kab/kota: Tel Aviv

  • Israel Akan Hancurkan Terowongan Hamas Setelah Semua Sandera Bebas

    Israel Akan Hancurkan Terowongan Hamas Setelah Semua Sandera Bebas

    Tel Aviv

    Israel berencana menghancurkan sisa-sisa jaringan terowongan bawah tanah Hamas yang ada di wilayah Jalur Gaza, setelah semua sandera dibebaskan berdasarkan kesepakatan gencatan senjata terbaru. Pemerintah Israel menyebut penghancuran terowongan akan dilakukan dengan persetujuan Amerika Serikat (AS).

    Hal tersebut, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Senin (13/10/2025), disampaikan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz, dalam pernyataan terbarunya pada Minggu (12/10) waktu setempat.

    Katz mengatakan bahwa operasi penghancuran terowongan bawah tanah Hamas itu akan dilakukan di bawah “mekanisme internasional” yang dipimpin AS, yang menjadi salah satu mediator gencatan senjata Gaza yang berlangsung sejak Jumat (10/10) lalu.

    “Tantangan besar Israel setelah fase pembebasan sandera adalah penghancuran semua terowongan teroris Hamas di Gaza,” kata Katz dalam sebuah pernyataan.

    “Saya telah memerintahkan militer untuk bersiap melaksanakan misi ini,” ujarnya.

    Disebutkan oleh Katz bahwa terowongan bawah tanah di Jalur Gaza akan dihancurkan dalam kerangka perlucutan senjata dan demiliterisasi Hamas, yang diperkirakan akan terjadi pada tahap selanjutnya, atau tahap kedua, dari rencana gencatan senjata yang diusulkan Presiden AS Donald Trump.

    Hamas telah menyetujui tahap pertama, yang mewujudkan gencatan senjata sejak Jumat (10/10) dan pembebasan 48 sandera Israel pada Senin (13/10) waktu setempat, dengan imbalan pembebasan lebih dari 1.700 tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel.

    Namun demikian, Hamas telah menolak seruan untuk melucuti persenjataan mereka.

    Salah satu pejabat senior Hamas, Hossam Badran, mengatakan kepada AFP pada Minggu (12/10) bahwa tahap kedua dari rencana damai Gaza yang diusulkan Trump “mengandung banyak kerumitan dan kesulitan”.

    Sebelumnya, Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu mengklaim Israel meraih kemenangan atas Hamas.

    “Bersama-sama kita meraih kemenangan luar biasa, kemenangan yang memukau seluruh dunia… Namun di saat yang sama, saya harus memberi tahu Anda, perjuangan belum berakhir,” ujar Netanyahu.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Skenario Pertukaran Sandera dan Tahanan Antara Hamas dengan Israel

    Skenario Pertukaran Sandera dan Tahanan Antara Hamas dengan Israel

    Tel Aviv

    Israel mengaku akan membebaskan tahanan Palestina setelah mereka menerima semua sandera yang ditawan Hamas di Gaza. Pembebasan tahanan Palestina, katanya, akan dilakukan saat para sandera telah masuk ke wilayah Israel.

    “Tahanan Palestina akan dibebaskan setelah Israel mendapat konfirmasi bahwa semua sandera kami yang akan dibebaskan besok telah melintasi perbatasan menuju Israel,” ujar Juru Bicara PM Israel, Shosh Bedrosian, seperti dilansir Al Arabiya, Senin (13/10/2025).

    Dia mengatakan sandera yang telah tewas akan diidentifikasi lebih dulu oleh para ahli forensik di Israel. Bedrosian mengatakan para tahanan Palestina akan berada di dalam bus yang siap berangkat selama proses identifikasi berlangsung.

    “Begitu kami mendapat konfirmasi bahwa mereka (para sandera) telah memasuki wilayah Israel, bus-bus tersebut akan berangkat dan memulai perjalanan mereka,” ujarnya.

    Dia mengatakan pembebasan semua sandera yang ditawan di Jalur Gaza selama lebih dari 2 tahun diperkirakan akan dimulai Senin pagi waktu setempat. Israel dan Hamas telah menyetujui tahap pertama dari rencana yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang di Gaza.

    Perang itu diklaim Israel sebagai balasan atas serangan Hamas yang menewaskan 1.200 orang di Israel pada 7 Oktober 2023. Hamas juga menyandera ratusan orang setelah peristiwa itu.

    Serangan Israel ke Gaza telah menewaskan 67 ribu warga, ratusan ribu orang terluka dan jutaan orang menjadi pengungsi. Krisis pangan juga terjadi akibat blokade Israel.

    Kini, Hamas dan Israel sepakat gencatan senjata. Hamas akan membebaskan 47 sandera dalam kondisi hidup dan mati yang tersisa. Hamas juga diperkirakan akan menyerahkan jenazah seorang tentara yang tewas pada tahun 2014 dalam perang Gaza sebelumnya.

    Saat gencatan senjata terakhir, identifikasi para sandera yang tewas baru dikonfirmasi setelah autopsi di Institut Forensik Abu Kabir Israel.

    “Kami berharap ke-20 sandera kami yang masih hidup akan dibebaskan bersamaan ke Palang Merah dan diangkut dengan enam hingga delapan kendaraan. Para sandera kemudian akan dibawa ke pasukan di wilayah Gaza yang dikontrol Israel dan kemudian dipindahkan ke pangkalan Reim di Israel selatan, di mana mereka kemudian akan dipertemukan kembali dengan keluarga mereka,” ujarnya.

    Mereka kemudian akan dibawa ke tiga rumah sakit utama. Israel juga merevisi daftar tahanan Palestina yang akan dibebaskan.

    Menteri Israel menyetujui perubahan daftar tahanan Palestina yang dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata. Dilansir Aljazeera, perubahan tersebut mencakup penghapusan seorang warga Palestina yang sebelumnya akan dibebaskan.

    Israel juga memasukkan dua tahanan ke daftar tahanan akan dibebaskan ‘yang tidak menjalani hukuman seumur hidup dan tidak berafiliasi dengan Hamas’. Ada juga tujuh anak di bawah umur yang dihapus dari daftar. Kemudian, dua perempuan telah ditambahkan dalam daftar.

    Secara keseluruhan, ada 1.718 tahanan Palestina yang akan dibebaskan. Padahal, Israel awalnya sepakat akan membebaskan 1.722 tahanan.

    Halaman 2 dari 3

    (haf/imk)

  • Israel Revisi Daftar Tahanan Palestina yang Dibebaskan Jadi 1.718 Orang

    Israel Revisi Daftar Tahanan Palestina yang Dibebaskan Jadi 1.718 Orang

    Tel Aviv

    Israel merevisi daftar tahanan Palestina yang akan dibebaskan. Menteri Israel menyetujui perubahan daftar tahanan Palestina yang dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata.

    Dilansir Aljazeera, Senin (13/10), perubahan tersebut mencakup penghapusan seorang warga Palestina yang sebelumnya akan dibebaskan. Kemudian, Israel tambahkan dua tahanan ke daftar tahanan akan dibebaskan “yang tidak menjalani hukuman seumur hidup dan tidak berafiliasi dengan Hamas”, laporan surat kabar Israel, Haaretz.

    Disebutkan pula tujuh anak di bawah umur telah dihapus dari daftar. Kemudian, dua perempuan telah ditambahkan dalam daftar.

    Secara keseluruhan, dengan adanya revisi ini, 1.718 tahanan Palestina akan dibebaskan. Padahal semula Israel sepakat akan membebaskan 1.722 tahanan, tambah Haaretz.

    Laporan itu muncul ketika otoritas Israel memperingatkan warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki agar tidak merayakan pembebasan orang-orang Palestina.

    Sementara itu, Hamas menuntut pembebasan tokoh Palestina terkemuka, Marwan Barghouti, tetapi belum jelas apakah Israel akan membebaskannya.

    (isa/zap)

  • Menteri Israel Ancam Gulingkan Netanyahu Jika Hamas Tak Dibubarkan

    Menteri Israel Ancam Gulingkan Netanyahu Jika Hamas Tak Dibubarkan

    Tel Aviv

    Menteri garis keras Israel, Itamar Ben Gvir, mengancam akan menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu jika kelompok Hamas tidak dibubarkan.

    Ancaman tersebut dilontarkan setelah jajaran menteri dalam pemerintahan Israel menyetujui rencana gencatan senjata dan pembebasan sandera di Jalur Gaza, yang dimediasi Amerika Serikat (AS) dan ditandatangani dengan Hamas.

    Juru bicara pemerintah Israel sebelumnya mengatakan bahwa gencatan senjata akan mulai berlaku dalam waktu 24 jam setelah rapat pemerintah digelar. Setelah periode 24 jam tersebut, para sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza akan dibebaskan oleh Hamas dalam waktu 72 jam ke depan.

    Rapat pemerintah Israel itu digelar menyusul rapat kabinet keamanan Israel yang baru saja selesai digelar.

    Ben Gvir yang menjabat Menteri Keamanan Nasional Israel, seperti dilansir Reuters, Jumat (10/10/2025), memperingatkan bahwa partainya, Jewish Power, akan berupaya menggulingkan pemerintahan Netanyahu kecuali Hamas akhirnya dibubarkan.

    “Jika pemerintahan Hamas tidak dibubarkan, atau jika mereka hanya mengatakan bahwa mereka telah dibubarkan, padahal kenyataannya mereka masih ada dengan kedok yang berbeda — Jewish Power akan membubarkan pemerintahan tersebut,” tegas Ben Gvir dalam pernyataan yang dirilis menjelang rapat kabinet keamanan Israel yang membahas persetujuan gencatan senjata Gaza.

    Pemerintah Israel secara resmi meratifikasi gencatan senjata dengan Hamas pada Jumat (10/10) waktu setempat, yang membuka jalan bagi penghentian pertempuran di Jalur Gaza.

    Ratifikasi tersebut diberikan dalam rapat kabinet Israel pada Jumat (10/10) pagi, sekitar 24 jam setelah mediator mengumumkan adanya kesepakatan antara Tel Aviv dan Hamas.

    Kesepakatan itu mengatur soal pembebasan sandera Israel yang masih ditahan di Jalur Gaza, dengan imbalan pembebasan para tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel, dan dimulai penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Jalur Gaza di bawah rencana perdamaian yang dicetuskan Presiden AS Donald Trump.

    “Pemerintah baru saja menyetujui kerangka kerja untuk pembebasan semua sandera — baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal,” demikian pernyataan yang dirilis akun Netanyahu via media sosial X.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • 7 Fakta 2 Tahun Perang di Gaza

    7 Fakta 2 Tahun Perang di Gaza

    Jakarta

    Serangan tentara Israel di Gaza, Palestina, telah berlangsung selama dua tahun. Ribuan orang meninggal hingga bencana kelaparan terjadi di Gaza saat ini.

    Dirangkum detikcom, Rabu (8/10/2025), pihak Israel berdalih agresi mereka di Gaza dipicu serangan Hamas di Tel Aviv pada 7 Oktober 2023. Tentara Israel lalu langsung melancarkan serangan balik ke Gaza mulai saat itu hingga hari ini.

    detikcom merangkum deretan fakta terkait dua tahun serangan Israel di Gaza. Berikut uraiannya:

    66 Ribu Orang di Gaza Tewas

    Operasi militer Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah menewaskan sedikitnya 66.000 orang, sekitar 80% di antaranya warga sipil, dan melukai sekitar 169.000 orang, menurut estimasi konservatif dari Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas. Lembaga internasional memperkirakan jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi.

    Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan bahwa 90% rumah di Gaza telah hancur atau rusak, membuat 1,9 juta dari 2,1 juta penduduknya kehilangan tempat tinggal. Karena “blokade total” yang diberlakukan Israel, sebagian besar wilayah Gaza mengalami kelaparan parah yang telah menewaskan sedikitnya 450 orang, termasuk 150 anak-anak.

    Setelah serangan 7 Oktober, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menetapkan dua tujuan utama perang di Gaza: membebaskan semua sandera dan menghancurkan Hamas. Dua tahun berlalu, keduanya belum tercapai. Dari 251 sandera yang dibawa ke Gaza, 148 telah dikembalikan hidup-hidup, delapan diselamatkan oleh IDF dan 140 dibebaskan Hamas melalui pertukaran tahanan. Jenazah beberapa sandera yang tewas juga telah dikembalikan.

    Menurut pemerintah Israel, 48 sandera masih ditahan, dan hanya 20 yang diyakini masih hidup. Hamas, yang oleh Israel, Uni Eropa, dan AS dikategorikan sebagai organisasi teroris, masih bertahan di Gaza meski banyak anggotanya tewas. Beberapa pemimpinnya, termasuk Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar, telah terbunuh. Namun, organisasi itu tetap beroperasi.

    Warga Israel Ingin Perang Berakhir

    Dua tahun perang di Gaza membuat masyarakat Israel lelah dan frustrasi. Survei yang dirilis Israel Democracy Institute pekan lalu, menunjukkan 66 persen warga Israel percaya sudah saatnya perang diakhiri.

    Selain itu, 64 persen responden mengatakan Netanyahu harus bertanggung jawab atas serangan mematikan tersebut dan mengundurkan diri.

    Pendapat publik terbelah tentang apakah situasi keamanan Israel kini lebih baik, namun sebagian besar mengakui posisi Israel di kancah internasional merosot tajam.

    Meskipun Amerika Serikat tetap menjadi pendukung utama Israel, pandangan komunitas Yahudi Amerika juga tampaknya sudah berubah.

    Enam puluh satu persen responden yang disurvei oleh surat kabar The Washington Post percaya Israel melakukan kejahatan perang terhadap warga Palestina di Gaza, dan 32 persen percaya Amerika Serikat terlalu mendukung tindakan Israel.

    Meski begitu, 76 persen responden mengatakan keberadaan Israel tetap penting bagi masa depan jangka panjang masyarakat Yahudi.

    Membandingkan sikap warga Israel tentang perang di Gaza dengan perang 12 hari melawan Iran terasa signifikan.

    Dalam perang bulan Juni lalu, ketika Israel melancarkan serangan terhadap target nuklir dan militer Iran dan menghadapi serangan balik ratusan rudal, banyak warga Israel yang saat itu mengatakan kepada ABC jika serangan tersebut dapat dibenarkan.

    Iran kerap digambarkan sebagai “ancaman eksistensial” bagi Israel yang perlu ditangani, sementara perang di Gaza dianggap sudah berlangsung terlalu lama.

    Konflik ini juga tampaknya memengaruhi migrasi dan pertumbuhan penduduk Israel. Data yang disampaikan ke parlemen Israel, Knesset, menunjukkan 82.700 warga Israel meninggalkan Israel pada 2024, atau meningkat 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Hampir separuh dari mereka yang pergi lahir di luar Israel dan pernah pindah ke Israel. Meski terjadi eksodus, secara keseluruhan jumlah penduduk Israel tetap meningkat pada 2023.

    Perubahan Lanskap Politik di Israel

    Tomer Persico, peneliti dari Shalom Hartman Institute di Yerusalem, mengatakan lanskap politik dan sosial Israel berubah drastis selama perang berlangsung.

    Sebagai peneliti identitas Yahudi modern, Dr Persico mengatakan kepada ABC jika “cara termudah” menggambarkan perubahan ini adalah pergeseran signifikan ke arah kanan.

    “Kita sudah dua tahun berada dalam perang yang berawal dari trauma yang tak terbayangkan bagi orang Israel, dan juga bagi orang Yahudi,” ujarnya.

    “Ini membangkitkan ingatan, luka pasca-trauma yang kita semua bawa dari Holocaust, dari pogrom, karena inilah yang terjadi, kan? Seluruh komunitas dibantai.”

    “Ketika trauma ini menumpuk di atas semua ingatan itu, reaksinya bisa dipahami, akan menjadi penuh kekerasan, akan penuh dendam.”

    Komunitas Israel, kata Dr Persico, banyak yang kembali memeluk nilai-nilai agama Yahudi tradisional.

    “Kita melihat banyak orang, banyak kelompok, kembali ke tradisi dengan mengadopsi kebiasaan tradisional, beberapa bahkan menjadi Yahudi Ortodoks,” katanya.

    “Dan ini, mirip dengan yang terjadi setelah Perang Yom Kippur 1973, yang juga merupakan trauma besar.”

    Kucuran Duit AS Bantu Israel Perangi Gaza

    Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan mantan Presiden Joe Biden dan Presiden Donald Trump telah mengucurkan setidaknya US$ 21,7 miliar, atau setara Rp 359,3 triliun, dalam bentuk bantuan militer kepada Israel sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memulai perang tanpa henti di Jalur Gaza.

    Angka tersebut, seperti dilansir Associated Press, Selasa (7/10), diungkapkan dalam studi akademis terbaru dari proyek Costs of War di Watson School of International and Public Affairs pada Universitas Brown yang dirilis pada Selasa (7/10), bertepatan dengan peringatan dua tahun dimulainya perang Gaza.

    Laporan utama menyebutkan bahwa AS memberikan bantuan militer US$ 17,9 miliar (Rp 296,4 triliun) kepada Israel pada tahun pertama perang — ketika Biden masih menjabat — dan bantuan sebesar US$ 3,8 miliar (Rp 62,9 triliun) pada tahun kedua.

    Menurut laporan itu, sebagian bantuan militer itu telah dikirimkan, sedangkan sisanya akan dipasok dalam beberapa tahun mendatang.

    Sebuah studi lainnya yang juga dirilis proyek tersebut menyatakan bahwa AS telah menghabiskan sekitar US$ 10 miliar lebih banyak untuk bantuan keamanan dan operasi di Timur Tengah yang lebih luas dalam dua tahun terakhir.

    Laporan tersebut disusun bekerja sama dengan Quincy Institute for Responsible Statecraft yang berbasis di Washington. Institut ini telah dituduh oleh beberapa kelompok pro-Israel sebagai penganut isolanionis dan anti-Israel. Tuduhan tersebut telah dibantah oleh organisasi itu.

    Meskipun sebagian besar mengandalkan materi sumber terbuka untuk temuannya, laporan tersebut menawarkan beberapa perhitungan paling komprehensif tentang bantuan militer AS kepada sekutu dekatnya, Israel, dan perkiraan biaya keterlibatan militer langsung Amerika di kawasan Timur Tengah.

    Departemen Luar Negeri AS belum memberikan komentar langsung mengenai jumlah bantuan militer yang diberikan kepada Israel sejak Oktober 2023. Gedung Putih meminta pertanyaan tersebut diberikan kepada Pentagon, yang hanya mengawasi sebagian dari bantuan tersebut.

    Laporan tersebut, yang sangat kritis terhadap Israel, menyatakan bahwa tanpa bantuan AS, Israel tidak akan mampu mempertahankan operasi militer melawan Hamas di Jalur Gaza. Laporan itu mencatat bahwa pendanaan puluhan miliar dolar Amerika di masa depan untuk Israel diproyeksikan berdasarkan berbagai perjanjian bilateral.

    Trump Nilai Perang Gaza Menuju Akhir

    Presiden AS Donald Trump menyatakan keyakinannya bahwa kesepakatan damai Gaza akan tercapai. Trump menyebut kelompok Hamas telah menyetujui hal-hal yang “sangat penting” seiring dimulainya perundingan dengan Israel.

    “Saya memiliki garis merah, jika ada hal-hal tertentu yang tidak terpenuhi, kita tidak akan melakukannya,” kata Trump kepada wartawan di Ruang Oval Gedung Putih saat ditanya apakah dirinya memiliki prasyarat, termasuk persetujuan Hamas untuk melucuti senjata mereka.

    “Tapi saya pikir kita melakukannya dengan sangat baik dan saya pikir Hamas telah menyetujui hal-hal yang sangat penting,” ujar Trump seperti dilansir AFP, Selasa (7/10).

    Trump mengatakan dirinya optimis tentang peluang tercapainya kesepakatan damai, ketika delegasi Hamas dan Israel memulai kembali perundingan tidak langsung di Mesir untuk mengakhiri perang Gaza, berdasarkan 20 poin rencana perdamaian yang diajukannya baru-baru ini.

    “Saya pikir kita akan mencapai kesepakatan. Sulit bagi saya untuk mengatakannya ketika selama bertahun-tahun mereka telah berusaha mencapai kesepakatan,” ucapnya.

    “Kita akan mencapai kesepakatan Gaza, saya cukup yakin, ya,” kata Trump.

    Hamas Tuntut Pasukan Israel Ditarik Keluar dari Gaza

    Hamas mengatakan bahwa mereka ingin mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perang di Gaza berdasarkan rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, tetapi masih memiliki serangkaian tuntutan. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa perundingan tidak langsung dengan Israel di Mesir bisa sulit dan panjang.

    Dilansir Reuters, Selasa (7/10), pejabat senior Hamas, Fawzi Barhoum, memaparkan posisi Hamas pada peringatan dua tahun serangan terhadap Israel yang memicu perang Gaza, dan satu hari setelah perundingan tidak langsung dimulai di Sharm el-Sheikh.

    Perundingan ini tampaknya paling menjanjikan untuk mengakhiri perang yang telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan menghancurkan Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023 terhadap Israel, yang menewaskan 1.200 orang dan membawa 251 orang kembali ke Gaza sebagai sandera.

    Namun, para pejabat dari semua pihak mendesak agar berhati-hati atas prospek kesepakatan cepat, karena Israel mengenang hari paling berdarah bagi orang Yahudi sejak Holocaust dan warga Gaza menyuarakan harapan akan berakhirnya penderitaan akibat perang selama dua tahun.

    “Delegasi gerakan (Hamas) yang berpartisipasi dalam negosiasi saat ini di Mesir sedang berupaya mengatasi semua hambatan untuk mencapai kesepakatan yang memenuhi aspirasi rakyat kami di Gaza,” kata Barhoum dalam sebuah pernyataan yang disiarkan televisi.

    Ia mengatakan kesepakatan harus memastikan berakhirnya perang dan penarikan penuh Israel dari Jalur Gaza–syarat-syarat yang tidak pernah diterima Israel. Israel, di sisi lain, menginginkan Hamas melucuti senjatanya, sesuatu yang ditolak kelompok itu.

    Hamas menginginkan gencatan senjata permanen dan komprehensif, penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, dan segera dimulainya proses rekonstruksi komprehensif di bawah pengawasan “badan teknokratis nasional” Palestina, ujarnya.

    Menggarisbawahi hambatan yang akan dihadapi dalam perundingan, faksi Palestina, termasuk Hamas, mengeluarkan pernyataan yang bersumpah untuk “menentang dengan segala cara” dan mengatakan “tidak seorang pun berhak menyerahkan senjata rakyat Palestina.” Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak segera berkomentar mengenai status perundingan di Sharm el-Sheikh.

    Kesepakatan Damai di Gaza Segera Tercapai?

    Para pejabat AS telah mengisyaratkan bahwa mereka ingin memfokuskan perundingan pada penghentian pertempuran dan logistik pembebasan para sandera dan tahanan politik. Namun, Qatar, salah satu mediator, mengatakan banyak detail yang harus diselesaikan, yang mengindikasikan bahwa kecil kemungkinan akan ada kesepakatan dalam waktu dekat.

    Tanpa adanya gencatan senjata, Israel terus melancarkan serangannya di Gaza, meningkatkan isolasi internasionalnya dan memicu protes pro-Palestina di luar negeri yang diperkirakan akan berlanjut pada hari Selasa.

    Pada peringatan serangan tahun 2023, beberapa warga Israel mengunjungi tempat-tempat yang paling terdampak pada hari itu. Orit Baron berdiri di lokasi festival musik Nova di Israel selatan di samping foto putrinya, Yuval, yang tewas bersama tunangannya, Moshe Shuva.

    Mereka termasuk di antara 364 orang yang ditembak, dipukuli, atau dibakar hingga tewas di sana. “Mereka seharusnya menikah pada 14 Februari, Hari Valentine. Dan kedua keluarga memutuskan, karena mereka ditemukan (meninggal) bersama dan mereka membawa mereka kepada kami bersama-sama, bahwa pemakamannya akan dilakukan bersamaan,” kata Baron.

    “Mereka dimakamkan bersebelahan karena mereka tidak pernah dipisahkan.”

    Israel berharap perundingan di Sharm el-Sheikh akan segera menghasilkan pembebasan ke-48 sandera yang masih ditawan di Gaza, 20 di antaranya diyakini masih hidup. “Rasanya seperti luka terbuka, para sandera, saya tak percaya sudah dua tahun berlalu dan mereka masih belum pulang,” kata Hilda Weisthal, 43 tahun.

    Di Gaza, Mohammed Dib, warga Palestina berusia 49 tahun, berharap berakhirnya konflik yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan, membuat banyak warga Palestina mengungsi berkali-kali, dan menewaskan lebih dari 67.000 orang Palestina, menurut .

    “Sudah dua tahun kami hidup dalam ketakutan, kengerian, pengungsian, dan kehancuran,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 6

    (ygs/rfs)

  • Mata-mata Mossad di Turki Kena Jerat

    Mata-mata Mossad di Turki Kena Jerat

    Ankara

    Otoritas Turki menangkap dua orang diduga mata-mata untuk badan intelijen Israel, Mossad. Kedua orang yang berprofesi sebagai detektif swasta dan pengacara itu dituduh menjual informasi kepada agen-agen intelijen Israel.

    Dilansir kantor berita Anadolu Agency, Selasa (7/10/2025), penangkapan dilakukan dalam operasi gabungan yang dilakukan oleh Organisasi Intelijen Nasional (MIT), Kantor Jaksa Penuntut Umum Istanbul, dan Departemen Kepolisian Istanbul.

    Mereka yang ditangkap itu diidentifikasi sebagai Serkan Cicek yang merupakan detektif swasta. Dia diduga bekerja langsung untuk Mossad.

    Selain Cicek, otoritas Turki juga menangkap Tugrulahan Dip yang merupakan pengacara. Dia diduga menjual informasi kepada detektif yang terkait dengan Mossad.

    Setelah diinterogasi oleh jaksa, kedua tersangka dirujuk ke pengadilan pidana perdamaian. Pengadilan kemudian memerintahkan penahanan mereka atas dakwaan ‘memperoleh informasi rahasia negara untuk spionase politik atau militer’.

    Otoritas Turki menyebut Cicek, yang juga dikenal sebagai Muhammet Fatih Kelas, menjalankan sebuah kantor detektif swasta dan melakukan pengintaian di Istanbul terhadap seorang aktivis Palestina atas permintaan agen Mossad. Ankara menyebut Cicek diduga menerima bayaran sebesar USD 4.000 (Rp 66 juta) dalam bentuk mata uang kripto untuk penugasan tersebut.

    Sementara, Dip diduga memberikan data pribadi dari catatan publik kepada para detektif demi keuntungan finansial. Dip juga dituduh mendukung aktivitas spionase Cicek dan mata-mata lainnya.

    Otoritas Ankara menyebut Cicek juga pernah bekerja dengan seseorang bernama Musa Kus yang telah dinyatakan bersalah menjadi mata-mata Israel. Kus dijatuhi hukuman 19 tahun penjara.

    Mata-mata Israel Dieksekusi Mati di Iran

    Proses hukum terhadap mata-mata Israel juga dilakukan oleh Otoritas Iran. Teheran melakukan telah melakukan eksekusi mati terhadap narapidana yang dijatuhi hukuman mati karena menjadi mata-mata Israel.

    Narapidana ini dituduh bekerja sama dengan Mossad untuk mendapatkan data pemerintah dan informasi dari pusat data Iran. Dilansir Reuters, outlet berita Mizan Online yang dikelola otoritas kehakiman Iran melaporkan narapidana yang telah dieksekusi mati pada Senin (29/9) tersebut bernama Bahman Choubi-asl.

    Choubi-asl disebut sebagai salah satu mata-mata terpenting Israel di Iran. Iran telah mengeksekusi mati banyak orang yang dituduh memiliki hubungan dengan Mossad dan memfasilitasi operasi intelijen Israel di wilayahnya.

    “Tujuan utama Mossad dalam membujuk kerja sama dengan terdakwa adalah untuk mendapatkan basis data lembaga pemerintah dan menciptakan pelanggaran di pusat data Iran, selain itu juga mengejar tujuan sekunder lainnya, termasuk menyelidiki rute impor peralatan elektronik,” kata Mizan Online dalam laporannya.

    Mahkamah Agung Iran menolak banding yang diajukan terpidana mati itu. Hukuman mati atas tuduhan ‘korupsi di Bumi’ pun tak berubah.

    Tuduhan ‘korupsi di Bumi’ dan ‘mengobarkan perang melawan Tuhan’ masuk sebagai pelanggaran hukum berat di Iran. Dua perbuatan itu terancam hukuman mati.

    Hubungan antara Iran dan Israel terus memanas hingga pecah perang selama 12 hari pada Juni lalu. Tel Aviv menyerang berbagai target di dalam wilayah Iran, termasuk melalui operasi yang mengandalkan pasukan Mossad yang ditempatkan ke dalam Iran.

    Iran pun telah bersumpah menindak tegas orang-orang yang dituduh bekerja sama dengan Israel. Eksekusi mati terhadap warga-warga Iran yang menjadi mata-mata Israel pun meningkat secara signifikan pada tahun ini. Setidaknya, 10 hukuman mati telah dilaksanakan dalam beberapa bulan terakhir.

    Tonton juga video “Dokumen Rahasia AS Bocor, Berisi Informasi Perang Ukraina-Mossad” di sini:

    Halaman 2 dari 4

    (haf/rfs)

  • Dua Tahun Perang di Gaza, Banyak Warga Israel Ingin Perang Berakhir

    Dua Tahun Perang di Gaza, Banyak Warga Israel Ingin Perang Berakhir

    Setiap tahun, Yonatan Shamriz dan keluarganya berkumpul untuk merayakan ulang tahun putrinya, yang tahun ini menginjak empat tahun.

    Sebisa mungkin ia berusaha membuat hari ulang tahun putrinya, yang bernama Yali, terasa normal.

    Yali lahir pada 7 Oktober 2021. Dua tahun kemudian, komunitas tempat keluarga Shamriz tinggal, Kfar Aza, mendapat serangan dari kelompok Hamas.

    Enam puluh dua orang dari kawasan tersebut tewas pada hari itu.

    Saudara laki-laki Yonatan, Alon, termasuk di antara warga Israel yang disandera.

    Alon tak pernah kembali ke rumah, dan justru tewas tertembak oleh militer Israel (IDF) di Gaza pada Desember 2023 setelah berhasil melarikan diri dari penyanderaan Hamas.

    “Itu adalah momen terberat dalam hidup saya,” kata Yonatan kepada ABC.

    “Saudara saya melakukan segalanya. Mereka berhasil melarikan diri.

    “Sangat sulit mendengar kalau IDF keliru mengidentifikasinya sebagai teroris.”

    Dua tahun setelah peristiwa itu, kehidupan Yonatan masih belum tenang.

    “Saya masih menjadi pengungsi di negara sendiri, tidak punya rumah, tinggal di sebuah mobil trailer di pusat Israel,” ujarnya.

    “Saya tidak berada di zona nyaman. Saya tidak punya saudara laki-laki.”

    Meski dihantui trauma, Yonatan mencurahkan energinya untuk organisasi Kumu, yang mendukung keluarga-keluarga yang terdampak serangan dua tahun lalu.

    Organisasi ini menjadi tuan rumah satu-satunya acara peringatan resmi pada 7 Oktober di salah satu taman terbesar di Tel Aviv.

    “Kita bisa lihat keluarga yang berduka dan warga yang paling menderita, setiap orang punya cara yang berbeda dalam menghadapi apa yang hilang dari mereka,” katanya.

    “Sebagian tidak sanggup melakukan apa pun. Sebagian lain justru berusaha melakukan sesuatu dengan segala cara.”

    “Saya merasa harus melakukannya. Saya merasa jika hanya duduk diam dan santai, malah akan tenggelam ke dalam lubang.”

    Luka yang mendalam

    Seperti banyak warga Israel lainnya, Yonatan sadar kalau warga Israel sudah berubah dalam dua tahun sejak serangan Hamas.

    Setelah menyusup ke Israel, kelompok militan tersebut menewaskan sekitar 1.200 orang, yang sebagian besar warga sipil, serta menyandera 250 orang, hingga memicu perang di Gaza yang masih berlangsung hingga kini.

    Israel mengatakan tujuan serangan ke Gaza adalah untuk menghancurkan Hamas dan membebaskan para sandera.

    Namun, seiring waktu, cara Israel melakukannya semakin menuai kritik.

    Sejak Oktober 2023, lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, menurut otoritas kesehatan di Gaza.

    Tindakan Israel juga dilabeli sebagai genosida oleh komisi penyelidikan independen dari PBB dan berbagai organisasi lainnya.

    Militer Israel atau IDF kini menguasai lebih dari 75 persen wilayah Gaza, dan lebih dari 2 juta penduduknya terpaksa meninggalkan rumah mereka.

    Meski tidak bisa dibandingkan, beban perang juga dirasakan Israel.

    Banyak warga Israel yang mendukung perang, tetapi tidak sedikit pula yang merasa ketakutan.

    Semakin banyak tentara cadangan Israel yang menolak untuk bertugas di Gaza.

    Dalam berbagai aksi unjuk rasa tahun ini, ribuan orang turun ke jalan di Yerusalem dan Tel Aviv untuk menyerukan diakhirinya perang di Gaza.

    Meski ada harapan untuk kesepakatan damai, Yonatan mengatakan babak sejarah ini meninggalkan luka yang dalam di Israel.

    “Saya pikir rakyat Israel berbeda dengan para pemimpinnya,” ujarnya.

    “Kebanyakan orang ingin ada komite nasional untuk menyelidiki apa yang terjadi pada 7 Oktober, kebanyakan orang ingin ada pemilu, kebanyakan orang ingin perang berakhir dan para sandera dipulangkan.”

    “Dan selama dua tahun, tak satu pun dari itu yang kami dapatkan.”

    Perubahan ke kanan

    Tomer Persico, peneliti dari Shalom Hartman Institute di Yerusalem, mengatakan lanskap politik dan sosial Israel berubah drastis selama perang berlangsung.

    Sebagai peneliti identitas Yahudi modern, Dr Persico mengatakan kepada ABC jika “cara termudah” menggambarkan perubahan ini adalah pergeseran signifikan ke arah kanan.

    “Kita sudah dua tahun berada dalam perang yang berawal dari trauma yang tak terbayangkan bagi orang Israel, dan juga bagi orang Yahudi,” ujarnya.

    “Ini membangkitkan ingatan, luka pasca-trauma yang kita semua bawa dari Holocaust, dari pogrom, karena inilah yang terjadi, kan? Seluruh komunitas dibantai.”

    “Ketika trauma ini menumpuk di atas semua ingatan itu, reaksinya bisa dipahami, akan menjadi penuh kekerasan, akan penuh dendam.”

    Komunitas Israel, kata Dr Persico, banyak yang kembali memeluk nilai-nilai agama Yahudi tradisional.

    “Kita melihat banyak orang, banyak kelompok, kembali ke tradisi dengan mengadopsi kebiasaan tradisional, beberapa bahkan menjadi Yahudi Ortodoks,” katanya.

    “Dan ini, mirip dengan yang terjadi setelah Perang Yom Kippur 1973, yang juga merupakan trauma besar.”

    ‘Menguasai’ Gaza jadi tujuan sebagian pemimpin

    Semua itu, kata Dr Persico, mempermudah para “fundamentalis” seperti menteri keuangan sayap kanan Bezalel Smotrich dan menteri keamanan nasional Itamar Ben-Gvir, untuk memperluas pengaruh mereka di pemerintahan dan di kalangan masyarakat.

    Australia sudah menjatuhkan sanksi terhadap kedua politisi Israel tersebut karena “retorika ekstremis yang mendorong pemindahan paksa warga Palestina dan pembangunan permukiman Israel baru”.

    “Mereka punya visi untuk menduduki Jalur Gaza dan menempatkan orang Yahudi di sana, serta membersihkan Gaza dari warga Palestina secara etnis,” kata Dr Persico.

    “Itulah rencana mereka, itulah visi mereka. Mereka percaya Tuhan memerintahkan hal itu.”

    “Untuk visi itu, mereka rela memperpanjang perang, mengorbankan tentara, dan mengancam PM Netanyahu jika dia menyimpang sedikit saja dari rencana itu, mereka akan menggulingkan pemerintahannya.”

    Dr Persico menegaskan meski masyarakat bergeser ke kanan, bukan berarti mereka mendukung pemerintahan koalisi Netanyahu.

    “Paradoksnya, ada pergeseran ke kanan di kalangan rakyat, tetapi juga ada sikap antagonis terhadap pemerintahan yang paling sayap kanan yang pernah berkuasa di Israel,” katanya.

    “Ada banyak kritik di Israel tentang apa yang dilakukan Israel di Gaza saat ini, tentang kenyataan perdana menteri kami, [Benjamin] Netanyahu, dianggap … berusaha menghindari setiap peluang untuk mencapai kesepakatan dengan Hamas demi memulangkan para sandera dan mengakhiri perang ini.”

    “Jika pemilu diadakan hari ini, mereka tidak akan mampu mempertahankan kekuasaan di Israel.”

    Dr Persico percaya akan ada perubahan besar di masa depan, lebih dari sekadar pemilu.

    “Setelah perang ini berakhir, trauma akan sedikit mereda dan saya pikir akan ada masa pertanggungjawaban,” katanya.

    “Saya pikir masyarakat Israel akan melalui masa refleksi dan penyesalan atas apa yang kami izinkan atau apa yang terjadi di Gaza, apa yang dilakukan pemerintah di Gaza.

    “Dan saya pikir orang-orang akan merasa malu dengan apa yang terjadi dan saya pikir seseorang akan harus disalahkan, karena begitulah cara kerja manusia.”

    Aksi-aksi protes digelar setiap pekannya selama dua tahun, menuntut pemerintah menerima kesepakatan untuk mengakhiri perang.

    Meski fokus utama demonstrasi adalah nasib para sandera Israel yang ditahan di Gaza, dalam beberapa bulan terakhir semakin banyak orang yang menyuarakan keprihatinan terhadap situasi kemanusiaan di wilayah tersebut.

    Di antara kelompok itu ada yang benar-benar peduli pada penderitaan warga Palestina, dan ada pula yang khawatir dampaknya terhadap Israel dan reputasi negaranya di mata internasional.

    Kebanyakan warga Israel ingin perang berakhir

    Dua tahun perang di Gaza membuat masyarakat Israel lelah dan frustrasi.

    Survei yang dirilis Israel Democracy Institute pekan lalu, menunjukkan 66 persen warga Israel percaya sudah saatnya perang diakhiri.

    Selain itu, 64 persen responden mengatakan Netanyahu harus bertanggung jawab atas serangan mematikan tersebut dan mengundurkan diri.

    Pendapat publik terbelah tentang apakah situasi keamanan Israel kini lebih baik, namun sebagian besar mengakui posisi Israel di kancah internasional merosot tajam.

    Meskipun Amerika Serikat tetap menjadi pendukung utama Israel, pandangan komunitas Yahudi Amerika juga tampaknya sudah berubah.

    Enam puluh satu persen responden yang disurvei oleh surat kabar The Washington Post percaya Israel melakukan kejahatan perang terhadap warga Palestina di Gaza, dan 32 persen percaya Amerika Serikat terlalu mendukung tindakan Israel.

    Meski begitu, 76 persen responden mengatakan keberadaan Israel tetap penting bagi masa depan jangka panjang masyarakat Yahudi.

    Membandingkan sikap warga Israel tentang perang di Gaza dengan perang 12 hari melawan Iran terasa signifikan.

    Dalam perang bulan Juni lalu, ketika Israel melancarkan serangan terhadap target nuklir dan militer Iran dan menghadapi serangan balik ratusan rudal, banyak warga Israel yang saat itu mengatakan kepada ABC jika serangan tersebut dapat dibenarkan.

    Iran kerap digambarkan sebagai “ancaman eksistensial” bagi Israel yang perlu ditangani, sementara perang di Gaza dianggap sudah berlangsung terlalu lama.

    Konflik ini juga tampaknya memengaruhi migrasi dan pertumbuhan penduduk Israel.

    Data yang disampaikan ke parlemen Israel, Knesset, menunjukkan 82.700 warga Israel meninggalkan Israel pada 2024, atau meningkat 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Hampir separuh dari mereka yang pergi lahir di luar Israel dan pernah pindah ke Israel.

    Meski terjadi eksodus, secara keseluruhan jumlah penduduk Israel tetap meningkat pada 2023.

    ‘Orang-orang sudah lelah’

    Jalan-jalan di Yerusalem jauh lebih sepi dibandingkan sebelum 7 Oktober 2023. Turis masih datang ke Yerusalem, tapi jumlahnya tidak sebanyak sebelum perang.

    Saat turis asing, yang menjadi sumber pemasukan utama kota itu, menjauh, beberapa pemilik usaha menilai warga lokal juga kini jauh lebih tertutup dibandingkan sebelumnya.

    “Orang-orang sudah lelah. Orang-orang tidak lagi percaya situasinya akan menjadi lebih baik,” kata Meir Micha.

    Meir menjalankan restorannya di pusat distrik komersial Yerusalem selama lebih dari 50 tahun.

    “Saya melihat pelanggan. Mereka tidak lagi tersenyum seperti dulu, tidak lagi bicara soal pertandingan sepak bola, mereka datang hanya untuk makan,” ujar Meir.

    “Saat perang, semua orang pada akhirnya menginginkan perdamaian. Itu tergantung bagaimana kita menemukan perdamaian itu. Tidak ada yang mau berperang sepanjang hidupnya.”

    Eli Katz termasuk yang menikmati hummus yang disajikan di restoran milik Meir.

    “Perang hanya berjarak 50 mil dari kami, bom meledak dan gedung-gedung hancur, dan kemudian … saya duduk di restoran, di kafe, makan,” katanya.

    “Benar-benar membuat bingung, tetapi saya pikir saat ini kebanyakan orang hanya ingin perang segera berakhir.”

    Eli mengatakan tanggapan komunitas internasional terhadap perang di Gaza, serta tindakan Israel, memengaruhi suasana para warga.

    “Mengakui Palestina atau meninggalkan Netanyahu saat pidato di PBB, saya rasa justru membawa dampak sebaliknya, membuat semua orang semakin keras kepala,” ujarnya.

    “Pada akhirnya, alih-alih berkata kita punya teman dan bisa bekerja sama dan … kita bisa menghentikan perang karena orang-orang akan membantu kita, saya pikir perasaan warga secara umum adalah kami merasa sendirian, jadi kami tidak bisa mempercayai siapa pun, sehingga kami harus terus berperang.”

    Dari ‘bersatu’ menjadi ‘terpecah’

    Tak jauh dari sana, penata rambut Effi Hazuot menonton saluran TV sayap kanan Israel, Channel 14, di salonnya.

    Saluran nasionalis yang bahkan mengkritik beberapa jenderal IDF karena dianggap tidak cukup sayap kanan ini jarang menampilkan dampak kemanusiaan perang di Gaza.

    Ini adalah salah satu sumber berita paling banyak ditonton di Israel.

    “Di awal perang, publik Israel sangat bersatu,” kata Effi.

    “Tetapi saat perang terus berlanjut, bulan demi bulan, sekarang sudah dua tahun, ada perpecahan antara kubu kanan dan kiri.”

    “Dan sekarang warga berhaluan sayap kiri di Israel, menjadi sangat ekstrem. Mereka ingin perang ini segera diakhiri dengan cara apa pun. Mereka bahkan tidak peduli jika kita tidak memenangkan perang, dan itu sayangnya sangat menyedihkan.”

    Ia bersikeras perang harus terus dilanjutkan sampai Israel “menghancurkan Hamas”.

    “Orang-orang yang tinggal boleh dibiarkan, tidak masalah,” ujarnya.

    “Tetapi organisasi ini [Hamas], mereka adalah pembunuh.”

    Effi mengatakan kritik internasional terhadap Israel hanyalah manuver politik untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestik di sejumlah negara, seperti imigrasi.

    Effi juga membantah peringatan dari kebanyakan organisasi kemanusiaan soal kelaparan di Gaza.

    “Dunia mengatakan orang-orang di Gaza kelaparan. Tidak ada yang kelaparan di sana,” katanya.

    “Saya punya teman, dia di Gaza. Dia seorang komandan [militer] dan saya menanyakannya soal itu.”

    “Dia bilang itu banyak kebohongan.”

    Pernyataan itu bertentangan dengan peringatan PBB dan berbagai lembaga lain mengenai krisis kelaparan yang parah di Gaza.

    ‘Perpecahan bangsa’

    Di pasar yang tak jauh dari sana, Miri Ben Amram membela IDF dan pemimpin negaranya.

    “Kami punya tentara terbaik di dunia, dan seorang perdana menteri, diplomat terbaik di dunia,” katanya.

    “Netanyahu nomor satu.”

    “Kami ingin damai, saya ingin damai, hanya damai.”

    Meski begitu, Miri yang kehilangan putranya yang bertugas bersama militer Israel beberapa tahun lalu, mengakui perang telah memecah belah negara.

    “Ada perpecahan bangsa … kami ingin bersatu tetapi mustahil,” katanya.

    “Partai-partai politik, politik, telah menghancurkan segalanya, dan dunia tidak memandang kami dengan baik.”

    “Tapi lihat apa yang mereka lakukan kepada kami [pada 7 Oktober]. Itu pembantaian. Itu holocaust kedua. Ini tidak mudah.”

    “[Dunia] menekankan jika kami melakukan genosida, dan itu tidak benar. Mereka yang membunuh kami. Mereka meneror kami.”

    Pandangan itu dipegang banyak warga Israel yang merasa dunia telah berpaling dari penderitaan mereka setelah dua tahun perang.

    Namun, meraih kembali dukungan internasional adalah hal yang, menurut orang-orang seperti Yonatan Shamriz, sulit dicapai.

    “Dengan kepemimpinan saat ini, saya pikir itu mustahil,” katanya.

    “Saya pikir satu-satunya orang yang benar-benar melakukan advokasi di media internasional adalah warga sipil seperti saya.”

    “Kebanyakan negara yang dulu menjadi sekutu Israel kini mengakui negara Palestina, sehingga mereka bisa membantai kami dan mereka mendapatkan hadiah berupa negara Palestina.”

    “Sangat, sangat membuat frustrasi bahwa kepemimpinan Israel tidak mendengarkan rakyat Israel dan tidak melakukan apa pun untuk memperjuangkan kepentingan Israel di dunia.”

  • Selamat dari Ledakan Pager, Pria di Lebanon Tewas Digempur Israel

    Selamat dari Ledakan Pager, Pria di Lebanon Tewas Digempur Israel

    Beirut

    Serangan udara Israel yang menghantam wilayah Lebanon pada Senin (6/10) waktu setempat, menewaskan sedikitnya dua orang. Salah satu korban tewas merupakan seorang pria yang selamat tapi kehilangan penglihatannya, akibat ledakan pager Israel yang menargetkan Hizbullah tahun lalu.

    Militer Israel mengatakan serangan terbarunya di Lebanon itu menargetkan seorang anggota Hizbullah.

    Israel terus melancarkan serangan-serangan terhadap Lebanon, yang biasanya diklaim menargetkan Hizbullah, meskipun gencatan senjata masih berlaku sejak November tahun lalu. Tel Aviv juga masih menempatkan pasukan militernya di sebanyak lima area di wilayah Lebanon bagian selatan yang dianggap strategis.

    Dalam pernyataan terbaru, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Selasa (7/10/2025), militer Israel mengatakan telah menewaskan Hassan Atwi, yang mereka gambarkan sebagai “seorang teroris kunci dalam unit pertahanan udara Hizbullah di wilayah Nabatiyeh”, pada Senin (6/10).

    Istri Atwi, Zainab Raslan, yang mengemudikan kendaraan yang ditumpangi suaminya, menurut laporan media pemerintah Lebanon, National News Agency (NNA), juga tewas dalam serangan Israel tersebut.

    Militer Israel, dalam pernyataannya, menuduh Atwi telah “memimpin upaya pembentukan kembali dan mempersenjatai kembali” unit tersebut, dan “menjalin kontak dengan dan membeli peralatan dari para pemimpin unit tersebut di Iran”.

    Laporan NNA menyebut Atwi mengalami luka-luka dan kehilangan penglihatannya ketika Israel meledakkan ratusan pager dan walkie-talkie yang digunakan oleh para anggota Hizbullah di berbagai wilayah Lebanon tahun lalu.

    Kementerian Kesehatan Lebanon juga melaporkan serangan Israel pada Senin (6/10). Disebutkan bahwa sedikitnya dua orang tewas dan satu orang mengalami luka-luka ketika “serangan drone Israel menargetkan sebuah mobil di jalan Zebdine di distrik Nabatiyeh” di wilayah Lebanon bagian selatan.

    Militer Israel juga mengatakan bahwa pasukannya telah menyerang “kompleks militer… yang digunakan Hizbullah untuk pelatihan” di wilayah Bekaa, Lebanon bagian timur. Sementara NNA melaporkan “dua serangan udara” lainnya melanda wilayah Provinsi Hermal di timur laut negara tersebut.

    Pekan lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memverifikasi kematian 103 warga sipil di Lebanon sejak gencatan senjata berlaku pada November tahun lalu. PBB menuntut penghentian penderitaan warga sipil yang sedang berlangsung.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/nvc)

  • Israel Deportasi Aktivis Greta Thunberg ke Yunani

    Israel Deportasi Aktivis Greta Thunberg ke Yunani

    Tel Aviv

    Aktivis Swedia Greta Thunberg akan dideportasi ke Yunani pada Senin (6/10) waktu setempat, setelah ditahan oleh Israel, bersama ratusan aktivis lainnya yang tergabung dalam misi Global Sumud Flotilla, yang berlayar membawa bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.

    Laporan saluran televisi Israel i24News, seperti dilansir Anadolu Agency, Senin (6/10/2025), menyebut bahwa Thunberg akan tiba di Yunani bersama sejumlah warga negara Yunani yang juga ditahan pasukan Israel setelah terlibat misi tersebut.

    Ditambahkan dalam laporan tersebut bahwa total 165 aktivis akan dideportasi dalam penerbangan itu.

    Thunberg termasuk di antara lebih dari 400 aktivis, anggota parlemen, dan pengacara dari berbagai negara yang ditahan setelah pasukan Israel mencegat puluhan kapal Global Sumud Flotilla yang semakin mendekati Jalur Gaza pada Rabu (1/10) lalu.

    Beberapa aktivis yang ditahan telah dideportasi, sementara proses hukum untuk sejumlah aktivis lainnya masih berlangsung.

    Menurut korespondensi yang dilihat oleh media Inggris, The Guardian, Thunberg sempat mengatakan kepada para pejabat Swedia bahwa dirinya ditahan di dalam sel yang dipenuhi kutu busuk dan tidak diberi makanan serta air yang memadai.

    The Guardian juga mengutip seorang aktivis lainnya, yang juga ditahan, yang mengatakan bahwa pasukan Israel memaksa Thunberg untuk memegang bendera Israel untuk difoto.

    Sejumlah aktivis Global Sumud Flotilla lainnya memperkuat klaim penganiayaan terhadap Thunberg oleh pasukan Israel.

    Salah satunya aktivis Turki, Ersin Celik, yang mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa pasukan Israel “menyiksa Greta dengan kejam di depan mata kami” dan “membuatnya merangkak dan mencium bendera Israel”.

    Pernyataan serupa disampaikan jurnalis Italia, Lorenzo D’Agostino, yang mengatakan bahwa Thunberg “dibungkus dengan bendera Israel dan diarak bak piala”.

    Belum ada keterangan publik dari Thunberg soal dugaan penganiayaan yang dilakukan pasukan Israel tersebut.

    Israel juga belum menanggapi tuduhan tersebut. Namun Kementerian Luar Negeri Israel dalam pernyataan sebelumnya menyebut laporan-laporan soal para aktivis yang ditahan telah dianiaya sebagai “kebohongan besar”.

    Dalam pernyataan via media sosial X, seperti dilansir Reuters, Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan bahwa semua aktivis yang ditahan dalam kondisi “aman dan dalam keadaan sehat”. Ditambahkan Tel Aviv bahwa mereka ingin menyelesaikan deportasi yang tersisa “secepat mungkin”.

    Tonton juga video “Ditangkap, Greta Thunberg Diperlakukan Seperti Binatang oleh Israel” di sinii:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Israel Cegat Kapal Terakhir Global Flotilla Sebelum Capai Gaza

    Israel Cegat Kapal Terakhir Global Flotilla Sebelum Capai Gaza

    Tel Aviv

    Kapal terakhir dalam rombongan misi Global Sumud Flotilla yang berlayar ke Jalur Gaza dengan membawa bantuan kemanusiaan, telah dicegat oleh pasukan Israel. Pencegatan terjadi saat kapal bernama Marinette itu berada di perairan berjarak hanya 42,5 mil laut, atau setara 78,71 kilometer, dari pesisir Jalur Gaza.

    Pencegatan kapal Marinette oleh Israel itu, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Jumat (3/10/2025), diumumkan oleh penyelenggara Global Sumud Flotilla dalam pernyataan terbaru mereka via Telegram pada Jumat (3/10).

    “Marinette, kapal terakhir yang tersisa dari Global Sumud Flotilla, telah dicegat pada pukul 10.29 pagi waktu setempat (sekitar pukul 07.29 GMT), sekitar 42.5 mil laut dari Gaza,” demikian pernyataan Global Sumud Flotilla.

    Disebutkan oleh Global Sumud Flotilla bahwa pasukan Angkatan Laut Israel telah “secara ilegal mencegat seluruh 42 kapal kami — masing-masing membawa bantuan kemanusiaan, relawan, dan tekad untuk mematahkan pengepungan ilegal Israel atas Gaza”.

    Global Sumud Flotilla menyebut para penumpang kapal-kapal itu “diculik dengan cara yang melanggar hukum”.

    Misi Global Sumud Flotilla, yang melibatkan lebih dari 40 kapal yang membawa para politisi dan aktivis dari berbagai negara termasuk aktivis Swedia Greta Thunberg, berangkat dari Spanyol bulan lalu dengan tujuan menembus blokade Israel atas Jalur Gaza yang sedang dilanda kelaparan.

    Pasukan Angkatan Laut Israel mulai mencegat kapal-kapal tersebut pada Rabu (1/10), dan menahan orang-orang yang ada di dalamnya. Seorang pejabat Israel, yang tidak disebut namanya, mengatakan pada Kamis (2/10) bahwa lebih dari 400 orang yang ada di kapal-kapal itu dicegah mencapai pesisir Jalur Gaza.

    Global Sumud Flotilla dalam pernyataan terpisah, seperti dilansir Anadolu Agency, mengonfirmasi bahwa lebih dari 450 aktivis dari 47 negara telah dipindahkan ke pelabuhan Ashdod di Israel bagian selatan setelah sebagian besar kapal dicegat pasukan Tel Aviv.

    Disebutkan bahwa para aktivis yang ada di kapal-kapal itu berasal dari banyak negara, termasuk Spanyol, Italia, Brasil, Turki, Yunani, Amerika Serikat, Jerman, Swedia, Inggris, Prancis, dan banyak lagi.

    Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan bahwa para aktivis yang ditahan itu akan dideportasi ke Eropa setelah dibawa ke pelabuhan Ashdod.

    Marinette menjadi kapal terakhir yang dicegat setelah sebelumnya bertekad untuk melanjutkan perjalanan ke Jalur Gaza. Israel sebelumnya menyebut kapal itu berlayar di posisi yang jauh dari pasukan mereka, dan bersumpah akan mencegahnya mendekati Jalur Gaza.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)