Cerita Pembuat Patung Biawak Wonosobo, Dibuat 1,5 Bulan dengan Rp 50 Juta
Tim Redaksi
WONOSOBO, KOMPAS.com –
Di tengah keindahan alam
Wonosobo
, Jawa Tengah, sebuah
patung biawak
berdiri tegak di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto.
Patung setinggi hampir 4 meter ini bukan hanya menarik perhatian para pengguna jalan, tetapi juga menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial.
Dengan realisme yang begitu mengagumkan, banyak yang terkecoh dan mengira patung ini adalah biawak asli.
Namun, yang membuat tugu ini semakin mencuri perhatian bukan hanya ukuran dan keunikannya, tetapi juga biaya pembuatannya yang jauh dari kata mahal.
Berbeda dengan banyak tugu lain yang menghabiskan anggaran negara hingga miliaran rupiah,
Tugu Biawak
di Wonosobo dibangun dengan anggaran hanya sekitar Rp 50 juta.
Anggaran ini berasal dari program Corporate Social Responsibility (CSR) sejumlah BUMD di daerah tersebut, yang menunjukkan bahwa karya seni berkualitas tak harus selalu mahal.
Di balik karya ini, terdapat tangan terampil seorang seniman lokal, Rejo Arianto.
Selama 1,5 bulan, Arianto mengerahkan keahliannya untuk mewujudkan patung biawak yang terletak di Jalan Raya Nasional Ajibarang-Secang.
Arianto mengatakan bahwa meskipun anggaran terbatas, ia merasa cukup dengan dana Rp 50 juta untuk pengerjaan patung ini.
“Untuk tenaga pengerjaan, kalau buat saya Rp 50 juta cukup. Kalau buat kota Wonosobo saya tidak berhitung, ini sumbangsih saya kepada ibu pertiwi. Tapi kalau mngerjakan di luar kota, bisa-bisa lebih biayanya,” ujar dia dalam wawancara dengan Kompas.com, Rabu (23/4/2025).
Meskipun Arianto merasa cukup dengan anggaran tersebut, ia enggan mengungkapkan rincian biaya yang lebih mendalam.
Menurutnya, hal itu kurang etis untuk disampaikan kepada publik.
“Saya sebutkan anggaran kurang etis karena banyak alasan. Tapi kalau untuk kota sendiri, saya tidak menghitung,” jelasnya.
Ide pembangunan Tugu Biawak ini berawal dari Karang Taruna Desa Krasak yang ingin menciptakan karya yang mencerminkan keunikan daerah mereka.
Setelah mendapatkan ide tersebut, Rejo Arianto diberi mandat langsung oleh Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, untuk mewujudkan patung ini.
Mengapa biawak? Karena hewan ini merupakan salah satu spesies endemik yang dapat ditemukan di sekitar Wonosobo dan menjadi simbol yang perlu dilestarikan.
Untuk membangun patung ini, Rejo dibantu oleh enam orang lainnya.
Dengan dana CSR dari BUMD setempat, pengerjaan patung dimulai sebelum bulan puasa dan selesai lima hari sebelum Lebaran.
“Ahlinya saya sendiri, tapi untuk membantu dari cakar ayam sampai selesai dibantu 6 orang. Pengerjaan sebelum puasa dan selesai H-5 lebaran,” kata Arianto.
Sebagai seorang seniman, Rejo Arianto menilai bahwa seni seharusnya dihargai berdasarkan nilai artistiknya, bukan hanya dari biaya pembuatannya.
“Seni itukan ada yang abstrak, ada yang ekspresif dan sebagainya. Lha lihatnya dari situ, gak bisa secara realistik seperti itu, karya abstrak harus dinilai dengan kacamata abstrak tidak bisa pakai kacamata realistik,” kata pemilik instagram Rejo Arianto ini.
Ia menambahkan bahwa banyak tugu-tugu di Indonesia yang menelan biaya besar namun tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat.
Sebagai contoh, Tugu Penyu di Pelabuhanratu, Sukabumi, yang diduga menghabiskan anggaran Rp 15,6 miliar namun mengalami kerusakan hanya beberapa bulan setelah dibangun.
Ada juga Tugu Bulan Sabit di Kutai Timur yang menghabiskan Rp 2,5 miliar, serta Tugu Pesut Mahakam di Samarinda yang menelan anggaran APBD sebesar Rp 1,1 miliar namun menuai kritik karena desainnya yang dianggap tidak sesuai.
“Itu privasi mereka, saya sebagai seniman menilai karya mereka bagus,” kata Rejo menanggapi fenomena tugu-tugu mahal yang tak sesuai harapan masyarakat.
Tugu Biawak ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat dan warganet. Banyak yang memuji detail dan realisme patung tersebut, bahkan menyebutnya sebagai “ikon baru Wonosobo”.
“Ini menarik sih, kalau biasanya viral pembuatan patung kemahalan, kalau ini viral kemurahan, hasilnya juga bagus sekali sangat realistis,” kata Lia salah satu pengguna jalan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Wonosobo
-

Tugu Biawak di Wonosobo Hanya Habiskan Rp50 Juta, Bandingkan dengan Tugu yang Menelan Biaya Miliaran
FAJAR.CO.ID, WONOSOBO– Sebuah video yang menampilkan patung Tugu Biawak di Wonosobo, Jawa Tengah, menjadi viral di media sosial karena tampilannya yang memukau.
Melalui unggahan instagram @wonosobohitskekinian, patung Tugu Biawak tersebut terlihat begitu mirip dengan biawak asli hingga membuat sejumlah pengguna jalan terkejut karena kesan realistis yang ditampilkan.
Desain yang diusung tampak hidup saat siang hari begitu pun pada malam hari. Dengan bentuk seolah biawak yang tengah bertengger di atas batu.
Tugu ini terletak di dekat Jembatan Krasak, atau dikenal sebagai Jembatan Biawak, konon katanya disana dahulu banyak yang berlalu lalang (habitatnya).
Unggahan ini pun langsung ramai dibicarakan warganet, yang memberikan berbagai komentar kagum atas hasil karya tersebut, bahkan beberapa sempat menyinggung anggaran yang dihabiskan.
“Viralin ngap, masa harga yang lebih tinggi kalah sama yang 50 juta, perlu di sidak tuh yang lain” kata netizen.
“dikelola oleh orang yang tepat🙌🏻,” timpal netizen lainnya.
“50 juta tanpa dikorupsi” sahut lainnya.
Tidak hanya itu, warganet lantas membandingkan tugu tersebut dengan beberapa tugu icon daerah lain, yang disebut memakan anggaran hingga miliaran rupiah, namun tidak bertahan lama.
Berikut beberapa tugu yang menjadi perbandingan netizen lantas menghabiskan anggaran yang tidak masuk akal dengan realitanya:
Berikut beberapa tugu atau ikon kota yang biaya pembangunan menelan biaya yang tidak sedikit.
Tugu Pesut (Samarinda)
Terinsipirasi dari mamalia air tawar khas Sungai Mahakam yang hampir punah. Sehingga desain tunggu ini menggambarkan siluet Pesut Mahakam.
-

Video Bangun Patung Biawak Realistis Tanpa APBD, Tugu Krasak Menyawak di Wonosobo Curi Perhatian
TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO – Berikut ini video Bangun Patung Biawak Realistis Tanpa APBD, Tugu Krasak Menyawak di Wonosobo Curi Perhatian Publik
Ikon baru tugu patung biawak di Kabupaten Wonosobo akhir-akhir ini mencuri perhatian masyarakat luas.
Tugu yang berlokasi di jalur Wonosobo-Banjarnegara turut Desa Krasak, Kecamatan Selomerto ini dinilai memiliki tampilan yang mirip dengan biawak sungguhan.
Pembuatan tugu ini diinisiasi oleh pemuda karang taruna desa setempat dan pembuatannya dinahkodai oleh seniman asli Wonosobo bernama Arianto.
Ahmad Gunawan Wibisono selaku Ketua Karang Taruna Kecamatan Selomerto menjelaskan ide awal pembuatan tugu patung biawak ini. Ia mengatakan tugu ini bernama Tugu Krasak Menyawak. Dalam bahasa Jawa menyawak berarti biawak.
Hewan reptil biawak ini telah lama dikenal masyarakat Desa Krasak Wonosobo yang habitatnya telah ada sejak dahulu bahkan disebut-sebut terjaga hingga saat ini.
Habitat biawak hidup di aliran sungai serayu tepatnya di bawah jembatan menyawak desa ini.
Lokasinya sekitar 100 meter ke arah timur dari tugu patung biawak ini.
“Kenapa disebut jembatan menyawak ya karena di situ jadi habitat endemik terbanyak satwa biawak. Untuk lebih mengenal itu makanya kita bangun Tugu Krasak Menyawak,” terangnya.
Tidak hanya itu di tempat ini juga memiliki nilai sejarah. Tempat ini menjadi saksi peristiwa sejarah berlangsungnya agresi militer Belanda pertama yang terus dikenang hingga saat ini.
“Waktu itu agresi militer Belanda pertama itu terjadi pertempuran antara tentara Sekutu NICA dengan tentara Jepang itu berlangsung di tugu menyawak ada di belakang kita, di jembatan menyawak,” jelasnya.
Secara fisik tugu patung biawak ini memiliki tinggi 7 meter dengan lebar 4 meter. Tampak secara kasat mata patung biawak berwarna hitam dengan corak kuning sedang merayap di sebuah batu dengan lidah yang menjulur keluar dan menoleh ke arah kiri.
Sebetulnya pengerjaan tugu ini masih belum selesai sepenuhnya, masih ada finishing dan penambahan pada area di sekitarnya seperti taman dan bangku-bangku untuk menambah keestetikannya.
Meskipun begitu tugu ini berhasil menarik perhatian masyarakat. Tidak sedikit pengguna jalan yang sengaja berhenti untuk berfoto dan mengabadikan gambar Tugu Krasak Menyawak ini.
“Peletakan batu pertama di tanggal 3 Februari 2025 dan selesai tepat satu setengah bulan. Tapi rencananya akan ada penambahan lainnya,” imbuhnya.
Selain bentuk patungnya yang dipuji, banyak beredar luas terkait anggaran pembuatannya yang diisukan menggunakan anggaran dana desa senilai Rp 50 juta. Mengklarifikasi hal tersebut, Kepala Desa Krasak, Supinah menuturkan kabar tersebut tidaklah benar.
“Saya klarifikasi itu bukan dari anggran desa, itu dari anggaran CSR dari kabupaten dan dibantu swadaya dari masyarakat seperti gotong-royongnya dan konsumsi selama pembangunannya,” ucapnya saat ditemui tribunjateng.com di kantor desa setempat.
Sementara itu di tempat yang berbeda Bupati Wonosobo Afif Nurhidayat juga menyampaikan terkait dengan anggaran pembuatan tugu tersebut juga bukan berasal dari APBD kabupaten melainkan bantuan dari BUMD di Kabupaten Wonosobo.
“Kita coba wujudkan keinginan masyarakat. Pemerintah daerah kan enggak punya duit. Kami terus terang tidak anggarkan lewat APBD. Justru kami mencoba memantik, menyentuh teman-teman BUMD, yuk gotong royong, kemudian itu bisa terealisasi,” ucapnya.
Bupati mengapresiasi betul hasil tugu biawak yang dibangun mendapatkan perhatian positif dari masyarakat luas dan dapat mengangkat nama Wonosobo.
Tidak hanya itu ia juga berterima kasih kepada seniman asli Wonosobo Arianto yang telah mendedikasikan waktu dan tenaga untuk membuat karya yang luar biasa ini.
“Kami percayakan kepada Mas Ari, saya percaya beliau bisa mewujudkan apa yang menjadi keinginan masyarakat dan pemerintah kabupaten. Termasuk lukisan bupati-bupati di pendopo ini semua produknya Mas Ari, dan bagus-bagus,” tuturnya.
Berkesempatan juga hari ini tribunjateng.com bertemu dengan seniman yang membuat tugu biawak ini. Arianto yang akrab di sapa Ari ini rupanya lama berkecimpung pada dunia seni lukis yang dulunya mengenyam bangku kuliah di ISI Surakarta.
Seiring berjalannya waktu, secara otodidak ia mulai belajar membuat patung hingga karya terbaiknya dapat terkenal seperti saat ini.
Terkait besaran nominal pembuatan tugu biawak ini ia pun enggan menyebut angka pastinya, ia mengatakan tidak sampai menembus angka Rp 1 miliar.
“Saya sebagai seniman itu sebetulnya kurang etis menyebut nominal. Kalau tahu prosesnya ini saja saya ngawali sampai ibaratnya berhutang. Kalau kok ditulis Rp 50 juta, uh banyak sekali. Saya didawuhi Bupati dan dana seadanya saya pasti buat semampu saya. Misal saya dikasih Rp 1 miliar, 4 penjuru mata angin tak bangun, serius,” ucapnya.
Diceritakannya dalam membuat tugu patung biawak ini ia rela membeli biawak sungguhan untuk diobservasi agar karya yang akan dibuatnya dapat betul-betul sesuai aslinya.
Ia mengungkapkan kesulitan dalam membuat seni patung adalah menciptakan ruh dalam patung tersebut agar bisa dinikmati orang yang melihat.
“Jadi karya sebagus apapun ketika tidak punya ruh, sel, ataupun jiwa ya kurang. Dalam karya itu ya menurut saya seperti orang cantik tapi juga harus yang smart. Jadi semoga karya-karya yang nanti tercipta ya cantik, ya pintar,” terangnya.
Ia berharap ke depannya dapat membuat patung kembali dengan karya yang lebih megah dari ini dan ia dedikasikan karyanya untuk Kabupaten Wonosobo tercinta. (ima)
-

Pembuatan Patung Biawak Tanpa Anggaran APBD, Tugu Krasak Menyawak di Wonosobo Curi Perhatian
TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO – Ikon baru tugu patung biawak di Kabupaten Wonosobo akhir-akhir ini mencuri perhatian masyarakat luas.
Tugu yang berlokasi di jalur Wonosobo-Banjarnegara turut Desa Krasak, Kecamatan Selomerto ini dinilai memiliki tampilan yang mirip dengan biawak sungguhan.
Pembuatan tugu ini diinisiasi oleh pemuda karang taruna desa setempat dan pembuatannya dinahkodai oleh seniman asli Wonosobo bernama Arianto.
Ahmad Gunawan Wibisono selaku Ketua Karang Taruna Kecamatan Selomerto menjelaskan ide awal pembuatan tugu patung biawak ini. Ia mengatakan tugu ini bernama Tugu Krasak Menyawak. Dalam bahasa Jawa menyawak berarti biawak.
Hewan reptil biawak ini telah lama dikenal masyarakat Desa Krasak Wonosobo yang habitatnya telah ada sejak dahulu bahkan disebut-sebut terjaga hingga saat ini.
Habitat biawak hidup di aliran sungai serayu tepatnya di bawah jembatan menyawak desa ini.
Lokasinya sekitar 100 meter ke arah timur dari tugu patung biawak ini.
“Kenapa disebut jembatan menyawak ya karena di situ jadi habitat endemik terbanyak satwa biawak. Untuk lebih mengenal itu makanya kita bangun Tugu Krasak Menyawak,” terangnya.
TUGU KRASAK MENYAWAK – Penampakan tugu patung biawak bernama Tugu Krasak Menyawak yang berlokasi di jalur Wonosobo-Banjarnegara turut Desa Krasak, Kecamatan Selomerto, Senin (21/4/2025). Tugu ini viral lantaran memiliki bentuk yang dinilai mirip dengan biawak sungguhan dan disebut-sebut dibangun dengan anggaran yang tidak fantastis.
Tidak hanya itu di tempat ini juga memiliki nilai sejarah. Tempat ini menjadi saksi peristiwa sejarah berlangsungnya agresi militer Belanda pertama yang terus dikenang hingga saat ini.
“Waktu itu agresi militer Belanda pertama itu terjadi pertempuran antara tentara Sekutu NICA dengan tentara Jepang itu berlangsung di tugu menyawak ada di belakang kita, di jembatan menyawak,” jelasnya.
Secara fisik tugu patung biawak ini memiliki tinggi 7 meter dengan lebar 4 meter. Tampak secara kasat mata patung biawak berwarna hitam dengan corak kuning sedang merayap di sebuah batu dengan lidah yang menjulur keluar dan menoleh ke arah kiri.
Sebetulnya pengerjaan tugu ini masih belum selesai sepenuhnya, masih ada finishing dan penambahan pada area di sekitarnya seperti taman dan bangku-bangku untuk menambah keestetikannya.
Meskipun begitu tugu ini berhasil menarik perhatian masyarakat. Tidak sedikit pengguna jalan yang sengaja berhenti untuk berfoto dan mengabadikan gambar Tugu Krasak Menyawak ini.
“Peletakan batu pertama di tanggal 3 Februari 2025 dan selesai tepat satu setengah bulan. Tapi rencananya akan ada penambahan lainnya,” imbuhnya.
Selain bentuk patungnya yang dipuji, banyak beredar luas terkait anggaran pembuatannya yang diisukan menggunakan anggaran dana desa senilai Rp 50 juta. Mengklarifikasi hal tersebut, Kepala Desa Krasak, Supinah menuturkan kabar tersebut tidaklah benar.
“Saya klarifikasi itu bukan dari anggran desa, itu dari anggaran CSR dari kabupaten dan dibantu swadaya dari masyarakat seperti gotong-royongnya dan konsumsi selama pembangunannya,” ucapnya saat ditemui tribunjateng.com di kantor desa setempat.
Sementara itu di tempat yang berbeda Bupati Wonosobo Afif Nurhidayat juga menyampaikan terkait dengan anggaran pembuatan tugu tersebut juga bukan berasal dari APBD kabupaten melainkan bantuan dari BUMD di Kabupaten Wonosobo.
“Kita coba wujudkan keinginan masyarakat. Pemerintah daerah kan enggak punya duit. Kami terus terang tidak anggarkan lewat APBD. Justru kami mencoba memantik, menyentuh teman-teman BUMD, yuk gotong royong, kemudian itu bisa terealisasi,” ucapnya.
Bupati mengapresiasi betul hasil tugu biawak yang dibangun mendapatkan perhatian positif dari masyarakat luas dan dapat mengangkat nama Wonosobo.
Tidak hanya itu ia juga berterima kasih kepada seniman asli Wonosobo Arianto yang telah mendedikasikan waktu dan tenaga untuk membuat karya yang luar biasa ini.
“Kami percayakan kepada Mas Ari, saya percaya beliau bisa mewujudkan apa yang menjadi keinginan masyarakat dan pemerintah kabupaten. Termasuk lukisan bupati-bupati di pendopo ini semua produknya Mas Ari, dan bagus-bagus,” tuturnya.
Berkesempatan juga hari ini tribunjateng.com bertemu dengan seniman yang membuat tugu biawak ini. Arianto yang akrab di sapa Ari ini rupanya lama berkecimpung pada dunia seni lukis yang dulunya mengenyam bangku kuliah di ISI Surakarta.
Seiring berjalannya waktu, secara otodidak ia mulai belajar membuat patung hingga karya terbaiknya dapat terkenal seperti saat ini.
Terkait besaran nominal pembuatan tugu biawak ini ia pun enggan menyebut angka pastinya, ia mengatakan tidak sampai menembus angka Rp 1 miliar.
“Saya sebagai seniman itu sebetulnya kurang etis menyebut nominal. Kalau tahu prosesnya ini saja saya ngawali sampai ibaratnya berhutang. Kalau kok ditulis Rp 50 juta, uh banyak sekali. Saya didawuhi Bupati dan dana seadanya saya pasti buat semampu saya. Misal saya dikasih Rp 1 miliar, 4 penjuru mata angin tak bangun, serius,” ucapnya.
Diceritakannya dalam membuat tugu patung biawak ini ia rela membeli biawak sungguhan untuk diobservasi agar karya yang akan dibuatnya dapat betul-betul sesuai aslinya.
Ia mengungkapkan kesulitan dalam membuat seni patung adalah menciptakan ruh dalam patung tersebut agar bisa dinikmati orang yang melihat.
“Jadi karya sebagus apapun ketika tidak punya ruh, sel, ataupun jiwa ya kurang. Dalam karya itu ya menurut saya seperti orang cantik tapi juga harus yang smart. Jadi semoga karya-karya yang nanti tercipta ya cantik, ya pintar,” terangnya.
Ia berharap ke depannya dapat membuat patung kembali dengan karya yang lebih megah dari ini dan ia dedikasikan karyanya untuk Kabupaten Wonosobo tercinta. (ima)
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4900831/original/095472100_1721877677-tissabiani_1721802861_3419052668499796704_275049110.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Gunung Prau via Patak Banteng, Jalur Pendakian Tanpa Pantangan Aneh
Liputan6.com, Wonosobo – Gunung Prau di Wonosobo, Jawa Tengah, menawarkan pengalaman pendakian yang relatif mudah dibanding gunung-gunung tinggi lainnya di Indonesia. Salah satu jalur favorit, via Patak Banteng, terkenal karena fasilitas lengkap dan tidak memberlakukan pantangan-pantangan aneh seperti yang sering ditemui di jalur pendakian lain.
Mengutip dari berbagai sumber, jalur via Patak Banteng menjadi populer karena beberapa alasan. Pertama, basecamp-nya terletak persis di pinggir jalan raya Dieng.
Tepatnya di Jl. Dieng Km 24, Desa Patak Banteng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Kedua, jalurnya lebih singkat dibanding rute lain, sehingga cocok untuk pendaki pemula atau yang ingin merasakan pendakian tanpa medan terlalu berat.
Basecamp Patak Banteng mampu menampung hingga 600 pendaki dalam sehari. Fasilitas di sini terbilang lengkap, mulai dari toilet, penginapan, persewaan alat pendakian, warung makan, hingga jasa porter dan pemandu wisata.
Bagi yang ingin membawa oleh-oleh, terdapat pusat penjualan makanan khas Dieng di sekitar basecamp. Berbeda dengan beberapa gunung lain yang memiliki larangan-larangan khusus seperti tidak boleh bersiul atau memakai baju merah, Gunung Prau via Patak Banteng tidak memberlakukan pantangan semacam itu.
Meski begitu, pengelola tetap menerapkan sejumlah peraturan yang wajib diikuti pendaki. Tidak diperbolehkan membuang sampah sembarangan dan pendaki diwajibkan membawa kembali sampah ke basecamp.
Pendaki juga harus menggunakan pakaian yang nyaman dan hangat karena suhu di Gunung Prau bisa sangat dingin, terutama pada malam hari. Selain itu, pendaki diharuskan membawa perlengkapan pendakian lengkap, termasuk jaket, sleeping bag, dan senter.
-

Perajin Tahu Wonosobo Waspada Dampak Kedelai Impor, Pertimbangkan Naik Harga Hingga Kecilkan Ukuran
TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO – Perajin tahu di Wonosobo bersiap menaikan harga jual hingga kecilkan ukuran jika harga kedelai impor terus melambung tinggi.
Salah satu perajin tahu di wilayah Kelibeber, Wonosobo, Junaidi mengaku cukup khawatir kebijakan tarif impor Amerika Serikat baru-baru ini yang kabarnya dapat mempengaruhi harga kedelai.
Pasalnya produksi tahu di tempatnya sepenuhnya mengandalkan kedelai impor. Namun ia mengaku hingga saat ini produksi tahu di tempatnya masih seperti biasa belum ada dampak yang dirasakan pasca berita kebijakan baru ini.
“Kalau sekarang belum begitu pengaruh, tapi entah nanti apakah ada kenaikan atau tidak, tapi semoga tidak ada,” ucapnya saat ditemui tribunjateng.com, Kamis (17/4/2025).
Ia mengatakan harga kedelai belum begitu ada kenaikan yang signifikan setelah lebaran, saat ini ia dapat di harga Rp 10.000 per kilogram. Begitu juga dengan stoknya masih memenuhi jumlah produksi di tempatnya.
“Harga tahu dari sini harga grosir. Satu kotak itu Rp 25.000 yang kuning, kalau yang putih Rp 45.000. Untuk produksi tahu di tempat saya bisa 2 kuintal setiap harinya,” bebernya.
Junaidi mengaku terpaksa menaikan harga tahu kepada pelanggan jika sewaktu-waktu harga kedelai naik dan tidak bisa menutup biaya produksi.
PERAJIN TAHU – Junaidi, perajin tahu di wilayah Kalibeber, Wonosobo sedang memasak tahu untuk dijual ke pelanggan, Kamis (17/4/2025). Ia bersiap naikan harga jual tahu atau kecilkan ukuran jika harga kedelai impor terus melambung tinggi. (Tribunjateng.com/Imah Masitoh )
“Kalau nanti berdampak ya terpaksa saya hubungi pelanggan ada kenaikan harga. Tapi kalau ada kenaikan dan saya belum bisa menaikkan harga sama penjual, ya saya hanya bisa mengurangi ukuran tahu saja,” terangnya.
Ia berharap harga kedelai impor tetap stabil agar produksi tahu di tempatnya yang telah berdiri kurang lebih 27 tahun ini tetap berproduksi.
Meskipun alternatif lain penggunaan kedelai lokal bisa dilakukan namun ia menilai dari segi kualitas dan jumlah masih memenuhi kedelai impor.
“Alhamdulillah masih bisa bertahan sampai sekarang, dulu pas krisis 1998 pernah mau berhenti produksi, termasuk pas covid beberapa tahun lalu. Semoga masa-masa itu tidak terulang kembali,” harapnya. (ima)
/data/photo/2025/04/23/68086bfbbe2b6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)



