kab/kota: Washington

  • Ramai Warga AS Beranjak Jadi Gembel, Bingung Beli Susu Anak atau Rumah

    Ramai Warga AS Beranjak Jadi Gembel, Bingung Beli Susu Anak atau Rumah

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat (AS) merupakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Namun kegemilangan ekonomi Negeri Paman Sam ini tidak begitu nampak dari kesejahteraan warga.

    Mengulas laporan Channel News Asia (CNA), banyak warga AS yang harus hidup dengan ancaman kehilangan tempat tinggalnya. Hal ini disebabkan meroketnya harga sewa maupun membeli sebuah properti.

    Menurut angka dari National Association of Realtors, harga rumah rata-rata di AS telah meningkat sekitar 50% dalam lima tahun terakhir. Mereka juga menemukan bahwa properti kini sangat mahal, relatif terhadap gaji, sehingga seperempat warga menghabiskan lebih dari setengah pendapatan mereka hanya untuk rumah dan utilitas.

    Di sisi lain, warga sewa telah meningkat 19% secara nasional dalam lima tahun terakhir. Para peneliti mengatakan sebanyak tujuh juta orang per tahun menghadapi penggusuran, sering kali karena mereka tidak mampu membayar sewa.

    Fenomena serupa juga nampak dari penelitian Laboratorium Penggusuran di Universitas Princeton, yang menyebut beban perumahan ini telah berdampak pada 250.000 orang, yang akhirnya dalam posisi terancam menjadi gelandangan akibat tidak memiliki rumah..

    “Kami melacak dan mengumpulkan data tentang penggusuran di seluruh negeri. Kami melakukannya karena pemerintah federal tidak, secara sistematis, mengumpulkan atau mengetahui jumlah penggusuran yang terjadi di seluruh negeri setiap tahun,” kata spesialis penelitian senior lab tersebut, Jacob Haas, dikutip Senin (4/11/2024).

    “Ini sedikit titik buta dalam dunia data. Kami tidak tahu berapa banyak keluarga yang harus mengungsi karena tidak mampu membeli rumah setiap tahunnya dari pasar sewa,” tambahnya.

    Susu Anak atau Rumah?

    Saat ini, warga yang terancam dihadapkan pada situasi yang sulit untuk memilih makanan atau rumah. Salah satu warga AS yang merasakan hal ini adalah Zakiya Francis, yang berasal dari Baltimore.

    Francis yang memiliki seorang putri berusia lima tahun dan seorang putra berusia delapan tahun, telah diusir dua kali tahun lalu. Keluarganya tinggal di mobilnya hingga mereka pindah ke apartemen mereka saat ini.

    Ia kini dihadapkan dengan putusan lain karena gagal membayar sewa, dengan Pengadilan Distrik Maryland memberinya waktu hanya satu bulan untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan bantuan sewa. Bila tidak mendapatkan pekerjaan, ia terancam tak memperoleh bantuan sewa.

    “Meskipun saya mendapatkan pekerjaan bagus di masa lalu, saya kehilangan pekerjaan itu karena saya harus memprioritaskan pengasuhan anak daripada pekerjaan,” ungkapnya.

    Buang Air di Jalan-Terjerat Narkoba

    Per tahun 2023, angka tunawisma mencapai 650 ribu jiwa. Selain di Baltimore, mereka terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Philadelphia dan tinggal tanpa sanitasi yang memadai, yang memaksa mereka terkadang buang air kecil dan besar di jalan.

    Hal ini kemudian menimbulkan masalah baru seperti pencurian dan penyalahgunaan narkoba. Mengutip Spring Rescue Mission, sejumlah alasan warga AS menjadi tunawisma adalah kemiskinan, masalah mental, keluar dari tahanan polisi, dan juga kabur dari keluarga dan kerabat.

    Untuk bertahan hidup, sejumlah tunawisma pun berupaya untuk melakukan sejumlah hal, salah satunya pencurian. Bulan lalu, kelompok tunawisma di Oakland, California, melakukan pencurian terhadap kabel listrik milik pemerintah, sementara kasus pencurian makanan di supermarket telah mengalami tren kenaikan di Negara Bagian Washington.

    “Tidak banyak orang yang masuk, mengambil TV, dan berlari keluar pintu depan. Ini adalah jenis kejahatan yang sangat berbeda, yaitu orang-orang yang mencuri barang-barang habis pakai dan barang-barang yang berhubungan dengan anak-anak dan bayi,” kata analis konsultan keamanan Aegis, Jeff Zisner, kepada Seattle Times.

    Selain pemenuhan kebutuhan, narkoba juga menjadi salah satu faktor tingginya pencurian. Sejumlah tunawisma yang mengalami persoalan mental terus mencuri untuk dapat membeli barang haram seperti heroin dan kokain.

    Mantan tunawisma pecandu narkoba, Jared Klickstein, menjelaskan bagaimana ia tinggal di wilayah hotspot tunawisma Los Angeles, Skid Row. Ia mengaku saat itu bekerja ilegal dengan upah hanya sebesar US$ 350, atau yang hari ini bernilai Rp 5,7 juta.

    Uang ini sendiri menurutnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya akan narkoba. Akibatnya, ia terdorong untuk melakukan pencurian dengan mencuri di toko-toko kecil.

    “Kebiasaan heroin dan kokain harian saya menghabiskan biaya ratusan dolar, yang terutama saya dukung melalui pengutilan profesional atau boosting,” ujarnya kepada New York Post.

    Janji Calon Presiden

    Kondisi ini sendiri selalu menjadi perhatian dalam pemilihan presiden AS yang akan diadakan Selasa, 5 November 2024, besok .Baik Wakil Presiden Kamala Harris maupun mantan presiden Donald Trump telah berjanji untuk mengatasi melonjaknya biaya perumahan.

    Harris, kandidat dari Partai Demokrat, telah berjanji untuk membangun 3 juta unit rumah terjangkau baru dan memberikan bantuan bagi pembeli baru untuk mendapatkan kredit uang muka jika ia memenangkan pemilihan.

    Ia juga telah menjanjikan dana inovasi perumahan senilai US$ 40 miliar (Rp 144 triliun) untuk membantu pemerintah daerah membangun lebih banyak rumah terjangkau, menyederhanakan regulasi, dan memperluas bantuan sewa, di antara inisiatif lainnya.

    Sementara itu, Trump dari Partai Republik telah berjanji untuk menurunkan inflasi dan melonggarkan suku bunga hipotek agar lebih banyak rumah dapat dibangun dengan biaya murah. Ia juga mengatakan kebijakan imigrasinya yang ketat akan meredakan permintaan perumahan.

    Namun, para ahli telah memperingatkan bahwa beberapa kebijakan Trump, termasuk tarif, akan memperburuk inflasi.

    (sef/sef)

  • Peneliti Asing Sebut Latihan Gabungan dengan Rusia Tanda Perubahan Kebijakan LN RI

    Peneliti Asing Sebut Latihan Gabungan dengan Rusia Tanda Perubahan Kebijakan LN RI

    GELORA.CO – Untuk pertama kalinya, Indonesia dan Rusia menggelar latihan angkatan laut pada 4 hingga 8 November 2024. Pengamat asing melihat latihan militer ini menandakan bahwa presiden Prabowo Subianto akan mencari peran lebih besar di panggung dunia sebagai bagian dari perubahan kebijakan luar negeri (LN). 

    Pihak TNI Angkatan Laut menyebutkan, latihan itu berlangsung di Laut Jawa dekat pangkalan angkatan laut di Surabaya. “(Ini) merupakan tonggak sejarah latihan bilateral antara TNI AL dan angkatan laut Rusia,” menurut TNI Angkatan Laut dalam pernyataannya, seperti dikutip dari kantor berita AFP.

    Indonesia telah lama mempertahankan kebijakan luar negeri yang netral dan menolak memihak dalam konflik Rusia-Ukraina atau persaingan AS-China, tetapi Prabowo telah menyerukan hubungan yang lebih kuat dengan Moskow meskipun ada tekanan Barat terhadap Jakarta.

    Pada pidato pelantikan, Prabowo berjanji untuk lebih berani di panggung internasional. Pada bulan Juli ia mengunjungi Moskow untuk melakukan pembicaraan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.

    “Ini adalah bagian dari agenda yang lebih luas untuk meningkatkan hubungan dengan siapa pun, terlepas dari blok geopolitiknya, selama ada manfaat bagi Indonesia,” kata Pieter Pandie, peneliti di Pusat Studi Strategis dan Internasional, mengutip AFP.

    Blok ASEAN di Asia Tenggara, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya, menggelar latihan gabungan dengan Rusia pada 2021, namun Jakarta belum pernah menggelar latihan gabungan sendirian dengan Moskow.

    Jakarta memiliki hubungan dagang senilai miliaran dolar dengan Moskow, tetapi impor senjata utama telah terhenti dalam beberapa tahun terakhir. Ini menyusul sanksi Barat terhadap Rusia setelah negara merebut Krimea pada 2014 dan melancarkan serangan militer skala penuh terhadap Ukraina pada 2022.

    Meski demikian, Prabowo tetap mempertahankan kesepakatan jet tempur Rusia senilai US$1,1 miliar yang disepakati pada 2018 ketika ia diangkat menjadi menteri pertahanan setahun kemudian, meskipun ada ancaman sanksi AS. Jakarta juga menolak untuk mengalah ketika negara-negara Barat melobi Indonesia untuk tidak mengundang Rusia dari KTT G20 yang diselenggarakannya pada 2022.

    Prabowo bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Kremlin pada bulan Juli, kemudian mengumumkan latihan angkatan laut gabungan yang menurut para ahli menunjukkan bagaimana Moskow akan tumbuh dalam arti penting sebagai bagian dari kebijakan luar negeri yang lebih luas.

    Dalam latihan ini Moskow mengirim tiga kapal perang kelas korvet, sebuah kapal tanker sedang, sebuah helikopter militer, dan sebuah kapal tunda. “Mereka menegaskan kembali bahwa kami tidak akan mengasingkan satu atau dua negara di arena geopolitik,” kata Anton Aliabbas, asisten profesor di Sekolah Pascasarjana Diplomasi Paramadina.

    Tujuan Berbeda

    Jakarta dan Moskow memiliki tujuan maritim yang berbeda. Indonesia menghadapi ancaman penyelundupan dan pembajakan sementara Rusia mencari sekutu yang bersedia. 

    Pieter mengatakan, ia memperkirakan latihan tersebut tidak akan semaju latihan tahunan Super Garuda Shield yang diselenggarakan Indonesia bersama AS dan sekutu lainnya. “Saya kira ini merupakan fase pengenalan hubungan militer antara keduanya, terutama di bidang angkatan laut,” katanya.

    Namun, latihan militer tersebut mungkin masih menimbulkan kecurigaan Washington, yang telah mencoba mengisolasi Rusia secara diplomatis. Bagi Prabowo, dengan kegiatan ini dapat mengirim pesan tentang kebijakan barunya di awal masa jabatan kepresidenannya, kata Pieter.

    “Secara historis, AS telah menjadi mitra pilihan untuk latihan militer. Namun … Indonesia telah berupaya untuk mendiversifikasi mitranya,” katanya. “Dan saya pikir ada tren yang lebih besar secara keseluruhan.”

  • 10
                    
                        Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel?
                        Internasional

    10 Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel? Internasional

    Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel?
    Tim Redaksi
    GAZA, KOMPAS.com
    – “Di mana orang-orang Arab?! Di mana orang-orang Arab?!”
    Pertanyaan itu dilontarkan seseorang yang muncul dari puing-puing seraya menggendong anak-anak yang sudah meninggal. Dia berteriak tanpa daya ke arah kamera yang menyorotnya.
    Pertanyaan ini terus diulang oleh warga Gaza yang keheranan mengapa orang-orang di negara kawasan Arab tidak melindungi mereka dari pengeboman Israel.
    Setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 menewaskan 1.200 warga Israel terbunuh dan 250 orang lainnya diculik, semua mata langsung tertuju pada Timur Tengah.
    Seberapa jauh pembalasan yang akan dilakukan Israel? Bagaimana penduduk dan pemerintah Arab menanggapi guncangan kemanusiaan yang terjadi di wilayah tersebut?
    Pertanyaan pertama masih belum terjawab: Pengeboman Israel telah menghancurkan Jalur Gaza, merenggut nyawa lebih dari 42.500 warga Palestina, tetapi belum ada titik terang.
    Yang kedua adalah benar: Jika ada orang yang mengharapkan adanya protes besar di ibu kota utama dunia Arab, mereka akan kecewa.
    Adapun pemerintah negara-negara itu, “tanggapannya suam-suam kuku atau tidak sama sekali,” menurut Walid Kazziha, profesor ilmu politik di American University in Cairo (AUC), kepada
    BBC Mundo
    .
    Di luar kritik retoris terhadap Israel atau peran mediasi yang diadopsi oleh pemerintah seperti Qatar atau Mesir yang “murni sebagai perantara dan tidak mendukung Palestina,” kata Kazziha, tak satu pun negara-negara Arab memutuskan hubungan dengan Israel atau melakukan tindakan diplomatik dan tekanan ekonomi apa pun untuk mengakhiri perang.
    Mengapa perjuangan Palestina kehilangan relevansinya di antara pemerintah-pemerintah Arab di wilayah ini? Seperti hampir semua hal di Timur Tengah, jawabannya cukup rumit.
    Wilayah Timur Tengah tidak pernah benar-benar menjadi blok yang utuh dan homogen.
    Sepanjang sejarah, masyarakat Arab telah berbagi rasa identitas, bahasa, dan sebagian besar agama, serta kekhawatiran yang timbul dari pengaruh kolonial Eropa di wilayah tersebut.
    Namun, kepentingan pemerintah mereka terkadang berseberangan.
    Hubungan antara Palestina dan negara-negara Arab juga tidak mudah, terutama dengan negara-negara yang menerima sejumlah besar pengungsi setelah proklamasi Negara Israel pada 1948.
    Namun, perjuangan Palestina juga merupakan faktor pemersatu negara-negara Arab selama beberapa dekade.
    Selama periode ini, negara Israel dipandang “sebagai perpanjangan tangan dari kekuatan kolonial sebelumnya, yang telah menarik diri dari Timur Tengah,” menurut profesor kebijakan publik di Institut Pascasarjana Doha, Tamer Qarmout.
    “Israel sengaja ditempatkan di sana sebagai agen untuk melindungi kepentingan mereka, yang sebelumnya merupakan kepentingan Inggris dan Perancis, dan sekarang kepentingan Amerika Serikat,” ujar Tamer Qarmout kepada
    BBC Mundo
    .
    Perang yang dilancarkan terhadap Israel di masa lalu oleh negara-negara seperti Mesir, Suriah, dan Yordania tidak hanya untuk membela kepentingan nasional mereka, tetapi juga kepentingan Palestina, kata para analis.
    Namun, perang tersebut kini telah berlalu. Mesir dan Yordania telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel beberapa dekade yang lalu.
    Maroko, Uni Emirat Arab dan Bahrain telah menormalisasi hubungan dengan Israel—negara yang hingga beberapa tahun lalu merupakan negara paria di wilayah tersebut.
    Bahkan Arab Saudi pun hampir melakukan hal yang sama sebelum 7 Oktober dan serangan Hamas.
    Bagi Dov Waxman, direktur Y&S Nazarian Center for Israel Studies di University of California, sejak awal konflik hingga hari ini, selama beberapa dekade terakhir, “masing-masing negara Arab mengikuti kepentingannya sendiri”.
    “Mereka berbicara tentang mendukung Palestina dan solidaritas, dan bukan berarti perasaan itu tidak tulus, tetapi pada akhirnya mereka mengikuti kepentingan nasional mereka.”
    “Ada banyak simpati terhadap bencana kemanusiaan yang dihadapi warga Gaza, dan mereka ingin pemerintah mereka berbuat lebih banyak. Mereka ingin hubungan diplomatik diputus. Mereka ingin para duta besar diusir, setidaknya ada tanggapan semacam itu,” ujar Fakhro.
    Namun, hal ini tidak terjadi.
    Menurut Imad K. Harb, direktur Riset dan Analisis di lembaga riset Arab Center di Washington, DC, “Pemerintah Arab telah lama meninggalkan Palestina.”
    Bagi Tamer Qarmout, ada sebuah titik balik yang telah mengubah seluruh dinamika di kawasan ini: pemberontakan rakyat yang mengguncang Timur Tengah dan Afrika Utara antara tahun 2010 dan 2012, yang dikenal dengan sebutan Kebangkitan Arab
    (Arab Spring).
    “Sejak saat itu, gelombang telah berubah sepenuhnya dan kegagalan pemberontakan ini telah membuat kawasan ini berada dalam ketidakpastian: banyak negara yang masih terbenam dalam konflik sipil, seperti Yaman, Suriah, atau Irak,” kata profesor dari universitas di Qatar ini.
    “Dua negara terakhir, yang merupakan negara sentral dan kuat dengan ide-ide politik yang dapat menantang AS, telah lenyap.”
    Di tengah keadaan krisis permamen ini, kendati bersimpati kepada Palestina, masyarakat Arab “merasa tak berdaya”, menurut Qarmout.
    “Mereka sendiri hidup di bawah tirani, otokrasi, dan kediktatoran. Dunia Arab berada dalam kondisi yang menyedihkan, orang-orang tidak memiliki kebebasan atau kemampuan dan aspirasi untuk hidup bermartabat,” kecam Qarmout.
    Meski begitu, respons sosial jauh lebih kuat daripada respons pemerintah, meskipun hal ini berkembang terutama di media sosial.
    Sejak
    Arab Spring
    , jalan-jalan di banyak negara di kawasan ini, seperti Mesir, menjadi terlarang bagi aktivisme.
    Jika dulu pemerintah otoriter mengizinkan masyarakat untuk melampiaskan rasa frustasi mereka dalam aksi demonstrasi membela Palestina, kini mereka khawatir protes semacam itu akan berujung pada hal yang lebih besar.
    Namun, itu bukan satu-satunya hal yang berubah dalam tahun-tahun penuh gejolak ini, ketika jutaan orang Arab turun ke jalan di negara-negara seperti Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Bahrain, dan Maroko untuk menuntut demokrasi dan hak-hak sosial.

    Arab Spring
    benar-benar merupakan guncangan dan mengubah dinamika dan prioritas banyak negara,” kata Qarmout.
    “Beberapa rezim lama tidak ada lagi dan yang lainnya berpikir bahwa mereka akan tertinggal, sehingga mereka panik, melihat ke kiri dan ke kanan dan mencari perlindungan.”
    “Banyak yang percaya pada gagasan yang dijual oleh Amerika Serikat bahwa Israel, sekutunya di kawasan itu, dapat melindungi mereka,” ujarnya.
    Perjanjian itu menjadi kesepakatan hubungan Barhain dan Uni Emirat Arab dengan Israel—perjanjian ini kemudian diikuti oleh Maroko dan Sudan.
    Lalu, dampak perjanjian ini kemudian datang. Washington, misalnya, mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat, yang membuat referendum penentuan nasib sendiri menjadi tidak mungkin.
    “Ketika kita melihat hubungan yang telah dibangun oleh negara-negara ini dengan Israel, kita melihat bahwa pada dasarnya bermuara pada Israel yang menjual sistem untuk memata-matai penduduk mereka sendiri,” kata Walid Kazziha.
    Dugaan kasus spionase menggunakan program Pegasus—yang dikembangkan oleh perusahaan Israel NSO Group—telah mempengaruhi Maroko, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan bahkan Arab Saudi, meskipun tidak memiliki hubungan resmi dengan Israel.
    Menurut
    The New York Times
    , Riyadh membeli program tersebut pada 2017 dan kehilangan akses ke program tersebut setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul pada tahun berikutnya.
    Namun, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman berhasil memulihkan layanan setelah menelepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang melakukan intervensi untuk mengizinkan Saudi menggunakan perangkat lunak itu lagi, demikian laporan surat kabar Amerika tersebut.
    Hubungan Hamas dan Hizbullah dengan Iran juga menimbulkan kecurigaan di negara-negara Arab.
    Bagi negara-negara Teluk, misalnya, Iran adalah ancaman yang lebih besar daripada Israel. Banyak pemerintah Arab “telah mengadopsi narasi Israel dan Amerika bahwa gerakan-gerakan ini adalah perpanjangan tangan Iran di wilayah tersebut, dan bahwa mereka diciptakan untuk menyabotase proyek perdamaian regional dengan mengabaikan Palestina,” kata Qarmout.
    Ini adalah narasi yang didorong oleh sebagian besar media resmi di dunia Arab—sebuah wilayah di mana hampir tidak ada media independen, menurut para analis.
    “Bagi media Saudi, misalnya, perhatian utama bukanlah Palestina, tetapi bagaimana Iran mendapatkan tempat,” Kazziha berpendapat.
    Akan tetapi, negara-negara ini kemudian menjadi waspada terhadap kekuatan gerakan yang terus meningkat.
    “Ketika pintu-pintu tertutup bagi mereka dan tidak ada yang mau memberi mereka senjata untuk melawan Israel, mereka bersedia membantu penjahat untuk mendapatkannya,” tambahnya.
    Hal yang sama berlaku untuk Hizbullah dan kelompok-kelompok lain yang menerima dukungan dari Iran, tetapi juga ingin membela Palestina,
    Menurut Kazziha, ketika Iran dikedepankan sebagai promotor, maka orang-orang Arab tidak lagi menjadi tokoh utama.
    “Saya pikir ada beberapa gerakan Arab yang benar-benar tertarik untuk mendukung Palestina dan bahkan mati untuk mereka, seperti Hizbullah, Houthi di Yaman, dan beberapa gerakan Syiah di Irak,” ujar peneliti AUC tersebut.
    Selain kepentingan geostrategis dan krisis di negara-negara Arab, perjuangan Palestina telah dilupakan seiring berlalunya waktu.
    Konsep-konsep yang pernah membuat jantung Timur Tengah berdegup kencang, seperti pan-Arabisme, kini hanya menjadi gema masa lalu.
    “Sebagian besar generasi muda di wilayah ini bersimpati kepada Palestina, tetapi mereka tidak mengetahui dinamika konflik karena hal-hal tersebut tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah,” jelas Qarmout.
    “Pada 1960-an dan 1970-an, banyak negara Arab yang memiliki kurikulum sekolah yang lengkap tentang Palestina, namun saat ini masyarakat telah berubah dengan kekuatan globalisasi, bahkan identitas,” jelas Qarmout,” katanya.
    Hal yang sama juga terjadi pada para pemimpin baru.
    “Di negara-negara Teluk, misalnya, ada generasi pemimpin baru seperti Mohamed Bin Salman dari Arab Saudi, yang sebagian besar berpendidikan Barat, yang tidak pan-Arab dan tidak melihat Palestina sebagai sebuah isu,” jelas Qarmout.
    “Prioritas mereka berbeda dan begitu pula ambisi mereka,” cetusnya.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • NASA Deteksi Asap Misterius Muncul dari Antartika

    NASA Deteksi Asap Misterius Muncul dari Antartika

    Jakarta

    Sebuah satelit yang mengorbit di atas Bumi baru-baru ini menangkap gambar langka dari fenomena atmosfer yang membuat gletser Antartika tampak berasap.

    Gumpalan ‘sea smoke’ atau asap laut yang bertiup di atas gletser Pine Island biasanya merupakan pemandangan yang dikaburkan oleh awan. Namun pada 10 Oktober 2024, satelit Landsat 8 milik US Geology Survey yang dikembangkan NASA, berhasil menangkap gambar fenomena tersebut, yang sebenarnya adalah kabut yang disebabkan oleh uap yang naik.

    “Gambar yang mencolok ini menggambarkan kekuatan angin,” kata Christopher Shuman, ahli glasiologi di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA, dikutip dari USA Today.

    Gambar tersebut menunjukkan asap laut mengepul di sekitar gletser Pine Island, yang bersama dengan gletser Thwaites di dekatnya, merupakan salah satu jalur utama es yang mengalir dari lapisan es Antartika barat ke Laut Amundsen.

    “Efek berasap yang tampak disebabkan oleh uap yang terbentuk dan naik saat udara dingin bergerak melintasi air yang lebih hangat di tepi gletser karena perbedaan suhu antara es dan air di sekitarnya,” kata Shuman.

    Dalam kasus ini, angin mendorong air dan es laut menjauh dari bagian depan es, yang mendorong air yang relatif hangat untuk menggantikannya dari bawah. Angin juga menendang salju dari permukaan lapisan es yang berdekatan, yang menciptakan penampakan aliran putih di seluruh pemandangan.

    Foto: NASA Earth ObservatoryGletser Pine Island

    Gletser Pine Island dianggap sebagai salah satu gletser yang paling cepat mencair di Antartika. Menurut NASA, gletser tersebut, bersama dengan gletser Thwaites di dekatnya, sama-sama mengandung cukup es untuk menaikkan permukaan laut global sekitar 1,2 meter.

    Yang mengkhawatirkan, gletser ini terus-menerus kehilangan bongkahan es besar selama tiga dekade terakhir, secara teratur retak dan pecah dari gunung es, dan beberapa di antaranya cukup besar sehingga diberi nama sendiri. Pada 2020, misalnya, gunung es berukuran dua kali lipat dari Washington, D.C. pecah dari Pine Island.

    Fenomena angin tidak hanya menciptakan citra yang memukau, tetapi juga dapat membantu para ilmuwan memahami perubahan iklim Antartika, khususnya di sekitar gletser Pine Island.

    Namun, kata ilmuwan, pemahaman tentang sejauh mana salju yang bertiup berkontribusi terhadap hilangnya keseimbangan massa permukaan lapisan es kutub terhambat oleh kesulitan dalam mengumpulkan data berbasis darat dan melakukan pengamatan satelit.

    (rns/agt)

  • VIDEO: Memastikan Otentisitas Bahasa dan Budaya dalam Video Game

    VIDEO: Memastikan Otentisitas Bahasa dan Budaya dalam Video Game

    Versi terbaru salah satu permainan video strategi paling populer, Civilization, akan diluncurkan pada Februari 2025. Video game versi ketujuh ini kembali menekankan akurasi dan otentisitas dalam penggambaran beragam budaya, yang juga melibatkan suku atau bangsa yang ditampilkan dalam permainan. Selengkapnya dilaporkan tim VOA dari Washington, DC.

    Ringkasan

  • Israel vs Iran Memanas, Pesawat Pengebom B-52 Milik AS Tiba di Timur Tengah

    Israel vs Iran Memanas, Pesawat Pengebom B-52 Milik AS Tiba di Timur Tengah

    Jakarta

    Amerika Serikat berjanji akan mengirimkan pesawat tempur B-52 milik mereka ke Timur Tengah (Timteng). Militer Amerika kini mengkonfirmasi pesawat tersebut telah tiba di Timteng.

    “Pesawat pembom B-52 Amerika telah tiba di Timur Tengah,” kata militer AS dilansir AFP, Minggu (3/11/2024).

    Keterangan resmi itu disampaikan pada Sabtu (2/11). Merapatnya pesawat B-52 di Timteng hanya berjarak satu hari setelah pihak Washington mengumumkan penempatan pesawat tersebut sebagai peringatan untuk Iran.

    “Pembom strategis B-52 Stratofortress dari Sayap Bom ke-5 Pangkalan Angkatan Udara Minot tiba di wilayah tanggung jawab Komando Pusat AS,” kata komando militer untuk Timur Tengah dan negara-negara sekitarnya dalam sebuah postingan di media sosial.

    Dilansir kantor berita AFP, Sabtu, (2/11), Amerika Serikat telah mengumumkan pengerahan aset militer tambahan ke Timur Tengah, termasuk kapal perusak pertahanan rudal balistik dan pesawat pengebom jarak jauh B-52. Pengerahan ini disebut sebagai peringatan bagi Iran saat negara itu dan Israel saling serang.

    “Jika Iran, mitra-mitranya, atau proksi-proksinya menggunakan momen ini untuk menargetkan personel atau kepentingan Amerika di kawasan tersebut, Amerika Serikat akan mengambil setiap tindakan yang diperlukan untuk membela rakyat kami,” kata juru bicara Pentagon Mayor Jenderal Pat Ryder dalam sebuah pernyataan.

    Sumber daya tambahan tersebut dikirimkan setelah pengerahan aset pertahanan AS sebelumnya ke Timur Tengah untuk mendukung Israel, termasuk sistem pertahanan rudal THAAD yang dikerahkan ke negara itu akhir bulan lalu, yang dioperasikan oleh pasukan Amerika di darat.

    Merapatnya pesawat pengebom B-52 milik AS di Timteng itu tidak terlepas dari tensi panas yang terjadi antara Israel dan Iran. Israel telah melancarkan serangan besar terhadap Iran pada tanggal 26 Oktober. Serangan itu menghancurkan infrastruktur militer Republik Islam tersebut.

    Adapun Iran telah melancarkan dua serangan besar terhadap Israel pada tahun 2024. Serangan pertama dilakukan pada bulan April setelah serangan terhadap konsulatnya di Damaskus, Suriah yang disalahkan pada Israel. Serangan lainnya pada bulan Oktober lalu, yang menurut Teheran merupakan respons atas pembunuhan para pemimpin kelompok Hizbullah dan Hamas yang didukungnya.

    (ygs/gbr)

  • AS-Rusia di Ambang Perang

    AS-Rusia di Ambang Perang

    Jakarta

    Amerika Serikat (AS) dan Rusia kini diambang perang. Dua negara itu kini sangat dekat untuk terlibat dalam konflik militer langsung.

    Pernyataan mengenai suasana panas dua negara ini dilontarkan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Sergey mengucapkan itu ketika diwawancara oleh media Turki.

    Laporan wawancaranya pun diterbitkan pada Jumat (1/11) kemarin. Sergey mengatakan bahwa Rusia dan AS sedang di ambang konflik militer.

    “Di bawah presiden saat ini (Joe Biden), yang telah membawa lingkaran Russophobia (sentimen anti-Rusia) di AS ke kesimpulan logisnya, negara-negara kami berada di ambang konflik militer langsung,” katanya kepada harian Hurriyet, tanpa merinci lebih lanjut, dilansir AFP dan Al Arabiya, Sabtu (2/11/2024).

    Lavrov juga menegaskan konflik di Timur Tengah hanya dapat diselesaikan dengan menghentikan kekerasan dan menciptakan kondisi untuk pembentukan negara Palestina yang merdeka. “Tidak akan ada pemenang dalam perang yang sedang berlangsung,” ujarnya.

    Pilpres AS Tak Akan Banyak Pengaruh

    Menurutnya, Pilpres AS yang akan berlangsung minggu depan juga tidak akan terlalu berpengaruh. Menurutnya, apapun hasil Pilpres juga tidak akan mengubah apapun.

    “Siapa pun yang memenangkan pemilihan, kami tidak berpikir kecenderungan anti-Rusia Amerika Serikat dapat berubah,” imbuhnya.

    Meskipun Trump sebelumnya telah menyatakan dengan jelas bahwa ia menyukai Presiden Rusia Vladimir Putin, kedua pria itu tidak dekat dan telah mempertahankan hubungan yang sengaja dibuat ambigu.

    Pekan lalu, Putin mengatakan hubungannya dengan Washington akan bergantung pada sikap yang diambil setelah pemilihan presiden. Putin juga menyambut baik pernyataan Trump tentang keinginannya untuk mengakhiri konflik Ukraina sebagai pernyataan yang “tulus”.

    (zap/ygs)

  • Elon Musk Ternyata Imigran Gelap, Status Warga Negara AS Bisa Dicabut

    Elon Musk Ternyata Imigran Gelap, Status Warga Negara AS Bisa Dicabut

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kewarganegaraan Amerika Serikat Elon Musk terancam dicabut. Ia juga akan dituntut pidana jika berbohong kepada pemerintah karena melanggar proses imigrasi.

    Musk lahir dan dibesarkan di Afrika Selatan, kemudian bermigrasi ke Kanada, sebelum akhirnya menetap di AS dan menjadi warga negara di sana.

    Saat ini ia telah menghabiskan lebih dari US$100 juta untuk mendukung kampanye Donald Trump dalam Pilpres AS. Namun ia secara pribadi telah menjelek-jelekkan para imigran.

    Analisis Bloomberg baru-baru ini menemukan bahwa Musk telah mem-posting sekitar 1.300 kali di X tahun ini tentang imigrasi dan penipuan pemilih.

    Banyak dari postingan tersebut mempromosikan teori konspirasi dan menyebarkan informasi yang salah yang menyatakan bahwa Partai Demokrat berusaha mengganti pemilih kulit putih dengan imigran gelap yang suaranya mereka kendalikan.

    Bos Tesla itu juga menggambarkan imigran sebagai pelanggar hukum yang berbahaya, demikian dikutip dari Wired, Jumat (1/11/2024).

    Namun, awal minggu ini, The Washington Post melaporkan bahwa Musk sendiri adalah seorang imigran yang tampaknya telah melanggar hukum.

    Pada 1990-an, ia bekerja secara ilegal di Amerika Serikat, menurut Washington Post yang mengutip mantan rekan bisnis, catatan pengadilan, dan dokumen perusahaan.

    Pada 1995, Musk kemudian diterima di sekolah pascasarjana di Stanford. Tapi alih-alih mendaftar kuliah ia malah bekerja pada perusahaan rintisan layanan daring yang akhirnya dikenal sebagai Zip2.

    Pada 1996, investor membuat perjanjian pendanaan dengan syarat Musk dan saudaranya Kimbal, yang telah menyatakan bahwa kedua bersaudara itu adalah “imigran ilegal, memperoleh izin untuk bekerja di AS dalam waktu 45 hari.

    “Status imigrasi mereka tidak seperti yang seharusnya agar mereka dapat bekerja secara legal menjalankan perusahaan di AS,” kata anggota dewan Zip2 Derek Proudian kepada Washington Post.

    Musk menyangkal bahwa ia pernah bekerja secara ilegal di AS. Pengacaranya, Alex Spiro, dan juru bicara X tidak membalas permintaan komentar.

    Ia mengklaim bahwa pada 1995 ia berstatus sebagai mahasiswa. Saat itu ia berada di AS dengan visa J-1, yang kemudian “beralih” ke visa H1-B.

    Namun, dalam email 2005 yang dimasukkan sebagai bukti dalam gugatan pencemaran nama baik yang kini telah ditutup di California, ia menulis bahwa ia telah mendaftar ke Stanford karena ia tidak memiliki hak hukum untuk tinggal di negara tersebut.

    Musk kemudian dilaporkan tidak mendaftar di Stanford, melainkan mengerjakan proyek yang kemudian menjadi Zip2.

    Jika sesuai aturan, Musk tidak akan memiliki hak untuk bekerja pada saat itu dan harus meninggalkan negara tersebut.

    Melebihi masa berlaku visa pelajar merupakan praktik yang relatif umum. Namun, bekerja tanpa izin dan berbohong tentang hal itu selama proses imigrasi, menjadi tindakan melanggar hukum AS.

    Stephen Yale-Loehr, seorang profesor di Sekolah Hukum Cornell dan direktur fakultas Program Hukum dan Kebijakan Imigrasi, mengatakan tidak jelas apakah jika Musk bekerja di AS tanpa izin dan menyatakan tidak melakukannya, hal itu akan dianggap cukup penting untuk mencabut kewarganegaraannya.

    Namun, katanya, atas dasar hukum semata, hal ini akan membenarkan pencabutan kewarganegaraan, karena jika dia mengatakan yang sebenarnya, dia tidak akan memenuhi syarat untuk mendapatkan H1-B, green card, atau naturalisasi.

    (fab/fab)

  • Korut-Rusia Kian Erat Picu Kekhawatiran AS, China Bilang Gini

    Korut-Rusia Kian Erat Picu Kekhawatiran AS, China Bilang Gini

    Beijing

    Hubungan yang semakin erat antara Korea Utara (Korut) dan Rusia memicu kekhawatiran Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Washington mengingatkan bahwa 8.000 tentara Korut sudah berada di area perbatasan Rusia dan siap bertempur melawan pasukan Ukraina.

    Pemerintah China, menanggapi kekhawatiran tersebut, menegaskan bahwa hubungan yang terjalin antara Korut dan Rusia bukan menjadi urusan Beijing.

    “Korea Utara dan Rusia merupakan dua negara berdaulat yang independen. Cara mereka mengembangkan hubungan bilateral adalah urusan mereka sendiri,” ucap juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, seperti dilansir AFP, Jumat (1/11/2024).

    Dalam mengupayakan keuntungan dalam invasi besar-besaran ke Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin telah mendatangkan pasukan dan perangkat keras militer dari Korut. Ini menjadi momen pertama kalinya, selama lebih dari satu abad terakhir, bagi Moskow mengundang pasukan asing ke wilayahnya.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken, dengan mengutip intelijen Washington, menyebut sekitar 8.000 tentara Korut di antaranya, dari 10.000 tentara yang diyakini kini berada di wilayah Rusia, telah bergerak menuju ke wilayah perbatasan Kursk.

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengecam apa yang disebutnya sebagai sikap diam dari sekutu-sekutunya soal pengerahan pasukan Korut ke Rusia. Zelensky bahkan mengakui dirinya terkejut dengan “bungkamnya” China.

    “Posisi China yang mengharapkan berbagai pihak akan mendorong diredakannya situasi dan mengupayakan solusi politik terhadap krisis Ukraina, tidak berubah,” tegas Lin dalam pernyataannya.

    Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.

  • Arab Saudi Tegaskan Tak Ada Normalisasi Israel Tanpa Negara Palestina

    Arab Saudi Tegaskan Tak Ada Normalisasi Israel Tanpa Negara Palestina

    Riyadh

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, mengecam tindakan Israel yang disebutnya “merendahkan” nyawa rakyat Palestina. Pangeran Faisal pun kembali menegaskan posisi Riyadh, bahwa tidak akan ada normalisasi hubungan dengan Israel tanpa adanya negara Palestina.

    “Tingkat kehancuran di Gaza dan direndahkannya nyawa rakyat Palestina akan menciptakan siklus yang bertentangan dengan kepentingan semua orang,” ujar Pangeran Faisal dalam wawancara dengan Inisiatif Investasi Masa Depan (FII) di Riyadh, seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (1/11/2024).

    Diperkirakan lebih dari 40.000 warga Palestina tewas akibat serangan-serangan Israel di Jalur Gaza sejak Oktober tahun lalu, setelah Hamas menyerang negara Yahudi tersebut. Militer Tel Aviv terus menggempur Jalur Gaza dengan dalih membalas Hamas.

    Israel juga secara rutin memblokir bantuan kemanusiaan untuk masuk ke wilayah Jalur Gaza. Situasi ini berpuncak saat Amerika Serikat (AS) memperingatkan sekutunya, jika lebih banyak bantuan tidak diperbolehkan masuk, maka Washington tidak mengambil tindakan khusus sebagai tanggapan.

    Kritikan menghujani AS dan pemerintahan Presiden Joe Biden yang disebut gagal dalam mengendalikan respons Israel, sekutunya, terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu dan mencegah apa yang disebut banyak pihak sebagai genosida terhadap rakyat Palestina.

    Saat ditanya apakah komentarnya merujuk pada genosida, Pangeran Faisal mengatakan bahwa blokade terhadap akses apa pun untuk barang kemanusiaan, dengan serangan militer Israel terus berlanjut dan tidak ada jalur bagi warga sipil untuk mencari perlindungan atau zona aman, “hanya dapat digambarkan sebagai bentuk genosida”.

    Meski perang terus berkecamuk selama setahun terakhir, pemerintahan Biden terus menggembar-gemborkan kemungkinan normalisasi antara Saudi dan Israel.

    Pangeran Faisal menegaskan bahwa: “Bukan hanya sebuah risiko; hal ini tidak akan terjadi sampai kita memiliki resolusi untuk negara Palestina.”