kab/kota: Tiongkok

  • Eximbank dan ICBC Jalin Sinergi Demi Perkuat Ekosistem Ekspor Nasional

    Eximbank dan ICBC Jalin Sinergi Demi Perkuat Ekosistem Ekspor Nasional

    Jakarta

    Indonesia Eximbank dan Bank ICBC Indonesia menandatangani perjanjian kredit senilai USD 250 juta, yang terdiri dari fasilitas revolving sebesar USD 100 juta dan pinjaman berjangka tiga tahun sebesar USD 150 juta. Penandatanganan ini melanjutkan kemitraan strategis antara kedua institusi keuangan yang telah terjalin lama untuk memperkuat ekosistem ekspor nasional.

    Penandatangan perjanjian dilaksanakan di Jakarta pada Rabu (15/10) lalu oleh Kepala Divisi Funding & Treasury LPEI, Lianawaty Mihardja dan Director ICBC Indonesia, Liu Hongbo dengan disaksikan oleh Direktur Pelaksana Keuangan, Operasional, dan Teknologi Informasi LPEI, Anwar Harsono dan Director ICBC Indonesia, Fransisca Nelwan Mok.

    Direktur Pelaksana Keuangan, Operasional, dan Teknologi Informasi LPEI Anwar Harsono sebagai Special Mission Vehicle (SMV) di bawah Kementerian Keuangan, LPEI terus memperluas sinergi dengan berbagai mitra strategis, termasuk Bank ICBC Indonesia, yang telah menjalin kerja sama sejak tahun 2015.

    LPEI menyampaikan apresiasi atas kepercayaan dan komitmen Bank ICBC Indonesia dalam mendukung mandat LPEI selama satu dekade terakhir. Indonesia Eximbank dan ICBC Indonesia sepakat untuk terus mendorong peningkatan aktivitas perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok, di tengah tantangan serta dinamika pasar global yang terus berkembang.

    “Momen ini tidak hanya menandai pencapaian finansial, tetapi juga memperkuat kembali kemitraan yang dibangun atas dasar saling menghormati, visi bersama, dan dukungan berkelanjutan sejak 2015. Indonesia Eximbank bersama ICBC Indonesia terus berkomitmen untuk terus menjajaki peluang baru, mendukung dan meningkatkan kapasitas pelaku usaha berorientasi ekspor, dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia,” kata Anwar dalam keterangannya, Jumat (24/10/2025).

    Director Bank ICBC Indonesia Liu Hongbo menyampaikan apresiasi atas terlaksananya penandatanganan kerjasama strategis antara ICBC Indonesia dengan Indonesia Eximbank. Kolaborasi yang dilandasi profesionalisme, keandalan, dan integritas, menjadi bukti sinergi dua lembaga dalam mencapai tujuan bersama.

    Selain itu, inisiatif ini juga mencerminkan komitmen berkelanjutan untuk mendukung ekosistem nasional dan memperkuat konektivitas keuangan, khususnya antara Indonesia dan Tiongkok.

    “Selama bertahun-tahun, Bank ICBC Indonesia telah menorehkan berbagai pencapaian penting dalam kontribusinya terhadap industri keuangan nasional. Sebagai bagian dari ICBC Group, institusi perbankan dengan total aset terbesar di dunia, kami terus memperkuat peran sebagai jembatan keuangan antara Indonesia dan Tiongkok. Melalui kemitraan ini, ICBC Indonesia menghadirkan solusi keuangan yang inovatif dan adaptif, termasukpengembangan bisnis Renminbi (RMB), peningkatan fasilitas trade financing, serta digitalisasi layanan perbankan untuk mendukung pelaku ekspor impor,” ujar Liu Hongbo.

    (ega/ega)

  • Rebut Nexperia dari China, Belanda Nyaris Lumpuhkan Industri Otomotif Eropa

    Rebut Nexperia dari China, Belanda Nyaris Lumpuhkan Industri Otomotif Eropa

    Jakarta

    Beberapa hari silam, asosiasi produsen otomotif Eropa ACEA melayangkan peringatan ancaman “penghentian produksi,” setelah produsen cip Belanda Nexperia mengumumkan tidak lagi bisa menjamin suplai bagi pabrik-pabrik Eropa.

    Produsen Jerman Volkswagen, misalnya, mengumumkan akan menghentikan sementara produksi VW Golf pekan ini karena kekurangan cip, lapor kantor berita Reuters. Keluhan serupa juga disuarakan pabrikan lain.

    Huru-hara terbaru dipicu larangan ekspor yang diberlakukan Beijing terhadap pabrik Nexperia di Tiongkok. Karena pada akhir September silam, perusahaan Belanda yang sudah dimiliki sepenuhnya oleh raksasa teknologi Cina Wingtech sejak 2018 itu, diambil alih paksa oleh pemerintah di Den Haag.

    Untuk itu, pemerintah mengaktifkan undang era Perang Dingin bernama Availability of Goods Act, yang belum pernah digunakan sebelumnya.

    Den Haag menyebut keputusan itu diambil karena ada kekhawatiran akan transfer teknologi sensitif dari Nexperia ke perusahaan induknya di Cina. Nexperia memproduksi cip untuk mobil dan elektronik konsumen, termasuk komponen sederhana seperti dioda dan transistor.

    Belanda tidak mengambil alih kepemilikan saham, melainkan namun memiliki kewenangan membatalkan atau memblokir keputusan manajemen jika dianggap membahayakan keamanan nasional atau ekonomi. Keputusan tersebut membuat saham Wingtech di bursa Shanghai turun 10 persen.

    Wingtech menyebut langkah Belanda sebagai “campur tangan berlebihan yang didorong oleh bias geopolitik”, dan mengatakan sedang berkonsultasi dengan pengacara serta meminta dukungan pemerintah Cina untuk “melindungi hak dan kepentingan perusahaan.”

    Ketegangan dengan Beijing

    Dalam panggilan telepon pada Selasa (21/10), Menteri Perdagangan Cina Wang Wentao menyampaikan protes langsung kepada Menteri Ekonomi Belanda Vincent Karremans.

    “Tindakan yang diambil Belanda terhadap Nexperia Semiconductor telah secara serius memengaruhi stabilitas rantai industri dan pasokan global,” kata Wang.

    Ia menambahkan, “Cina mendesak Belanda untuk bertindak dari sudut pandang menjaga keamanan dan stabilitas rantai industri serta pasokan global, dan segera menyelesaikan masalah ini dengan tepat.”

    Menurut Kementerian Perdagangan Cina, pembicaraan tersebut dilakukan atas permintaan Karremans. Dalam pernyataannya, Karremans mengatakan, “Kami membahas langkah lanjutan menuju solusi yang bisa mengakomodasi kepentingan Nexperia, ekonomi Eropa, dan ekonomi Cina. Dalam waktu ke depan, kami akan terus berkomunikasi dengan otoritas Cina untuk mencari penyelesaian yang konstruktif.”

    Namun hingga kini, kedua pihak belum mencapai kesepakatan.

    Industri otomotif Eropa terdampak

    Nexperia memproduksi cip yang dibutuhkan dalam jumlah besar dan digunakan secara luas di industri otomotif serta elektronik konsumen. Sebagian besar cip diproduksi di Eropa, tetapi dikemas di Cina, membuat kedua pihak tidak dapat segera menemukan mitra alternatif.

    Akibat blokir ekspor tersebut, industri otomotif Jerman mulai memperingatkan risiko gangguan produksi. Asosiasi industri otomotif VDA meminta pemerintah Belanda mencari solusi cepat dan praktis.

    “Situasi ini bisa menyebabkan pembatasan produksi dalam waktu dekat, bahkan hingga penghentian produksi, jika gangguan pasokan cip Nexperia tidak segera diatasi,” ujar Presiden VDA Hildegard Mueller dalam pernyataannya.

    Sengketa ini memperburuk ketegangan perdagangan global yang telah menekan industri Eropa, di tengah kenaikan tarif impor Amerika Serikat (AS) serta pembatasan ekspor logam tanah jarang oleh Cina, yang sama-sama penting bagi industri kendaraan listrik dan semikonduktor.

    Nexperia dan hubungannya dengan Wingtech

    Nexperia dulunya merupakan bagian dari Philips Semiconductors sebelum dibeli Wingtech pada tahun 2018 senilai 3,63 miliar dolar AS atau sekitar Rp58,6 triliun. Sejak Desember 2024, AS menempatkan Wingtech dalam daftar hitam (entity list), karena dituduh membantu pemerintah Cina mengakuisisi perusahaan Barat dengan kemampuan manufaktur semikonduktor sensitif

    Dalam pernyataan sebelumnya, Kementerian Ekonomi Belanda menepis keterlibatan Amerika Serikat dalam keputusan pengambilalihan Nexperia, dan menyebut waktunya “murni kebetulan.”

    Dalam putusannya pada 1 Oktober, pengadilan komersial Amsterdam beralasan penangguhan CEO Wingtech Zhang Xuezheng dari posisinya sebagai direktur eksekutif di Nexperia diputuskan, setelah menemukan “alasan kuat untuk meragukan kebijakan manajemen.”

    Wingtech menyebut keputusan itu sebagai upaya terselubung untuk mengambil alih kekuasaan di perusahaan, dan mengatakan akan menempuh jalur hukum untuk melindungi kepentingannya.

    Editor: Rizki Nugraha

    (ita/ita)

  • Langkah Berani BYD di Jepang, Rilis Produk Tantang Kei Car

    Langkah Berani BYD di Jepang, Rilis Produk Tantang Kei Car

    Jakarta

    BYD sedang mengekspansi pasar Jepang. Brand asal China ini bakal merilis mobil listrik untuk menyasar pasar Kei Car (K-Car).

    Pasar otomotif Jepang dikenal kompetitif. BYD mengambil langkah berani bukan dengan mobil sport atau SUV mewah, melainkan dengan sesuatu yang jauh lebih sederhana dan jauh lebih simbolis: kei car, kendaraan mungil yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari jalanan Jepang pasca Perang Dunia II.

    BYD baru saja merilis teaser untuk mobil listrik kei pertamanya. Dari segi tampilan, mobil ini dirancang khusus untuk segmen mobil mikro di Jepang. Hal ini tercermin dari profil sampingnya, mobil ini punya overhang pendek, garis atap mobil terlihat tinggi, dan roda yang diletakkan di sudut-sudut ekstrem untuk membantu memaksimalkan ruang kabin.

    Foto-foto spy yang beredar di media sosial Tiongkok menunjukkan bahwa mobil ini juga akan memiliki pintu geser di bagian belakang, meningkatkan sisi kepraktisannya.

    Mobil mini BYD ini diproyeksikan bakal memiliki baterai 20 kWh dengan jangkauan sekitar 180 km (111 mil) berdasarkan siklus uji WLTC.

    Segmen kei car merupakan pasar yang sangat unik dan secara kompetisi didominasi oleh produsen mobil domestik Jepang, seperti Daihatsu, Honda, Suzuki, dan aliansi Nissan-Mitsubishi.

    Mobil listrik kecil ini akan debut pada akhir bulan ini di Japan Mobility Show (JMS) 2025.

    Singkatnya, langkah BYD memasuki segmen Kei car adalah upaya yang berani untuk menembus pasar Jepang.

    Harga mobil ini diperkirakan akan dimulai sekitar ¥2,5 juta (sekitar Rp 270 jutaan), menempatkannya di bawah pesaing seperti Nissan Sakura dan Mitsubishi eK X EV

    (riar/rgr)

  • Robot AiMOGA, Disukai Pangeran Mahkota sampai Sales Mobil

    Robot AiMOGA, Disukai Pangeran Mahkota sampai Sales Mobil

    Jakarta

    Tiga tahun lalu, Chery Automobile memperkenalkan digital avatar atau asisten digital untuk mendukung strategi pemasarannya. Kini, evolusi itu mencapai puncaknya lewat kehadiran AiMoga, robot humanoid cerdas yang benar-benar keluar dari layar dan hadir di dunia nyata.

    Robot AiMoga bukan sekadar inovasi futuristik, ia kini bisa berjalan, berbicara, berdiri tegak, bahkan berinteraksi secara emosional dengan manusia.

    Robot ini juga membuka konferensi tentang kecerdasan buatan di Chery International User Summit. Dia juga menyambut sambil melambaikan para peserta sesaat akan memasuki ruangan konferensi.

    Saat ini, AiMoga sudah bekerja di beberapa dealer 4S Chery di Tiongkok, membantu menyambut tamu dan menjelaskan produk mobil kepada konsumen.

    Di Indonesia, Chery juga rupanya sudah mengenalkan robot ini di dealernya di Pantai Indah Kapuk. Robot AiMOGA bernama Mornine ini selain bertugas menyambut tamu juga menjelaskan tentang mobil.

    “Semenjak ada AiMOGA ini sangat membantu kami dalam menjelaskan tentang mobil dan juga kami bisa lebih fokus kepada konsumen. Jadi kerja sama lebih ringan dan pelayanan konsumen juga lebih maksimal,” ujar Dimas, salah seorang Sales Eksekutif Chery di Pantai Indah Kapuk.

    Menurut Xia Peng, Wakil Presiden Eksekutif AiMoga dan Wakil GM Aimoga Robot, ide awalnya sederhana bagaimana jika asisten digital Chery bisa keluar dari layar?

    “Kami memulai gagasan untuk membuat robot humanoid yang bisa berbicara, memiliki tubuh, bergerak, dan berdiri. Sekarang, AiMoga bisa menyapa tamu, menjelaskan produk, dan memberikan pengalaman interaktif yang lebih personal di ruang pamer Chery,” ujar Xia Peng.

    Menariknya, AiMoga kini tak hanya dikenal di dunia otomotif. Ia juga menjadi sosok populer di media sosial China, bahkan Xia Peng menyebut Putra Mahkota Malaysia disebut sebagai salah satu penggemar robot AiMOGA.

    Kecerdasan dan Kemampuan Motorik Setara Level 3

    Dalam sistem klasifikasi teknologi otonom, kendaraan dibagi menjadi Level 0 hingga Level 5. AiMoga menggunakan standar yang sama untuk robotika. Saat ini, AiMoga disebut sudah berada di teknologi otonom Level 3, artinya mampu mengambil keputusan secara mandiri, berinteraksi dengan suara, dan menghindari rintangan di sekitarnya.

    Robot ini dapat mengambil botol minuman dari meja, membuka pintu, dan berjalan stabil di lingkungan yang dinamis seperti ruang pamer mobil. Ia juga bisa meniru gerakan manusia dengan tingkat akurasi 95%.

    AiMoga memiliki ‘tubuh’ dengan sistem sensorik kuat dan otot cerdas yang memungkinkan pergerakan halus dan stabil hingga 20.000 jam tanpa gangguan.

    Beberapa fitur andalannya meliputi:

    – Kepala yang mampu bergerak bebas 15 derajat
    – Mata yang mampu mengikuti jari manusia
    – Ekspresi wajah dinamis, termasuk kemampuan untuk mengekspresikan ‘senang’ atau ‘sedih” menyesuaikan emosi lawan bicara
    – Sistem suara multilingual yang bisa memahami 11 bahasa dan menangkap percakapan alami. Saat kami mencoba berinteraksi dengan AiMOGA, robot Mornine bisa menjawab dengan cukup lancar

    “Mornine akan ikut sedih kalau Anda sedih,” ujar Xia Peng.

    Selain itu, AiMoga terhubung dengan platform cloud terbuka yang memungkinkan integrasi dengan berbagai perangkat robotik dan mobil pintar Chery di masa depan.

    Sebelum diluncurkan, AiMoga menjalani lebih dari 10.000 jam pelatihan simulasi dan 4.000 jam uji tanpa henti dalam 1.300 skenario dunia nyata. Tim AiMoga juga menetapkan 600 indikator evaluasi kualitas untuk memastikan performa, keamanan, dan stabilitasnya.

    Berkat sistem uji ketat tersebut, AiMoga kini menjadi perusahaan pertama di dunia yang berhasil meraih sertifikasi Uni Eropa untuk perangkat keras humanoid. Pencapaian ini membuka jalan bagi AiMoga untuk mulai dipasarkan secara komersial di Eropa.

    Dengan kapabilitas tinggi dan sistem pembelajaran berkelanjutan, AiMoga bukan sekadar robot showroom. Ia diharapkan menjadi asisten manusia masa depan-mampu bekerja di lingkungan rumah, publik, bahkan sektor layanan publik seperti kesehatan.

    “Kami membangun AiMoga bukan hanya untuk industri otomotif, tapi sebagai simbol integrasi teknologi, kecerdasan buatan, dan kemanusiaan,” tutup Xia Peng.

    (ddn/rgr)

  • Ketika Dunia Terjebak di Antara Dua Raksasa

    Ketika Dunia Terjebak di Antara Dua Raksasa

    Jakarta

    Ada yang berubah dalam wajah globalisasi. Dunia yang dulu percaya bahwa perdagangan bebas adalah jembatan menuju kemakmuran kini justru terbelah oleh tembok tarif dan sekat teknologi.

    Amerika Serikat dan Tiongkok-dua raksasa yang dulu saling membutuhkan-kini saling mencurigai. Perseteruan dagang yang pernah redup, kembali menyala dengan bara baru: perang atas masa depan ekonomi hijau dan kecerdasan buatan.

    Washington menaikkan tarif hingga 100 persen untuk mobil listrik asal Tiongkok, dengan dalih melindungi industri dalam negerinya. Beijing membalas dengan langkah senyap: membatasi ekspor grafit, gallium, dan germanium-bahan yang menjadi darah bagi industri baterai dan chip semikonduktor.

    Dunia pun bergetar, sebab yang diguncang bukan hanya harga, melainkan struktur kekuasaan ekonomi global.

    Dalam laporan IMF (2025), ketegangan ini diperkirakan memangkas pertumbuhan ekonomi dunia hingga 0,7 persen. Nilai yang tampak kecil di atas kertas, namun sejatinya menggoyang jutaan lapangan kerja dan rantai pasok lintas benua.

    AS kini menanggung defisit perdagangan USD 128 miliar terhadap Tiongkok, sementara ekspor Tiongkok ke negara-negara selatan melonjak-pertanda strategi Beijing mengalihkan porosnya ke BRICS, ASEAN, dan Afrika.

    Namun perang ini bukan lagi tentang baja atau tekstil, melainkan tentang siapa yang menguasai algoritma dan energi bersih. Tiongkok menguasai 80 persen pasar global baterai kendaraan listrik dan lebih dari 60 persen logam tanah jarang (rare earth) yang jadi bahan dasar chip dan turbin angin.

    Sementara AS berupaya mempertahankan supremasi lewat subsidi besar-besaran untuk energi bersih dan pembatasan ekspor teknologi tinggi. Dunia menyaksikan dua raksasa bertarung di medan baru: medan ideologi ekonomi.

    Kini globalisasi bergerak dengan wajah lain. Ia tak lagi menebarkan keterbukaan, melainkan menciptakan blok-blok kepentingan yang semakin tertutup. Neo-merkantilisme modern hadir dalam bentuk kebijakan proteksi hijau dan nasionalisme teknologi.

    Setiap negara berlomba melindungi rantai pasok kritisnya, seolah dunia kembali ke masa pra-WTO-masa ketika kekuatan diukur dari siapa yang mampu memproduksi sendiri dan menutup diri dari risiko luar. Dunia menjadi cermin retak tempat keadilan ekonomi global dipertaruhkan.

    Bagi negara berkembang, situasi ini adalah ujian kebijakan. Banyak yang tergoda mengikuti pola proteksionisme, padahal tanpa kesiapan industri dan riset, proteksi hanya memperlambat pembelajaran.

    ASEAN, termasuk Indonesia, seharusnya tidak sekadar menjadi arena rebutan, tetapi menjadi arsitek tata niaga baru yang lebih seimbang. Perdagangan harus dipandang bukan sebagai kompetisi tanpa batas, melainkan sebagai ekosistem kolaboratif berbasis teknologi dan keberlanjutan.

    Indonesia berada tepat di tengah badai itu. Menurut BPS (April 2025), impor nonmigas dari Tiongkok mencapai USD 25,77 miliar, hampir 40 persen dari total impor nasional. Sebaliknya, ekspor kita ke sana hanya USD 18,9 miliar, sebagian besar bahan mentah.

    Kita masih berdiri di ujung rantai nilai global, menambang lebih banyak daripada mencipta. Di saat negara lain menyiapkan pabrik chip, kita baru menyiapkan gudang bijih nikel.

    Padahal, sejarah jarang memberi peluang kedua. Ketika perusahaan global menjalankan strategi China+1 untuk mencari lokasi produksi baru, Indonesia seharusnya menjadi magnet alami: kaya sumber daya, berpenduduk muda, dan berada di jantung ASEAN. Tapi peluang itu tak akan berarti tanpa reformasi struktural: penyederhanaan regulasi, investasi di riset, dan keberanian membangun ekosistem industri hijau.

    Kita perlu menyiapkan strategi baru-bukan sekadar menunggu investasi datang, melainkan menciptakan daya saing berbasis value creation. Pemerintah perlu berani mengubah paradigma hilirisasi: dari sekadar mengolah bahan mentah menjadi alat diplomasi ekonomi yang menghubungkan industri dalam negeri dengan rantai pasok global. Indonesia harus menjadi simpul, bukan hanya sumber.

    Perang dagang ini sejatinya adalah panggung besar untuk menilai siapa yang siap melangkah ke era baru. Dunia tak lagi diatur oleh tarif semata, tetapi oleh inovasi, efisiensi, dan kecerdasan buatan. Mereka yang menguasai teknologi akan menguasai rantai pasok; mereka yang hanya mengandalkan bahan mentah akan tertinggal dalam sejarah.

    Kita perlu keluar dari logika lama-bahwa kekayaan alam cukup untuk menjamin masa depan. Yang menentukan bukan apa yang ada di perut bumi, melainkan apa yang tumbuh di kepala manusia. Indonesia harus menyiapkan diri menjadi produsen nilai tambah, bukan sekadar pemasok bahan mentah.

    Mungkin inilah waktunya Indonesia mengambil posisi yang lebih berani: menjadi jembatan antara dua raksasa, bukan korban tarik-menarik di antara keduanya. Dengan diplomasi ekonomi yang cerdas, kita bisa memanfaatkan kebijakan proteksi mereka sebagai ruang inovasi bagi diri sendiri. Sebagaimana Jepang pascaperang dan Korea pada era 1980-an, kita bisa menulis narasi kebangkitan melalui teknologi, bukan sekadar perdagangan.

    Jika perang dagang ini adalah pertarungan dua raksasa, maka negara seperti kita adalah para penonton yang punya pilihan: sekadar menatap atau mulai menulis naskah sendiri. Namun sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani melangkah keluar dari ketakutan. Setiap krisis menyimpan biji peluang, setiap guncangan global membuka celah bagi bangsa yang mau berinovasi.

    Dunia boleh terbelah antara Washington dan Beijing, tetapi masa depan tidak akan menunggu mereka saja. Ia akan berpihak kepada yang berpikir cepat, berinvestasi dalam pengetahuan, dan menolak tunduk pada nasib.

    Mungkin, di antara riuh mesin dan senyap pasar dunia, Indonesia sedang menulis babnya sendiri. Sebuah kisah kecil di tengah panggung besar-tentang bangsa yang mencoba berdiri tegak di antara dua bayang raksasa, menatap masa depan dengan kepala tegak, dan berkata pelan: kami tidak ingin hanya menjadi pasar, kami ingin menjadi pemain.

    Edi Setiawan. Dosen dan Peneliti FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.

    (rdp/imk)

  • Kampung Cina Cibubur di Ujung Napas: Pusat Wisata Ikonik yang Mulai Terlupakan
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        23 Oktober 2025

    Kampung Cina Cibubur di Ujung Napas: Pusat Wisata Ikonik yang Mulai Terlupakan Megapolitan 23 Oktober 2025

    Kampung Cina Cibubur di Ujung Napas: Pusat Wisata Ikonik yang Mulai Terlupakan
    Tim Redaksi
    BOGOR, KOMPAS.com
    – Kampung Cina di kawasan Kota Wisata Cibubur, Kabupaten Bogor sempat menjadi magnet wisata. Namun, kini perlahan kehilangan napasnya.
    Bangunan yang dulu megah dengan ornamen oriental kini dibiarkan keropos dan ditumbuhi ilalang.
    Kawasan yang ramai pada tahun 2000-an itu pernah menjadi destinasi favorit warga untuk berburu pernak-pernik Tiongkok, berfoto di bawah lampion merah, dan menikmati kuliner khas oriental.
    Namun, sejak pandemi Covid-19, pesonanya memudar dan menyisakan kenangan.
    Saat
    Kompas.com
    menelusuri kawasan ini pada Selasa (21/10/2025), suasana yang ditemui jauh dari ingatan masa kejayaannya.
    Dari ratusan kios yang dulu beroperasi, kini hanya empat yang masih buka, tiga di antaranya warung makan.
    Atap-atap bangunan banyak yang bocor, cat dinding terkelupas, dan dedaunan kering menumpuk di jalan setapak yang dulu ramai oleh wisatawan.
    “Suasananya udah beda banget. Banyak toko tutup, bangunan-bangunannya udah pada hancur, udah ga keurus ini, kayaknya emang udah ga buat wisata lagi deh,” kata Rani (44), salah satu pengunjung.
    Ia masih mengingat masa ketika Kampung Cina menjadi tempat favorit keluarga untuk berfoto, nongkrong, hingga menikmati jajanan khas Tiongkok.
    “Saya datang ke sini karena kebetulan lagi lewat aja, sekian lah lihat-lihat buat nostalgia. Dulu waktu jamannya ini rame banget. Jadi tempat foto-foto, nongkrong, sama jajanan-jajanan khasnya juga banyak,” ujar dia
    Kini, Kampung Cina tak lagi dikenal sebagai tujuan wisata, melainkan sekadar tempat makan siang bagi pekerja di sekitar kawasan Kota Wisata Cibubur.
    “Ya karena kerja di sini kebetulan. Tapi emang sekarang yang datang paling orang-orang sekitar aja, atau karyawan lain yang makan siang,” ujar Dito (41), salah satu karyawan yang bekerja tak jauh dari lokasi.
    Ia mengaku datang ke kawasan itu bukan untuk berwisata, melainkan sekadar mencari makan.
    “Biasanya cuma buat makan siang, udah jadi kebiasaan. Kalau bukan karena kerja, mungkin saya juga gak akan ke sini,” kata dia.
    Dito masih mengingat jelas saat kawasan ini menjadi magnet wisata setiap akhir pekan.
    “Dulu rame banget. Tiap hari ada aja rombongan datang, terutama pas weekend. Toko-toko semua buka, ada musik, dekorasinya rame. Sekarang mah kaya foodcourt jatuhnya,” ucap dia.
    Menurut Dito, perubahan drastis itu mulai terjadi sejak pandemi, saat itu banyak pedagang yang tak lagi kembali pasca pembatasan aktivitas.
    “Kalau ga salah itu sejak pandemi itu. Waktu itu tuh banyak yang ga buka lagi pedagang jadi yang buka tuh cuma beberapa kaya tukang baju kebanyakan, terus mungkin pengunjung juga semakin sepi jadinya pada pindah, akhirnya kelihatan makin mati,” ungkap dia.
    Meski kini nyaris ditinggalkan, sejumlah pengunjung berharap agar Kampung Cina bisa kembali hidup.
    Baik Dito maupun Rani percaya, suasana meriah Kampung Cina bisa kembali jika pengelola melakukan revitalisasi dan menghadirkan kegiatan yang menarik wisatawan.
    “Harapan saya sih Kampung Cina bisa kembali ramai engga cuma (jadi) tempat makan siang, jadi ada kehidupan di sini, engga sepi kayak sekarang,” kata Dito.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketika China Menghunus Senjata Tanah Jarang

    Ketika China Menghunus Senjata Tanah Jarang

    Jakarta

    Dominasi Cina dalam penambangan, pengolahan, dan suplai logam tanah jarang menghasilkan pengaruh signifikan atas Amerika Serikat dalam perundingan dagang yang sedang berlangsung. Logam atau mineral tanah jarang (LTJ) merupakan bahan baku penting untuk pembuatan ponsel pintar, kendaraan listrik, hingga teknologi militer.

    Cina menguasai sekitar 60% produksi logam tanah jarang global dan hampir 90% proses pemurniannya. Baru-baru ini, Beijing kian memperkuat cengkeramannya akan mineral kritis tersebut dengan memberlakukan pembatasan ekspor LTJ dan magnet permanen.

    Pembatasan tersebut diterapkan sebagai respons terhadap tarif tinggi yang dikenakan Presiden AS Donald Trump terhadap ekspor Cina yang kemudian sempat dilonggarkan untuk memungkinkan negosiasi perdagangan berjalan.

    Namun, pada hari Kamis (16/10), Cina mengumumkan perluasan pembatasan ekspor terhadap logam tanah jarang, membatasi teknologi pengolahan, dan secara eksplisit membatasi ekspor kepada pengguna di sektor pertahanan dan semikonduktor di luar negeri.

    Kebijakan ini dipandang sebagai balasan Beijing, setelah Washington membatasi ekspor chip dan produk semikonduktor dari negara ketiga ke Cina.

    Pembatasan diberlakukan beberapa pekan sebelum pertemuan langsung Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping, dan semakin mengekspos kerentanan AS karena kurangnya kapasitas pemurnian di dalam negeri.

    “Seluruh dunia bergantung pada pasokan magnet permanen dari Cina,” kata Jost Wbbeke, pengelola lembaga riset Sinolytics di Berlin yang fokus menganalisa ekonomi serta kebijakan industri Cina, kepada DW. “Jika mereka berhenti mengekspor bahan baku tersebut, dampaknya akan terasa di seluruh dunia.”

    Michael Dunne, konsultan otomotif yang fokus pada Cina, mengatakan kepada The New York Times pada bulan Juni bahwa pembatasan ekspor dari Tiongkok”bisa membuat pabrik perakitan mobil Amerika berhenti total.”

    AS kehabisan stok

    Survei oleh Kamar Dagang Amerika di Cina pada bulan Mei silam menunjukkan bahwa 75% perusahaan AS memperkirakan stok logam tanah jarangakan habis dalam beberapa bulan. Produsen AS sebabnya mendesak Washington untuk menegosiasikan kelonggaran.

    Selama perundingan dagang di London pada bulan Juni, Cina sepakat mempercepat lisensi ekspor, meski masih menyebabkan antrean panjang. Pembatasan ekspor terbaru Cina mengancam implementasi kesepakatan ini.

    Kontrol strategis Cina atas logam tanah jarang sebagai alat geopolitik bukanlah hal baru. Pada 2010, Beijing menghentikan ekspor ke Jepang selama dua bulan di tengah sengketa Pulau Senkaku, memicu lonjakan harga dan mengekspos risiko rantai pasokan.

    Gabriel Wildau, direktur perusahaan konsultan Teneo yang berbasis di New York, memperingatkan sistem lisensi ekspor Cina adalah hal yang permanen, bukan sekadar respons terhadap tarif Trump. Wildau turut mengatakan pada kliennya bahwa “pemutusan pasokan akan selalu jadi ancaman,” sebagai sinyal Cina untuk mempertahankan pengaruhnya atas AS.

    Tak hanya Amerika, tapi juga Eropa

    AS bukan satu-satunya ekonomi yang terdampak oleh kekurangan logam tanah jarang. Uni Eropa bergantung pada Cina untuk 98% magnet logam tanah jarangnya, yang dibutuhkan untuk komponen mobil, jet tempur, dan perangkat pencitraan medis.

    Asosiasi Pemasok Otomotif Eropa memperingatkan pada bulan Juni bahwa sektor tersebut “sudah mengalami gangguan signifikan” akibat pembatasan ekspor Cina, menambahkan bahwa hal ini telah menyebabkan “penutupan beberapa jalur produksi dan pabrik di seluruh Eropa, dengan dampak lebih lanjut ke depan seiring menipisnya persediaan.”

    Alberto Prina Cerai, peneliti di Italian Institute for International Political Studies (ISPI), mengatakan kepada DW, “Dari segi skala, Barat tidak bisa mengejar Cina.”

    “Mereka memiliki rantai pasokan terintegrasi dari tambang hingga magnet yang sangat sulit ditiru.” Namun, meski pemisahan total dari Cina “tidak terpikirkan” dalam jangka pendek, ia mengatakan UE sebaiknya “mengelola ketergantungan ini dengan strategi industri yang koheren,” jelasnya.

    Komisi Eropa, berniat mendorong memproduksi 7.000 ton magnet berbasis UE secara domestik pada 2030 di bawah Undang-Undang Bahan Mentah Kritis, dengan beberapa proyek pertambangan, pemurnian, dan daur ulang. Sebuah pabrik pemrosesan logam tanah jarang besar dibuka di Estonia tahun ini, dan fasilitas besar lainnya di barat daya Prancis akan beroperasi pada 2026.

    Komisaris Perdagangan UE Maros Sefcovic menyebut pembatasan Cina “sangat mengganggu” sektor otomotif dan industri Eropa. Cina mengusulkan “jalur hijau” untuk mempercepat persetujuan lisensi bagi perusahaan UE, tetapi para ahli memperingatkan persetujuan masih bisa memakan waktu hingga 45 hari.

    India turut pangkas ekspor

    Meski memiliki cadangan logam tanah jarang terbesar kelima di dunia, sebesar 6,9 juta metrik ton, India menyumbang kurang dari 1% pasokan global. Negara Asia Selatan ini kekurangan kapasitas pemurnian untuk pengolahannya untuk dapat digunakan dalam aplikasi berteknologi tinggi. India juga bergantung pada ekspor Cina, yang juga menghadapi pembatasan.

    Meskipun New Delhi telah meningkatkan upaya untuk mendiversifikasi pasokan melalui kesepakatan dengan AS, Australia, dan negara-negara Asia Tengah, kemajuannya masih lambat.

    Pada bulan Juni, New Delhi memerintahkan perusahaan tambang milik negara, IREL, untuk menghentikan ekspor mineral yang diproduksi domestik, termasuk ke Jepang, guna menjaga pasokan bagi produsen dalam negeri. Pada 2024, IREL mengirim sepertiga dari 2.900 metrik ton logam tanah jarangnya untuk diproses di Jepang.

    Beberapa pesaing genjot produksi logam tanah jarang

    44 juta ton cadangan logam tanah jarang dimiliki Cina, cadangan kolektif sekitar 31,3 juta ton laina dimiliki Brazil, India, dan Australia, menurut Survei Geologi AS. Sekitar 20 juta ton baru-baru ini ditemukan di Kazakstan.

    AS dan Australia paling maju dalam meningkatkan output penambangan dan pemrosesan logam tanah jarang mereka sendiri, sementara rencana negara lain masih pada tahap awal hingga menengah, memerlukan waktu lima hingga 10 tahun dengan pertimbangan dampak lingkungan dan miliaran dolar investasi.

    Sumber potensial lain berasal dari Greenland, dengan kondisi cuacan ekstrem. AS dan UE telah menandatangani kesepakatan kerja sama, dan pada 2023, Proyek Tanbreez di selatan Greenland dinilai sebagai proyek logam tanah jarang paling unggul oleh penyedia data industri pertambangan Mining Intelligence, dengan perkiraan 28,2 juta ton.

    Namun sampai pasokan logam tanah jarang alternatif meningkat secara signifikan, Cina akan terus menggunakan sumber daya kritis ini sebagai senjata geopolitik yang kuat, menahan industri dan negara di seluruh dunia dalam cengkeramannya.

    Wbbeke dari Sinolytics skeptis apakah negara lain akan pernah menantang cengkeraman Cina atas logam tanah jarang karena keunggulan ekonomi yang dimiliki pemimpin pasar tersebut.

    “Begitu Cina mencabut kontrol ekspor, harga akan turun, dan situasi pasokan akan membaik. Tidak ada yang akan membicarakan [ketergantungan berlebihan pada Cina] lagi karena kemudian semuanya akan bergantung harga,” kata Wbbeke kepada DW. “Tambang dan pabrik pemurnian non-Cina harus bersaing dengan harga tersebut dan sepertinya mereka tidak bisa.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Rizky Nugraha

    Tonton juga video “Taman Jodoh di China, Bisa Promosi Pakai CV” di sini:

    (ita/ita)

  • Biang Kerok Harga Emas Hari Ini Ambruk Rp 177 Ribu/Gram

    Biang Kerok Harga Emas Hari Ini Ambruk Rp 177 Ribu/Gram

    Jakarta

    Harga emas dunia kembali melemah pada perdagangan Selasa (21/10). Sebelumnya harga emas mencatat rekor tertinggi di sekitar US$ 4.380 per troy ounce. Penurunan tajam ini disebabkan oleh penguatan Dolar AS dan aksi ambil untung oleh sebagian besar pelaku pasar.

    Dari sisi fundamental, pelemahan harga emas juga dipengaruhi oleh menurunnya permintaan fisik. Meningkatnya selera risiko investor di tengah optimisme baru atas hubungan dagang Amerika Serikat dan Tiongkok juga menjadi salah satu penyebabnya.

    Sementara itu, Indeks Dolar AS (DXY) kini mendekati 98,84, level tertinggi dalam sepekan, menandai penguatan tiga hari berturut-turut terhadap enam mata uang utama dunia. Kekuatan Dolar ini menjadi salah satu faktor utama yang menekan harga emas dalam jangka pendek.

    Menurut Analis Dupoin, Andy Nugraha, kombinasi formasi candlestick harian dan indikator Moving Average (MA) menunjukkan tekanan jual semakin kuat. “Secara teknikal, tren jangka pendek XAU/USD saat ini berada dalam fase bearish, dengan peluang pelemahan menuju area psikologis US$ 4.000,” jelasnya.

    Meski begitu, jika harga gagal menembus level tersebut, koreksi teknikal berpotensi muncul dengan target kenaikan terdekat di sekitar US$ 4.183.

    Penurunan harga emas dunia ini juga berpengaruh bagi kestabilan harga emas di Tanah Air. Dikutip dari laman resmi Logam Mulia, harga emas dalam negeri mengacu pada harga emas internasional. Sehingga pergerakan mata uang Rupiah terhadap dollar AS menjadi penentu dari naik-turunnya harga emas lokal.

    Hari ini, harga Emas Antam turun tajam hingga Rp 177.000 per gram. Penurunan ini jadi yang paling dalam sepanjang sejarah perdagangan dalam negeri. Di sini, Andy mengingatkan ketidakpastian global masih tinggi.

    “Retorika Trump yang sering berubah-ubah serta negosiasi dagang yang belum stabil membuat pelaku pasar tetap waspada. Emas tetap menjadi instrumen lindung nilai penting di tengah risiko politik dan ekonomi global,” katanya.

    Secara keseluruhan, emas menilai bahwa meskipun tren saat ini cenderung melemah, prospek jangka menengah emas tetap positif. Kombinasi faktor makroekonomi global mulai dari kebijakan moneter longgar, ketegangan geopolitik, hingga ketidakpastian fiskal AS diperkirakan akan tetap menjadi penopang daya tarik emas sebagai aset lindung nilai utama hingga akhir tahun.

    Lihat juga Video: Urusan Emas Jadi Mudah dan Cepat #mulaidaritring!

    (fdl/fdl)

  • 4
                    
                        Kampung Cina Kota Wisata Cibubur Nyaris Mati, Warga Minta Direvitalisasi
                        Megapolitan

    4 Kampung Cina Kota Wisata Cibubur Nyaris Mati, Warga Minta Direvitalisasi Megapolitan

    Kampung Cina Kota Wisata Cibubur Nyaris Mati, Warga Minta Direvitalisasi
    Tim Redaksi
    BOGOR, KOMPAS.com –
    Pengunjung dan pekerja di kawasan Kampung Cina, Kota Wisata Cibubur, Kabupaten Bogor, berharap kawasan tersebut direnovasi dan direvitalisasi agar kembali ramai dan hidup seperti masa jayanya.
    “Kalau bisa direnovasi lagi, diperbaiki, mungkin ditambah acara atau pertunjukan barongsai, pasti bakal ramai lagi. Orang-orang pasti senang,” kata Rani (44), salah seorang pengunjung, Selasa (21/10/2025).
    Rani mengaku sedih melihat perubahan drastis kawasan yang dulu menjadi salah satu ikon wisata Cibubur.
    Menurut dia, kawasan yang semula ramai untuk berburu pernak-pernik Tiongkok dan berfoto bersama keluarga kini hanya menyisakan kenangan.
    “Saya sih berharap Kampung Cina bisa seperti dulu. Banyak toko buka, pengunjung ramai lagi. Jadi orang bisa datang buat wisata,” tambahnya.
    Ia juga menekankan pentingnya penyelenggaraan acara rutin untuk menarik pengunjung kembali.
    “Kalau ada
    event
    rutin, mungkin orang-orang bakal datang lagi. Jadi misal Imlek nanti bisa juga jadi hiburan untuk keluarga,” ujar Rani.
    Harapan yang sama disampaikan Dito (41), seorang karyawan sekitar lokasi. Ia ingin kawasan itu tidak hanya menjadi tempat makan siang pekerja, tetapi kembali berfungsi sebagai destinasi wisata.
    “Harapan saya sih Kampung Cina bisa kembali ramai, enggak cuma jadi tempat makan siang, jadi ada kehidupan di sini, enggak sepi kayak sekarang,” kata Dito.
    Pantauan
    Kompas.com,
    Selasa (21/10/2025), suasana kawasan tampak sepi dan jauh dari kesibukan masa lalu.
    Dari ratusan kios yang dulu beroperasi, kini hanya tersisa empat, tiga di antaranya warung makan yang menjadi tempat istirahat pekerja sekitar.
    Kondisi fisik bangunan juga memprihatinkan. Banyak atap bocor, cat dinding mengelupas, dan dedaunan kering menumpuk di berbagai sudut. Beberapa toko di area belakang bahkan sudah diratakan karena lama tidak digunakan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Tak Perlu Tunggu Laporan untuk Usut Dugaan Korupsi Whoosh

    KPK Tak Perlu Tunggu Laporan untuk Usut Dugaan Korupsi Whoosh

    GELORA.CO -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu menunggu laporan untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh.

    Hal itu disampaikan Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi merespons pernyataan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebutkan bahwa KPK tidak perlu menunggu laporan masyarakat untuk mengusut dugaan korupsi, melainkan dapat segera melakukan penelusuran jika sudah ada informasi awal.

    “Dalam proyek Whoosh ini saya sependapat dengan Bang Mahfud MD, KPK tidak perlu tunggu laporan lagi,” kata Muslim kepada RMOL, Rabu, 22 Oktober 2025.

    Pernyataan Mahfud MD yang mendesak KPK agar proaktif ini muncul setelah ia mengungkapkan adanya dugaan ‘mark up’ (penggelembungan biaya) pada proyek Whoosh. Menurut Mahfud, ada selisih biaya yang signifikan antara perhitungan pihak Indonesia dan versi Tiongkok.

    Muslim Arbi menambahkan, KPK seharusnya langsung bertindak karena proyek Whoosh ini sudah menjadi perhatian publik yang luas dan bahkan diakui bermasalah oleh pejabat tinggi.

    Apalagi kata Muslim, mantan anak buah Presiden ke-7 Joko Widodo alias Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan sudah mengungkapkan kondisi Whoosh sejak awal.

    “Wong Luhut sendiri bilang Whoosh itu barang busuk. Karena beban dan kerugian negaranya sudah jelas, KPK tunggu apa lagi. Jangan sampai KPK kaya orang linglung yang nggak ngerti tugasnya sendiri. Kan aneh KPK seperti itu,” pungkas Muslim