kab/kota: Washington

  • Akankah Gencatan Senjata Thailand-Kamboja Bertahan Lama?

    Akankah Gencatan Senjata Thailand-Kamboja Bertahan Lama?

    Jakarta

    Gencatan senjata yang disepakati pada Senin (28/07) antara Thailand dan Kamboja disambut dengan optimisme serta kewaspadaan dari banyak pihak. Kesepakatan ini muncul setelah terjadinya pertempuran terkait sengketa perbatasan selama lima hari, yang telah menewaskan sedikitnya 35 tentara dan warga sipil. Bentrokan ini juga telah menyebabkan 200.000 orang mengungsi di kedua sisi.

    Gencatan senjata yang bersifat “segera dan tanpa syarat” telah disepakati pada Senin (28/07) dan mulai berlaku pada tengah malam setelah pertemuan mediasi di Malaysia.

    Perdana Menteri Malaysia sekaligus ketua ASEAN, Anwar Ibrahim, menyebut dalam konferensi persnya bahwa kesepakatan gencatan senjata ini merupakan “langkah awal yang penting menuju de-eskalasi dan pemulihan perdamaian serta keamanan”.

    Namun, beberapa jam setelah gencatan senjata berlaku, militer Thailand melaporkan adanya pelanggaran oleh pasukan Kamboja di beberapa wilayah. Klaim tersebut dibantah oleh Kementerian Pertahanan Kamboja, yang menyatakan bahwa gencatan senjata masih terus berjalan.

    Meskipun tembakan senjata ringan sporadis masih mungkin terjadi, Zachary Abuza, profesor di National War College di Washington, mengatakan gencatan senjata kemungkinan besar akan tetap bertahan, karena kedua pihak telah mencapai sebagian besar tujuan mereka.

    Melemahkan dinasti politik Thaksin

    “Dari pihak Thailand, militer dan kalangan elit menggunakan konflik ini untuk melemahkan keluarga Thaksin secara politik,” ujar Abuza, merujuk pada mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra dan putrinya, Paetongtarn.

    Paetongtarn Shinawatra merupakan anggota ketiga dari keluarganya yang menjabat sebagai perdana menteri, setelah tantenya, Yingluck. Baru-baru ini, ia diskors oleh Mahkamah Konstitusi Thailand terkait bocoran rekaman percakapan telepon dengan Ketua Senat Kamboja, Hun Sen, pada bulan lalu.

    Pasalnya, keluarga Thaksin telah lama bersitegang dengan militer Thailand, yang telah dua kali menggulingkan pemerintahan keluarga mereka sejak 2006.

    Konflik memperkuat dinasti keluarga Hun

    Menurut Abuza, di Kamboja sendiri, konflik ini membantu memperkuat kekuasaan keluarga Hun, khususnya mantan Perdana Menteri Hun Sen dan putra sulungnya Hun Manet, yang menggantikan ayahnya pada 2023.

    “Hun Sen dan Hun Manet berhasil mempersatukan bangsa, menunjukkan kepemimpinan Manet, serta menghapus salah satu celah serangan dari oposisi politik yang sebagian besar kini berada di pengasingan,” kata Abuza. “Pertempuran yang berlanjut tak menguntungkan pihak manapun secara politik.”

    Siapa yang akan mengawasi gencatan senjata?

    Matthew Wheeler, analis senior dari International Crisis Group di Bangkok, mengatakan bahwa gencatan senjata mungkin bisa bertahan selama kedua pihak “menyadari bahwa kepentingan mereka lebih terfasilitasi melalui gencatan senjata dibanding pertempuran lanjutan.”

    Namun, ia juga mencatat bahwa kesepakatan ini bisa menghadapi hambatan secara teknis, khususnya mengenai pengawasan yang tepat.

    Malaysia, sebagai ketua ASEAN, telah menawarkan diri untuk mengoordinasikan tim pemantau. Walau begitu, menurut Wheeler, kedua pihak enggan menerima pemantau dari negara lain.

    “Dulu sempat ada rencana untuk mengirim pengamat dari Indonesia di bawah naungan ASEAN setelah konflik pada 2011, tetapi tidak pernah terealisasi,” katanya. Meski demikian, ia menambahkan, “kedua militer sebelumnya telah menunjukkan kemampuan untuk meredakan konflik setelah putaran pertempuran sebelumnya.”

    Hingga bentrokan bulan ini, perbatasan Thailand-Kamboja sebagian besar telah damai sejak 2011, ketika tentara dari kedua negara terlibat baku tembak karena sengketa lama mengenai klaim wilayah di sekitar Kuil Preah Vihear.

    “Kesepakatan ini menyebutkan bahwa Malaysia siap menjalankan peran pengawasan, tetapi tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Malaysia atau negara lain akan menjadi pengamat,” jelas Paul Chambers, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura sekaligus analis keamanan kawasan. “Tanpa pengawasan dari pihak ketiga, sulit untuk menegakkan gencatan senjata yang telah disepakati.”

    Bagaimana peran Trump dalam mengakhiri ketegangan?

    Meski begitu, para analis menyatakan bahwa Presiden AS Donald Trump patut mendapat sedikit pujian atas tercapainya titik ini antara Kamboja dan Thailand.

    Akhir pekan lalu, Trump mengancam akan menunda pembicaraan perdagangan dengan kedua negara terkait tarif AS jika mereka tidak menyepakati penghentian pertempuran, dan menindaklanjutinya dengan panggilan telepon ke masing-masing pemimpin negara.

    Amerika Serikat adalah pasar ekspor terbesar bagi Kamboja dan Thailand. Kedua negara tersebut kini menghadapi ancaman tarif sebesar 36%, kecuali negosiasi bisa terjadi sebelum Jumat (01/08).

    Wheeler menyebut bahwa ancaman tarif dari Trump kemungkinan besar menjadi pemicu utama bagi Thailand, yang sebelumnya menolak tawaran mediasi dari Malaysia secara sepihak.

    “Pemerintah Thailand saat ini kesulitan menghidupkan kembali perekonomian dan popularitasnya terus menurun, jadi mereka membutuhkan semua peluang untuk menghindari tarif dari AS,” katanya.

    Ancaman Trump kemungkinan juga menjadi pertimbangan bagi kedua negara, ujar Harrison Cheng, direktur di Control Risks, firma konsultan yang berbasis di Singapura.

    “Namun, mereka juga mungkin meragukan sejauh mana AS akan benar-benar peduli dengan sengketa perbatasan dan pelaksanaan gencatan senjata. Sementara, Malaysia yang berada di kawasan yang sama lebih cocok untuk terus memainkan peran sebagai mediator,” katanya.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani

    Editor: Rahka Susanto

    (ita/ita)

  • “Kiamat Tsunami” Gelombang setinggi 4 Meter Hantam Pesisir Rusia

    “Kiamat Tsunami” Gelombang setinggi 4 Meter Hantam Pesisir Rusia

    GELORA.CO  — Saat gempa bumi berkekuatan magnitudo 8,7 mengguncang kedalaman sekitar 19,3 km lepas pantai Semenanjung Kamchatka pada Selasa malam waktu setempat, bangunan dan kehidupan di kota pelabuhan Severo‑Kurilsk mendadak terancam.

    Gempa yang terpusat sekitar 125 km dari Petropavlovsk‑Kamchatsky, Rusia ini, menurut data USGS, menghasilkan guncangan hebat yang memicu tsunami dengan gelombang mencapai 3 hingga 4 meter yang menerjang kota pesisir berbobot sekitar 2.000 jiwa tersebut.

    Seperti dilansir dari AFP dan akun Telegram resmi Kementerian Darurat Rusia, pada 30 Juli 2025 melaporkan bahwa air laut telah membanjiri sebagian besar wilayah kota.

    Gelombang laut memasuki kawasan pemukiman dan terminal pelabuhan, menyapu dermaga, menenggelamkan dermaga ikan, serta merusak fasilitas publik termasuk sekolah dan taman anak-anak.

    Meski belum ada informasi resmi soal korban jiwa, pemerintah setempat menegaskan proses evakuasi telah berjalan cepat dan tim penyelamat dikerahkan untuk membantu penduduk serta memeriksa kerusakan struktural di kawasan terdampak.

    Gubernur Kamchatka, Vladimir Solodov, menyampaikan bahwa gempa ini merupakan salah satu yang terkuat dalam beberapa dekade terakhir di kawasan tersebut.

    Ia menekankan pentingnya kewaspadaan ekstra karena potensi gempa susulan yang intens masih sangat besar, dan kondisi terparah dari tsunami sempat dirasakan oleh warga meski hingga kini laporan tentang cedera serius belum muncul.

    Tidak hanya Rusia yang bergegas bereaksi. Jepang mengaktifkan sistem peringatan tsunami, memerintahkan evakuasi di pesisir Hokkaido serta area Fukushima sebagai langkah antisipatif terhadap potensi gelombang hingga satu meter, meskipun dampak fisiknya relatif kecil.

    Di Amerika Serikat, otoritas darurat Hawaii menginstruksikan warga untuk pindah ke daratan lebih tinggi, sementara California, Oregon, Washington, Alaska, dan British Columbia juga mendapat peringatan dan disiapkan sistem sirene tsunami.

    Beberapa pulau Pasifik seperti Guam, Mikronesia, serta negara-negara Amerika Latin seperti Chile, Peru, dan Ekuador juga termasuk dalam zona siaga tinggi lantaran risiko lintas samudra dari gempa ini.

    Sejarah sempat mencatat Severo‑Kurilsk pernah dilanda tragedi tsunami dahsyat pada 5 November 1952 akibat gempa magnitudo antara 8,5 hingga 9,0.

    Saat itu, tsunami mencapai ketinggian hingga 18 meter dan menewaskan lebih dari 2.300 penduduk dari populasi sekitar 6.000 jiwa.

    Kota akhirnya dibangun kembali di lokasi yang lebih tinggi sebagai langkah mitigasi bencana di masa depan.

    Kini, setelah gelombang tsunami pertama mereda, pihak berwenang Rusia bersama lembaga geofisika nasional dan internasional tetap siaga tinggi.

    Jalur evakuasi tetap dibuka, sistem peringatan dini aktif, dan tim gabungan dikerahkan untuk memantau setelaha­shocks dan kondisi infrastruktur.

    Belum ada korban jiwa yang dilaporkan atas bencana ini

  • Trump Minta Warga Hawaii Siaga Potensi Tsunami Usai Gempa M 8,7 Rusia

    Trump Minta Warga Hawaii Siaga Potensi Tsunami Usai Gempa M 8,7 Rusia

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meminta warga di Hawaii, Alaska, dan Pantai Pasifik AS untuk siaga terhadap potensi tsunami. Hal itu disampaikannya usai gempa magnitudo (M) 8,7 mengguncang timur jauh Rusia.

    “Karena gempa bumi dahsyat yang terjadi di Samudra Pasifik, peringatan tsunami diberlakukan bagi mereka yang tinggal di Hawaii,” tulis Trump di akun X resminya, Rabu (30/7/2025).

    Trump mengatakan peringatan tsunami juga diberlakukan oleh Jepang. Dia meminta warga AS di wilayah berpotensi tsunami terus memantau perkembangan informasi.

    “Silakan kunjungi tsunami.gov untuk informasi terbaru. Tetap kuat dan aman!” tulisnya.

    Gempa M 8,7 (menurut badan geologi AS M 8,8) terjadi di wilayah timur jauh Rusia. Gempa kuat dengan kedalaman pusat gempa 19 Km itu memicu peringatan tsunami di berbagai negara, mulai dari AS, Jepang, Filipina hingga Indonesia.

    (haf/imk)

  • Geser China, India Kini Jadi Eksportir Smartphone Terbesar ke AS

    Geser China, India Kini Jadi Eksportir Smartphone Terbesar ke AS

    Jakarta

    India berhasil menyalip China sebagai eksportir utama smartphone ke Amerika Serikat. Lonjakan pengiriman ponsel dari India terjadi di tengah pergeseran rantai pasok global dan ketegangan dagang antara Washington dan Beijing.

    Menurut laporan terbaru Canalys dikutip dari pemberitaan CNBC, Rabu (30/7/2025), smartphone yang dirakit di India menyumbang 44% dari total impor ponsel pintar AS pada kuartal II 2025. Angka itu melonjak drastis dari hanya 13% di periode yang sama tahun lalu. Volume ekspor smartphone dari India tercatat naik 240% dibanding tahun sebelumnya.

    Sebaliknya, pangsa ekspor smartphone dari China ke AS anjlok ke level 25% dari sebelumnya 61%. Bahkan, Vietnam juga melampaui China dengan kontribusi ekspor sebesar 30% ke pasar AS.

    Lonjakan ekspor dari India sebagian besar didorong oleh percepatan strategi Apple yang memindahkan produksi iPhone ke negara tersebut. Ini menandai kali pertama India mengalahkan China sebagai pengekspor smartphone terbanyak ke Amerika.

    Apple mempercepat rencana untuk memproduksi sebagian besar iPhone yang dijual di AS langsung dari pabrik di India. Dalam beberapa tahun ke depan, Apple menargetkan sekitar seperempat dari total produksi iPhone dilakukan di India.

    Langkah ini juga tak lepas dari tekanan Presiden AS Donald Trump, yang mengancam akan mengenakan tarif tambahan pada produk Apple dan mendesak CEO Tim Cook untuk merakit iPhone di dalam negeri. Meski iPhone dan MacBook sempat mendapat pengecualian dari kebijakan tarif Trump, pejabat AS memperingatkan bahwa pengecualian itu bisa sewaktu-waktu dicabut.

    Produsen global lain seperti Samsung dan Motorola juga mulai menggeser perakitan produk mereka ke India, meskipun pergeseran ini belum sebesar Apple.

    Tren perakitan tahap akhir atau last-mile assembly di India makin marak dilakukan oleh perusahaan global. Renaud Anjoran, Wakil Presiden Eksekutif Agilian Technology, mengungkapkan perusahaannya sedang merenovasi fasilitas di India untuk memindahkan sebagian produksi dari China.

    Meski begitu, tantangan masih ada. Tingkat efisiensi produksi atau yield rate di India dan Vietnam masih tertinggal dibandingkan dengan China. Namun, permintaan dari pasar AS terus mendorong manufaktur untuk mempercepat ekspansi.

    Pengiriman iPhone ke AS sendiri turun 11% secara tahunan menjadi 13,3 juta unit pada kuartal II, membalikkan pertumbuhan 25,7% di kuartal sebelumnya. Secara global, pengiriman iPhone turun 2% menjadi 44,8 juta unit dalam periode April-Juni.

    Saham Apple juga tertekan, sudah turun 14% sepanjang tahun ini, sebagian karena kekhawatiran atas ketergantungan pada China serta persaingan ketat di sektor smartphone dan kecerdasan buatan.

    Meski kini Apple sudah mulai merakit model iPhone 16 Pro di India, pabrikan masih sangat bergantung pada infrastruktur manufaktur China yang lebih matang untuk memenuhi permintaan model premium dari AS.

    Sebagai catatan, Trump sempat menetapkan tarif 26% atas impor dari India pada April lalu-jauh lebih rendah dibanding tarif tiga digit untuk produk dari China-namun tarif ini ditangguhkan hingga 1 Agustus mendatang.

    (rrd/rrd)

  • AS-China Lanjutkan Negosiasi Gencatan Tarif, Trump Jadi Penentu Akhir

    AS-China Lanjutkan Negosiasi Gencatan Tarif, Trump Jadi Penentu Akhir

    Bisnis.com, JAKARTA – Amerika Serikat (AS) dan China akan melanjutkan pembicaraan untuk memperpanjang gencatan tarif menjelang tenggat dua pekan lagi, sementara Presiden Donald Trump akan mengambil keputusan akhir terkait kelanjutannya.

    Dalam pernyataannya di Stockholm, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang memimpin delegasi AS bersama Perwakilan Dagang Jamieson Greer, mengungkapkan dirinya akan melaporkan perkembangan negosiasi kepada Trump pada Rabu (30/7/2025) waktu setempat.

    “Masih ada beberapa detail teknis yang perlu diselesaikan,” ujarnya kepada wartawan dikutip dari Bloomberg, usai pertemuan dua Hari dengan delegasi China yang dipimpin Wakil Perdana Menteri He Lifeng.

    Pernyataan itu muncul setelah media melaporkan bahwa delegasi China mengindikasikan kesepakatan perpanjangan gencatan tarif selama 90 hari. Menanggapi kabar tersebut, Bessent mengatakan China sedikit terburu-buru. 

    Saat ditanya apakah dia akan merekomendasikan perpanjangan, Bessent menjawab bahwa dirinya hanya akan menyampaikan fakta kepada Trump, dan keputusan ada di tangan Presiden.

    Putaran perundingan di Stockholm merupakan yang ketiga dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan. Negosiasi dilakukan menjelang tenggat 12 Agustus, yang merupakan akhir masa suspensi tarif selama 90 hari. Perpanjangan selama 90 hari menjadi salah satu opsi yang dibahas, menurut Bessent.

    Di sisi lain, negosiator China Li Chenggang mengatakan kepada media bahwa kedua pihak sepakat untuk mempertahankan gencatan tarif, namun tidak merinci durasi perpanjangan tersebut. Dia menyebut pembicaraan di Stockholm berlangsung terbuka, mendalam, dan bertujuan memperkuat komunikasi jangka panjang.

    “Meski belum ada kesepakatan substantif, suasana pembicaraan terbilang konstruktif dan optimistis terhadap potensi kesepakatan di masa mendatang,” ujar Kelvin Lam, Ekonom Senior China di Pantheon Macroeconomics, London.

    Perundingan ini berlangsung setelah AS mencapai kesepakatan tarif sementara dengan Jepang dan Uni Eropa. Menurut Bessent, delegasi China kini lebih terbuka untuk berdiskusi secara menyeluruh.

    Ekspor Magnet dan Sektor Strategis

    Salah satu isu utama adalah bagaimana kedua negara menjaga stabilitas hubungan dagang, di tengah pengenaan hambatan seperti tarif dan kontrol ekspor, khususnya pada sektor-sektor strategis seperti teknologi baterai, pertahanan, dan semikonduktor.

    Greer menyebut bahwa AS ingin memastikan pasokan material penting seperti magnet tetap lancar, sehingga kedua belah pihak bisa fokus pada prioritas lainnya. 

    “Kami tidak ingin bicara soal magnet lagi,” ujarnya.

    Dia juga menyebut dimulainya kembali ekspor logam tanah jarang dari China merupakan konsesi terbesar dari Beijing sejauh ini. Saat ditanya soal penyelidikan tarif AS berdasarkan pasal 232, Greer mengatakan bahwa China memang meminta pembaruan status, namun AS menegaskan bahwa tarif tersebut bersifat global tanpa pengecualian untuk negara tertentu.

    China juga menanyakan status penyelidikan AS terhadap sektor seperti tembaga, semikonduktor, dan farmasi. Menurut Greer, AS telah menjelaskan bahwa tarif yang dihasilkan akan berlaku secara global.

    Analis dari Eurasia Group menyebut bahwa Beijing sangat berkepentingan untuk menurunkan tarif 20% yang diberlakukan AS terhadap bahan kimia asal China yang dituding digunakan dalam produksi narkotika ilegal fentanyl.

    Ketegangan dagang antara kedua negara juga meluas ke ranah geopolitik. Presiden Taiwan Lai Ching-te dikabarkan membatalkan kunjungan luar negeri yang dijadwalkan pekan depan setelah AS tidak menyetujui singgahnya di wilayah Amerika Serikat.

    China juga mulai memanfaatkan dominasinya atas ekspor logam tanah jarang untuk menekan AS agar melonggarkan pembatasan terhadap chip canggih yang dibutuhkan Beijing untuk pengembangan kecerdasan buatan.

    Namun, langkah AS yang dianggap melunak tersebut memicu kekhawatiran di kalangan politisi garis keras di Washington yang menilai bahwa pemerintahan Trump terlalu banyak memberi konsesi demi kesepakatan dan pertemuan dengan Presiden Xi Jinping.

    Trump Bantah Kejar Pertemuan dengan Xi

    Sementara itu, Presiden Trump membantah klaim bahwa dirinya mengejar pertemuan dengan Xi. 

    “Saya tidak sedang mencari apa pun! Saya mungkin pergi ke China, tetapi hanya jika diundang oleh Presiden Xi, dan undangan itu memang sudah ada. Selain itu, saya tidak tertarik!” katanya dalam unggahan di media sosial.

    Negosiasi dagang antara Washington dan Beijing berlangsung di tengah upaya negara-negara besar lainnya untuk mencapai kesepakatan tarif dengan Trump sebelum 1 Agustus, batas waktu yang ditetapkan Trump untuk mulai memberlakukan pajak impor timbal balik kepada mitra dagang utama AS.

    Pada Minggu sebelumnya, Trump mengumumkan kesepakatan awal dengan Uni Eropa untuk mengenakan tarif 15% atas barang-barang dari blok tersebut yang masuk ke AS.

    Adapun, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick mengatakan masih banyak detail dalam kesepakatan AS-UE yang perlu dinegosiasikan. 

    “Masih banyak tawar-menawar yang harus dilakukan,” ujarnya.

  • Amerika Serikat Mulai Campuri Urusan di Tepi Barat

    Amerika Serikat Mulai Campuri Urusan di Tepi Barat

    WASHINGTON – Amerika menyatakan dukungan kepada Israel yang ingin membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat. Padahal, kawasan itu adalah wilayah Palestina yang diduduki Israel. Dukungan ini bertentangan dengan komitmen mereka selama 40 tahun, yakni pembangunan permukiman Yahudi di sana, ‘tidak sesuai dengan hukum internasional’.

    Pernyataan dukungan pembangunan permukiman itu diumumkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, yang mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan AS soal pemukiman di Tepi Barat –yang dicaplok oleh Israel pada 1967– selama ini tidak selaras.

    Pompeo mengutip, Presiden AS Jimmy Carter (1977-1981) yang menganggap bahwa pendirian AS dulu itu tidak sejalan dengan hukum internasional. Lalu, Presiden AS Ronald Reagan (1981-1989) yang mengatakan tidak menganggap pemukiman tersebut sebagai tindakan yang ilegal.

    Pernyataan Pompeo tentang pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat ini mendapat pujian dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Netanyahu mengimbau negara-negara lain mengambil sikap yang sama dengan Amerika dalam mendukung hak Israel membangun permukiman di Tepi Barat.

    Sementara itu, Palestina tidak suka Amerika Serikat untuk masalah ini. Bagi mereka, AS tak punya hak untuk menentukan permukiman Israel dan Palestina.

    “Amerika Serikat tidak punya keahlian ataupun wewenang untuk menihilkan resolusi-resolusi internasional yang sah. Amerika Serikat juga tidak punya hak untuk memberikan pembenaran apa pun bagi pemukiman oleh Israel,” kata juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rudeineh, dalam pernyataan.

    Sedangkan Kepala perunding Palestina Saeb Erekat mengatakan, AS di bawah kepemipinan Amerika Serikat Donald Trump sedang mengancam untuk mengganti hukum internasional dengan ‘hukum rimba’.

    Negara tetangga Israel dan Palestina, Yordania memperingatkan kebijakan AS ini. Kata Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kebijakan ini akan menimbulkan “dampak berbahaya” terhadap masa depan perundingan perdamaian.

    Safadi juga mengatakan bahwa pemukiman oleh Israel “jelas-jelas adalah pelanggaran terhadap hukum internasional dan resolusi-resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.”

    Pernyataan Pompeo yang mendapat kritikan ini dikatakan tak bermaksud menghakimi status Tepi Barat. Pompeo mengatakan, masalah Tepi Barat ini akan dituntaskan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina.

    Pernyataan ini, sambung Pompeo, tidak dimaksudkan untuk memaksa agar penundingan ini cepat selesai meski menimbulkan pertentangan hukum. 

    “Itu adalah soal yang harus dirundingkan oleh Israel dan Palestina,” katanya.

  • Adik Kim Jong Un Beri Pesan ke Trump, Sebut Hubungan Pribadi & Nuklir

    Adik Kim Jong Un Beri Pesan ke Trump, Sebut Hubungan Pribadi & Nuklir

    Jakarta, CNBC Indonesia – Saudari perempuan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un, Kim Yo Jong, kembali memberikan pesan kepada negara rivalnya, Amerika Serikat (AS). Hal ini terkait kekuatan nuklir negara itu.

    Mengutip AFP, Selasa (29/7/2025), dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh media pemerintah, Kim memperingatkan AS agar tidak mengejar denuklirisasi. Ia meminta Washington untuk segera mengakui Pyongyang sebagai negara berkekuatan nuklir.

    “Setiap upaya untuk menyangkal posisi DPRK sebagai negara bersenjata nuklir… akan ditolak mentah-mentah,” kata Kim Yo Jong, merujuk Korut dengan akronim nama resminya.

    Kim mengatakan “hubungan pribadi” antara saudara laki-lakinya dan Trump berada dalam situasi yang baik buruk. Tetapi ia memperingatkan bahwa hal itu tidak boleh digunakan untuk menekan Korut dalam melakukan denuklirisasi.

    “Saya tidak ingin menyangkal fakta bahwa hubungan pribadi antara kepala negara kita dan presiden AS saat ini tidaklah buruk. Namun, saya menghimbau dan memperingatkan Washington agar tidak mencoba memanfaatkannya untuk mencapai denuklirisasi.”

    Pernyataan ini dilontarkan Kim setelah seorang pejabat Gedung Putih dikutip mengatakan bahwa Presiden Donald Trump terbuka untuk berdialog dengan Kim Jong Un terkait denuklirisasi. Menurutnya, hal ini justru mendiskreditkan dan meremehkan kekuatan negara pimpinannya.

    “Jika digunakan untuk tujuan tersebut, hal itu dapat diartikan sebagai ejekan terhadap pihak lain,” ujarnya.

    Trump dan Pemimpin Tertinggi Korut Kim Jong Un bertemu tiga kali selama masa jabatan pertama presiden AS dalam upaya mencapai kesepakatan tentang denuklirisasi Korut. Dalam seluruh pertemuan itu, keduanya terlihat berada dalam situasi yang sejuk tanpa ketegangan, menghadirkan harapan perdamaian di Semenanjung Korea.

    Namun, sejak pertemuan puncak kedua mereka di Hanoi pada tahun 2019 gagal karena kegagalan menyepakati imbalan yang akan diterima Korut, Pyongyang telah mempercepat program nuklirnya. Ini sekaligus memutus interaksi langsung antara Trump dan Kim.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Drama Tarif AS-China: Babak Akhir Negosiasi, Adu Strategi 2 Raksasa

    Drama Tarif AS-China: Babak Akhir Negosiasi, Adu Strategi 2 Raksasa

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat (AS) dan China kembali duduk di meja perundingan di Stockholm, Swedia, untuk meredakan ketegangan dagang yang telah lama membayangi hubungan kedua raksasa ekonomi dunia.

    Melansir Reuters, negosiasi kedua negara tersebut memasuki hari kedua pada Selasa (29/7/2025) waktu setempat, dengan harapan mencegah eskalasi tarif yang bisa mengguncang rantai pasokan global.

    Meski belum ada sinyal akan tercapai terobosan besar, perundingan ini diyakini dapat menghasilkan perpanjangan gencatan senjata tarif selama 90 hari. Ini sekaligus membuka peluang pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di akhir tahun, walau Trump membantah telah mengupayakan hal tersebut.

    “Ini tidak benar, saya tidak MENCARI apapun! Saya mungkin pergi ke China, tetapi itu hanya atas undangan Presiden Xi, yang telah diperpanjang. Jika tidak, tidak ada minat!” tulis Trump dalam unggahannya di Truth Social.

    Delegasi kedua negara bertemu selama lebih dari lima jam pada Senin di kantor Perdana Menteri Swedia, Rosenbad, di pusat kota Stockholm. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dan Wakil Perdana Menteri China, He Lifeng, terlihat hadir dalam sesi perundingan pada hari kedua.

    Belum ada pernyataan resmi yang dirilis usai hari pertama negosiasi. Namun, China dihadapkan pada tenggat waktu 12 Agustus untuk mencapai kesepakatan tarif permanen dengan Washington. Jika gagal, tarif impor AS terhadap produk China bisa kembali melonjak ke level tiga digit, setara dengan embargo bilateral yang berpotensi melumpuhkan perdagangan global.

    Menurut Financial Times, AS telah menghentikan sementara pembatasan ekspor teknologi ke China demi menjaga momentum perundingan. Langkah ini juga dinilai sebagai strategi untuk mendukung kemungkinan pertemuan antara Trump dan Xi.

    Tantangan Ekstra dari Capitol Hill

    Di tengah perundingan yang sensitif, muncul tekanan politik domestik dari Washington. Sejumlah senator lintas partai dilaporkan tengah menyiapkan rancangan undang-undang yang menargetkan China atas isu hak asasi manusia, perlakuan terhadap kelompok minoritas, dan kebijakan terhadap Taiwan.

    Kondisi ini berpotensi memperumit dinamika negosiasi, terutama mengingat Beijing sangat menentang dukungan AS terhadap Taipei.

    Sumber Reuters menyebutkan Presiden Taiwan Lai Ching-te bahkan menunda kunjungan ke AS yang sebelumnya direncanakan pada Agustus, demi menghindari ketegangan tambahan di tengah proses negosiasi.

    Tekanan dari Perdagangan dan Teknologi

    Perundingan di Stockholm melanjutkan pembicaraan serupa yang sebelumnya digelar di Jenewa dan London. Fokus utama mencakup penurunan tarif balasan, pencabutan penghentian ekspor mineral tanah jarang oleh China, serta ekspor chip AI dan barang strategis lainnya oleh AS.

    Washington menuding Beijing menggunakan model ekonomi berbasis ekspor untuk membanjiri pasar global dengan barang murah, merusak persaingan industri dalam negeri AS. Sebaliknya, China menilai kebijakan kontrol ekspor teknologi AS sebagai bentuk penghambatan terhadap pertumbuhan ekonomi mereka.

    Menteri Keuangan AS Scott Bessent sebelumnya menyatakan, AS membuka peluang perpanjangan tenggat negosiasi. Ia menekankan pentingnya transformasi ekonomi China agar lebih bergantung pada konsumsi domestik daripada ekspor.

    “Kami berharap China mulai menyeimbangkan kembali pertumbuhan ekonominya, karena ini tidak hanya penting bagi mereka, tetapi juga bagi stabilitas ekonomi global,” kata Bessent dalam pernyataan singkatnya.

    Selain itu, isu mineral tanah jarang menjadi salah satu titik krusial dalam negosiasi. China menguasai sebagian besar pasokan global bahan penting ini, digunakan dalam berbagai industri, mulai dari perangkat keras militer hingga motor mobil listrik. Posisi dominan ini menjadikan mineral tanah jarang sebagai alat tawar Beijing yang efektif terhadap AS.

    Para analis memperkirakan pembicaraan AS-China akan berlangsung lebih rumit dibanding negosiasi dagang dengan negara Asia lainnya. Kompleksitas kepentingan geopolitik dan ekonomi membuat proses ini diperkirakan berlangsung berbulan-bulan, tanpa jaminan hasil dalam waktu dekat.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • RI Tagih Kejelasan Tarif Trump 15%-20% untuk Negara di Luar Perjanjian Dagang

    RI Tagih Kejelasan Tarif Trump 15%-20% untuk Negara di Luar Perjanjian Dagang

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia akan menagih kejelasan dari pemerintah Amerika Serikat terkait rencana pengenaan tarif resiprokal baru sebesar 15% hingga 20% untuk negara-negara yang belum memiliki perjanjian dagang bilateral dengan Washington.

    Rentang tarif itu cenderung rendah. Padahal, Indonesia yang sudah memiliki kesepakatan awal dengan Amerika Serikat (AS) dikenai tarif 19%.

    Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan bahwa hingga kini belum ada dokumen resmi yang bisa dijadikan pegangan pemerintah Indonesia soal rencana tersebut.

    “Yang dimaksud 15%—20% itu seperti apa? Sekarang ini sejujurnya di dokumen resmi, kan, belum ada. Itu semuanya nanti kan harus ada perjanjian perdagangan, enggak bisa kita tiba-tiba hanya mendasarkan ke pengumuman di medsos [media sosial],” ujar Susi usai acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025 di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

    Dia mengaku bahwa pemerintah masih terus menanti kejelasan skema tarif yang disebut-sebut akan diberlakukan terhadap negara-negara yang belum menandatangani perjanjian dagang bilateral dengan AS.

    Menurut anak buah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto itu, bahkan negara-negara yang telah sepakat pun belum secara resmi terikat dalam kesepakatan perdagangan apa pun.

    “Sekarang pertanyaannya, Jepang saja untuk dapat tarif 15% itu [komitmen impor] hampir US$550 miliar, Eropa untuk dapat 15% [komitmen impor] US$750 miliar. Kita kemarin kan [komitmen] US$19,5 miliar. Masa yang lain tidak ngapain-ngapain kita ratakan 15%, kan juga enggak mungkin gitu,” tegasnya.

    Lebih lanjut, dia melihat bahwa pemahaman soal tarif resiprokal masih belum seragam. Beberapa pihak memahami bahwa tarif 15% adalah tambahan di luar tarif Most Favoured Nation (MFN), sementara lainnya menganggap tarif tersebut sudah termasuk dalam tarif MFN.

    Meski belum ada kejelasan implementasi, Indonesia tetap melanjutkan proses negosiasi dagang lanjutan dengan AS. Fokus utama saat ini adalah mengamankan sejumlah komoditas unggulan agar bisa mendapat perlakuan tarif yang lebih ringan dari 19% atau bahkan nol persen.

    “Ada barang-barang yang sangat dibutuhkan Amerika, tidak bisa dibuat di sana, tidak bisa diproduksi, dan itu sangat layak kalau ekspornya dari Indonesia. Kita akan bikin daftarnya, contohnya apa CPO, kopi, kakao, produk-produk mineral nikel, dan sebagainya,” jelasnya.

    Pernyataan Trump soal Tarif Impor

    Adapun sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkapkan rencananya untuk memberlakukan tarif impor sebesar 15% hingga 20% terhadap negara-negara yang belum meneken perjanjian dagang bilateral dengan Washington.

    “Untuk dunia, saya kira angkanya akan berada di kisaran 15% hingga 20%. Saya hanya ingin bersikap adil. Saya kira antara 15% atau 20%, kemungkinan salah satu dari dua angka itu,” kata Trump dalam konferensi pers di Turnberry, Skotlandia, bersama Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, dikutip dari CNBC International pada Selasa (29/7/2025).

    Rencana tersebut menandai peningkatan dari tarif dasar 10% yang diumumkan Trump pada April lalu, dan berpotensi memberatkan negara-negara berkembang yang sebelumnya berharap akan memperoleh tarif lebih ringan.

    Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick sebelumnya sempat menyebut bahwa negara-negara kecil—termasuk negara-negara di Amerika Latin, Karibia, dan Afrika—kemungkinan akan dikenai tarif dasar sebesar 10%. Namun, Trump menegaskan bahwa AS akan menetapkan tarif seragam untuk sebagian besar negara di dunia.

    “Kami akan menetapkan satu tarif untuk sebagian besar dunia, dan itu harga yang harus mereka bayar jika ingin berbisnis di Amerika Serikat. Kami tidak bisa duduk membuat 200 kesepakatan berbeda,” ujar Trump.

    Pernyataan ini disampaikan menjelang tenggat 1 Agustus, saat tarif baru AS dijadwalkan mulai berlaku. Hingga saat ini, puluhan negara masih belum mencapai kesepakatan dagang dengan Washington.

  • AS Mau ‘Tunggangi’ Perang Saudara Tetangga RI, Incar Harta Karun Ini

    AS Mau ‘Tunggangi’ Perang Saudara Tetangga RI, Incar Harta Karun Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintahan Donald Trump tengah menimbang sejumlah proposal kontroversial yang dapat secara drastis mengubah arah kebijakan Amerika Serikat terhadap Myanmar, dengan tujuan akhir mengalihkan pasokan mineral tanah jarang dari negara tersebut agar tak lagi mengalir ke China.

    Empat sumber yang mengetahui langsung jalannya diskusi internal Gedung Putih mengatakan kepada Reuters proposal-proposal tersebut mencakup kemungkinan negosiasi damai antara junta militer Myanmar dan kelompok pemberontak Kachin Independence Army (KIA), maupun opsi sebaliknya: menjalin kerja sama langsung dengan KIA sambil tetap menjauhi junta.

    Belum ada keputusan yang diambil, dan para ahli menekankan bahwa tantangan logistik akan sangat besar. Namun jika usulan-usulan ini dijalankan, Washington bisa saja menjalin kesepakatan dengan kelompok etnis bersenjata yang saat ini menguasai sebagian besar cadangan tanah jarang berat Myanmar.

    “Diskusi ini masih pada tahap awal dan bersifat eksploratif,” ungkap seorang pejabat senior pemerintahan Trump.

    Ia menambahkan bahwa “para pejabat menghadiri pertemuan ini sebagai bentuk dukungan terhadap komunitas bisnis Amerika dan untuk membantu menyeimbangkan defisit perdagangan AS sebesar US$579 juta dolar dengan Myanmar”.

    Tanah jarang adalah kelompok 17 logam yang digunakan untuk memproduksi magnet berdaya tinggi yang vital bagi berbagai aplikasi teknologi canggih. Tanah jarang secara khusus sangat penting untuk industri pertahanan, digunakan dalam pembuatan jet tempur dan senjata berteknologi tinggi.

    AS saat ini hanya memproduksi dalam jumlah sangat kecil dan sangat bergantung pada impor. Menurut Badan Energi Internasional (IEA), China mengendalikan hampir 90% kapasitas pengolahan global.

    Dalam salah satu pertemuan tertutup pada 17 Juli lalu di kantor Wakil Presiden JD Vance, sejumlah ide disampaikan, termasuk oleh Adam Castillo, mantan ketua Kadin AS di Myanmar yang kini menjalankan perusahaan keamanan di negara tersebut. Pertemuan itu juga dihadiri oleh penasihat Vance untuk urusan Asia dan perdagangan, meski Vance sendiri tidak hadir.

    Castillo mengusulkan agar AS meniru pendekatan China dengan menjadi penengah antara militer Myanmar dan KIA untuk membentuk kesepakatan otonomi bilateral. Menurutnya, kelompok bersenjata etnis seperti KIA sudah muak dieksploitasi China dan ingin menjalin kerja sama dengan AS.

    “KIA tahu mereka punya komoditas yang strategis dan ingin diversifikasi,” kata Castillo kepada Reuters. “Kita bisa memanfaatkan keinginan itu untuk mengurangi ketergantungan global pada China.”

    Tambang-tambang di wilayah Kachin Myanmar merupakan penghasil utama tanah jarang yang selama ini diekspor ke China untuk diolah. Castillo juga menyarankan agar AS menjalin kerja sama pemrosesan sumber daya ini dengan mitra-mitra dalam kelompok Quad – India, Jepang, dan Australia.

    Kementerian Pertambangan India tak merespons permintaan komentar, tetapi seorang pejabat pemerintah India mengatakan belum mengetahui apakah rencana seperti itu telah dikomunikasikan ke New Delhi. Ia menambahkan bahwa “bahkan jika rencana itu disepakati, akan butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun infrastruktur pemrosesan yang diperlukan.”

    Proposal lainnya disampaikan oleh Sean Turnell, ekonom asal Australia dan mantan penasihat Aung San Suu Kyi. Ia mengusulkan agar pemerintahan Trump tetap berkomitmen mendukung kekuatan demokratis di Myanmar.

    Turnell mengatakan kepada Reuters bahwa ia telah bertemu dengan pejabat di Departemen Luar Negeri, Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, dan Kongres.

    “Salah satu usulan kami adalah AS dapat mengakses tanah jarang melalui KIA, dan itu bisa menjadi win-win untuk mendukung oposisi Myanmar sekaligus mengurangi ketergantungan dari China,” ujarnya.

    Diskusi informal dengan KIA disebut telah berlangsung beberapa bulan terakhir, meski tidak pernah diumumkan secara publik. Seorang sumber di industri tanah jarang mengatakan bahwa pejabat AS mulai menjalin komunikasi sekitar tiga bulan lalu, setelah KIA mengambil alih kawasan tambang Chipwe-Pangwa.

    Namun, para analis memperingatkan bahwa rencana ambisius ini akan sangat sulit diwujudkan. Bertil Lintner, penulis dan pengamat lama isu Myanmar, menyebut rencana AS untuk menarik pasokan rare earth dari Myanmar ke India “sangat tidak masuk akal” karena medan geografis yang ekstrem.

    “Semua tambang itu berada dekat perbatasan Cina, dan kalau ingin mengangkutnya ke India, hanya ada satu jalan dan China pasti akan menghalanginya,” kata Lintner.

    Meski begitu, junta Myanmar sendiri tampaknya mulai melunak terhadap Washington. Ketika Trump mengancam tarif baru sebesar 40% terhadap ekspor Myanmar ke AS awal bulan ini, ancaman tersebut dituangkan dalam surat yang ditujukan langsung kepada Jenderal Min Aung Hlaing.

    Sebagai respons, pemimpin junta itu memuji kepemimpinan Trump dan menyatakan kesiapannya mengirim tim negosiasi ke Washington. Ia juga meminta tarif diturunkan dan sanksi dicabut.

    Namun, pejabat senior Gedung Putih menegaskan bahwa pencabutan sebagian sanksi pekan lalu terhadap sejumlah sekutu junta “tidak ada kaitannya” dengan surat Min Aung Hlaing. Pemerintahan Trump, menurut sumber, masih meninjau ulang keseluruhan kebijakan AS terhadap Myanmar sejak pelantikan Trump pada Januari lalu, dan belum membuat keputusan akhir apakah akan menjalin kerja sama dengan junta atau tetap fokus pada KIA dan oposisi.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]