kab/kota: Washington

  • Rusia Tanggapi Santai Sanksi AS terhadap 2 Raksasa Minyaknya

    Rusia Tanggapi Santai Sanksi AS terhadap 2 Raksasa Minyaknya

    Jakarta

    Pemerintah Rusia menanggapi santai sanksi-sanksi baru yang dijatuhkan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap dua raksasa minyak Rusia. Ditegaskan bahwa Rusia kebal terhadap sanksi yang dijatuhkan akibat serangan berkelanjutannya terhadap Ukraina tersebut.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, bahkan mengingatkan Amerika Serikat untuk tidak mengikuti contoh pemerintahan sebelumnya yang menantang Moskow dengan sanksi-sanksi. Dia menekankan bahwa hal itu akan berakhir dengan “kegagalan.”

    “Negara kita telah mengembangkan kekebalan yang kuat terhadap pembatasan Barat dan akan terus dengan percaya diri mengembangkan potensi ekonominya, termasuk potensi energinya,” kata Zakharova, dalam sebuah briefing mingguan, dilansir kantor berita AFP, Kamis (23/10/2025).

    Trump menjatuhkan sanksi terhadap dua perusahaan minyak terbesar Rusia pada hari Rabu (22/10) waktu setempat. Trump mengeluh bahwa pembicaraannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mengakhiri perang Ukraina “tidak membuahkan hasil.”

    Uni Eropa juga mengumumkan rangkaian sanksi baru untuk menekan Rusia agar mengakhiri invasi tanpa henti selama tiga setengah tahun terhadap Ukraina, negara tetangganya, yang bersekutu dengan Washington.

    Trump sebelumnya telah menunda penerapan sanksi terhadap Rusia selama berbulan-bulan. Namun, kesabarannya habis setelah rencana pertemuan dengan Putin di Budapest gagal.

    “Setiap kali saya berbicara dengan Vladimir, percakapan saya lancar, dan setelah itu tidak ada kelanjutannya,” kata Trump menanggapi pertanyaan dari wartawan di Ruang Oval, Gedung Putih pada Rabu (22/10) waktu setempat.

    Sanksi AS tersebut merupakan peningkatan besar dalam tindakan AS terhadap Rusia dan mencerminkan rasa frustrasi Trump yang semakin besar karena tidak dapat membujuk Putin untuk mengakhiri konflik.

    Sanksi tersebut mencakup pembekuan semua aset perusahaan minyak Rosneft dan Lukoil di Amerika Serikat, sekaligus melarang semua perusahaan AS berbisnis dengan kedua raksasa minyak Rusia tersebut.

    “Mengingat penolakan Presiden Putin untuk mengakhiri perang yang tidak masuk akal ini, Departemen Keuangan memberikan sanksi kepada dua perusahaan minyak terbesar Rusia yang mendanai mesin perang Kremlin,” kata Menteri Keuangan AS Scott Bessent dalam sebuah pernyataan.

    Bessent mengatakan bahwa sanksi tersebut merupakan “salah satu sanksi terbesar yang telah kami terapkan terhadap Federasi Rusia.”

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Lawan Pasukan AS, Venezuela Siapkan 5 Ribu Rudal Buatan Rusia

    Lawan Pasukan AS, Venezuela Siapkan 5 Ribu Rudal Buatan Rusia

    Jakarta

    Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengatakan bahwa negaranya memiliki 5.000 rudal darat-ke-udara buatan Rusia untuk melawan pasukan Amerika Serikat yang ditempatkan di Karibia.

    Washington telah mengerahkan pesawat-pesawat tempur siluman dan kapal-kapal Angkatan Laut di Karibia sebagai bagian dari apa yang disebutnya sebagai upaya antinarkotika. Militer AS telah menghancurkan setidaknya delapan kapal yang dikatakannya menyelundupkan narkoba dari Venezuela ke Amerika Serikat.

    Venezuela mengecam pengerahan militer tersebut sebagai gladi resik untuk operasi penggulingan Maduro, yang dituduh Washington menjalankan kartel narkoba.

    Dalam sebuah seremoni yang disiarkan televisi bersama para pemimpin militer senior pada Rabu (22/10), Maduro mengatakan Venezuela memiliki rudal jarak pendek portabel buatan Rusia yang dikenal sebagai Igla-S yang jumlahnya “tidak kurang dari 5.000 di posisi-posisi pertahanan udara penting untuk memastikan perdamaian,” ujar Maduro, dilansir kantor berita AFP, Kamis (23/10/2025).

    Igla-S, yang dirancang untuk menembak jatuh pesawat terbang rendah, telah digunakan dalam latihan militer yang diperintahkan oleh Maduro sebagai tanggapan atas aktivitas militer AS di perairan Karibia. Aktivitas militer AS itu telah membuat marah para pemimpin di sebagian besar Amerika Latin.

    Pentagon telah memberi tahu Kongres bahwa Amerika Serikat sedang berada dalam “konflik bersenjata” dengan kartel-kartel narkoba Amerika Latin, menetapkan mereka sebagai kelompok teroris dan menyebut para tersangka penyelundup sebagai “pejuang yang melanggar hukum.”

    Para ahli mengatakan pembunuhan kilat itu ilegal, meskipun menargetkan para pengedar narkoba yang telah dikonfirmasi.

    Ketegangan regional telah meningkat, dengan Kolombia menarik duta besarnya untuk Washington di tengah perselisihan sengit antara presiden sayap kirinya, Gustavo Petro, dan Presiden Donald Trump.

    Trump mengatakan pada hari Rabu (22/10), bahwa pengerahan pasukan AS tersebut telah secara drastis mengurangi perdagangan narkoba melalui laut. Trump menyebut AS pun siap untuk menyerang para pengedar narkoba yang beroperasi di darat.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Ketika Dunia Terjebak di Antara Dua Raksasa

    Ketika Dunia Terjebak di Antara Dua Raksasa

    Jakarta

    Ada yang berubah dalam wajah globalisasi. Dunia yang dulu percaya bahwa perdagangan bebas adalah jembatan menuju kemakmuran kini justru terbelah oleh tembok tarif dan sekat teknologi.

    Amerika Serikat dan Tiongkok-dua raksasa yang dulu saling membutuhkan-kini saling mencurigai. Perseteruan dagang yang pernah redup, kembali menyala dengan bara baru: perang atas masa depan ekonomi hijau dan kecerdasan buatan.

    Washington menaikkan tarif hingga 100 persen untuk mobil listrik asal Tiongkok, dengan dalih melindungi industri dalam negerinya. Beijing membalas dengan langkah senyap: membatasi ekspor grafit, gallium, dan germanium-bahan yang menjadi darah bagi industri baterai dan chip semikonduktor.

    Dunia pun bergetar, sebab yang diguncang bukan hanya harga, melainkan struktur kekuasaan ekonomi global.

    Dalam laporan IMF (2025), ketegangan ini diperkirakan memangkas pertumbuhan ekonomi dunia hingga 0,7 persen. Nilai yang tampak kecil di atas kertas, namun sejatinya menggoyang jutaan lapangan kerja dan rantai pasok lintas benua.

    AS kini menanggung defisit perdagangan USD 128 miliar terhadap Tiongkok, sementara ekspor Tiongkok ke negara-negara selatan melonjak-pertanda strategi Beijing mengalihkan porosnya ke BRICS, ASEAN, dan Afrika.

    Namun perang ini bukan lagi tentang baja atau tekstil, melainkan tentang siapa yang menguasai algoritma dan energi bersih. Tiongkok menguasai 80 persen pasar global baterai kendaraan listrik dan lebih dari 60 persen logam tanah jarang (rare earth) yang jadi bahan dasar chip dan turbin angin.

    Sementara AS berupaya mempertahankan supremasi lewat subsidi besar-besaran untuk energi bersih dan pembatasan ekspor teknologi tinggi. Dunia menyaksikan dua raksasa bertarung di medan baru: medan ideologi ekonomi.

    Kini globalisasi bergerak dengan wajah lain. Ia tak lagi menebarkan keterbukaan, melainkan menciptakan blok-blok kepentingan yang semakin tertutup. Neo-merkantilisme modern hadir dalam bentuk kebijakan proteksi hijau dan nasionalisme teknologi.

    Setiap negara berlomba melindungi rantai pasok kritisnya, seolah dunia kembali ke masa pra-WTO-masa ketika kekuatan diukur dari siapa yang mampu memproduksi sendiri dan menutup diri dari risiko luar. Dunia menjadi cermin retak tempat keadilan ekonomi global dipertaruhkan.

    Bagi negara berkembang, situasi ini adalah ujian kebijakan. Banyak yang tergoda mengikuti pola proteksionisme, padahal tanpa kesiapan industri dan riset, proteksi hanya memperlambat pembelajaran.

    ASEAN, termasuk Indonesia, seharusnya tidak sekadar menjadi arena rebutan, tetapi menjadi arsitek tata niaga baru yang lebih seimbang. Perdagangan harus dipandang bukan sebagai kompetisi tanpa batas, melainkan sebagai ekosistem kolaboratif berbasis teknologi dan keberlanjutan.

    Indonesia berada tepat di tengah badai itu. Menurut BPS (April 2025), impor nonmigas dari Tiongkok mencapai USD 25,77 miliar, hampir 40 persen dari total impor nasional. Sebaliknya, ekspor kita ke sana hanya USD 18,9 miliar, sebagian besar bahan mentah.

    Kita masih berdiri di ujung rantai nilai global, menambang lebih banyak daripada mencipta. Di saat negara lain menyiapkan pabrik chip, kita baru menyiapkan gudang bijih nikel.

    Padahal, sejarah jarang memberi peluang kedua. Ketika perusahaan global menjalankan strategi China+1 untuk mencari lokasi produksi baru, Indonesia seharusnya menjadi magnet alami: kaya sumber daya, berpenduduk muda, dan berada di jantung ASEAN. Tapi peluang itu tak akan berarti tanpa reformasi struktural: penyederhanaan regulasi, investasi di riset, dan keberanian membangun ekosistem industri hijau.

    Kita perlu menyiapkan strategi baru-bukan sekadar menunggu investasi datang, melainkan menciptakan daya saing berbasis value creation. Pemerintah perlu berani mengubah paradigma hilirisasi: dari sekadar mengolah bahan mentah menjadi alat diplomasi ekonomi yang menghubungkan industri dalam negeri dengan rantai pasok global. Indonesia harus menjadi simpul, bukan hanya sumber.

    Perang dagang ini sejatinya adalah panggung besar untuk menilai siapa yang siap melangkah ke era baru. Dunia tak lagi diatur oleh tarif semata, tetapi oleh inovasi, efisiensi, dan kecerdasan buatan. Mereka yang menguasai teknologi akan menguasai rantai pasok; mereka yang hanya mengandalkan bahan mentah akan tertinggal dalam sejarah.

    Kita perlu keluar dari logika lama-bahwa kekayaan alam cukup untuk menjamin masa depan. Yang menentukan bukan apa yang ada di perut bumi, melainkan apa yang tumbuh di kepala manusia. Indonesia harus menyiapkan diri menjadi produsen nilai tambah, bukan sekadar pemasok bahan mentah.

    Mungkin inilah waktunya Indonesia mengambil posisi yang lebih berani: menjadi jembatan antara dua raksasa, bukan korban tarik-menarik di antara keduanya. Dengan diplomasi ekonomi yang cerdas, kita bisa memanfaatkan kebijakan proteksi mereka sebagai ruang inovasi bagi diri sendiri. Sebagaimana Jepang pascaperang dan Korea pada era 1980-an, kita bisa menulis narasi kebangkitan melalui teknologi, bukan sekadar perdagangan.

    Jika perang dagang ini adalah pertarungan dua raksasa, maka negara seperti kita adalah para penonton yang punya pilihan: sekadar menatap atau mulai menulis naskah sendiri. Namun sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani melangkah keluar dari ketakutan. Setiap krisis menyimpan biji peluang, setiap guncangan global membuka celah bagi bangsa yang mau berinovasi.

    Dunia boleh terbelah antara Washington dan Beijing, tetapi masa depan tidak akan menunggu mereka saja. Ia akan berpihak kepada yang berpikir cepat, berinvestasi dalam pengetahuan, dan menolak tunduk pada nasib.

    Mungkin, di antara riuh mesin dan senyap pasar dunia, Indonesia sedang menulis babnya sendiri. Sebuah kisah kecil di tengah panggung besar-tentang bangsa yang mencoba berdiri tegak di antara dua bayang raksasa, menatap masa depan dengan kepala tegak, dan berkata pelan: kami tidak ingin hanya menjadi pasar, kami ingin menjadi pemain.

    Edi Setiawan. Dosen dan Peneliti FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.

    (rdp/imk)

  • Harga Emas Dunia Ambles Dua Hari Beruntun, Simak Prediksinya Hari Ini – Page 3

    Harga Emas Dunia Ambles Dua Hari Beruntun, Simak Prediksinya Hari Ini – Page 3

    Secara fundamental, harga emas saat ini masih dibayangi oleh isu geopolitik dan kebijakan global. Laporan terbaru mengindikasikan bahwa Gedung Putih tengah mempertimbangkan pembatasan ekspor teknologi baru ke China. Langkah ini dikhawatirkan dapat meningkatkan kembali ketegangan antara Washington dan Beijing.

    Kendati demikian, menurut Andy Nugraha, efek dari isu geopolitik ini terhadap harga emas belum terlalu dominan.

    “Langkah ini menciptakan ketidakpastian baru bagi perdagangan global, terutama di sektor teknologi, namun efeknya terhadap emas belum terlalu terasa karena fokus utama investor tetap pada inflasi dan arah suku bunga The Fed,” jelas Andy.

    Sementara itu, pergerakan mata uang dan obligasi AS belum mampu memberikan dukungan kuat bagi emas. Indeks Dolar AS melemah tipis 0,13% ke level 98,84, tetapi ini belum cukup untuk mendongkrak emas.

    Imbal hasil obligasi Treasury AS 10 tahun juga turun ke 3,951%. Pergerakan ini menunjukkan bahwa sebagian investor mulai mengantisipasi kebijakan pemangkasan suku bunga yang diperkirakan akan dilakukan oleh Federal Reserve (The Fed) menjelang akhir tahun 2025.

     

  • Makin Panas! Trump Jatuhkan Sanksi ke 2 Raksasa Minyak Rusia

    Makin Panas! Trump Jatuhkan Sanksi ke 2 Raksasa Minyak Rusia

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjatuhkan sanksi terhadap dua perusahaan minyak terbesar Rusia pada hari Rabu (22/10) waktu setempat. Trump mengeluh bahwa pembicaraannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mengakhiri perang Ukraina “tidak membuahkan hasil.”

    Uni Eropa juga mengumumkan rangkaian sanksi baru untuk menekan Rusia agar mengakhiri invasi tanpa henti selama tiga setengah tahun terhadap Ukraina, negara tetangganya, yang bersekutu dengan Washington.

    Dilansir kantor berita AFP, Kamis (23/10/2025), Trump sebelumnya telah menunda penerapan sanksi terhadap Rusia selama berbulan-bulan. Namun, kesabarannya habis setelah rencana pertemuan dengan Putin di Budapest gagal.

    “Setiap kali saya berbicara dengan Vladimir, percakapan saya lancar, dan setelah itu tidak ada kelanjutannya,” kata Trump menanggapi pertanyaan dari seorang jurnalis AFP di Ruang Oval, Gedung Putih.

    Namun Trump menambahkan bahwa ia berharap “sanksi berat” terhadap dua raksasa minyak Rusia, Rosneft dan Lukoil tersebut, hanya akan berlangsung singkat. “Kami berharap perang akan berakhir,” ujarnya di samping Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte.

    Berbicara kepada wartawan setelah pertemuan tersebut, Rutte, yang sering dijuluki “si pembisik Trump”, mengatakan ia yakin bahwa “dengan tekanan yang berkelanjutan, kami akan dapat mengajak Putin ke meja perundingan untuk menyetujui gencatan senjata, dan kemudian perundingan lainnya setelahnya.”

    Sanksi AS tersebut merupakan peningkatan besar dalam tindakan AS terhadap Rusia dan mencerminkan rasa frustrasi Trump yang semakin besar karena tidak dapat membujuk Putin untuk mengakhiri konflik.

    Sanksi tersebut mencakup pembekuan semua aset Rosneft dan Lukoil di Amerika Serikat, sekaligus melarang semua perusahaan AS berbisnis dengan kedua raksasa minyak Rusia tersebut.

    “Mengingat penolakan Presiden Putin untuk mengakhiri perang yang tidak masuk akal ini, Departemen Keuangan memberikan sanksi kepada dua perusahaan minyak terbesar Rusia yang mendanai mesin perang Kremlin,” kata Menteri Keuangan AS Scott Bessent dalam sebuah pernyataan.

    Bessent mengatakan bahwa sanksi tersebut merupakan “salah satu sanksi terbesar yang telah kami terapkan terhadap Federasi Rusia.”

    Secara terpisah, Uni Eropa setuju untuk memberlakukan langkah-langkah baru yang bertujuan untuk menekan pendapatan minyak dan gas Moskow selama perang, kata seorang juru bicara kepresidenan Denmark.

    Paket sanksi tersebut — yang ke-19 dari Uni Eropa sejak invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 — bertujuan untuk terus menekan Rusia di tengah upaya perdamaian Trump dan eskalasi serangan Rusia.

    Sanksi tersebut dijatuhkan beberapa jam setelah serangan terbaru Rusia semalam di Ukraina menewaskan tujuh orang, termasuk dua anak, dan menghancurkan sebuah taman kanak-kanak.

    Simak juga Video Trump Batal Bertemu Putin: Saya Tak Ingin Buang-buang Waktu

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Kopi Darat Trump-Putin Ambyar, Rusia Latihan Nuklir-AS Bom Sanksi

    Kopi Darat Trump-Putin Ambyar, Rusia Latihan Nuklir-AS Bom Sanksi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Rusia pimpinan Presiden Vladimir Putin menggelar latihan nuklir besar-besaran, Rabu. Hal ini menyusul pengumuman tertundanya pertemuan antara Putin dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Uji coba nuklir strategis ini mencakup peluncuran rudal balistik antarbenua “Yars” berbasis darat dari kosmodrom serta peluncuran rudal balistik “Sineva” dari kapal selam nuklir di Laut Barents. Ada pula peluncuran rudal jelajah berkemampuan nuklir dari pembom strategis.

    “Latihan tersebut menguji tingkat kesiapan komando militer dan keterampilan praktis personel operasional dalam mengatur kendali pasukan bawahan,” kata Kremlin dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Reuters, Kamis (23/10/2025).

    Rusia secara rutin melakukan latihan pasukan nuklirnya untuk mengingatkan musuh bahwa mereka memiliki gudang senjata nuklir terbesar di dunia di tengah meningkatnya ketegangan Timur-Barat. Latihan kekuatan nuklir Rusia ini berlangsung ketika NATO sendiri sedang menggelar latihan nuklir tahunan bernama Steadfast Noon yang dipandu oleh Belgia dan Belanda, melibatkan jet tempur F-35A dan pembom B-52 di antara 60 pesawat dari 13 negara.

    Sementara itu, gelaran ini dibuat saat pertemuan Putin dan Trump diputuskan untuk “ambyar”. Presiden Trump, yang membatalkan pertemuan yang direncanakan di Budapest itu, mengatakan masih ada yang belum siap terkait materi pertemuan itu.

    “Saya membatalkan pertemuan yang diantisipasi dengan Putin karena saya merasa kami tidak akan mencapai tempat yang harus kami capai.” Trump berharap sanksi tersebut.

    AS Jatuhkan Sanksi 

    Pembatalan pertemuan antara kedua pemimpin oleh Trump dilakukan menyusul tekanan yang meningkat agar Washington menjatuhkan hukuman yang lebih keras kepada Moskow atas keberlanjutan perang di Ukraina. Hal ini akhirnya juga bermuara pada keputusan AS untuk menjatuhkan sanksi terhadap dua perusahaan minyak terbesar Rusia, Rosneft dan Lukoil, beserta hampir tiga lusun anak perusahaan mereka.

    Trump beralasan ia “merasa saatnya telah tiba” untuk menjatuhkan sanksi tersebut, meskipun ia mengakui telah “menunggu waktu yang lama” untuk memberlakukannya. Sanksi ini diluncurkan seiring dengan seruan AS agar Moskow menyetujui gencatan senjata segera di Ukraina.

    Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan bahwa ini adalah waktunya untuk menghentikan pembunuhan dan gencatan senjata segera. Bessent menambahkan dua perusahaan itu merupakan instrumen penting yang membiayai perang Rusia di Ukraina.

    “Mengingat penolakan Presiden Putin untuk mengakhiri perang tak berarti ini, Departemen Keuangan memberikan sanksi kepada dua perusahaan minyak terbesar Rusia yang mendanai mesin perang Kremlin,” katanya dimuat CNN International.

    Analis Eddie Fishman dari Atlantic Council memperingatkan bahwa sanksi primer terhadap Rosneft dan Lukoil hanyalah permulaan. Ia menyebut adanya peluang sanksi baru dalam kasus ini, khususnya bagi para trader di negara ketiga.

    “Intinya kemudian adalah apakah ada ancaman sanksi sekunder terhadap bank, kilang minyak, dan trader di negara pihak ketiga yang berurusan dengan Rosneft dan Lukoil,” kata Fishman.

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Harga Minyak Dunia Melonjak 5% Usai AS Sanksi Dua Raksasa Energi Rusia – Page 3

    Harga Minyak Dunia Melonjak 5% Usai AS Sanksi Dua Raksasa Energi Rusia – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Harga minyak dunia melonjak tajam pada Rabu malam waktu AS (23/10/2025), setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjatuhkan sanksi tambahan terhadap dua perusahaan minyak terbesar Rusia, yakni Rosneft dan Lukoil.

    Langkah ini diambil karena Washington menilai Moskow tidak menunjukkan komitmen serius untuk mengakhiri konflik bersenjata di Ukraina.

    Dikutip dari CNBC, Kamis (23/10/2025), harga minyak mentah Brent, sebagai acuan global, naik USD 3,03 atau 4,94% menjadi USD 64,35 per barel. Sementara harga minyak mentah AS (WTI) menguat USD 1,40 atau 2,39% menjadi USD 59,90 per barel.

    Sebelumnya, dalam sesi perdagangan reguler, Brent telah naik 2% ke USD 62,59 per barel, sedangkan WTI menguat 2,2% ke USD 58,50 per barel.

    “Sekarang saatnya menghentikan pertumpahan darah dan memulai gencatan senjata segera,” kata Menteri Keuangan AS Scott Bessent saat mengumumkan sanksi tersebut.

     

  • Trump Kemungkinan Bertemu Presiden Brasil di Malaysia di tengah Tensi Tarif Tinggi AS

    Trump Kemungkinan Bertemu Presiden Brasil di Malaysia di tengah Tensi Tarif Tinggi AS

    JAKARTA – Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden AS Donald Trump kemungkinan akan bertemu di Malaysia dalam beberapa hari mendatang, di tengah tarif tinggi yang diberlakukan oleh Washington.

    Surat kabar O Globo melaporkan dengan mengutip sumber, pertemuan antara kedua pemimpin disepakati pada Minggu di Malaysia, tetapi waktunya belum diputuskan.

    Para diplomat Brasil mengatakan kepada Reuters, mereka berhati-hati dalam masalah ini karena belum ada konfirmasi resmi dari Gedung Putih.

    Seorang pejabat Gedung Putih sebelumnya mengatakan terdapat “diskusi tentang memfasilitasi pertemuan semacam itu” di Malaysia menyusul panggilan telepon persahabatan antara kedua kepala negara bulan lalu, di mana mereka membahas hubungan ekonomi dan perdagangan.

    Trump menaikkan tarif impor AS untuk sebagian besar barang Brasil menjadi 50% dari 10% pada awal Agustus, mengaitkan langkah tersebut dengan apa yang disebutnya “perburuan penyihir” terhadap mantan Presiden Jair Bolsonaro.

    Bolsonaro akhirnya dihukum pada September oleh panel Mahkamah Agung dengan hukuman lebih dari 27 tahun penjara karena merencanakan kudeta setelah ia kalah dalam pemilihan umum 2022 dari Lula.

  • Ratusan Elit Yahudi Minta Dunia ‘Hukum’ Israel, Sebut Ada Genosida

    Ratusan Elit Yahudi Minta Dunia ‘Hukum’ Israel, Sebut Ada Genosida

    Jakarta, CNBC Indonesia – Lebih dari 450 tokoh Yahudi terkemuka di seluruh dunia telah menandatangani surat terbuka yang mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan para pemimpin dunia untuk menjatuhkan sanksi kepada Israel. Mereka menuduh tindakan Israel di Gaza, Tepi Barat yang diduduki, dan Yerusalem Timur, sebagai tindakan genosida.

    Dalam laporan Guardian, para penandatangan berasal dari berbagai latar belakang, seperti mantan Ketua Knesset (Parlemen Israel) Avraham Burg, mantan Negosiator Perdamaian Israel Daniel Levy, dan pembuat film peraih Oscar Jonathan Glazer. Tak hanya itu penulis Kanada Naomi Klein, aktor AS Wallace Shawn, dan filosof Israel Omri Boehm, juga turut serta menandatangani petisi ini.

    Para penandatangan secara kolektif menuntut para pemimpin dunia untuk menjunjung tinggi putusan Pengadilan Internasional (International Court of Justice atau ICJ) dan Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court atau ICC).

    Mereka juga secara eksplisit mendesak negara-negara untuk menghindari keterlibatan dalam pelanggaran hukum internasional dengan menghentikan transfer senjata ke Israel dan memberlakukan sanksi yang ditargetkan terhadap negara tersebut.

    Selain itu, inti dari pesan mereka adalah pengakuan atas sejarah penderitaan Yahudi dan dampaknya terhadap hukum internasional, yang kini digunakan sebagai kerangka kritik.

    “Kami menundukkan kepala dalam kesedihan yang tak terukur karena bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan bahwa tindakan Israel akan dinilai telah memenuhi definisi hukum genosida,” demikian bunyi surat terbuka tersebut yang dirilis Rabu (22/10/2025), memperingatkan potensi konsekuensi hukum.

    Para tokoh tersebut juga mengingatkan bahwa banyak undang-undang, piagam, dan konvensi yang dibentuk untuk menjaga kehidupan manusia diciptakan sebagai tanggapan atas Holocaust. Mereka mengklaim bahwa perlindungan tersebut “telah dilanggar tanpa henti oleh Israel.”

    Tak hanya menuntut dijaminnya bantuan kemanusiaan yang memadai ke Gaza, mereka juga secara tegas menolak klaim palsu anti-Semitisme yang digunakan untuk membungkam kritik terhadap Israel.

    “Kami menundukkan kepala dalam kesedihan yang tak terkira seiring dengan banyaknya bukti yang terkumpul bahwa tindakan Israel akan dinilai memenuhi definisi hukum genosida,” bunyi surat itu.

    Lebih lanjut, mereka juga menegaskan bahwa solidaritas kami terhadap Palestina bukanlah pengkhianatan terhadap Yudaisme, namun merupakan pemenuhannya. Menurut mereka, apa yang dilakukan Israel saat ini sangat menciderai prinsip-prinsip perdamaian.

    “Ketika orang-orang bijak kita mengajarkan bahwa menghancurkan satu kehidupan berarti menghancurkan seluruh dunia, mereka tidak memberikan pengecualian bagi warga Palestina. Kita tidak akan berhenti sampai gencatan senjata ini berlanjut hingga berakhirnya pendudukan dan apartheid.”

    Seruan ini mencerminkan pergeseran signifikan dalam opini di kalangan komunitas Yahudi di AS dan pemilih yang lebih luas selama beberapa tahun terakhir. Jajak pendapat Washington Post menemukan bahwa 61% orang Yahudi AS percaya Israel telah melakukan kejahatan perang di Gaza, dan 39% mengatakan Israel melakukan genosida.

    Di antara masyarakat Amerika secara luas, 45% mengatakan kepada Brookings Institution bahwa mereka yakin Israel melakukan genosida, sementara survei Quinnipiac pada bulan Agustus menemukan setengah dari pemilih AS memiliki pandangan yang sama, termasuk 77% dari Partai Demokrat.

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ambyar Rencana Perjumpaan Trump dan Putin

    Ambyar Rencana Perjumpaan Trump dan Putin

    Jakarta

    Rencana pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin kemungkinan besar batal. Trump tak ingin pertemuan yang sia-sia dengan Putin.

    Trump dan Putin sudah sejak beberapa minggu kemarin disebut-sebut akan melakukan pertemuan. Wacana pertemuan itu mencuat setelah percakapan telepon kedua pemimpin, yang diklaim Kremlin, berlangsung ‘sangat jujur dan penuh kepercayaan’.

    Pembicaraan telepon itu dilakukan di tengah upaya diplomatik dalam penyelesaian perdamaian untuk perang Ukraina, yang mereda selama dua bulan terakhir, setelah pertemuan puncak antara Putin-Trump di Alaska pada 15 Agustus lalu gagal membuahkan hasil yang substansial.

    “Telah disepakati bahwa perwakilan kedua negara akan segera mulai menyelenggarakan pertemuan puncak yang dapat digelar, misalnya, di Budapest,” kata ajudan utama Putin, Yuri Ushakov, saat berbicara kepada wartawan, seperti dilansir AFP, Jumat (17/10).

    Ushakov juga mengatakan lokasi Budapest, ibu kota Hungaria, diusulkan oleh Trump, dan ‘segera’ didukung oleh Putin.

    “Itu adalah percakapan yang sangat substantif, dan pada saat yang sama, sangat jujur dan penuh kepercayaan,” sebutnya, sembari menambahkan bahwa percakapan telepon selama 2,5 jam itu merupakan inisiatif Rusia.

    Percakapan telepon antara Putin dan Trump itu dilakukan saat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sedang dalam perjalanan ke Washington DC membahas sejumlah isu, termasuk salah satunya potensi pasokan rudal jarak jauh Tomahawk AS dengan Trump.

    “Vladimir Putin menegaskan kembali pernyataannya bahwa rudal Tomahawk tidak akan mengubah situasi di medan perang, tetapi akan secara signifikan merusak hubungan antara kedua negara kita. Belum lagi prospek penyelesaian damai,” ucap Ushakov.

    Menurut Kremlin, Trump mengatakan akan mempertimbangkan apa yang dikatakan Putin kepadanya sebelum bertemu Zelensky pada Jumat (16/10) waktu AS.

    Presiden Prancis Minta Dilibatkan

    Presiden Prancis Emmanuel Macron menyambut baik rencana pertemuan Trump dan Putin. Pada saat itu, Macron meminta Ukraina dan Eropa dilibatkan dalam pertemuan tersebut.

    “Sejak mereka membahas nasib Ukraina, Ukraina harus dilibatkan,” kata Macron kepada wartawan setelah pertemuan puncak para pemimpin Uni Eropa selatan di Slovenia dilansir AFP, Senin (20/10).

    Macron mengatakan Eropa harus dilibatkan saat perang berdampak pada keamanan Eropa.

    “Sejak mereka membahas dampaknya terhadap keamanan Eropa, Eropa harus dilibatkan,” kata Macron.

    Rencana Pertemuan Ambyar

    Trump mengatakan kemungkinan akan pertemuan yang sia-sia membuatnya menunda menggelar pertemuan dengan Putin. Trump mengatakan tak ingin membuang-buang waktu.

    “Saya tidak ingin pertemuan yang sia-sia,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih, AS, ketika ditanya mengapa pertemuan itu dibatalkan, seperti dilansir AFP, Rabu (22/10/2025).

    “Saya tidak ingin membuang-buang waktu, jadi saya akan lihat saja nanti,” imbuhnya.

    Dilansir Al Jazeera, para pejabat dari Rusia dan AS juga memberikan sinyal pertemuan Putin dan Trump tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

    “Tidak ada rencana bagi Presiden Trump untuk bertemu dengan Presiden Putin dalam waktu dekat,” ujar seorang pejabat senior Gedung Putih kepada Al Jazeera.

    Moskow juga membantah bahwa pertemuan itu akan segera terjadi. Moskow mengatakan bahwa persiapan bisa memakan waktu.

    “Tidak ada kerangka waktu pasti yang ditetapkan di sini,” kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov.

    “Persiapan diperlukan, persiapan yang serius,” imbuhnya.

    Harapan untuk pertemuan puncak jangka pendek antara Putin dan Trump telah meredup dalam beberapa hari terakhir. Laporan menunjukkan bahwa penundaan ini disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang kondisi yang diperlukan untuk mengakhiri konflik di Ukraina.

    Selama akhir pekan, Rusia mengirimkan komunike tertutup kepada AS yang menuntut kendali atas seluruh wilayah Donbas di Ukraina, menurut para pejabat yang berbicara kepada kantor berita Reuters dengan syarat anonim.

    Tuntutan tersebut bertentangan dengan keinginan yang diutarakan Trump pada hari Minggu untuk membekukan garis pertempuran di tempatnya saat ini.

    Kemudian, pada hari Senin, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan mitranya dari AS, Marco Rubio, melakukan panggilan telepon menjelang pertemuan persiapan tatap muka yang direncanakan. Namun, Gedung Putih mengonfirmasi pada hari Selasa bahwa pertemuan tersebut juga tidak akan berlangsung.

    “Menteri Rubio dan Menteri Lavrov telah melakukan panggilan telepon yang produktif. Oleh karena itu, pertemuan tatap muka tambahan antara Menteri dan Menteri Luar Negeri tidak diperlukan,” kata seorang pejabat Gedung Putih kepada Al Jazeera dalam sebuah pernyataan.

    Halaman 2 dari 2

    (idn/idn)