

    Hawwash juga mengungkapkan kekhawatirannya kalau Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mungkin mengakui aneksasi Israel atas Tepi Barat, seperti yang dilakukannya sebelumnya terhadap Yerusalem dan Dataran Tinggi Golan.

    Abdaljawad Omar, seorang dosen di Universitas Birzeit, mengemukakan kalau pencaplokan akan menjadi langkah simbolis yang ditujukan untuk mengamankan pengakuan Amerika atas kendali de facto Israel atas Tepi Barat, tempat Israel telah menjalankan kekuasaan atas 62 persen wilayah tersebut.

    Aneksasi, katanya, akan menandakan berakhirnya solusi dua negara, sekaligus menunjukkan bahwa AS “sepenuhnya berada di pihak Israel dalam hal perluasan koloni ilegal di Tepi Barat.”

    “Dalam konteks aneksasi, dalam jangka panjang, apa yang benar-benar dimasukkan dalam agenda – khususnya melalui Trump – adalah gagasan pembersihan etnis Palestina dan mengusir mereka dari tanah Palestina,” kata Omar.

    PERLUASAN PEMUKIMAN YAHUDI DI TEPI BARAT – Dua pasukan pendudukan Israel terlihat dengan latar belakangan pemukiman Yahudi Israel di kawasan Tepi Barat. Israel dilaporkan menyetujui perluasan pemukiman di Tepi Barat, termasuk Yerusalem dan Betlehem, dalam serangkaian pembangunan besar-besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya. (File Photo/JN)

    Memperluas Permukiman Ilegal

    Saat operasi Israel meningkat, akademisi Palestina Muhannad Ayyash memperingatkan kalau pemukim ilegal juga diperkirakan akan terus merangsek ke wilayah Palestina.

    Sebagai catatan, PBB menyatakan aksi pembangunan pemukiman apa pun di Tepi Barat di luar batas yang sudah ditetapkan, sebagai sebuah langkah ilegal.

    “Area C pada dasarnya adalah apa yang dilihat oleh gerakan pemukim Israel dan negara Israel sebagai milik mereka. Itu lebih dari 60 persen wilayah Tepi Barat. Mereka juga merayap ke Area B, yang merupakan sekitar 22% wilayah Tepi Barat,” kata Ayyash, seorang profesor sosiologi di Universitas Mount Royal di Calgary.

    Para pemukim ilegal Yahudi, jelasnya, tidak bertindak secara independen tetapi didukung oleh negara Israel, yang memberi mereka dukungan militer, ekonomi, dan politik di seluruh spektrum politik—bukan hanya dari faksi sayap kanan.

    “Mereka adalah orang-orang dari seluruh dunia, dari Rusia, dari AS, yang datang ke Palestina dan mengklaim bahwa tanah itu milik mereka. Klaim mereka semata-mata didasarkan pada kekuatan dan kemampuan mereka untuk mencuri tanah dari Palestina dengan kekerasan,” katanya kepada Anadolu.

    Pada bulan Januari, kelompok anti-permukiman Israel Peace Now memperingatkan bahwa otoritas Israel berencana untuk menyetujui pembangunan 2.749 unit permukiman baru di Tepi Barat yang diduduki.

    Kelompok itu mengatakan tahun 2025 dapat menyaksikan “jumlah rekor” perluasan pemukiman—rata-rata 1.800 unit per bulan.

    Para pemukim yang didukung oleh negara Israel percaya bahwa seluruh wilayah Tepi Barat harus menjadi milik mereka, dan bahwa mereka adalah pemilik “sah” atas tanah tersebut, jelas Ayyash.

    Situasi di Desa Jit, Kota Qalqilya, Tepi Barat saat seratus pemukim Yahudi Israel, 50 di antaranya bertopeng, menyerbu kota Palestina tersebut. (khaberni)

    Menghapus Entitas Palestina

    Hawwash menyoroti bahwa serangan agresif Israel terhadap kamp-kamp pengungsi, khususnya di Jenin dan Tulkarm, sejalan dengan tujuan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu “untuk mengakhiri konsep pengungsi Palestina.”

    “Itulah sebabnya serangan saat ini benar-benar terfokus pada kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, tetapi juga pada UNRWA,” katanya, merujuk pada badan PBB yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina.

    “Mereka ingin menghapus anggapan bahwa ada, pertama-tama, pengungsi yang tinggal di wilayah Palestina yang bersejarah, tetapi bahkan istilah ‘Palestina’ … Mereka terus menggunakan kata-kata seperti ‘Arab’. Mereka tidak ingin mengakui kelompok etnis yang disebut Palestina,” katanya.

    Artinya, Israel berupaya secara sistematis untuk menghilangkan apa pun yang terkait entitas Palestina.

    Ketika muncul laporan bahwa Israel sedang mempersiapkan diri untuk mendirikan pangkalan militer di kamp Jenin, Hawwash yakin bahwa ini adalah bagian dari strategi Israel untuk menghilangkan identitas pengungsi.

    “Di Jenin, mereka telah menginstruksikan walikota Palestina untuk mengganti nama kamp tersebut menjadi bagian dari kota dan bukan sebagai kamp pengungsi,” katanya.

    “Saya pikir mereka akan melakukan hal yang sama di semua wilayah lain tempat terdapat kamp pengungsian, mulai dari Ramallah, Bethlehem, dan Nablus.”

    ISRAEL KERAHKAN TANK – Foto yang diambil Tribunnews.com melalui Telegram Quds News Agency pada Selasa (25/2/2025) memperlihatkan tentara Israel melanjutkan agresinya terhadap Jenin dengan mengerahkan tank. Warga Palestina takut Tepi Barat akan menjadi Gaza kedua setelah Israel mengerahkan tank untuk pertama kalinya di sana. (Telegram Quds News Agency)

    ‘Kebijakan yang Disengaja untuk Memiskinkan Warga Palestina’

    Di tengah serangan Israel yang terus berlanjut, warga sipil Palestina menghadapi situasi kemanusiaan yang semakin mengerikan.

    “Lebih banyak warga Palestina akan terbunuh, dipenjara, dan lebih banyak lagi yang akan kehilangan seluruh tabungan, mata pencaharian, dan rumah mereka. Infrastruktur di kota dan lingkungan mereka akan hancur total, dan Israel tidak dimintai pertanggungjawaban atas kejahatannya,” kata Ayyash.

    Omar, yang berbasis di Ramallah, berpendapat bahwa tindakan Israel merupakan bagian dari strategi yang lebih luas yang ditetapkan oleh pemerintah sayap kanan, yang bertujuan untuk mengisolasi warga Palestina secara ekonomi dan sosial.

    Tujuan mereka adalah “memisahkan Israel dari wilayah Palestina di Tepi Barat dengan mencegah masuknya tenaga kerja Palestina ke Israel – sebuah kebijakan yang disengaja untuk memiskinkan warga Palestina yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang lebih keras di Tepi Barat,” katanya.

    “Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menciptakan kondisi ekonomi yang lebih sulit dalam kehidupan sehari-hari, membatasi perjalanan di Tepi Barat untuk mencekik penduduk Palestina dan, perlahan tapi pasti, membersihkan warga Palestina dari tanah Palestina,” tambahnya.

    Hawwash mencatat kalau Israel telah meningkatkan pembatasan terhadap pergerakan warga Palestina dengan memasang gerbang baru di pintu masuk desa dan memperluas jumlah pos pemeriksaan militer.

    “Jumlah pos pemeriksaan telah meningkat hingga lebih dari 900. Orang-orang dapat menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mencoba berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain … Hal ini juga berdampak pada bisnis dan ekonomi,” katanya.

    “Pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat menyusut dan mereka tidak dapat membeli barang dan jasa. Harga barang juga meningkat, yang berarti bahwa barang-barang tersebut tidak terjangkau oleh masyarakat.”

    Selain itu, Israel juga menahan pendapatan pajak dari Otoritas Palestina, yang melumpuhkan kemampuannya untuk membayar gaji dan menyediakan layanan dasar.

    Hawwash menunjukkan bahwa tidak seperti Gaza, di mana lembaga-lembaga bantuan masih diizinkan beroperasi, Tepi Barat sebagian besar telah terputus dari bantuan kemanusiaan.

    “UNRWA merupakan badan utama yang menyediakan kebutuhan bagi warga Palestina di kamp-kamp pengungsi, tetapi Israel telah melarangnya beroperasi di Yerusalem Timur dan membuatnya hampir mustahil untuk beroperasi di Tepi Barat,” katanya.

    “Hal ini berdampak besar pada kesejahteraan masyarakat, tetapi juga pada situasi ekonomi.”

    Wujudkan Greater Israel di 100 Persen Wilayah Palestina

    Operasi Tembok Besi IDF di Tepi Barat yang sedang berlangsung juga dipandang sebagai bagian dari rencana Israel untuk mendirikan negara khusus Yahudi.

    “Kita telah melihat hal ini di seluruh spektrum politik di Israel selama beberapa dekade,” kata Ayyash, yang merupakan analis kebijakan di lembaga pemikir Palestina Al-Shabaka.

    “Tujuan utama mereka adalah untuk menjadikan Israel sebagai otoritas kedaulatan eksklusif dari sungai hingga laut. Itu akan menjadi kedaulatan eksklusif Israel-Yahudi … atas 100 persen wilayah Palestina yang bersejarah.”

    Hal ini akan menyebabkan pengurangan jumlah warga Palestina menjadi minoritas dari total populasi, yang pada akhirnya akan berada di bawah kekuasaan Israel, ungkapnya.

    “Saat ini, jumlahnya sekitar 50%. Mereka tidak menginginkan itu. Mereka ingin mengurangi jumlah warga Palestina menjadi sekitar 15% atau 20%, sehingga mereka menjadi minoritas di tanah mereka sendiri dan kehilangan semua klaim kedaulatan,” kata Ayyash.

    “Pada akhirnya, semua tindakan dan kebijakan Israel selama beberapa dekade terakhir telah diarahkan menuju tujuan akhir untuk menciptakan Israel Raya di seluruh wilayah Palestina yang bersejarah.”

     

    (oln/anews/*)