kab/kota: Washington

  • AS Mundur, Masa Depan Reformasi Pajak Global di Ujung Tanduk – Halaman all

    AS Mundur, Masa Depan Reformasi Pajak Global di Ujung Tanduk – Halaman all

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menandatangani perintah eksekutif yang membatalkan gagasan pajak minimum global. Perjanjian internasional yang disusun oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan didukung oleh mantan Presiden Joe Biden serta hampir 150 negara lainnya kini tidak berlaku bagi AS.

    Perintah eksekutif Trump secara tegas menyatakan bahwa dukungan dan komitmen AS sebelumnya dianggap batal. “Kesepakatan Pajak Global tidak memiliki kekuatan hukum atau efek di Amerika Serikat” tanpa tindakan dari Kongres, menurut dokumen tersebut.

    Langkah ini bertujuan untuk merebut kembali “kedaulatan dan daya saing ekonomi bangsa kita” serta melawan praktik pajak asing yang dapat menyebabkan “rezim pajak internasional yang bersifat balasan” bagi perusahaan Amerika, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam dokumen itu.

    Apa poin kesepakatan pajak OECD?

    Kesepakatan yang didukung OECD memiliki dua poin penting:

    Memastikan perusahaan multinasional besar membayar pajak dengan adil: Kesepakatan ini menetapkan pajak minimum global sebesar 15% atas keuntungan perusahaan besar. Apabila perusahaan tidak membayar setidaknya 15% di negara asalnya, negara lain memiliki hak untuk mengenakan pajak tambahan atau top-up tax. Aturan ini hanya berlaku bagi perusahaan dengan pendapatan global lebih dari €750 juta (Rp12,6 triliun). Oleh karena itu, hanya sekitar 100 perusahaan global, termasuk perusahaan digital besar, yang akan terkena dampak aturan ini. Menerapkan pajak di lokasi tempat keuntungan dihasilkan: Aturan ini mengalihkan sebagian penghasilan kena pajak untuk dikenakan pajak di negara tempat keuntungan tersebut diperoleh, bukan di negara tempat perusahaan berkantor pusat atau memiliki kehadiran fisik.

    Kesepakatan ini pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Namun, keputusan Amerika Serikat untuk menarik dukungannya melalui kebijakan Presiden Trump memunculkan ketidakpastian mengenai masa depan kesepakatan tersebut.

    Apakah keterlibatan AS penting untuk kesepakatan ini?

    Agar kesepakatan pajak global bisa berjalan dengan efektif, Amerika Serikat perlu ikut terlibat. Hal ini penting karena banyak perusahaan yang menjadi target utama aturan ini adalah perusahaan besar asal AS, seperti Amazon, Apple, Google, dan Facebook.

    “Kegagalan kesepakatan ini sangat mungkin terjadi karena ketidakterlibatan AS,” kata Robert Dever kepada DW pada Juli lalu. “Sayangnya, kesuksesan kesepakatan ini kemungkinan besar tergantung pada situasi politik di Washington,” tambah mitra dari Pinsent Masons, firma hukum internasional yang berbasis di Dublin, Irlandia.

    Beberapa negara telah mulai menerapkan aturan yang didukung OECD ini, sementara negara lain masih dalam proses atau mempertimbangkan kembali keterlibatan mereka.

    AS sendiri tidak pernah meratifikasi kesepakatan tersebut karena Presiden Joe Biden tidak berhasil mendapatkan cukup dukungan di Kongres. Akibatnya, setelah AS memutuskan mundur dari kesepakatan minggu ini, tidak ada perubahan langsung bagi perusahaan-perusahaan berbasis di AS.

    Ancaman pajak dan tarif global

    Partai Republik di Kongres telah lama menentang kesepakatan ini, tetapi alasan mereka berubah-ubah, kata Kimberly Clausing, seorang profesor di UCLA School of Law yang ahli dalam hukum pajak.

    “Awalnya, mereka mengatakan tidak bisa memajaki perusahaan-perusahaan ini karena negara asing akan menurunkan tarif pajak mereka. Sekarang mereka mengatakan ingin memajaki perusahaan-perusahaan ini sendiri karena negara asing telah menaikkan tarif mereka.”

    Perubahan sikap Partai Republik ini menunjukkan niat sebenarnya, “yaitu mereka tidak ingin perusahaan multinasional AS membayar pajak di mana pun,” kata Clausing kepada DW. “Jadi mereka berharap untuk merusak kesepakatan ini dengan mengancam negara-negara yang telah mengadopsi kesepakatan dengan pembalasan tarif.”

    Namun, tarif kemungkinan akan menaikkan harga bagi konsumen Amerika dan menyebabkan inflasi yang lebih tinggi. Tidak memajaki perusahaan paling menguntungkan di dunia juga “bertentangan dengan retorika populis” yang digunakan oleh Trump yang menggambarkan dirinya sebagai pendukung pekerja Amerika, kata Clausing.

    “Ini hanya upaya untuk mengalihkan beban pajak dari orang kaya ke orang miskin,” katanya.

    Meninggalkan kesepakatan ini adalah cara lain bagi Trump “untuk mencoba mendapatkan kebijakan dari negara lain,” kata Clausing.

    Perlu kolaborasi kuat

    Kimberly Clausing, mantan wakil asisten sekretaris untuk analisis pajak di Departemen Keuangan AS, berpikir negara lain bisa mempertahankan kesepakatan dengan menerapkan pajak minimum sebagai syarat akses ke pasar mereka.

    Perusahaan yang tidak ingin membayar bisa menghindari berbisnis di negara-negara tersebut. Untuk ini berhasil tanpa kerja sama AS, negara-negara ini perlu kolaborasi yang kuat, terutama karena pemerintah AS tidak akan menyukai negara yang memajaki perusahaan Amerika secara sepihak.

    Untuk meredam upaya ini, perintah eksekutif Trump memberi kepala Departemen Keuangan dan Perwakilan Dagang AS 60 hari untuk “menyelidiki apakah ada negara asing yang tidak mematuhi perjanjian pajak dengan AS atau memiliki aturan pajak yang bersifat ekstrateritorial atau secara tidak proporsional memengaruhi perusahaan Amerika.”

    Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

  • Kementerian HAM Bentuk Tim Antisipasi Dampak Kebijakan Trump Deportasi Massal Imigran

    Kementerian HAM Bentuk Tim Antisipasi Dampak Kebijakan Trump Deportasi Massal Imigran

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemham) membentuk tim sebagai langkah antisipasi kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait deportasi massal imigran bermasalah dari Amerika Serikat.

    Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menekankan bahwa tim ini nantinya akan membantu Kementerian Luar Negeri RI dan bekerja sama dengan Kementerian Imigrasi agar memastikan perlindungan terhadap WNI yang bisa saja terkena dampak kebijakan tersebut.

    “Keputusan politik Presiden AS Donald Trump ini harus kita antisipasi lebih awal karena bukan tidak mungkin akan ada WNI kita yang terkena [deportasi],” ujarnya dalam rilisnya, Jumat (24/1/2025).

    Pigai melanjutkan bahwa saat kampanye Pilpres AS, pemerintah Indonesia sudah mendapatkan informasi ada WNI yang mulai resah terutama yang surat-surat keimigrasiannya bermasalah.

    Sehingga upaya membentuk tim khusus ini demi meredam keresahan dari setiap WNI yang berada di tanah negeri paman Sam itu.

    “Jadi kami sudah bentuk tim namanya Tim Perlindungan Warga Negara melalui Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan yang nanti bisa ikut membantu Kemenlu dan berkoordinasi dengan Kementerian Imigrasi juga,” imbuhnya.

    Natalius menjelaskan terdapat cukup banyak WNI yang tinggal di Amerika Serikat dengan status kependudukan bermasalah.

    “Misalnya saja ada yang menetap dengan bekal visa turis, atau menggunakan modus pencari suaka politik tetapi ternyata dokumennya palsu. Ini kejadiannya ada yang  terkait WNI kita juga. Jadi kami ingin memastikan sebelum ini terjadi kita antisipasi lebih awal,” pungkas Pigai.

    Untuk Diketahui Presiden AS Donald Trump kembali menegaskan janji kampanye politiknya untuk melakukan deportasi yang disebut Trump sebagai yang terbesar dalam sejarah.

    Sehari sebelum acara pelantikannya sebagai presiden Amerika Serikat, dihadapan ribuan pendukungnya di Washington pada Minggu (19/1/2025). Trump mengaku akan memberlakukan pengetatan sektor imigrasi pada hari pertama dia berkantor.

  • Kebijakan Trump Jadi Ancaman untuk Hewan Laut dan Pesisir

    Kebijakan Trump Jadi Ancaman untuk Hewan Laut dan Pesisir

    Jakarta

    Perairan di sekitar Amerika Serikat (AS) merupakan rumah bagi banyak spesies yang terancam punah yang membutuhkan kebijakan konservasi berbasis sains untuk menyelamatkan mereka dari kepunahan. Mereka tidak akan mendapatkannya selama empat tahun ke depan.

    Kekhawatiran ini terus menerus disampaikan para ilmuwan dan ahli konservasi, salah satunya Dr David Shiffman, ilmuwan konservasi laut yang berdomisili di Washington DC dari University of Miami.

    Sebagai ahli yang berfokus pada ekologi spesies yang terancam punah dan cara melindunginya, Shiffman melihat bahwa terpilihnya kembali Donald Trump membuat para ilmuwan dan konservasionis khawatir tentang satwa liar dan tempat-tempat liar yang telah lama mereka lindungi dengan sepenuh hati.

    “Hal ini terutama berlaku untuk pengelolaan sumber daya alam laut dan pesisir serta konservasi spesies yang terancam punah, mengingat retorika Trump yang terus berlanjut,” sebut Shiffman dalam tulisannya yang dikutip dari TheRevelator.org seperti dilihat Jumat (24/1/2025).

    “Selama pemerintahan pertamanya, Trump menjadi presiden pertama dalam sejarah yang tidak melindungi kawasan lindung ketika ia mencabut pembatasan penangkapan ikan di Northeast Canyons and Seamounts Marine National Monument, yang merupakan rumah bagi banyak spesies laut yang terancam punah dan karang laut dalam yang rapuh,” jelasnya.

    Mengingat berbagai pernyataannya yang kontroversial tersebut, ilmuwan memprediksi hal itu kemungkinan akan terulang selama empat tahun ke depan masa pemerintahannya.

    ‘Project 2025’, buku pedoman sayap kanan untuk pemerintahan keduanya, bahkan menyerukan praktik penambangan yang sangat merusak di dalam batas-batas wilayah yang saat ini dilindungi.

    Selain itu, lanjut Shiffman, ancaman terbesar bagi planet ini, perubahan iklim, diperkirakan akan memburuk di bawah Trump. Ia bahkan memerintahkan AS untuk meninggalkan Perjanjian Iklim Paris di hari pertamanya kembali menjabat.

    Para ilmuwan menyebutkan, pada dasarnya tidak ada peluang untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius, ambang batas penting bagi kelangsungan hidup banyak spesies.

    Ini berarti bahwa lautan akan terus mengalami gelombang panas yang mengkhawatirkan, lapisan es akan mencair, dan permukaan laut akan naik. Banyak spesies laut sudah bergerak keluar dari jangkauan historisnya atau populasinya menurun karena air menghangat di atas ambang batas hewan untuk beradaptasi.

    “Rekam jejak Donald Trump maupun janjinya untuk masa jabatan keduanya menunjukkan bahwa spesies laut dan pesisir tidak mungkin mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk menyelamatkan diri dari penurunan lebih lanjut atau bahkan kepunahan,” ujar Shiffman.

    Para ahli memperingatkan bahwa mengabaikan tujuan iklim kita, melonggarkan atau menghilangkan pembatasan terhadap polusi dan perusakan habitat, dan gagal memberlakukan batasan lingkungan baru pada industri akan menjadi bencana bagi banyak makhluk ini.

    “Dan kita tidak berbicara tentang segelintir ikan,” katanya.

    Shiffman merinci, secara keseluruhan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) bertanggung jawab atas konservasi 40 spesies laut dan pesisir yang terancam punah dan 59 spesies yang terancam punah di perairan AS.

    Dinas Perikanan dan Satwa Liar AS bertanggung jawab atas lebih banyak lagi yang hidup di air tawar dan di sepanjang pantai dan pesisir. Semuanya, dan ekosistem yang mereka andalkan, menghadapi jalan yang tidak pasti saat Trump kembali menjabat.

    “Saya berbicara dengan para ahli untuk mempelajari mengapa beberapa spesies ini terancam, apa yang mereka butuhkan untuk pulih dan menghindari kepunahan, dan apa yang mungkin terjadi sekarang,” sebutnya.

    (rns/fay)

  • Trump Umumkan Proyek AI USD 500 Miliar, Elon Musk Tak Senang

    Trump Umumkan Proyek AI USD 500 Miliar, Elon Musk Tak Senang

    Washington

    Perusahaan pencipta ChatGPT, OpenAI, bekerja sama dengan raksasa teknologi AS lain, raksasa investasi Jepang, dan dana dari Uni Emirat Arab, membangun infrastruktur kecerdasan buatan (AI) senilai USD 500 miliar di Amerika Serikat.

    Perusahaan baru tersebut, disebut The Stargate Project, diumumkan di Gedung Putih oleh Presiden Donald Trump yang menyebutnya sebagai proyek infrastruktur AI terbesar sepanjang sejarah dan akan membantu menjaga masa depan teknologi di AS.

    Usaha patungan ini merupakan kerja sama antara OpenAI, Oracle, Softbank dan MGX, cabang investasi teknologi pemerintah Uni Emirat Arab. Perusahaan tersebut mengatakan usaha patungan baru tersebut, yang telah berjalan sebelum Trump menjabat, punya pendanaan USD 100 miliar tersedia saat ini. Sisanya akan tersedia selama empat tahun, yang diperkirakan menciptakan 100.000 lapangan pekerjaan.

    Namun demikian, dikutip detikINET dari CNN, Elon Musk yang belakangan dekat dengan Donald Trump tampaknya tidak senang dengan proyek tersebut. Ia mengklaim mereka sebenarnya tidak punya cukup dana.

    “Mereka sebenarnya tidak punya uang. SoftBank telah mengamankan dana kurang dari USD 10 miliar saja. Saya mendapat informasi itu dari sumber yang dapat dipercaya,” tulis nakhoda SpaceX dan Tesla itu di X.

    Diduga kuat bahwa Elon Musk tidak suka dengan proyek itu karena keterlibatan Sam Altman, CEO OpenAI. Mereka belakangan memang kerap berseteru, di mana Musk selaku salah satu pendiri OpenAI menilai perusahaan itu sekarang sepenuhnya berorientasi pada profit, melenceng dari tujuan awal.

    Altman pun membantah pernyataan Musk bahwa mereka tak punya cukup dana. “Salah, seperti yang kamu juga tahu. Ingin datang mengunjungi lokasi pertama yang sudah dibangun? Ini bagus untuk negara. Aku menyadari apa yang bagus untuk negara tak selalu optimal untuk perusahaanmu, tapi dalam peran barumu, kuharap kamu lebih mengutamakan AS,” tulisnya.

    Musk mengambil peran di pemerintahan baru Trump sebagai bos departemen efisiensi. Namun, ia juga berselisih dengan Altman sejak meninggalkan dewan direksi OpenAI pada tahun 2018 dan meluncurkan perusahaan rintisan AI miliknya sendiri.

    Saat ini, data center pertama Stargate sedang dibangun di Texas. Menurut pendiri Oracle, Larry Ellison, akan lebih banyak lagi yang akan dibangun di lokasi AS lainnya.

    “Saya pikir ini akan jadi proyek terpenting di era ini,” kata Altman saat pengumuman bersama Trump. “Kita takkan mampu melakukan ini tanpa Anda, Mr Presiden,” tambahnya, meskipun proyek tersebut sudah berjalan sebelum Trump memenangkan Pilpres.

    (fyk/rns)

  • Siapa Pendeta yang Ceramahi Trump Soal LGBT dan Imigran?

    Siapa Pendeta yang Ceramahi Trump Soal LGBT dan Imigran?

    Washington DC

    Uskup Mariann Edgar Budde merupakan pendukung hak-hak LGBT+ dan perlindungan imigran. Khotbahnya yang meminta Trump mengampuni kelompok LGBT+ dan imigran mencuat di tengah pertentangan antara kelompok Kristen progresif dan konservatif.

    Bagi banyak orang Kristen progresif di Amerika Serikat, ucapan Uskup Mariann Edgar Budde agar Presiden Donald Trump menunjukkan belas kasihan kepada orang-orang LGBTQ+ dan imigran adalah contoh kepemimpinan Kristen yang terbaik.

    Sebaliknya, bagi sebagian umat Kristen konservatif, ucapan Budde pada ibadah pelantikan di Katedral Nasional Washington justru ditanggapi dengan cibiran.

    Seorang pendeta menyebut perkataan Budde “tidak pantas dan memalukan”. Presiden Donald Trump mengecam Budde di platform media sosial miliknya, Truth Social.

    Ia menyebut Budde “seorang Radikal Kiri, pembenci Trump garis keras”.

    Trump juga menuntut permintaan maaf publik dari Budde.

    Siapa sosok Budde?

    Dalam khotbah selama 15 menit di Katedral Nasional Washington, Budde membicarakan tentang isu imigran ilegal dan juga kelompok LGBTQ+ yang ia sebut tengah dalam ketakutan menghadapi masa depan.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Khotbah ini disampaikan kala Trump mulai menerapkan sejumlah kebijakan, termasuk pengakuan atas dua gender: laki-laki dan perempuan. Selain itu, Trump juga telah mengumumkan kebijakan lain terkait penghentian migrasi ilegal dan klaim suaka di perbatasan AS.

    Pendeta berusia 65 tahun tersebut merupakan pemimpin spiritual untuk 86 jemaat episkopal di District of Columbia dan juga empat distrik di Maryland. Budde merupakan perempuan pertama yang memegang jabatan tersebut. Ia juga bertugas melayani umat di Katedral Nasional Washington.

    Uskup Mariann Edgar Budde meminta Trump menunjukkan belas kasihan kepada kaum LGBT dan migran (Getty Images)

    Laporan hasil wawancara Washington Post pada 2011 dengan Budde tak lama pasca pelantikannya sebagai uskup Episkopal Washington menggambarkan dirinya sebagai “liberal yang tanpa basa-basi”. Dalam wawancara itu, Budde menyatakan dukungannya terhadap pernikahan sesama jenis.

    Pandangannya tersebut diterima warga DC, yang didominasi simpatisan Partai Demokrat.

    Sementara itu, Gereja Episkopal dinilai sebagai salah satu gereja paling liberal yang membentuk Komuni Anglikan global.

    Situs web gereja ini menuliskan misinya “bercita-cita untuk menyampaikan dan mencontohkan kasih Tuhan bagi setiap manusia. Gereja ini juga mengatakan “semua jenis kelamin dan orientasi seksual” menjabat sebagai uskup, pendeta, dan diaken.

    Unggahan soal Uskup Budde di situs web gerejanya menggambarkan dirinya sebagai “seorang advokat dan organisator yang mendukung masalah keadilan, termasuk kesetaraan ras, pencegahan kekerasan senjata, reformasi imigrasi, (dan) inklusi penuh bagi orang-orang LGBTQ+.”

    Trump mengumumkan darurat nasional di perbatasan AS-Meksiko (Getty Images)

    Pertentangan antara Kristen progresif dan konservatif

    Hal ini sangat kontras dengan pandangan banyak penganut Kristen yang lebih konservatif, seperti kelompok Evangelis yang merupakan kelompok inti pendukung Donald Trump.

    Bagi kelompok konservatif, peningkatan hak LGBT+ bertentangan dengan ajaran Alkitab. Mereka juga khawatir pembiaran terhadap imigrasi membahayakan Amerika, serta menuduh mantan Presiden Biden mendorong perdagangan manusia.

    Ini bukan pertama kalinya Budde berselisih dengan Donald Trump.

    Ia pernah mengecam Donald Trump karena difoto sedang memegang Alkitab di luar Gereja Episkopal St. John di Washington D.C. Foto itu diambil di tengah protes kematian George Floyd warga kulit hitam yang mengalami kekerasan oleh polisi – pada bulan Juni 2020.

    Dalam sebuah wawancara saat itu, Budde menuduh Trump “semua yang dia katakan dan lakukan bertujuan untuk mengobarkan kekerasan… Kita membutuhkan kepemimpinan moral, dan dia telah melakukan segalanya untuk memecah belah kita.”

    Ini menunjukkan adanya pertentangan nilai dalam skala yang lebih luas di tengah warga Amerika, antara dua visi yang saling bertentangan tentang apa artinya menjadi seorang Kristen.

    Kaum progresif berpendapat bahwa hidup seperti Yesus berarti menerima orang lain dan memperjuangkan keadilan sosial. Banyak kaum konservatif memandang negara mereka dalam keadaan kemerosotan moral akibat tidak mengikuti firman Tuhan.

    Pertentangan ini pun terbawa dalam pemilihan presiden, Para pemimpin Evangelis terkemuka seperti Franklin Graham menyebut kemenangan Trump sebagai “kemenangan besar bagi umat Kristen, bagi kaum Evangelis”.

    Kemungkinan pertentangan ini kembali hadir lewat pernyataan Budde di depan Trump pada ibadah pelantikan tersebut.

    Dalam salah satu pernyataannya, Gereja Episkopal menegaskan kembali dukungannya terhadap para migran, dengan menyatakan bahwa “sebagai orang Kristen, iman kita dibentuk oleh kisah Alkitab tentang orang-orang yang dipimpin Tuhan ke negara-negara asing untuk melarikan diri dari penindasan.”

    Lewat akun X, anggota parlemen Republik Mike Collins mencuitkan mengenai Uskup Budde, yang ia sebut “orang yang menyampaikan khotbah ini harus ditambahkan ke daftar deportasi.”

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Kebijakan Trump Jadi Ancaman untuk Hewan Laut dan Pesisir

    Trump Perintahkan Buka Dokumen Rahasia Terakhir Pembunuhan John F Kennedy

    Jakarta

    Presiden Donald Trump memerintahkan deklasifikasi atau pembukaan rahasia negara terhadap dokumen-dokumen terakhir soal kasus pembunuhan Presiden John F Kennedy (JFK). Peristiwa pembunuhan JFK tersebut telah memicu aneka teori konspirasi setelah 60 tahun berlalu.

    “Yang (kasus) gede itu ya? Orang-orang sudah menunggu lama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun,” kata Trump kepada wartawan seraya meneken perintah di Ruang Oval, Gedung Putih, Washington DC, dilansir AFP, Jumat (24/1/2025).

    Perintah yang diteken Trump meliputi penerbitan yang “penuh dan lengkap” dari dokumen-dokumen soal JFK, tanpa penyuntingan yang dia setujui pada 2017 lalu ketika dia pernah menerbitkan sebagian besar dokumen-dokumen itu ke publik.

    “Merupakan kepentingan nasional untuk pada akhirnya merilis semua catatan berkaitan dengan pembunuhan-pembunuhan itu tanpa penundaan,” perintah Trump. Ini juga merupakan janji Trump yang dia ucapkan pada Senin (20/1) lalu.

    Trump meneken perintah pembukaan dokumen rahasia negara mengenai kasus besar dari dekade 1960-an itu. Dokumen yang hendak dibuka termasuk pembunuhan terhadap adik JFK yakni Robert F Kennedy, serta pembunuhan terhadap aktivis hak-hak sipil Martin Luther King Jr.

    “Semuanya akan diungkap,” kata Trump.

    Setelah menandatangani perintah itu, Trump memberikan pena yang digunakannya ke ajudannya dan mengatakan, “Kasih yang itu ke RFK Jr.” Nama yang Trump sebut adalah keponakan dari JFK dan anak dari RFK, sekaligus kandidat sekretaris Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan.

    Pada saat rilis skala besar terakhir, pada Desember 2022, dikatakan bahwa 97 persen catatan Kennedy — yang totalnya lima juta halaman — kini telah dipublikasikan.

    Komisi Warren yang menyelidiki penembakan presiden berusia 46 tahun yang karismatik itu menetapkan bahwa penembakan itu dilakukan oleh seorang mantan penembak jitu Marinir, Lee Harvey Oswald, yang bertindak sendiri.

    (dnu/zap)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Upaya Uni Eropa Meredam Trump

    Upaya Uni Eropa Meredam Trump

    Davos

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menerapkan sejumlah kebijakan terkait hubungan AS dengan negara lain. Kebijakan Trump itu langsung disikapi oleh Uni Eropa.

    Dilansir Deutsche Welle, Kamis (23/1/2025), Trump memang belum mengumumkan tarif impor apa pun terhadap produk Uni Eropa. Namun selama kampanye, Trump mengancam akan mengenakan tarif baru sebesar 10 hingga 20% pada produk impor dari UE.

    Eropa memang bukan prioritas paling atas pada jam-jam pertama masa jabatan kedua Trump seperti yang juga dicatat di Parlemen Uni Eropa pada hari Selasa (21/1). Akan tetapi, UE juga tengah mempersiapkan strategi untuk menghadapi pemerintahan baru Trump.

    Pada Forum Ekonomi Dunia di Davos di Swiss, Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen berbicara mendukung langkah-langkah pragmatis. Prioritas utama, katanya, ialah membahas kepentingan bersama antara AS dan UE serta bersikap terbuka terhadap negosiasi

    “Kami akan bersikap pragmatis, tetapi kami akan selalu berpegang pada prinsip kami,” ujarnya.

    Pada hari Senin (20/1), Trump mengatakan ingin menyeimbangkan defisit perdagangan dengan UE baik melalui tarif atau melalui ekspor energi yang lebih besar, seperti minyak dan gas alam. Komisaris Perdagangan Maro Efovi menekankan Uni Eropa sudah menjadi importir terbesar gas alam cair dari AS.

    Sekitar 50% gas LNG di UE berasal dari AS. Namun, delegasi dari Slovakia mengatakan mereka siap memperluas kerja sama strategis ini dengan pemerintahan Trump yang baru dan mempertimbangkan kemungkinan negosiasi. Namun, mereka juga siap membela kepentingan sah jika diperlukan.

    Pendekatan ini kemungkinan besar adalah apa yang disebut sebagai ‘strategi ganda’ oleh Ketua Komite Perdagangan Uni Eropa, Bernd Lange. Menurut politisi beraliran Demokrat Sosial itu, UE harus bernegosiasi jika memungkinkan dan mempertahankan diri terhadap serangan jika perlu.

    Dalam wawancara dengan DW, Ketua Komite Urusan Luar Negeri di Parlemen Uni Eropa, David McAllister, menekankan Komisi Uni Eropa lebih siap untuk masa jabatan kedua Trump. Selain itu, mereka berhubungan dengan pemerintahan baru sejak awal dan menjelaskan bahwa penerapan perang tarif akan menimbulkan situasi yang merugikan semua pihak, tegasnya.

    Selain itu, ada kesepakatan luas di antara anggota parlemen bahwa eskalasi konflik perdagangan dengan Trump harus dicegah. Delegasi dari Spanyol, Francisco Jose Milln Mon, menekankan perang dagang tidak akan menguntungkan siapa pun.

    UE juga harus berupaya menjalin hubungan perdagangan dengan AS. Selain itu, Eropa harus bertindak bersama-sama dan tidak mencoba mencari kesepakatan secara terpisah dengan Washington.

    Pujian dan Kritik untuk Trump dari UE

    Donald Trump (Foto: Reuters)

    Anggota Parlemen Partai Hijau, Anna Cavazzini, juga percaya ‘Eropa bersatu’ harus menjadi jawaban untuk membuat Amerika hebat kembali. Ini juga berarti tidak sedikit pun melepaskan kendali pengaturan atas perusahaan teknologi besar.

    Cavazzini mengimbau Komisi Uni Eropa untuk menggunakan pengaruh yang tersedia berdasarkan Undang-Undang Layanan Digital. Terutama dengan latar belakang Trump dan kedekatannya dengan pemilik Platform X, Elon Musk.

    UE merasa hal itu menjadi momentum berdiskusi tentang cara memastikan bahwa perusahaan teknologi besar mematuhi aturan. Undang-Undang Layanan Digital menetapkan tindakan harus diambil terhadap konten yang melanggar hukum dengan ancaman denda.

    Ada juga kata-kata yang jelas tentang Greenland, khususnya dari anggota parlemen Denmark seperti Stine Bosse. Anggota kelompok liberal Renew menekankan masa depan Greenland hanya dapat ditentukan oleh penduduk Greenland. Trump sendiri menegaskan AS membutuhkan Greenland untuk keamanan internasional.

    Sosial Demokrat Vytenis Povilas Andriukaitis mengkritik keputusan Trump untuk menangguhkan perjanjian iklim Paris, menyebutnya sebagai aib. Pihak Lithuania juga menyesalkan Ukraina tidak disebutkan dalam pidato pelantikan.

    Namun, ada juga pujian terhadap tindakan Donald Trump yang datang dari kubu sayap kanan. Misalnya, anggota partai ekstremkanan Jerman Alternative fr Deutschland (AfD), Christine Anderson, yang memuji pidato pelantikan Trump sebagai angin segar. Dia merasa Trump akan memulihkan keamanan dalam negeri dengan menutup perbatasan dan mendeportasi semua migran ilegal.

    Di akhir perdebatan, Komisaris Perdagangan efovi menyatakan keyakinannya bahwa tidak ada masalah antara dua mitra dekat seperti AS dan Eropa yang tidak dapat diselesaikan dengan cara yang bersahabat dan kooperatif.

    Kebijakan ‘America First’ Era Trump

    Bendera AS (Foto: AP/Alex Brandon)

    Trump telah tancap gas di hari pertamanya menjabat. Ada sejumlah kebijakan terkait hubungan AS dan dunia internasional yang dibuat Trump.

    Trump secara resmi menarik AS keluar dari perjanjian iklim Paris, mengeluarkan AS dari WHO dan menegaskan kebijakan ‘America First’ atau Amerika yang utama dalam hubungan luar negeri.

    “Mulai hari ini dan seterusnya, kebijakan luar negeri Amerika Serikat akan mengutamakan kepentingan inti Amerika dan selalu mengutamakan Amerika dan warga negara Amerika,” ujar Trump dalam perintah eksekutifnya.

    Dia mengatakan kebijakan ini berlaku sesegera mungkin. Dia memerintahkan Menteri Luar Negeri AS mengeluarkan panduan kebijakan America first.

    “Sesegera mungkin, Menteri Luar Negeri akan mengeluarkan panduan yang menyelaraskan kebijakan, program, personel, dan operasi Departemen Luar Negeri dengan kebijakan luar negeri America First, yang mengutamakan Amerika dan kepentingannya,” ujar Trump.

    Halaman 2 dari 3

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Dosa Besar Google Terungkap Lewat Dokumen Rahasia

    Dosa Besar Google Terungkap Lewat Dokumen Rahasia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Peran Google dalam memfasilitasi teknologi untuk Israel ternyata lebih besar dari yang pernah diungkap sebelumnya.

    Sebuah laporan baru dari The Washington Post, Google berulang kali bekerja sama dengan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan Kementerian Pertahanan Israel (IDM) untuk memperluas akses pemerintah ke alat AI.

    Pada 2021, Google menandatangani kontrak komputasi awan atau cloud senilai US$1,2 miliar dengan pemerintah Israel, yang dinamai project Nimbus, bersama dengan Amazon.

    Dokumen internal menunjukkan bahwa karyawan Google berulang kali meminta akses yang lebih besar ke teknologi AI perusahaan atas nama Israel. Tindakan ini dimulai tak lama setelah serangan yang terjadi di Gaza Palestina, Oktober 2023 lalu.

    Seorang karyawan di divisi cloud Google dilaporkan meningkatkan permintaan dari IDM untuk akses yang lebih besar ke Vertex, demikian dikutip dari Engadget, Kamis (23/1/2025)

    Dalam sebuah dokumen, seorang karyawan diduga memperingatkan IDM jika beralih ke Amazon, yang akan membuat Google kehilangan bisnisnya.

    Dokumen lain yang ditemukan pada November diduga menunjukkan karyawan tersebut berterima kasih kepada rekan kerjanya karena telah membantu permintaan dari Israel.

    Dokumen tambahan dari 2024 menunjukkan permintaan yang berlanjut hingga November 2024, dengan seorang karyawan meminta IDF menerima akses ke teknologi Gemini AI untuk mengembangkan asisten AI-nya sendiri.

    Permintaan tersebut adalah untuk meningkatkan pemrosesan audio dan dokumen, tetapi tidak jelas untuk apa teknologi ini digunakan dalam hal operasi militer.

    Berita ini memberikan titik terang pada protes karyawan atas kontrak Google Cloud dengan pemerintah Israel.

    Sebelumnya, karyawan Google melakukan protes dan menentang hubungan perusahaan dengan Israel sejak kontrak dimulai. Protes itu kemudian berlanjut membawa seruan dari para karyawannya agar Google keluar dari Nimbus.

    Sebaliknya, Google telah memecat lebih dari 50 karyawan karena memprotes kontrak tersebut karena apa yang disebutnya sebagai “perilaku yang mengganggu.”

    Pada pertengahan 2024, lebih dari 100 karyawan Google, yang terdiri dari para manajer dan anggota kelompok hak asasi manusianya, dilaporkan mengirim email kepada perusahaan untuk meninjau kembali kontrak Nimbus, tetapi Google mengabaikannya.

    (fab/fab)

  • Aplikasi TikTok Masih Hilang dari Google PlayStore dan App Store AS

    Aplikasi TikTok Masih Hilang dari Google PlayStore dan App Store AS

    Bisnis.com, JAKARTA – Aplikasi TikTok dilaporkan masih hilang dari Google Play Store dan App Store. Namun, ini hanya berlaku di Googe Play Store dan App Store AS.

    Dilansir dari USA Today, aplikasi media sosial berbasis video tersebut masih belum bisa ditemukan di Google Play Store dan App Store AS hingga Kamis, 23 Januari 2025, waktu Indonesia.

    Sebelumnya, Apple menyatakan di toko aplikasinya bahwa aplikasi tersebut tak lagi tersedia di etalasenya.

    “Aplikasi TikTok dan ByteDance lainnya tidak lagi tersedia di Amerika Serikat, dan pengunjung Amerika Serikat mungkin memiliki akses terbatas ke aplikasi tersebut,” bunyi keterangan di App Store.

    Sementara Google Play menjelaskan bahwa “unduhan untuk aplikasi ini dijeda karena persyaratan hukum AS saat ini”.

    Namun, TikTok baru-baru ini mendapat angin segar setelah Donald Trump memerintahkan Departemen Kehakimannya untuk menghentikan penegakan larangan pada aplikasi tersebut.

    Perintah eksekutif tersebut memberikan induk perusahaan TikTok, ByteDance, tambahan waktu 75 hari untuk membuktikan bahwa tak ada data yang dicuri dari pengguna di AS.

    Presiden Trump juga telah membuka pintu bagi kemungkinan perjanjian usaha patungan dengan mitra AS untuk menjaga TikTok tetap berjalan di negara tersebut.

    Meski demikian, CEO TikTok dilaporkan masih menolak gagasan itu karena alasan yang tidak diketahui.

    Hubungan Donald Trump dengan CEO TikTok, Shou Chew, dilaporkan baik-baik saja dan ini disinyalir menjadi petanda masa depan TikTok yang cukup cerah di Amerika.

    Shou Chew bahkan terlihat menghadiri acara pelantikan presiden terpilih Donald Trump di Washington dan muncul di acara kebaktian gereja sebelum upacara pelantikan.

  • Uni Eropa Cari Strategi Bersama untuk Hadapi Trump

    Uni Eropa Cari Strategi Bersama untuk Hadapi Trump

    Jakarta

    Pada hari pelantikan Donald Trump sebagai presiden baru Amerika Serikat (AS), tidak ada kemajuan besar bagi Uni Eropa (UE). Setidaknya untuk saat ini, Presiden AS itu belum mengumumkan tarif impor apa pun terhadap produk UE. Selama kampanye, Trump mengancam akan mengenakan tarif baru sebesar 10 hingga 20 persen pada produk impor dari UE.

    Eropa memang bukan prioritas paling atas dalam pada jam-jam pertama masa jabatan kedua Trump, seperti yang juga dicatat di Parlemen Uni Eropa pada hari Selasa (21/01). Akan tetapi, UE juga tengah mempersiapkan strategi untuk menghadapi pemerintahan baru Trump.

    Pada Forum Ekonomi Dunia di Davos di Swiss, Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen berbicara mendukung langkah-langkah pragmatis. “Kami akan bersikap pragmatis, tetapi kami akan selalu berpegang pada prinsip kami,” tegas politisi senior itu. Prioritas utama sekarang adalah membahas kepentingan bersama antara AS dan UE serta bersikap terbuka terhadap negosiasi.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Pada hari Senin (20/01), Trump mengatakan ingin menyeimbangkan defisit perdagangan dengan UE baik melalui tarif atau melalui ekspor energi yang lebih besar, seperti minyak dan gas alam.

    “Strategi ganda” perdagangan

    Di Parlemen Uni Eropa, Komisaris Perdagangan Maro efovi menekankan bahwa Uni Eropa sudah menjadi importir terbesar gas alam cair dari AS. Sekitar 50 persen gas LNG di UE berasal dari AS. Namun, delegasi dari Slowakia mengatakan bahwa mereka siap memperluas kerja sama strategis ini dengan pemerintahan Trump yang baru, dengan mempertimbangkan kemungkinan negosiasi. Namun, pada saat yang sama, mereka juga siap membela kepentingan sah jika diperlukan.

    Pendekatan ini kemungkinan besar adalah apa yang disebut sebagai “strategi ganda” oleh Bernd Lange, Ketua Komite Perdagangan Uni Eropa. Menurut politisi beraliran Demokrat Sosial itu, UE harus bernegosiasi jika memungkinkan dan mempertahankan diri terhadap serangan jika perlu.

    Anggota parlemen serukan persatuan Eropa

    Ada kesepakatan luas di antara anggota parlemen bahwa eskalasi konflik perdagangan dengan Donald Trump harus dicegah. Delegasi dari Spanyol, Francisco Jose Milln Mon, menekankan bahwa perang dagang tidak akan menguntungkan siapa pun.

    UE juga harus berupaya menjalin hubungan perdagangan dengan AS, kata politisi dari Partai Rakyat Eropa berhaluan konservatif itu. Selain itu, Eropa harus bertindak bersama-sama dan tidak mencoba mencari kesepakatan secara terpisah dengan Washington.

    Anggota Parlemen Partai Hijau Anna Cavazzini juga percaya bahwa “Eropa bersatu” harus menjadi jawaban untuk “Membuat Amerika hebat kembali”. Ini juga berarti tidak sedikit pun melepaskan kendali pengaturan atas perusahaan teknologi besar. Cavazzini mengimbau Komisi Uni Eropa untuk menggunakan pengaruh yang tersedia berdasarkan Undang-Undang Layanan Digital.

    Terutama dengan latar belakang pelantikan Trump dan kedekatannya dengan Elon Musk, pemilik Platform X, UE kembali mendapatkan momentum untuk berdiskusi tentang cara memastikan bahwa perusahaan teknologi besar mematuhi aturan. Undang-Undang Layanan Digital menetapkan bahwa tindakan harus diambil terhadap konten yang melanggar hukum dengan ancaman denda.

    Kritik dan pujian terhadap Trump

    Ada juga kata-kata yang jelas tentang Greenland, khususnya dari anggota parlemen Denmark seperti Stine Bosse. Anggota kelompok liberal Renew menekankan bahwa masa depan Greenland hanya dapat ditentukan oleh penduduk Greenland. Bahkan setelah menjabat, Trump menegaskan kembali bahwa Amerika Serikat membutuhkan Greenland untuk “keamanan internasional”.

    Sosial Demokrat Vytenis Povilas Andriukaitis mengkritik keputusan Trump untuk menangguhkan perjanjian iklim Paris, menyebutnya sebagai “aib.” Pihak Lithuania juga menyesalkan bahwa Ukraina tidak disebutkan dalam pidato pelantikan.

    Pujian terhadap tindakan pertama Donald Trump saat menjabat terutama datang dari kubu sayap kanan. Misalnya, Christine Anderson, anggota partai ekstremkanan Jerman Alternative fr Deutschland (AfD), yang memuji pidato pelantikan Trump sebagai “angin segar”. Ia akan memulihkan keamanan dalam negeri dengan menutup perbatasan dan mendeportasi semua migran ilegal.

    Di akhir perdebatan, Komisaris Perdagangan efovi menyatakan keyakinannya bahwa tidak ada masalah antara dua mitra dekat seperti AS dan Eropa yang tidak dapat diselesaikan dengan cara yang bersahabat dan kooperatif.

    Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu