kab/kota: Washington

  • Tinggalkan Trump, Elon Musk Kini Harus Hadapi Tantangan Berat

    Tinggalkan Trump, Elon Musk Kini Harus Hadapi Tantangan Berat

    Jakarta, Beritasatu.com – Elon Musk kini tengah dihadapkan pada tantangan berat setelah memutuskan keluar dari pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Miliarder yang dikenal dengan beragam bisnisnya ini kembali menghadapi tantangan besar di berbagai perusahaannya, yang masing-masing tengah berjuang mempertahankan posisi di pasar dan memulihkan citra yang sempat tercoreng.

    Melansir dari AP News, dimulai dari Tesla, perusahaan mobil listrik yang selama ini menjadi kebanggaan Musk. Penurunan laba yang mencapai 71% pada kuartal pertama tahun ini menjadi sinyal kuat bahwa Tesla sedang menghadapi tekanan serius.

    Ditambah lagi, persaingan dari produsen mobil listrik asal China semakin ketat, bahkan mereka kini menjadi penjual mobil listrik terbesar di dunia.

    Masa jabatan Musk di Washington, yang sempat dikaitkan dengan politik sayap kanan, juga dianggap memberi dampak negatif terhadap merek Tesla dan penjualannya.

    Sementara itu, bisnis media sosialnya, X, yang dulu dikenal sebagai Twitter, berusaha bangkit kembali setelah sempat kehilangan banyak pengiklan karena kebijakan kontroversial Elon Musk.

    Meski beberapa merek mulai kembali beriklan di platform tersebut, bisnis periklanan X masih jauh dari posisi sebelumnya dan menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan kestabilan platform tersebut.

    Di sisi lain, SpaceX, perusahaan roket milik Musk, terus menunjukkan potensi finansial besar meski mengalami beberapa kegagalan teknis baru-baru ini, seperti ledakan roket Starship yang menyulitkan misi NASA ke bulan.

    Namun, investor tetap optimis setelah nilai perusahaan meningkat drastis menjadi US$ 350 miliar dalam beberapa bulan terakhir.

    Starlink, layanan satelit internet milik SpaceX, juga tengah berjuang mendapatkan pijakan di pasar global.

    Keberhasilan meraih izin dan membuat kesepakatan di beberapa negara tampaknya masih sangat bergantung pada hubungan politik, terutama dukungan dari masa pemerintahan Trump yang kini sudah ditinggalkan Elon Musk.

    Selain itu, Musk tengah menantikan peluncuran robotaxi Tesla yang telah dijanjikan selama bertahun-tahun. Dengan uji coba awal yang akan digelar di Austin, Texas, keberhasilan taksi tanpa sopir ini sangat menentukan masa depan Tesla.

    Namun, tantangan teknologi dan regulasi masih menjadi hambatan besar, apalagi menghadapi pesaing, seperti Waymo milik Alphabet yang sudah lebih dulu beroperasi secara komersial.

    Kini, setelah meninggalkan pemerintahan Trump, Elon Musk harus membuktikan bahwa bisnisnya dapat bangkit tanpa bergantung pada hubungan politik yang dulu dia miliki.

  • Timeline Kebijakan Tarif Trump, dari Perang Lawan China Sampai Pemblokiran

    Timeline Kebijakan Tarif Trump, dari Perang Lawan China Sampai Pemblokiran

    Bisnis.com, JAKARTA – Keputusan tarif Presiden AS Donald Trump sejak dia menjabat pada 20 Januari telah mengejutkan pasar keuangan dan menimbulkan gelombang ketidakpastian dalam ekonomi global. 

    Teranyar, Pengadilan banding federal memberlakukan kembali kebijakan tarif impor yang ditetapkan Trump. Pemberlakuan itu terjadi sehari setelah pengadilan perdagangan internasional memutuskan Trump telah melampaui kewenangannya dalam mengenakan bea masuk dan telah memerintahkan pemblokiran segera terhadap bea masuk tersebut. 

    Melansir Reuters pada Sabtu (31/5/2025), Perintah dari Pengadilan Banding Amerika Serikat untuk Sirkuit Federal di Washington tidak memberikan pendapat atau alasan pemberlakuan tarif itu. 

    Berikut ini adalah kronologi perkembangan kebijakan tarif Trump sejak dia kembali menjabat sebagai Presiden AS:

    1 Februari – Trump mengenakan tarif sebesar 25% pada barang impor Meksiko dan sebagian besar Kanada dan 10% pada barang-barang dari China, menuntut mereka untuk mengekang aliran fentanil dan imigran ilegal ke Amerika Serikat.

    3 Februari – Trump menangguhkan ancaman tarifnya terhadap Meksiko dan Kanada, menyetujui jeda selama 30 hari sebagai imbalan atas konsesi pada penegakan hukum perbatasan dan kejahatan. AS tidak mencapai kesepakatan seperti itu dengan China.

    7 Februari – Trump menunda tarif pada paket de minimis yang menyasar paket bernilai murah dari China hingga Departemen Perdagangan dapat mengonfirmasi bahwa prosedur dan sistem telah tersedia untuk memprosesnya dan mengumpulkan pendapatan tarif.

    10 Februari – Trump menaikkan tarif pada baja dan aluminium menjadi 25% tetap tanpa pengecualian atau pembebasan.

    3 Maret – Trump mengatakan tarif 25% pada barang-barang dari Meksiko dan Kanada akan berlaku mulai 4 Maret dan menggandakan tarif terkait fentanil pada semua impor China menjadi 20%.

    5 Maret – Presiden setuju untuk menunda tarif selama satu bulan untuk beberapa kendaraan yang dibuat di Kanada dan Meksiko setelah menelepon CEO General Motors dan Ford dan ketua Stellantis.

    6 Maret – Trump membebaskan barang dari Kanada dan Meksiko berdasarkan pakta perdagangan Amerika Utara selama sebulan dari tarif 25%.

    26 Maret – Trump mengumumkan tarif 25% untuk mobil dan truk ringan impor.

    2 April – Trump mengumumkan tarif global dengan dasar 10% untuk semua impor dan bea masuk yang jauh lebih tinggi untuk beberapa mitra dagang terbesar AS.

    9 April – Trump menunda selama 90 hari sebagian besar tarif khusus negara yang berlaku kurang dari 24 jam sebelumnya menyusul pergolakan di pasar keuangan yang menghapus triliunan dolar dari bursa di seluruh dunia. Bea masuk menyeluruh sebesar 10% pada hampir semua impor AS tetap berlaku.

    Trump mengatakan akan menaikkan tarif impor dari China menjadi 125% dari level 104% yang berlaku sehari sebelumnya. Hal ini mendorong bea masuk tambahan untuk barang-barang China menjadi 145%, termasuk tarif terkait fentanil yang diberlakukan sebelumnya.

    13 April – Pemerintah AS memberikan pengecualian dari tarif tinggi untuk telepon pintar, komputer, dan beberapa barang elektronik lainnya yang sebagian besar diimpor dari China.

    22 April – Pemerintah Trump meluncurkan penyelidikan keamanan nasional berdasarkan Bagian 232 Undang-Undang Perdagangan tahun 1962 terhadap impor farmasi dan semikonduktor sebagai bagian dari upaya untuk mengenakan tarif pada kedua sektor tersebut.

    4 Mei – Trump mengenakan tarif 100% untuk semua film yang diproduksi di luar AS.

    9 Mei – Trump dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengumumkan perjanjian perdagangan bilateral terbatas yang tetap memberlakukan tarif 10% untuk ekspor Inggris, memperluas akses pertanian untuk kedua negara, dan menurunkan bea masuk AS yang mahal untuk ekspor mobil Inggris.

    12 Mei – AS dan China sepakat untuk memangkas sementara tarif timbal balik. Berdasarkan gencatan senjata 90 hari, AS akan memangkas tarif tambahan yang dikenakannya pada impor China menjadi 30% dari 145%, sementara bea masuk China atas impor AS akan dipangkas menjadi 10% dari 125%.

    13 Mei – AS memangkas tarif “de minimis” bernilai rendah pada pengiriman China, mengurangi bea masuk untuk barang senilai hingga $800 menjadi 54% dari 120%.

    23 Mei – Trump mengatakan ia merekomendasikan tarif langsung 50% atas barang-barang dari Uni Eropa mulai 1 Juni. Dia juga memperingatkan Apple bahwa mereka akan menghadapi tarif 25% jika ponsel yang dijualnya di AS diproduksi di luar negeri.

    25 Mei – Trump menarik kembali ancamannya untuk mengenakan tarif 50% pada impor dari UE, dan setuju untuk memperpanjang batas waktu perundingan antara AS dan blok tersebut hingga 9 Juli.

    28 Mei – Pengadilan perdagangan AS memblokir tarif Trump agar tidak berlaku dalam putusan yang menyatakan bahwa presiden telah melampaui kewenangannya dengan mengenakan bea masuk menyeluruh pada impor dari mitra dagang AS. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump mengatakan akan mengajukan banding atas putusan tersebut.

    29 Mei – Pengadilan banding federal untuk sementara memberlakukan kembali tarif Trump yang paling luas, dengan mengatakan bahwa pengadilan menghentikan sementara putusan pengadilan yang lebih rendah untuk mempertimbangkan banding pemerintah.

    Pengadilan banding juga memerintahkan penggugat dalam kasus tersebut untuk menanggapi paling lambat 5 Juni dan pemerintah paling lambat 9 Juni.

  • Guncang Timur Tengah, Sekutu AS Mau Beli Jet Tempur Canggih China

    Guncang Timur Tengah, Sekutu AS Mau Beli Jet Tempur Canggih China

    Jakarta, CNBC Indonesia – Dalam perkembangan yang berpotensi menggeser keseimbangan kekuatan militer di Timur Tengah, Mesir dilaporkan tengah mempertimbangkan pembelian jet tempur siluman generasi kelima J-35 buatan China.

    Langkah ini dinilai sebagai sinyal kuat bahwa Kairo mulai membuka diri terhadap pengaruh Beijing, di tengah ketegangan dengan sekutu lamanya, Amerika Serikat.

    Informasi ini pertama kali dilaporkan oleh Army Recognition Group, lembaga berbasis di Belgia yang fokus pada analisis militer. Mereka menyebut bahwa Panglima Angkatan Udara Mesir, Letnan JenderalMahmoudAbdelGawad, telah menunjukkan ketertarikan terhadap jet tempur siluman J-35.

    Meski belum ada konfirmasi resmi dari pihak berwenang Mesir maupun China, laporan ini menyita perhatian luas karena J-35 dirancang sebagai pesaing langsung F-35 buatan AS yang selama ini mendominasi pasar alutsista global.

    Sebuah indikasi nyata dari ketertarikan Mesir terhadap J-35 terlihat dalam peringatan 45 tahun hubungan militer Mesir-China yang digelar awal bulan ini. Dalam acara tersebut, model jet tempur J-35 dipamerkan secara terbuka, sebuah langkah yang disebut analis sebagai sinyal simbolik namun signifikan.

    Jenderal (Purn) Sayed Ghoneim, Ketua Institute for Global Security and Defense Affairs (IGSDA) yang berbasis di Abu Dhabi, menyatakan kepada Newsweek bahwa langkah ini bisa menjadi bentuk tekanan terhadap Amerika Serikat yang selama ini dinilai menghambat peningkatan dan pemeliharaan armada jet tempur Mesir.

    “Langkah ini bisa menjadi upaya untuk menekan AS agar lebih fleksibel terhadap permintaan Mesir akan jet tempur canggih-terutama setelah Washington mengabaikan kekhawatiran keamanan Mesir dalam konflik terbaru Israel di Gaza, dan tetap bersikukuh agar senjatanya tidak digunakan oleh negara manapun terhadap sekutu-sekutu AS,” ujar Ghoneim, dikutip Sabtu (31/5/2025).

    Saat ini, Mesir berupaya memodernisasi armada F-16 yang mulai menua, namun menghadapi kendala besar dalam hal pembiayaan, ditambah lagi dengan berbagai persyaratan ketat yang melekat pada sistem senjata dari negara-negara Barat.

    Hambatan serupa juga dihadapi Pakistan, yang akhirnya beralih ke China sebagai mitra militer utama. Dalam konflik udara dengan India, Islamabad dilaporkan telah menggunakan jet tempur J-10C buatan China. Jet yang sama juga ikut serta dalam latihan militer gabungan pertama antara Angkatan Udara China dan Mesir baru-baru ini.

    Jika Mesir benar-benar merealisasikan pembelian J-35, ini bisa menjadi perubahan strategis yang besar.

    “Langkah tersebut dapat mengurangi ketergantungan militer Mesir terhadap persenjataan AS-pergeseran yang bisa berdampak ke pasar senjata negara lain, karena Mesir kerap menjadi tolok ukur dalam menilai kualitas sistem persenjataan global,” jelas Ghoneim.

    Ia juga menyinggung bahwa hal ini sejalan dengan pola diversifikasi senjata yang telah dilakukan Mesir dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pembelian jet tempur Rafale dari Prancis, kerja sama militer dengan Korea Selatan dan Jerman, serta akuisisi komponen persenjataan dari berbagai negara.

    Namun di sisi lain, analis mempertanyakan sejauh mana China bersedia mengekspor teknologi sensitif seperti J-35 kepada negara seperti Mesir, yang secara historis memiliki hubungan erat dengan NATO.

    “Meskipun jet ini secara resmi ditujukan untuk pasar ekspor, pengiriman jet tempur siluman generasi kelima ke militer yang selama ini selaras dengan AS akan menjadi pergeseran strategis yang signifikan. Bagi Beijing, ini bisa menjadi pintu masuk ke kawasan yang selama ini didominasi Barat. Tapi hal ini juga membawa risiko politik dan teknologi yang tidak kecil,” catat Army Recognition Group.

    Sementara itu, media pemerintah Mesir mengabarkan bahwa Presiden China Xi Jinping dijadwalkan akan melakukan kunjungan ke Mesir dalam waktu dekat. Perdana Menteri Mesir menyebut kunjungan tersebut sebagai “titik balik” dalam penguatan kerja sama bilateral di tengah ketidakstabilan global dan regional.

     

    (luc/luc)

  • Pengusaha Masih Waswas Menunggu Keputusan Pengadilan soal Tarif Trump

    Pengusaha Masih Waswas Menunggu Keputusan Pengadilan soal Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Dunia usaha belum merasa tenang atas pemblokiran kebijakan tarif oleh Pengadilan Perdagangan Internasional Amerika Serikat (AS). 

    Untuk diketahui, pemerintahan AS mempertimbangkan upaya untuk memberlakukan tarif impor sebesar 15% selama 150 hari setelah pembatalan pemblokiran kebijakan serupa oleh Pengadilan Banding Federal. Sebelumnya, tarif Trump diblokir pengadilan AS.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan dunia usaha menyambut baik jika AS membatalkan kebijakan tarif. Namun, lanjut dia, pada kenyataannya saat ini belum ada kepastian terhadap keputusan pengadilan AS.

    “Pada kenyataannya saat ini belum ada certainty terhadap keputusan pengadilan perdagangan AS tersebut karena pemerintahan Trump mengajukan banding. Jadi kita belum tahu apakah pada akhirnya kebijakan tarif yang ada saat ini akan betul-betul dicabut atau tidak,” kata Shinta kepada Bisnis, Jumat (30/5/2025).

    Di sisi lain, Apindo menilai Trump kemungkinan besar bakal mencari cara lain untuk menciptakan hambatan perdagangan (trade barrier) jika nantinya pengadilan banding memutuskan untuk mencabut kebijakan tarif dari Kepala Negara AS.

    “Kami rasa pemerintahan Trump sendiri akan berupaya menggunakan cara lain untuk menciptakan trade barrier bagi Indonesia dan negara-negara lain di dunia di pasar AS karena intensi dari pemerintahan Trump sendiri adalah proteksionisme pasar AS,” ujarnya.

    Untuk itu, sambung Shinta, Apindo melihat bahwa perubahan kebijakan yang berubah-ubah saat ini hanya membuat situasi menjadi semakin tidak pasti.

    Pasalnya, Shinta menjelaskan bahwa kondisi ini belum bisa membantu pelaku usaha untuk membuat keputusan usaha yang terukur baik dari sisi risiko maupun peluang. Serta, belum bisa membantu dunia usaha mengambil keputusan yang efektif terhadap penciptaan daya saing di pasar AS, lantaran kebijakan tarif AS bisa berubah kapan pun.

    “Jadi meskipun sedikit menggembirakan, kami tetap tidak bisa mengandalkan keputusan pengadilan tersebut,” ungkapnya.

    Melansir Reuters pada Jumat (30/5/2025), pemerintah AS belum membuat keputusan akhir dan dapat menunggu untuk memberlakukan rencana apapun setelah Pengadilan Banding Federal pada Kamis (29/5/2025) memberlakukan kembali tarif Trump yang paling luas secara sementara.

    Adapun, keputusan tersebut membalikkan putusan pengadilan perdagangan AS blokir tarif Trump, yakni sebelumnya memerintahkan pemblokiran kebijakan tarif oleh Presiden AS Donald Trump. 

    Pengadilan Perdagangan Internasional sebelumnya dalam putusannya menyatakan Trump telah bertindak melampaui batas kewenangannya, dan kekuasaan untuk mengatur perdagangan luar negeri sepenuhnya berada di tangan Kongres.

    “Pengadilan tidak menilai apakah penggunaan tarif oleh Presiden itu bijak atau efektif. Yang jelas, undang-undang tidak mengizinkannya,” tulis panel tiga hakim dalam putusan.

    Pengadilan menilai alasan darurat nasional tidak cukup untuk membenarkan tindakan sepihak tersebut di bawah Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA).

    Di sisi lain, putusan dari Pengadilan Banding Amerika Serikat untuk Sirkuit Federal di Washington yang mengabulkan banding Pemerintah AS tidak memberikan pendapat atau alasan pemberlakuan tarif itu. Namun, pengadilan banding AS memerintahkan penggugat dalam kasus tersebut untuk menanggapi paling lambat pada 5 Juni dan administrasi paling lambat 9 Juni.

  • Profil Diaz Hendropriyono yang Kini jadi Komisaris Utama Telkomsel – Page 3

    Profil Diaz Hendropriyono yang Kini jadi Komisaris Utama Telkomsel – Page 3

    Pengalaman kerja Diaz Hendropriyono sangat beragam, mencakup sektor swasta, publik, dan politik.

    Di sektor swasta, ia pernah bekerja di PT KIA Otomotif Indonesia, kemudian sebagai Direktur di PT Ulam Sari Samudra (perusahaan distribusi makanan laut).

    Pada sektor publik, Diaz Hendropriyono pernah bekerja sebagai analis di perusahaan konsultan politik di Washington, D.C., dan sebagai research associate di RAND Corporation.

    Sebelumnya, Diaz juga pernah menjabat sebagai Komisaris Telkomsel pada periode 2015–2018. Kemudian, ia bergabung menjadi Anggota Dewan Analisis Strategis BIN (2012), serta Staf Khusus Presiden RI (2016–2024).

    Pada 21 Oktober 2024, Diaz dilantik sebagai Wakil Menteri Lingkungan Hidup dalam Kabinet Merah Putih.

  • Pengadilan Banding Kembali Berlakukan Tarif Trump, Gimana Selanjutnya?

    Pengadilan Banding Kembali Berlakukan Tarif Trump, Gimana Selanjutnya?

    Jakarta

    Pengadilan banding federal memberlakukan kembali kebijakan tarif yang ditetapkan Presiden Donald Trump pada Kamis (29/05), sehari setelah Pengadilan Perdagangan Internasional memerintahkan pemblokiran tarif.

    Pengadilan Banding Tingkat Federal di Washington menganulir putusan pengadilan yang lebih rendah untuk sementara guna mempertimbangkan banding pemerintah.

    Pengadilan banding kemudian memerintahkan penggugat dalam kasus tersebut untuk memberi tanggapan paling lambat tanggal 5 Juni. Adapun pemerintah AS juga diminta memberi tanggapan paling lambat tanggal 9 Juni.

    Sebelumnya, Pengadilan Perdagangan Internasional yang berbasis di Manhattan menyatakan bahwa Konstitusi AS memberikan kewenangan secara eksklusif kepada Kongres untuk mengatur perdagangan dengan negara lain.

    Kewenangan eksklusif Kongres ini, menurut pengadilan tersebut, tidak dapat digantikan oleh kewenangan presiden untuk menjaga perekonomian. Karena itu, pengadilan tersebut menyatakan Trump telah melampaui kewenangannya dalam mengenakan bea masuk.

    Apa yang terjadi selanjutnya?

    Tidak ada pengadilan yang membatalkan tarif pada mobil, baja, dan aluminium yang diberlakukan Trump dengan alasan masalah keamanan nasional berdasarkan Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan tahun 1962.

    Ia dapat memperluas pajak impor berdasarkan undang-undang tersebut ke sektor lain seperti semikonduktor dan kayu.

    Pasal 338 Undang-Undang Perdagangan tahun 1930 yang tidak digunakan selama beberapa dekade memungkinkan presiden untuk mengenakan tarif hingga 50% pada impor dari negara-negara yang “mendiskriminasi” AS.

    Namun, saat ini Gedung Putih tampaknya lebih fokus mengajukan banding pada putusan pengadilan. Masalah ini diperkirakan akan berakhir di Mahkamah Agung.

    Jika Gedung Putih tidak berhasil dalam bandingnya, Badan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) akan mengeluarkan arahan kepada para petugasnya.

    Hal ini dipaparkan John Leonard, mantan pejabat tinggi di CBP, kepada BBC.

    Di sisi lain, pengadilan yang lebih tinggi kemungkinan akan cenderung mendukung Trump.

    Akan tetapi, jika semua pengadilan menegakkan putusan Pengadilan Perdagangan Internasional, maka entitas bisnis yang harus membayar tarif akan menerima pengembalian dana atas jumlah yang dibayarkandengan bunga.

    Ini termasuk apa yang disebut tarif timbal balik, yang diturunkan menjadi 10% secara umum untuk sebagian besar negara.

    Untuk tarif produk-produk China yang naik menjadi 145% sekarang menjadi 30% menyusul kesepakatan AS-China baru-baru ini.

    Leonard mengingatkan bahwa untuk saat ini belum ada perubahan di perbatasan dan tarif masih harus dibayar.

    Berdasarkan reaksi pasar, sebagian investor seolah “menghela napas lega setelah volatilitas yang menegangkan selama berminggu-minggu yang perseteruan perang dagang,” ujar Stephen Innes dari SPI Asset Management.

    Innes mengatakan hakim AS memberikan pesan yang jelas: “Ruang Oval bukanlah meja perdagangan, dan Konstitusi bukanlah cek kosong.”

    “Pelampauan kekuasaan eksekutif akhirnya menemukan batasnya. Setidaknya untuk saat ini, stabilitas makro kembali muncul.”

    Paul Ashworth dari Capital Economics, mengatakan putusan tersebut “jelas akan mengacaukan dorongan pemerintahan Trump untuk dengan cepat menyegel ‘kesepakatan’ perdagangan selama jeda 90 hari dari tarif”.

    Dia memperkirakan negara-negara lain “akan menunggu dan melihat” apa yang akan terjadi selanjutnya.

    Siapa yang mengajukan gugatan?

    Putusan tersebut didasarkan pada dua kasus terpisah.

    Dalam kasus pertama, lembaga nonpartisan Liberty Justice Center mengajukan gugatan atas nama beberapa usaha kecil yang mengimpor barang dari negara-negara yang terdampak tarif Trump.

    Dalam kasus kedua, koalisi pemerintah negara bagian AS juga menggugat aturan impor tersebut.

    Kedua kasus ini merupakan tantangan hukum besar pertama bagi “Hari Pembebasan”, yaitu hari ketika Trump mengumumkan serangkaian tarif terhadap berbagai negara pada 2 April 2025.

    Panel yang terdiri dari tiga hakim memutuskan bahwa Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional (EEPA) tahun 1977 yang dijadikan dasar kebijakan oleh Trump tidak memberinya wewenang untuk mengenakan pajak impor besar-besaran.

    Pengadilan juga memblokir serangkaian pungutan terpisah yang diberlakukan pemerintahan Trump terhadap China, Meksiko, dan Kanada.

    Sebagaimana diketahui, pemerintahan Trump menyebut kebijakan ini dilakukan untuk merespons arus narkoba dan imigran ilegal ke AS.

    Akan tetapi, pengadilan tidak diminta untuk menangani tarif yang dikenakan pada beberapa barang tertentu seperti mobil, baja, dan aluminium yang berada di bawah undang-undang yang berbeda.

    Bagaimana reaksi sejauh ini?

    Dalam permohonan bandingnya, pemerintahan Trump mengatakan pengadilan perdagangan telah memberi penilaian terhadap presiden secara tidak tepat sehingga putusan yang dikeluarkan bakal menggagalkan perundingan perdagangan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan.

    “Pilar politik, bukan yudisial, yang membuat kebijakan luar negeri dan memetakan kebijakan ekonomi,” sebut pemerintahan Trump dalam pengajuan banding tersebut.

    Trump mengecam putusan pengadilan perdagangan internasional tersebut dalam sebuah unggahan di media sosial, dengan menulis: “Semoga Mahkamah Agung akan membatalkan keputusan yang mengerikan dan mengancam negara ini, DENGAN CEPAT dan TEGAS.”

    Baca juga:

    Di sisi lain, Letitia James, selaku jaksa agung New York, salah satu dari 12 negara bagian yang terlibat dalam gugatan tersebut, menyambut baik putusan pengadilan federal.

    “Hukumnya jelas: tidak ada presiden yang memiliki wewenang untuk menaikkan pajak sesuka hati,” kata James.

    “Tarif ini adalah kenaikan pajak besar-besaran bagi keluarga pekerja dan bisnis Amerika. Jika terus berlanjut, kebijakan ini akan menyebabkan inflasi yang lebih tinggi, memburuknya ekonomi bagi bisnis dalam skala mana pun, serta hilangnya lapangan pekerjaan di seluruh negeri,” tambahnya.

    Pasar global merespons positif putusan tersebut.

    Pasar saham di Asia naik pada Kamis (29/05) pagi dan kontrak berjangka saham AS melonjak.

    Dolar AS menguat terhadap mata uang safe haven, termasuk yen Jepang dan franc Swiss.

    Mata uang safe haven adalah mata uang yang nilainya cenderung stabil walau terjadi gejolak pasar.

    Apa yang melatarbelakangi putusan ini?

    Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump (Getty Images)

    Pada 2 April, Trump meluncurkan tarif global yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mengenakan pajak impor pada sebagian besar mitra dagang AS.

    Tarif dasar 10% dikenakan pada sebagian besar negara, ditambah tarif timbal balik yang lebih tinggi.

    Puluhan negara dan blok terkena dampak ini, termasuk Uni Eropa, Inggris, Kanada, Meksiko, dan China.

    Trump berargumen bahwa kebijakan ekonomi besar-besaran tersebut akan meningkatkan manufaktur AS dan melindungi lapangan kerja.

    Sejak pengumuman tersebut, pasar global terombang-ambing sejak pengumuman tersebut.

    Berbagai negara silih berganti berunding dengan perwakilan Trump untuk menegosiasikan pembalikan dan penangguhan tarif.

    Ketidakpastian pasar global semakin terganggu dengan adanya perang dagang antara AS dan China.

    Kedua negara adidaya ekonomi dunia terlibat dalam aksi saling menaikkan tarif yang mencapai puncaknya dengan pajak AS sebesar 145% untuk impor China, dan pajak China sebesar 125% untuk impor AS.

    Baca juga:

    AS dan China akhirnya menyetujui ‘gencatan senjata’ melalui kesepakatan bilateral.

    Bea masuk AS untuk China turun menjadi 30%, sementara tarif China untuk beberapa impor AS berkurang menjadi 10%.

    Inggris dan AS juga telah mengumumkan kesepakatan mengenai tarif yang lebih rendah antara kedua pemerintah.

    Di sisi lain, Trump mengancam tarif 50% mulai Juni untuk semua barang yang datang dari Uni Eropa.

    Presiden AS itu mengungkapkan rasa frustrasi dengan lambatnya perundingan perdagangan dengan blok tersebut.

    Trump kemudian setuju untuk memperpanjang tenggat waktu lebih dari sebulan setelah kepala Komisi Uni Eropa, Ursula von der Leyen, mengatakan bahwa pihaknya memerlukan lebih banyak waktu.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Manuver AS Tawarkan ‘Diskon’ usai Tarif Trump Diblokir Pengadilan AS

    Manuver AS Tawarkan ‘Diskon’ usai Tarif Trump Diblokir Pengadilan AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Amerika Serikat atau AS mempertimbangkan upaya untuk memberlakukan tarif impor sebesar 15% selama 150 hari setelah pembatalan pemblokiran kebijakan serupa oleh Pengadilan Banding Federal. Sebelumnya, tarif trump diblokir pengadilan AS.

    Melansir Reuters pada Jumat (30/5/2025), langkah tersebut merupakan kebijakan sementara untuk mengenakan tarif pada sebagian besar ekonomi global berdasarkan undang-undang yang berlaku. Wall Street Journal pertama kali melaporkan rencana ini dengan mengutip orang-orang yang mengetahui masalah tersebut. 

    Pemerintah AS belum membuat keputusan akhir dan dapat menunggu untuk memberlakukan rencana apa pun setelah Pengadilan Banding Federal pada Kamis (29/5/2025) memberlakukan kembali tarif Trump yang paling luas secara sementara.

    Keputusan tersebut membalikkan putusan pengadilan perdagangan AS blokir tarif Trump, yakni sebelumnya memerintahkan pemblokiran kebijakan tarif oleh Presiden AS Donald Trump. 

    Sebelumnya, Pengadilan Perdagangan Internasional dalam putusannya menyatakan bahwa presiden telah bertindak melampaui batas kewenangannya, dan bahwa kekuasaan untuk mengatur perdagangan luar negeri sepenuhnya berada di tangan Kongres.

    “Pengadilan tidak menilai apakah penggunaan tarif oleh Presiden itu bijak atau efektif. Yang jelas, undang-undang tidak mengizinkannya,” tulis panel tiga hakim dalam putusan tersebut.

    Pengadilan menilai bahwa alasan darurat nasional tidak cukup untuk membenarkan tindakan sepihak tersebut di bawah Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA).

    Sementara itu, putusan dari Pengadilan Banding Amerika Serikat untuk Sirkuit Federal di Washington yang mengabulkan banding Pemerintah AS tidak memberikan pendapat atau alasan pemberlakuan tarif itu. 

    Tetapi, pengadilan banding AS memerintahkan penggugat dalam kasus tersebut untuk menanggapi paling lambat pada 5 Juni dan administrasi paling lambat 9 Juni.

    Pemerintahan Presiden Trump merespons positif pembatalan pemblokiran tersebut. Penasihat perdagangan Trump, Peter Navarro menyebut pihaknya akan terus berupaya mencari cara untuk memberlakukan kebijakan itu.

    “Anda dapat berasumsi, bahkan jika kita kalah dalam kasus tarif, kita akan menemukan cara lain,” katanya dikutip dari BBC.

    Perkembangan Negosiasi Tarif

    Gedung Putih mengatakan proses banding dan putusan pengadilan tidak akan mengganggu negosiasi apa pun dengan mitra dagang utama yang dijadwalkan dalam beberapa hari ke depan. 

    Putaran keempat pembicaraan dengan Jepang dijadwalkan pada Jumat waktu setempat di Washington. Sementara itu, tim negosiasi perdagangan dari India akan menuju AS minggu depan untuk melakukan pembicaraan.

    Kepala negosiator perdagangan Jepang Ryosei Akazawa mengindikasikan tujuannya untuk menyelesaikan pembicaraan tarif tepat waktu untuk pertemuan bulan Juni antara Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba.

    Pernyataan Akazawa menyusul panggilan telepon antara Trump dan Ishiba yang berjanji untuk bertemu di sela-sela pertemuan puncak G-7 bulan depan. 

    Beberapa jam setelah itu, Trump mengindikasikan persetujuannya untuk kemitraan antara Nippon Steel Corp. dan United States Steel Corp., meningkatkan harapan bahwa presiden mungkin lebih bersedia mendengarkan posisi Jepang.

    “Telah dipastikan bahwa para pemimpin kedua negara menantikan pertemuan mereka. Kami akan melakukan yang terbaik dengan mempertimbangkan hal itu,” ungkap Akazawa.

    Sementara itu, Menteri Keuangan Scott Bessent menyebut pembicaraan dagang antara AS dan China saat ini sedikit tersendat. Dia menyebut pembicaraan ini kemungkinan akan membutuhkan keterlibatan langsung Presiden Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping, untuk mencapai kesepakatan.

    Bessent menyebut, suatu saat nanti Trump dan Xi akan melakukan panggilan telepon untuk membahas negosiasi perdagangan ini.

    “Mengingat besarnya pembicaraan, mengingat kompleksitasnya … ini akan mengharuskan kedua pemimpin untuk saling mempertimbangkan. Mereka memiliki hubungan yang baik, dan saya yakin bahwa China akan hadir di meja perundingan ketika Presiden Trump menyatakan pilihannya,” kata Bessent.

  • Bursa Asia Melemah karena Pengadilan Banding Pertahankan Tarif Trump

    Bursa Asia Melemah karena Pengadilan Banding Pertahankan Tarif Trump

    Jakarta, Beritasatu.com – Pasar saham di Asia melemah pada perdagangan Jumat (30/5/2025) pagi. Hal ini terjadi setelah pengadilan banding di Amerika Serikat memutuskan untuk mempertahankan tarif impor Presiden Donald Trump, sehari setelah keputusan pengadilan sebelumnya menangguhkan kebijakan Trump dan sempat memicu reli pasar.

    Nikkei Jepang mencatat penurunan paling signifikan sebesar 1,7% pada pagi hari. Sementara itu, indeks Hang Seng Hong Kong melemah 1,4%, indeks saham unggulan Tiongkok (CSI 300) turun 0,3%, dan indeks Kospi Korea Selatan merosot 0,5%. Indeks MSCI untuk saham Asia-Pasifik di luar Jepang juga terpantau turun 0,4%.

    Dilansir dari Reuters, pada Kamis (29/5/2025), Pengadilan Banding Federal di Washington memulihkan sementara tarif yang diberlakukan oleh Trump, sambil mempertimbangkan banding dari pemerintah.

    Sebelumnya, pengadilan dagang AS menyatakan secara bulat bahwa Trump telah melampaui kewenangannya, karena pengenaan tarif merupakan wewenang Kongres, bukan presiden.

    “Agenda perdagangan Trump masih hidup dan berjalan, dengan pertarungan hukum yang menambah satu lapis ketidakpastian lagi,” kata Rodrigo Catril, analis senior valuta asing di National Australia Bank.

    “Satu-satunya hal yang terlihat semakin pasti adalah makin banyak ketidakpastian,” tambahnya. Ia memperkirakan hal ini akan menyebabkan penundaan tambahan dalam pengambilan keputusan investasi dan perekrutan tenaga kerja.

    Sementara itu, harga emas sebagai aset aman tidak banyak berubah di angka US$ 3.311 per troi ons. Sedangkan harga minyak mentah melemah. Brent dan West Texas Intermediate (WTI) masing-masing turun 0,3% menjadi US$ 63,97 dan US$ 60,75 per barel.

  • Pengadilan Banding AS Aktifkan Kembali Tarif Impor Trump

    Pengadilan Banding AS Aktifkan Kembali Tarif Impor Trump

    Jakarta, Beritasatu.com – Pengadilan Banding Federal Amerika Serikat (AS) pada Kamis (29/5/2025) mengaktifkan kembali tarif impor yang diberlakukan oleh mantan Presiden Donald Trump, hanya sehari setelah Pengadilan Perdagangan Internasional AS menyatakan bahwa Trump telah melampaui kewenangannya dalam menetapkan tarif tersebut dan memerintahkan penghentian langsung atas kebijakan itu.

    Dilansir dari Reuters, dalam keputusannya, Pengadilan Banding Federal di Washington menyatakan bahwa putusan pengadilan tingkat bawah akan ditangguhkan sementara untuk memberi waktu pemerintah mengajukan banding. Penggugat diminta memberikan tanggapan paling lambat 5 Juni 2025, sementara pemerintahan Trump diberi batas waktu hingga 9 Juni 2025.

    Putusan mengejutkan yang dikeluarkan pada Rabu (28/5/2025) oleh panel tiga hakim Pengadilan Perdagangan Internasional sempat mengancam pengenaan tarif liberation day terhadap mayoritas mitra dagang AS, termasuk tarif tambahan terhadap barang-barang dari Kanada, Meksiko, dan China. Tarif ini diberlakukan oleh Trump dengan alasan ketiga negara tersebut berkontribusi dalam masuknya fentanyl ke AS.

    Pengadilan menyatakan, Konstitusi AS memberikan kewenangan penetapan tarif dan pajak kepada Kongres, bukan presiden. Trump dianggap menyalahgunakan Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA) yang semestinya hanya berlaku untuk situasi darurat nasional.

    Meski demikian, pejabat tinggi dalam pemerintahan Trump menyatakan tidak gentar dengan putusan tersebut. Mereka yakin akan menang dalam proses banding atau menggunakan kewenangan presiden lainnya untuk memastikan tarif tetap berlaku.

    Trump mengandalkan ancaman tarif tinggi terhadap hampir seluruh mitra dagang dunia sebagai alat tawar dalam negosiasi perdagangan internasional. Dalam pernyataannya di media sosial, Trump mengecam putusan tersebut dan menyebutnya sebagai putusan mengerikan yang mengancam negara. Ia juga berharap Mahkamah Agung akan membatalkan keputusan itu.

    Reaksi dari mitra dagang AS cenderung hati-hati. Pemerintah Inggris menyebut hal ini sebagai urusan domestik AS dan masih merupakan tahap awal dari proses hukum. Jerman dan Komisi Eropa menolak memberikan komentar. Sementara itu, Perdana Menteri Kanada Mark Carney menyatakan bahwa putusan itu sejalan dengan sikap Kanada selama ini bahwa tarif Trump bersifat ilegal.

  • Nego Tarif AS-China Mandek, Trump dan Xi Jinping Harus Turun Tangan

    Nego Tarif AS-China Mandek, Trump dan Xi Jinping Harus Turun Tangan

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan AS, Scott Bessent mengungkap perkembangan terbaru negosiasi perdagangan terkait pengenaan tarif impor antara AS dan China.

    Melansir Reuters pada Jumat (30/5/2025), Bessent menyebut pembicaraan dagang antara kedua negara saat ini sedikit tersendat. Dia menyebut pembicaraan ini kemungkinan akan membutuhkan keterlibatan langsung Presiden AS Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping, untuk mencapai kesepakatan.

    Dua minggu setelah negosiasi terobosan yang dipimpin oleh Bessent yang menghasilkan gencatan senjata sementara dalam perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia, Bessent mengatakan bahwa kemajuan sejak saat itu lambat. Tetapi, dia mengharapkan lebih banyak pembicaraan dalam beberapa minggu ke depan.

    Bessent menyebut, suatu saat nanti Trump dan Xi akan melakukan panggilan telepon untuk membahas negosiasi perdagangan ini.

    “Mengingat besarnya pembicaraan, mengingat kompleksitasnya … ini akan mengharuskan kedua pemimpin untuk saling mempertimbangkan. Mereka memiliki hubungan yang baik, dan saya yakin bahwa China akan hadir di meja perundingan ketika Presiden Trump menyatakan pilihannya,” kata Bessent.

    Bessent mengatakan sebelumnya bahwa beberapa mitra dagang, termasuk Jepang, bernegosiasi dengan itikad baik dan dia tidak mendeteksi adanya perubahan dalam sikap mereka sebagai akibat dari putusan pengadilan perdagangan tersebut. 

    Bessent mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan delegasi Jepang pada Jumat waktu setempat di Washington.

    Perjanjian AS-China untuk mengurangi tarif tiga digit selama 90 hari memicu reli besar-besaran di pasar saham global. Namun, perjanjian itu tidak mengatasi alasan mendasar di balik tarif Trump atas barang-barang China, terutama keluhan lama AS tentang model ekonomi China yang didominasi negara dan didorong oleh ekspor, sehingga masalah tersebut akan dibahas di masa mendatang.

    Sejak kesepakatan pertengahan Mei, pemerintahan Trump telah berkonsentrasi pada negosiasi tarif dengan mitra dagang utama lainnya, termasuk India, Jepang, dan Uni Eropa. Trump minggu lalu mengancam tarif 50% untuk barang-barang Uni Eropa, tetapi kemudian menunda ancaman tersebut.

    Pengadilan perdagangan AS pada Rabu memutuskan bahwa Trump telah melampaui kewenangannya dalam mengenakan sebagian besar tarifnya pada impor dari China dan negara-negara lain berdasarkan undang-undang kewenangan darurat. 

    Namun, kurang dari 24 jam kemudian, pengadilan banding federal memberlakukan kembali tarif tersebut, dengan mengatakan bahwa pengadilan tersebut menunda putusan pengadilan perdagangan untuk mempertimbangkan banding pemerintah. 

    Pengadilan banding memerintahkan penggugat untuk menanggapi paling lambat tanggal 5 Juni dan pemerintah untuk menanggapi paling lambat tanggal 9 Juni.