kab/kota: Washington

  • Trump Ancam Lakukan Ini Jika Hamas Tolak Lucuti Senjata

    Trump Ancam Lakukan Ini Jika Hamas Tolak Lucuti Senjata

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meyakini kelompok Hamas akan melucuti persenjataan mereka, sesuai dengan kesepakatan gencatan senjata Gaza. Trump juga menegaskan jika Hamas menolak untuk melucuti senjata, maka AS akan mengambil tindakan yang dimungkinkan melibatkan kekerasan.

    “Mereka (Hamas-red) akan melucuti senjata, karena mereka mengatakan akan melucuti senjata,” kata Trump dalam pernyataan terbarunya, seperti dilansir AFP dan The Hill, Rabu (15/10/2025).

    “Jika mereka tidak melucuti senjata, kita yang akan melucuti senjata mereka,” tegasnya dalam pernyataan pada Selasa (14/10) waktu setempat.

    “Saya berbicara kepada Hamas dan saya berkata ‘Kalian akan melucuti senjata’ dan mereka berkata ‘Iya pak, kami akan melucuti senjata’,” klaim Trump.

    Trump melanjutkan bahwa dirinya memang tidak berkomunikasi secara langsung dengan Hamas, namun pesan tersebut telah disampaikan “melalui orang-orang saya, di tingkat tertinggi”.

    “Mereka tahu saya tidak main-main,” ucap Trump merujuk pada Hamas.

    “Itu akan terjadi dengan cepat, dan mungkin dengan kekerasan,” imbuhnya, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

    Komentar Trump ini disampaikan sehari setelah dia melakukan kunjungan singkat ke Israel dan Mesir untuk merayakan kesepakatan gencatan senjata Gaza.

    Usai gencatan senjata diwujudkan, dan pertukaran sandera-tahanan telah dilakukan oleh Hamas-Israel, pertanyaan-pertanyaan pun muncul mengenai tahap selanjutnya untuk implementasi rencana perdamaian Gaza yang diusulkan Trump.

    Hamas sejauh ini menolak untuk melucuti senjata mereka, meskipun hal tersebut menjadi bagian penting dari tahap selanjutnya dari rencana perdamaian 20 poin yang diusulkan Trump untuk gencatan senjata dan perjanjian damai jangka panjang di Timur Tengah.

    Trump, selama berkunjung ke Israel dan Mesir, bersikeras menyatakan bahwa perang antara Israel dan Hamas “telah berakhir”, dan bahwa kesepakatan damai yang dia mediasi akan mampu bertahan.

    Namun para pakar, dan bahkan beberapa sekutu Trump, merasa kurang yakin, dengan menekankan pada berbagai hambatan yang masih ada untuk memastikan perdamaian abadi di kawasan tersebut. Rencana perdamaian Trump itu mengharuskan Hamas untuk menonaktifkan persenjataannya, dan belum jelas apakah kelompok tersebut akan berubah sikap.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • IMF: Sikap Negara-Negara Tak Balas Tarif Trump Jaga Ketahanan Ekonomi Dunia

    IMF: Sikap Negara-Negara Tak Balas Tarif Trump Jaga Ketahanan Ekonomi Dunia

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyebut keputusan sebagian besar negara untuk tidak membalas kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi salah satu faktor utama yang menjaga ketahanan ekonomi global.

    “Dunia sejauh ini — dan saya tekankan sejauh ini — memilih untuk tidak melakukan pembalasan dan tetap berdagang sesuai aturan yang berlaku,” ujar Georgieva dalam acara di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia di Washington Yang dikutip dari Reuters, Rabu (15/10/2025).

    Dia menilai langkah tersebut berhasil mencegah terjadinya eskalasi tarif yang bisa melumpuhkan perdagangan global.

    Sebelumnya, IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 menjadi 3,2% dari perkiraan sebelumnya 3% dalam laporan World Economic Outlook. Namun, lembaga itu memperingatkan bahwa potensi perang dagang baru antara AS dan China yang diancamkan Trump dapat menekan output global secara signifikan.

    Georgieva menambahkan, penurunan tarif efektif AS dari perkiraan awal juga turut menopang perekonomian dunia. Menurut perhitungannya, tarif rata-rata yang diumumkan Trump pada April lalu diperkirakan mencapai 23%, namun turun menjadi sekitar 17,5% setelah adanya kesepakatan dagang AS dengan Uni Eropa, Jepang, dan sejumlah mitra utama lainnya.

    “Tarif efektif yang benar-benar dipungut, setelah mempertimbangkan pengecualian agar ekonomi tetap berjalan, kami hitung berada di kisaran 9%–10%. Jadi, beban tarifnya lebih dari dua kali lebih ringan dari yang kami perkirakan sebelumnya,” jelasnya.

    Selain itu, kebijakan yang lebih baik di berbagai negara untuk mendorong pengembangan sektor swasta dan alokasi sumber daya yang lebih efisien juga membantu menopang pertumbuhan global. 

    Ketangkasan perusahaan dalam menyesuaikan rantai pasok dan mempercepat impor sebelum tarif diberlakukan turut mengurangi dampak negatif kebijakan perdagangan tersebut.

    Namun, Georgieva mengingatkan ketahanan ekonomi global dapat diuji oleh valuasi pasar yang sudah terlalu tinggi, terutama di sektor teknologi yang mendorong reli bursa saham sepanjang tahun ini.

    “Ini adalah taruhan besar. Jika berhasil, luar biasa — masalah pertumbuhan rendah akan teratasi karena produktivitas dan pertumbuhan akan meningkat. Tapi jika hasilnya lambat atau tidak terwujud sepenuhnya, apa yang akan terjadi?” ujarnya.

    Sementara itu, Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengatakan lonjakan investasi di bidang kecerdasan buatan (AI) berpotensi memicu gelembung seperti dot-com crash tahun 2000 yang menghanguskan investasi ekuitas. 

    Namun, dia menilai dampaknya tidak akan menimbulkan krisis sistemik karena tidak banyak didanai dengan utang.

  • Pakistan-Taliban Bentrok Bersenjata, Ancaman Konflik Besar Mengintai

    Pakistan-Taliban Bentrok Bersenjata, Ancaman Konflik Besar Mengintai

    Jakarta

    Pertempuran sengit antara militer Pakistan dan pasukan Taliban Afganistan yang terjadi akhir pekan lalu, menjadi konflik paling mematikan antara kedua negara sejak Taliban kembali berkuasa di Kabul pada Agustus 2021.

    Baik Pakistan maupun Taliban-Afganistan mengklaim telah menimbulkan kerugian besar terhadap pihak lawan.

    Taliban mengatakan pada Minggu (12/10/2025) telah menewaskan 58 tentara Pakistan dalam operasi perbatasan. Namun, militer Pakistan menyebut jumlah lebih sedikit yakni 23 tentara yang tewas. Taliban turut mengklaim telah merebut 25 pos militer Pakistan.

    Di lain pihak, militer Pakistan mengklaim telah menewaskan lebih dari 200 militan Afghanistan, sedang Taliban mengklaim hanya sembilan tentaranya yang tewas.

    Klaim dari kedua belah pihak belum dapat diverifikasi secara independen dikarenakan akses ke wilayah perbatasan sangat dibatasi.

    Mengapa Pakistan dan Taliban Afganistan saling serang?

    Ketegangan antara kedua negara, yang dulunya adalah sekutu, meningkat setelah Islamabad menuntut Kabul menindak Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP), kelompok separatis yang terafiliasi erat dengan Taliban Afganistan.

    TTP berupaya memberlakukan interpretasi Islam garis keras, terutama di provinsi Khyber Pakhtunkhwa di barat laut Pakistan, yang berbatasan dengan Afganistan. Menurut pemerintah Pakistan, kelompok ini beroperasi dari wilayah Afganistan. Namun pihak Taliban Afganistan membantah tuduhan tersebut.

    Sebuah laporan PBB tahun ini menyebut, TTP “menerima dukungan logistik dan operasional yang substansial dari pihak otoritas de facto,” merujuk pada pemerintah Taliban di Kabul.

    Lebih dari 500 orang, termasuk diantaranya 311 tentara dan 73 polisi, tewas dalam serangan sejak Januari hingga 15 September, menurut kantor berita AFP yang mengutip juru bicara militer Pakistan.

    Pemerintah Pakistan menuding India telah mendukung Taliban dan kelompok pemberontak lain untuk mengguncang stabilitas Pakistan. India membantah tuduhan tersebut, dan balik menuduh justru Pakistanlah yang mendukung kelompok militan separatis beroperasi di wilayah Kashmir yang dikuasai India.

    Situasi yang rawan di perbatasan

    Pekan lalu, Taliban Afganistan menuduh Pakistan telah mengebom Kabul dan sebuah pasar di wilayah timur Afghanistan.

    Pemerintah Pakistan tidak mengonfirmasi maupun membantah serangan tersebut. Namun Pakistan berulang kali menegaskan haknya untuk membela diri terhadap tindakan militansi lintas batas yang telah bereskalasi.

    Pasukan Taliban Afganistan mengatakan serangan terhadap pasukan Pakistan pada Sabtu(11/10) malam sebagai tindakan “balasan atas serangan udara yang dilakukan oleh militer Pakistan di Kabul.”

    Michael Kugelman, analis Asia Selatan yang berbasis di Washington kepada DW mengatakan, bentrokan antara Pakistan dan Afganistan “disebabkan oleh kegagalan Islamabad menekan terorisme anti-Pakistan yang berbasis di Afganistan.”

    “Meski telah mencoba berbagai strategi, termasuk perundingan dan operasi militer terbatas di dalam ngeri, Pakistan sulit untuk berhasil,” kata Kugelman. Ia menambahkan, “operasi kontra-terorisme yang diperkuat darinPakistan” terhadap target di Afganistan kini memicu respons Taliban, sehingga kian bereskalasi.

    Meskipun pertempuran tampak mereda untuk saat ini, situasinya rawan dan ketegangan masih tinggi.

    Pakistan menutup titik-titik perlintasan di sepanjang perbatasan sepanjang 2.600 kilometer, menyebabkan terhentinya arus perdagangan di perbatasan kedua negara.

    Akankah TTP Meningkatkan Serangan?

    Omar Samad, mantan duta besar Afganistan untuk Kanada dan peneliti senior Atlantic Council, mengatakan kepada DW, permusuhan antara kedua pihak “dapat meningkat menjadi kekerasan yang meluas dan aksi militer yang lebih besar dari yang terjadi sekarang” dan dapat merusak hubungan kedua negara secara permanen.

    “Ketegangan antara institusi militer Pakistan dan pemerintah de facto Afganistan telah meningkat selama dua tahun terakhir, sebagian karena salah langkah, salah paham, dan salah kelola,” kata Samad.

    Kugelman berpendapat, salah satu konsekuensi krisis ini bisa berupa meningkatnya serangan balasan oleh TTP, “yang memiliki kehadiran kuat di Pakistan meskipun berbasis di Afganistan.”

    Ia mengatakan lebih lanjut, kekuatan militer Taliban Afganistan tidak sebanding dengan kekuatan militer Pakistan, meski Taliban mampu melancarkan operasi di pos-pos perbatasan.

    “Serangan balasan TTP yang kemungkinan didukung oleh Taliban Afganistan — menjadi kekhawatiran utama bagi Pakistan ke depannya,” ujarnya.

    Imtiaz Gul, pakar keamanan dan direktur eksekutif Center for Research and Security Studies di Islamabad, memiliki pandangan serupa.

    “Pakistan akan menghadapi ancaman yang semakin besar dari meningkatnya militansi TTP setelah bentrokan dengan Afganistan,” katanya kepada DW. “Hal ini menuntut penguatan operasi kontra-terorisme dan kemampuan intelijen untuk menghadapi ancaman dan memberantas terorisme.”

    Apa upaya meredakan ketegangan?

    Pemerintah Pakistan, Mei 2025 lalu mengumumkan akan meningkatkan hubungan diplomatik dengan Taliban Afganistan dengan menunjuk seorang duta besar untuk Kabul, meski Pakistan belum secara resmi mengakui pemerintahan Taliban.

    Kedua negara juga memiliki ikatan sejarah, budaya, dan hubungan antarmasyarakat yang erat.

    Jutaan warga Afganistan yang melarikan diri dari perang selama 40 tahun terakhir, sebelumnya telah menemukan tempat berlindung di Pakistan.

    Namun, di tengah hubungan yang memburuk dengan Taliban Afganistan, pemerintah Pakistan memulai program besar-besaran untuk memulangkan sekitar 4 juta warga Afghanistan yang tinggal di Pakistan pada 2023 silam.

    Sejak itu, Pakistan telah mendeportasi lebih dari 800.000 warga Afghanistan. Hal ini menambah ketegangan hubungan dengan Kabul.

    “Waktunya kepemimpinan yang bijaksana”

    Samad mengatakan, kedua belah pihak seharusnya mengadakan pembicaraan konstruktif untuk menyelesaikan masalah mereka, bukan mengadopsi taktik konfrontatif.

    “Kedua negara memiliki kerentanan dan kekuatan yang unik yang saling bertolak belakang,” ujar Samad. “Afganistan tidak mengkhawatirkan kerugian menghadapi kekuatan militer besar, sedang Pakistan rapuh dari dalam.”

    “Sekarang adalah waktunya untuk kepemimpinan yang bijaksana dan hati-hati serta dialog yang jujur,” tambahnya. “Bukan waktunya untuk tipu daya, manipulasi, atau gertakan.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Agus Setiawan

    Simak juga Video: Taliban Klaim Tewaskan 58 Tentara Pakistan dalam Baku Tembak

    (haf/haf)

  • Tumben, Biden Puji-puji Trump Atas Gencatan Senjata Gaza

    Tumben, Biden Puji-puji Trump Atas Gencatan Senjata Gaza

    Washington DC

    Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberikan pujian untuk Presiden Donald Trump atas upaya yang dilakukan oleh Trump dan pemerintahannya dalam mewujudkan gencatan senjata di Gaza. Pujian Biden untuk Trump ini tergolong langka.

    Biden sebelumnya terus-menerus dikecam oleh Trump yang kembali ke Gedung Putih pada awal tahun ini.

    Dalam pernyataan terbaru, seperti dilansir Al Arabiya, Selasa (14/10/2025), Biden memuji Trump karena berhasil mencapai kesepakatan gencatan senjata Gaza yang “diperbarui”. Dia menyebut bahwa Timur Tengah berada di jalur menuju perdamaian.

    “Saya memberikan penghargaan kepada Presiden Trump dan timnya atas upaya mereka untuk menyelesaikan tugas dalam mencapai kesepakatan gencatan senjata yang diperbarui,” tulis Biden dalam pernyataan di media sosial X.

    “Sekarang, dengan dukungan Amerika Serikat dan dunia, Timur Tengah berada di jalur menuju perdamaian yang saya harap akan bertahan lama dan masa depan bagi Israel dan Palestina dengan tingkat perdamaian, martabat, dan keamanan yang setara,” ucap Biden.

    Dalam pernyataannya, Biden juga memberikan penghargaan untuk pemerintahannya atas upaya yang telah dilakukan selama dua tahun terakhir, setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang Gaza.

    “Pemerintahan saya bekerja tanpa henti untuk memulangkan para sandera, memberikan bantuan kepada warga sipil Palestina, dan mengakhiri perang,” tulis Biden dalam pernyataannya.

    Di bawah pemerintahan Biden, mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken melakukan perjalanan hingga belasan kali ke Timur Tengah setelah serangan Hamas pada Oktober 2023.

    Blinken berusaha mendesak kedua belah pihak untuk menerima gencatan senjata sementara Israel terus menggempur Jalur Gaza.

    Israel dan Hamas akhirnya menyetujui gencatan senjata pada Januari 2025 sebelum Biden meninggalkan jabatannya, dengan utusan baru Trump turut mendukung upaya diplomasi tersebut.

    Namun pada Maret lalu, Israel melanjutkan operasi militer besar-besaran di wilayah Jalur Gaza dan menutup semua akses masuk untuk bantuan makanan, yang memicu kondisi kemanusiaan mengerikan di wilayah tersebut, yang membuat PBB menyatakan bencana kelaparan.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Iran Sindir Seruan Perdamaian Trump di Depan Parlemen Israel

    Iran Sindir Seruan Perdamaian Trump di Depan Parlemen Israel

    Teheran

    Pemerintah Iran menyindir seruan perdamaian yang dilontarkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump saat berpidato di hadapan parlemen Israel. Teheran menilai seruan perdamaian dari Trump itu tidak konsisten dengan tindakan-tindakan Washington, merujuk pada serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran pada Juni lalu.

    “Keinginan untuk perdamaian dan dialog yang disampaikan Presiden AS bertentangan dengan perilaku bermusuhan dan perilaku kriminal Amerika Serikat terhadap rakyat Iran,” kata Kementerian Luar Negeri Iran dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Selasa (14/10/2025).

    Pada pertengahan Juni lalu, Israel melancarkan operasi pengeboman yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Iran, dengan menghantam fasilitas nuklir dan militer serta kawasan permukiman hingga menewaskan lebih dari 1.000 orang.

    Perang selama 12 hari dengan Israel itu diwarnai keterlibatan AS yang melancarkan serangan udara terhadap fasilitas nuklir utama Iran. Perang itu menggagalkan perundingan nuklir tingkat tinggi yang pada saat itu berlangsung antara Teheran dan Washington.

    Iran membalas dengan rentetan serangan rudal dan drone yang menewaskan puluhan orang di Israel. Pertempuran itu diakhiri dengan gencatan senjata yang berlaku sejak 24 Juni lalu.

    Dalam pidato di Knesset, parlemen Israel, pada Senin (13/10) waktu setempat, Trump mengatakan dirinya menginginkan kesepakatan damai dengan Iran. Trump bahkan menyebut keputusan akhir berada di tangan Teheran untuk mencapai kesepakatan apa pun.

    “Kami siap ketika Anda siap, dan ini akan menjadi keputusan terbaik yang pernah dibuat Iran, dan itu akan terjadi,” kata Trump merujuk pada kesepakatan dengan Iran, seperti dilansir Reuters.

    “Tangan persahabatan dan kerja sama terbuka. Saya mengatakan kepada Anda, mereka (Iran-red) ingin membuat kesepakatan… akan sangat bagus jika kita bisa membuat kesepakatan,” ucapnya dalam pidato di hadapan anggota Knesset.

    Pemerintah Iran, dalam sebuah pernyataan menanggapi seruan Trump tersebut.

    “Bagaimana mungkin satu pihak menyerang wilayah permukiman dan fasilitas nuklir suatu negara di tengah negosiasi politik, menewaskan lebih dari 1.000 orang, termasuk perempuan dan anak-anak yang tidak bersalah, lalu menuntut perdamaian dan persahabatan?” tanya Kementerian Luar Negeri Iran.

    Trump juga mengatakan bahwa “tidak ada yang lebih bermanfaat” bagi kawasan selain para pemimpin Iran “menolak teroris, berhenti mengancam tetangga mereka, berhenti mendanai proksi militan mereka, dan akhirnya mengakui hak Israel untuk eksis”.

    Teheran membalas dengan menyebut pernyataan Trump itu “tidak bertanggung jawab dan memalukan”, serta menuduh AS sebagai “produsen utama terorisme dan pendukung rezim Zionis yang merupakan teroris dan pelaku genosida”.

    “Amerika Serikat… tidak memiliki wewenang moral untuk menuduh pihak lainnya,” tegas Kementerian Luar Negeri Iran.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • 2
                    
                        Ironi Diplomasi Prabowo, antara Perdamaian Gaza dan Terkuburnya Solusi Dua Negara
                        Nasional

    2 Ironi Diplomasi Prabowo, antara Perdamaian Gaza dan Terkuburnya Solusi Dua Negara Nasional

    Ironi Diplomasi Prabowo, antara Perdamaian Gaza dan Terkuburnya Solusi Dua Negara
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    KEHADIRAN
    Presiden Prabowo Subianto di Sharm El-Sheikh, Mesir, dalam Konferensi Perdamaian Gaza (Gaza Peace Summit) menjadi salah satu momen penting dalam diplomasi luar negeri Indonesia.
    Dalam forum internasional yang dihadiri puluhan pemimpin dunia tersebut, Prabowo tampil di panggung bersama tokoh-tokoh besar seperti Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, serta sejumlah pemimpin negara Timur Tengah lainnya.
    Bagi publik dalam negeri, penampilan tersebut dipandang sebagai kelanjutan dari pidato tegasnya di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa waktu lalu, ketika Prabowo menyerukan agar perdamaian di Gaza segera diwujudkan dan solusi dua negara dijadikan patokan utama penyelesaian konflik Israel-Palestina.
    Namun, di balik kemeriahan diplomasi dan tepuk tangan di ruang konferensi Mesir tersebut, terdapat ironi yang cukup mendalam dan tragis.
    “Gaza Peace Summit”, yang juga dikenal sebagai peluncuran resmi “Gaza Plan”, sebenarnya tidak sepenuhnya menjawab semangat yang terkandung dalam pidato Presiden Prabowo Subianto di New York.
    Bahkan, jika ditelisik lebih jauh, rencana damai yang didorong Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya tersebut justru berpotensi menjauhkan cita-cita dua negara yang selama ini menjadi fondasi diplomasi Indonesia di dalam isu Palestina.
    Pertemuan di Mesir menjadi bagian dari upaya besar Presiden Donald Trump untuk menegaskan kembali perannya sebagai “pembawa perdamaian” di Timur Tengah di satu sisi dan pembukaan pintuk masuk reintervensi Amerika di sana di sisi lain, yang dalam beberapa waktu belakangan mulai diragukan banyak pihak.
    Dalam pidato pembukaannya, Trump memuji sejumlah pemimpin dunia yang hadir, termasuk Prabowo.
    “He’s a tough man, a great leader from Indonesia,” ujar Trump di hadapan kamera, sebuah komentar yang segera menjadi tajuk utama media di Indonesia.
    Dalam konteks diplomasi, sanjungan tersebut tentu memiliki nilai simbolik dan menandakan pengakuan terhadap peran Indonesia di panggung internasional.
    Prabowo terlihat tersenyum dan tampak akrab berbincang dengan Trump, bahkan sempat terekam meminta kesempatan untuk bertemu dengan Eric Trump, putra mantan presiden AS tersebut.
    Bagi sebagian pengamat, momen tersebut menggambarkan langkah Prabowo dalam membangun jejaring politik global, terutama dengan Amerika Serikat, yang masih menjadi aktor utama di dalam politik Timur Tengah.
    Namun, di sisi lain, sanjungan Trump tidak otomatis berarti dukungan terhadap visi Indonesia mengenai Palestina.
    Rencana damai yang diinisiasi Washington dan disetujui oleh Mesir, Uni Eropa, serta sejumlah negara Arab yang moderat tersebut lebih berfokus pada stabilisasi keamanan dan rekonstruksi fisik Gaza pasca-perang, ketimbang membicarakan masa depan politik rakyat Palestina.
    Dalam dokumen yang dibahas di konferensi tersebut, disebutkan pembentukan “Board of Peace for Gaza”, semacam badan multinasional yang akan mengawasi proses rekonstruksi dan transisi pemerintahan sementara di wilayah itu.
    Namun, baik Hamas maupun Otoritas Palestina (PA) praktis tidak memiliki peran signifikan dalam struktur baru tersebut. Jadi rencana ini sejatinya adalah pengambilalihan kekuasaan di wilayah Gaza dari Hamas maupun Otoritas Palestina.
    Dengan kata lain, rakyat Palestina kembali menjadi objek dari proyek perdamaian yang disusun oleh pihak luar, bukan subyek yang menentukan nasibnya sendiri.
    Gaza, dalam rancangan tersebut, akan dikelola oleh dewan internasional yang beranggotakan perwakilan dari Mesir, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan beberapa negara lain yang selama ini dikenal bersahabat dengan Israel.
    Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa “Board of Peace” pada akhirnya akan berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan Tel Aviv, mengingat sebagian besar anggota dewan adalah negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik, bahkan hubungan strategis erat dengan Israel.
    Masalahnya, Prabowo tampaknya melihat kehadirannya di Mesir sebagai bentuk kesinambungan dari pidato idealisnya di PBB.
    Dalam pandangannya, partisipasi Indonesia di konferensi tersebut merupakan kesempatan untuk menunjukkan bahwa negeri ini siap berperan aktif dalam perdamaian global, terutama di dunia Islam.
    Namun, yang tampak dalam dinamika forum tersebut adalah bahwa “Gaza Plan” tidak dibangun di atas prinsip keadilan politik bagi rakyat Palestina, melainkan atas dasar kompromi strategis antara kekuatan besar dunia untuk mengakhiri perang tanpa menyentuh akar masalahnya.
    Amerika Serikat, bukan Indonesia dan bukan Prabowo Subianto, memanfaatkan momentum itu untuk memproyeksikan diri sebagai “pembawa perdamaian”. Sementara Mesir ingin memperkuat posisinya sebagai mediator utama kawasan.
    Israel tampak sangat diuntungkan, karena dengan adanya Gaza Plan, Tel Aviv tidak perlu lagi berhadapan langsung dengan Hamas atau PA dalam negosiasi politik.
    Dalam rancangan baru tersebut, keamanan di Gaza dijamin oleh pasukan internasional di bawah pengawasan
    Board of Peace
    , sedangkan pembangunan ekonomi dan sosialnya akan dibiayai oleh konsorsium donor Barat.
    Di permukaan, semua ini tampak positif. Perang berakhir, bantuan mengalir, dan Gaza mulai dibangun kembali.
    Namun secara fundamental, rencana tersebut justru berpotensi memperkuat realitas “solusi satu negara”, yakni situasi di mana Israel tetap menjadi kekuatan dominan, mengendalikan keamanan dan ruang gerak Palestina, sementara entitas Palestina hanya eksis dalam bentuk administratif dan ekonomi, tanpa kedaulatan politik yang nyata.
    Inilah paradoks besar yang menyelimuti kehadiran Presiden Prabowo di Mesir. Di satu sisi, ia hadir untuk merayakan langkah menuju perdamaian. Di sisi lain, ‘tanpa disadarinya’, konferensi tersebut juga menjadi simbol terkuburnya impian yang selama ini ia justru gaungkan, yakni solusi dua negara yang hidup berdampingan secara damai dan setara di antara dua negara.
    Perlu pula diingat bahwa gagasan dua negara bukan sekadar isu diplomatik, tetapi juga menyangkut legitimasi moral perjuangan rakyat Palestina.
    Selama tujuh dekade, berbagai resolusi PBB telah menegaskan bahwa solusi dua negara merupakan jalan paling adil untuk menyelesaikan konflik di kawasan tersebut.
    Namun, dengan realitas politik di lapangan, terus meluasnya permukiman ilegal Israel di Tepi Barat (West Bank), fragmentasi internal di tubuh Palestina, dan absennya kemauan politik dari pihak Israel, konsep tersebut sesungguhnya sudah semakin kehilangan pijakan.
    “Gaza Plan” yang diusung dalam konferensi di Mesir hanya mempercepat proses tersebut. Gaza Plan menormalisasi keadaan pasca-perang tanpa memberikan kedaulatan sejati bagi rakyat Palestina.
    Dalam konteks ini, pujian Donald Trump terhadap Prabowo sebagai “tough man” mungkin terdengar kontras dengan kenyataan diplomatik yang terjadi.
    Kekuatan sejati seorang pemimpin bukan hanya terletak pada keberaniannya hadir di forum internasional, melainkan pada kemampuannya menjaga prinsip yang diyakininya di tengah tekanan geopolitik.
    Presiden Prabowo memang tampil percaya diri di Mesir. Namun, di balik senyum diplomatik dan foto bersama, sulit menampik bahwa posisi Indonesia nyaris tidak memiliki ruang tawar dalam menentukan arah kebijakan perdamaian yang sesungguhnya.
    Lebih jauh, euforia kehadiran Indonesia di konferensi tersebut berpotensi mengaburkan peran kritis yang seharusnya diambil, terutama sebagai penyeimbang moral yang mengingatkan dunia bahwa perdamaian sejati tidak mungkin lahir tanpa keadilan.
    Ketika dunia bertepuk tangan menyambut gencatan senjata dan rencana rekonstruksi, siapa yang menjamin bahwa rakyat Gaza akan benar-benar merdeka menentukan masa depannya sendiri?
    Siapa yang bisa memastikan bahwa mereka bukan hanya pekerja dalam proyek besar pembangunan yang dikendalikan oleh kekuatan asing?
    Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur, karena jika tidak, konferensi seperti yang telah berlangsung di Mesir itu hanya akan menambah daftar panjang diplomasi simbolik yang tidak menyentuh akar persoalan.
    Perdamaian yang dibangun di atas ketimpangan politik akan tetap rapuh, dan cepat atau lambat, konflik baru akan muncul dalam bentuk lain.
    Presiden Prabowo, sebagai pemimpin baru Indonesia, tentu memiliki ambisi besar untuk menjadikan negaranya pemain penting dalam percaturan global.
    Namun dalam isu Palestina, ambisi tersebut seharusnya tidak menjauhkan Indonesia dari nilai-nilai dasar yang telah menjadi bagian dari politik luar negeri sejak era Presiden Soekarno, yakni menolak penjajahan dalam bentuk apa pun dan memperjuangkan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
    Kehadiran Prabowo di Mesir memang memberi warna baru dalam diplomasi Indonesia, tetapi juga mengingatkan bahwa politik luar negeri yang aktif tidak boleh kehilangan arah moralnya.
    Perdamaian bukan sekadar berhentinya perang, melainkan hadirnya keadilan. Dan keadilan, dalam konteks Palestina, hanya mungkin terwujud jika rakyatnya diberi hak penuh untuk membangun negaranya sendiri, bukan sekadar menjadi objek dari proyek-proyek damai yang ditentukan oleh orang lain.
    Pendeknya, “Gaza Plan” yang hari ini dirayakan dunia, berpotensi bisa menjadi paradoks sejarah yang menandai berakhirnya perang di Gaza, tapi sekaligus menandai semakin jauhnya solusi dua negara dari kenyataan.
    Dan di tengah gemuruh tepuk tangan di ruang konferensi Sharm El-Sheikh, mungkin hanya sedikit yang menyadari bahwa apa yang disebut sebagai perdamaian, sesungguhnya sedang mengubur cita-cita kemerdekaan Palestina secara perlahan dengan cara yang tampak damai, tapi secara moral menyesakkan.
    Bahkan, yang paling berbahaya dari semua ini adalah jika “Gaza Plan” dan konferensi di Mesir hanya menjadi panggung unjuk peran personal bagi para pemimpin dunia untuk menaikkan reputasi politik masing-masing.
    Jika Trump menjadikannya batu loncatan menuju legitimasi politik baru, jika Presiden el-Sisi menggunakannya untuk memperkuat citra Mesir sebagai penjaga stabilitas regional, dan jika Prabowo Subianto memaknainya sebagai bukti pengakuan dunia atas kepemimpinannya, maka yang dikorbankan bukan hanya prinsip keadilan, tetapi juga kedaulatan rakyat Palestina itu sendiri.
    Padahal perdamaian sejati tidak boleh lahir dari ambisi pribadi dan diplomasi pencitraan, tapi harus tumbuh dari keberanian moral untuk memastikan bahwa rakyat Palestina menjadi subyek utama dari masa depan mereka sendiri, bukan sekadar latar belakang bagi reputasi global para pemimpin dunia, termasuk Presiden Prabowo.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PM Ukraina akan Kunjungi Washington Bahas Dukungan Militer Serta Sanksi Rusia

    PM Ukraina akan Kunjungi Washington Bahas Dukungan Militer Serta Sanksi Rusia

    JAKARTA – Delegasi Ukraina yang dipimpin oleh Perdana Menteri Yulia Svyrydenko akan mengunjungi Washington untuk membahas penguatan pertahanan dan ketahanan energi Kyiv.

    Ukraina tengah mencari dukungan lebih lanjut dari AS untuk upaya perangnya melawan Rusia, seiring pasukan Kremlin meningkatkan serangan terhadap fasilitas energi di seluruh negeri dan terus maju di medan perang.

    Kepala Staf Presiden Volodymyr Zelenskyy, Andriy Yermak mengatakan kedua pihak juga akan membahas sanksi yang lebih kuat terhadap Rusia, tindakan yang menurut Zelenskyy penting untuk memaksa Moskow ke meja perundingan.

    “Tujuan akhir tetap sama – perdamaian yang adil dan abadi!” tulisnya dilansir Reuters, Senin, 13 Oktober.

    Delegasi tersebut juga akan mencakup Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Rustem Umerov.

  • Bos IMF Bilang Bunyikan Alarm Bahaya, Jangan Lupa Ingatkan Pemerintah!

    Bos IMF Bilang Bunyikan Alarm Bahaya, Jangan Lupa Ingatkan Pemerintah!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kebanyakan negara belum memiliki dasar hukum dan etika yang memadai untuk menghadapi kemajuan pesat teknologi dan adopsi kecerdasan buatan (AI). Oleh karena itu, IMF mendorong agar masyarakat sipil ramai-ramai memberi peringatan ke pemerintah negara masing-masing.

    Managing Director IMF Kristalina Georgieva mengatakan revolusi teknologi AI yang tumbuh pesat sangat didominasi oleh negara ekonomi maju, terutama Amerika Serikat.

    Beberapa negara berkembang, termasuk China, memiliki kemampuan untuk memanfaatkan teknologi AI di perekonomian mereka. Namun, kebanyakan negara berkembang jauh tertinggal dan tak mampu memanfaatkan AI dengan optimal.

    Ia mengaku bahwa IMF “lumayan cemas” terhadap jurang antara negara ekonomi maju dan negara pendapatan rendah terkait kesiapan menghadapi dampak AI. Jurang tersebut, menurutnya, makin lebar sehingga negara berkembang kian sulit untuk mengejar ketertinggalan.

    Pernyataan itu disampaikan oleh Georgieva kepada perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dalam Pertemuan Tahunan IMF dan World Bank di Washington DC, Amerika Serikat, seperti dikutip dari Reuters.

    Beberapa hari sebelumnya, Georgieva juga memberi peringatan soal valuasi pasar finansial yang serupa dengan bubble dot.com 25 tahun silam. Ia berpendapat valuasi yang ditopang oleh AI di pasar saham bisa memukul pertumbuhan ekonomi dunia jika ada pergeseran sentimen investor. Perubahan di pasar saham di negara maju ini bisa berdampak buruk ke perekonomian di negara berkembang.

    IMF mendorong agar negara ekonomi berkembang fokus dalam memperluas infrastruktur digital dan kemampuan sumber daya manusia. Oleh karena itu, IMF mengembangkan indeks kesiapan AI yang mengukur tiap negara lewat empat aspek yaitu infrastruktur, SDM, inovasi, serta regulasi dan etika.

    “Kebanyakan tertinggal dalam hal regulasi dan etika. Fondasi aturan etika untuk AI untuk masa depan masih dalam pengembangan,” kata Georgieva. “Bunyikan alarm jika negara Anda masih tertinggal.”

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Momen Prabowo Minta bertemu dengan Putra Donald Trump di Sela KTT Gaza di Mesir

    Momen Prabowo Minta bertemu dengan Putra Donald Trump di Sela KTT Gaza di Mesir

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto meminta kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump agar dapat bertemu dengan putra Trump, Eric, yang menjabat sebagai wakil presiden eksekutif di Trump Organization.

    Permintaan tersebut terdengar melalui mikrofon yang masih aktif setelah Trump menyampaikan pidato pada KTT yang berfokus pada situasi Gaza di Sharm el-Sheikh, Mesir, Senin (13/10/2025) waktu setempat.

    Dalam rekaman audio dan cuplikan video yang dikutip dari Reuters pada Selasa, (14/10/2025) keduanya tampak tidak menyadari bahwa percakapan mereka sedang terekam secara langsung.

    Trump dan Prabowo berbincang di sela-sela pertemuan para pemimpin dunia setelah diumumkannya kesepakatan gencatan senjata di Gaza.

    Dalam rekaman tersebut, Prabowo terdengar berbicara kepada Trump di belakang podium, menyebut sebuah wilayah yang tidak aman, sebelum kemudian bertanya: “Bisakah saya bertemu Eric?”

    Trump menjawab: “Saya akan meminta Eric menghubungi Anda. Boleh begitu? Dia anak yang baik. Saya akan suruh Eric menelepon.”

    Prabowo kemudian menimpali: “Kita akan cari tempat yang lebih baik.” Trump pun kemudian kembali akan meminta Eric menelepon Prabowo.”

    Prabowo menambahkan: “Eric atau Don Jr.”

    Baik Gedung Putih maupun Kedutaan Besar Indonesia di Washington belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar terkait percakapan tersebut.

    Belum diketahui secara pasti apakah pembicaraan itu mengacu pada Trump Organization atau berkaitan dengan urusan bisnis keluarga Trump.

    Eric Trump dan saudaranya, Donald Trump Jr., sama-sama menjabat sebagai wakil presiden eksekutif di Trump Organization, perusahaan milik keluarga Trump yang bergerak di bidang properti, perhotelan, dan bisnis berbasis teknologi blockchain.

    Menurut situs resmi perusahaan tersebut, Trump Organization mengelola klub golf di luar Jakarta dan tengah menyiapkan proyek serupa di Bali yang tercantum dengan keterangan segera datang.

    Adapun, pertemuan di Mesir bertujuan memastikan kesepakatan gencatan senjata yang dipimpin AS benar-benar menjadi langkah awal menuju perdamaian permanen di Gaza, Palestina. 

    Trump datang langsung dari Israel, setelah berpidato di parlemen negara itu dan menerima pujian atas perannya dalam kesepakatan yang memicu gencatan senjata akhir pekan lalu.  

    Kesepakatan tersebut juga memungkinkan pembebasan 20 sandera yang masih hidup di Gaza serta hampir 2.000 tahanan Palestina dari penjara Israel.

    Dalam pertemuan dengan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Trump menekankan pentingnya peran Mesir dalam proses perdamaian. 

    “Mesir memainkan peran penting, dan Hamas menghormati kepemimpinan negara ini,” ujarnya.

  • Larangan Media Sosial untuk Remaja di Bawah 16 Tahun di Australia Mustahil Diterapkan!

    Larangan Media Sosial untuk Remaja di Bawah 16 Tahun di Australia Mustahil Diterapkan!

    JAKARTA – Perusahaan raksasa teknologi Alphabet, induk dari Google, pada Senin 13 Oktober menyatakan bahwa akan “sangat sulit” bagi Australia untuk menegakkan undang-undang yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial. Google juga memperingatkan bahwa kebijakan pemerintah tersebut tidak serta-merta membuat anak-anak lebih aman di dunia maya.

    Pemerintah dan perusahaan teknologi di seluruh dunia kini mengamati langkah Australia, yang pada Desember mendatang akan menjadi negara pertama yang memberlakukan larangan penggunaan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun.

    Menurut ketentuan dalam undang-undang baru itu, platform media sosial tidak diwajibkan melakukan verifikasi usia secara langsung. Sebaliknya, mereka diminta menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan data perilaku pengguna untuk memperkirakan usia secara andal.

    Dalam sidang parlemen mengenai aturan keselamatan online pada Senin, Manajer Senior Urusan Pemerintahan YouTube di Australia, Rachel Lord, mengatakan bahwa program pemerintah tersebut memang memiliki niat baik, namun berpotensi menimbulkan “konsekuensi yang tidak diinginkan”.

    “Peraturan ini tidak hanya akan sangat sulit diterapkan, tetapi juga tidak memenuhi janjinya untuk membuat anak-anak lebih aman di dunia maya,” ujar Lord.

    Ketika ditanya apakah Google melobi pejabat di Washington agar membahas isu ini saat Perdana Menteri Australia Anthony Albanese bertemu Presiden AS Donald Trump pekan depan, Direktur Urusan Pemerintahan Google Australia, Stef Lovett, mengatakan bahwa rekan-rekannya di AS sudah mengetahui persoalan yang dihadapi perusahaan di Australia.

    Pada Juli 2025, pemerintah Australia menambahkan YouTube ke dalam daftar situs yang tercakup oleh undang-undang tersebut, setelah sebelumnya dikecualikan karena popularitasnya di kalangan guru. Keputusan itu diambil menyusul keluhan dari perusahaan teknologi lain. Google berpendapat bahwa YouTube merupakan situs berbagi video, bukan platform media sosial.

    “Peraturan yang dirancang dengan baik dapat menjadi alat efektif untuk memperkuat upaya industri dalam menjaga keamanan anak-anak di dunia maya,” kata Lord. “Namun solusi untuk menjaga anak-anak agar lebih aman bukanlah dengan menjauhkan mereka dari dunia online.”

    Sebaliknya, lanjutnya, alat dan fitur keamanan digital harus digunakan secara optimal untuk melindungi anak-anak, sementara orang tua diberikan kendali yang lebih besar untuk mengawasi aktivitas daring anak mereka.

    Australia, yang khawatir terhadap dampak media sosial terhadap kesehatan mental generasi muda, mengesahkan Online Safety Amendment pada November 2024. Undang-undang itu memberi waktu satu tahun bagi perusahaan untuk mematuhinya, dengan tenggat waktu 10 Desember 2025 untuk menonaktifkan akun pengguna di bawah umur.