kab/kota: Tel Aviv

  • Bukan Cuma Duduki Gaza, Netanyahu Dapat Izin Trump Perluas Serangan

    Bukan Cuma Duduki Gaza, Netanyahu Dapat Izin Trump Perluas Serangan

    Tel Aviv

    Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, tidak hanya memutuskan untuk menduduki Jalur Gaza sepenuhnya, tetapi juga mendapatkan “lampu hijau” atau izin dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, untuk memperluas operasi militer di Jalur Gaza.

    Keputusan Netanyahu untuk menduduki seluruh wilayah Jalur Gaza itu merupakan pergeseran besar dalam strategi Israel di daerah kantong Palestina tersebut, sejak perang melawan Hamas berkecamuk pada Oktober 2023.

    Keputusan Netanyahu tersebut, seperti dilansir Anadolu Agency, Selasa (5/8/2025), dilaporkan oleh sejumlah media lokal Israel yang mengutip pejabat senior Tel Aviv yang dekat dengan Netanyahu. Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari kantor PM Israel mengenai hal tersebut.

    “Keputusan sudah bulat — kami akan menduduki Jalur Gaza sepenuhnya,” kata seorang pejabat senior Israel yang dekat dengan Netanyahu, seperti dikutip oleh harian Yedioth Ahronoth.

    “Akan ada operasi bahkan di wilayah-wilayah yang menjadi tempat para sandera ditahan. Jika kepala staf IDF (Angkatan Bersenjata Israel) tidak setuju, dia harus mengundurkan diri,” ucap pejabat senior Israel yang enggan disebut namanya tersebut.

    Saluran televisi lokal Israel, Channel 12, dalam laporan terpisah mengatakan bahwa keputusan Netanyahu tersebut menandakan perubahan besar dalam strategi Israel di Jalur Gaza, dengan operasi militer kini diperkirakan akan dilakukan di area-area padat penduduk, termasuk kamp-kamp pengungsi di tengah-tengah Gaza.

    Televisi publik KAN, yang mengutip para menteri Kabinet Israel yang baru-baru ini berbicara dengan Netanyahu, melaporkan bahwa sang PM Israel telah memutuskan untuk memperluas operasi militer di Jalur Gaza meskipun ada penolakan dari badan-badan keamanan Israel.

    Netanyahu, menurut laporan KAN, menggunakan frasa “pendudukan Jalur Gaza” untuk menggambarkan tujuan mengalahkan Hamas.

    Laporan Yedioth Ahronoth mengklaim bahwa Trump telah memberikan “lampu hijau” kepada Netanyahu untuk melanjutkan serangan yang diperluas di Jalur Gaza.

    Menurut laporan Yedioth Ahronoth, para pejabat senior Israel yang dekat dengan Netanyahu mengatakan bahwa: “Kami sedang menuju pendudukan penuh di Jalur Gaza”, termasuk operasi militer di wilayah-wilayah yang diyakini menjadi tempat para sandera ditahan.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Ratusan Eks Pejabat Israel Desak Trump Bantu Setop Perang Gaza

    Ratusan Eks Pejabat Israel Desak Trump Bantu Setop Perang Gaza

    Tel Aviv

    Ratusan mantan pejabat keamanan Israel, termasuk beberapa mantan kepala badan intelijen Mossad dan Shin Bet, secara massal mendesak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menekan pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu agar mengakhiri perang di Jalur Gaza.

    Desakan massal itu, seperti dilansir AFP, Senin (4/8/2025), disampaikan oleh sekitar 550 pensiunan pejabat keamanan Israel dalam surat terbuka yang ditujukan untuk Trump dan dibagikan kepada media pada Senin (4/8) waktu setempat.

    Dalam surat terbuka itu, ratusan mantan pejabat keamanan Israel itu menyebut kelompok Hamas tidak lagi menjadi ancaman strategis bagi Israel. Mereka juga meminta Trump untuk membantu “mengarahkan” keputusan Netanyahu menuju ke gencatan senjata Gaza.

    “Menurut penilaian profesional kami, Hamas tidak lagi menjadi ancaman strategis bagi Israel,” tegas surat terbuka itu, yang mewakili sikap ratusan mantan pejabat keamanan Israel.

    “Awalnya perang ini adalah perang yang adil, perang defensif, tetapi kita kami telah mencapai semua tujuan militer, perang ini bukan lagi perang yang adil,” kata mantan direktur dinas keamanan Shin Bet, Ami Ayalon, dalam pernyataan video yang dirilis menyertai surat terbuka tersebut.

    Perang Gaza yang memasuki bulan ke-23, sebut Ayalon, telah “menyebabkan negara Israel kehilangan keamanan dan identitasnya”.

    Surat terbuka itu berargumen bahwa militer Israel “telah sejak lama mencapai dua tujuan yang dapat dicapai dengan kekerasan: membubarkan formasi militer dan pemerintahan Hamas”.

    “Yang ketiga, dan yang paling penting, hanya dapat dicapai melalui sebuah kesepakatan: memulangkan semua sandera,” sebut surat terbuka tersebut.

    “Memburu para pejabat senior Hamas yang tersisa dapat dilakukan nanti,” cetus surat terbuka itu.

    Dalam surat terbuka tersebut, para mantan pejabat keamanan Israel memberitahu Trump bahwa dirinya memiliki kredibilitas di mata mayoritas rakyat Israel dan dapat menekan Netanyahu untuk mengakhiri perang dan memulangkan para sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza.

    Setelah gencatan senjata tercapai, menurut para mantan pejabat keamanan Israel dalam surat terbuka itu, Trump dapat memaksa koalisi regional untuk mendukung Otoritas Palestina yang telah direformasi untuk mengambil alih Jalur Gaza sebagai alternatif dari kekuasaan Hamas.

    Surat terbuka itu ditandatangani oleh 550 mantan pejabat keamanan Israel, yang mencakup tiga mantan kepala badan intelijen Mossad, yakni Tamir Pardo, Efraim Halevy dan Danny Yatom, kemudian juga lima mantan direktur Shin Bet, yakni Ayalon, Nadav Argaman, Yoram Cohen, Yaakov Peri, dan Carmi Gilon.

    Tiga mantan kepala staf militer Israel, termasuk mantan PM Ehud Barak, mantan Menteri Pertahanan Moshe Yaalon dan Dan Halutz, juga termasuk di antara para mantan pejabat yang menandatangani surat terbuka untuk Trump tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Warga AS Tewas di Tepi Barat, Keluarga Salahkan Pemukim Israel

    Warga AS Tewas di Tepi Barat, Keluarga Salahkan Pemukim Israel

    Tepi Barat

    Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengonfirmasi kematian seorang warga negaranya di Tepi Barat pekan ini. Pihak keluarga dan para pejabat Palestina mengaitkan kematian warga negara AS itu dengan aksi pembakaran yang dilakukan oleh para pemukim Israel.

    Otoritas Palestina dan para saksi, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Senin (4/8/2025), melaporkan pada Kamis (31/7) lalu bahwa sekelompok pemukim Israel melakukan aksi pembakaran terhadap rumah-rumah dan beberapa mobil di area Silwad, Tepi Barat.

    Kementerian Kesehatan Palestina dalam pernyataannya mengidentifikasi warga AS yang tewas itu sebagai Khamis Ayyad, yang berusia 41 tahun. Disebutkan bahwa Ayyad tewas karena menghirup asap akibat kebakaran yang terjadi di Silwad tersebut.

    Keluarga besar Ayyad yang tinggal di Chicago, AS, mengatakan dalam konferensi pers pada Jumat (1/8) lalu bahwa Ayyad pindah ke Tepi Barat beberapa tahun lalu, bersama istri dan anak-anaknya, namun tetap bekerja untuk sebuah perusahaan Amerika.

    Ayyad menjadi warga negara AS kedua yang tewas akibat tindak kekerasan pemukim Israel di Tepi Barat sepanjang bulan Juli. Seorang warga AS lainnya, yang tidak disebut namanya, yang berusia 20 tahun tewas akibat dipukuli oleh pemukim Israel saat dia mengunjungi keluarga di Sinjil, Tepi Barat.

    Menanggapi kematian warga AS berusia 20 tahun itu, Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, sebelumnya menuntut Israel untuk menyelidiki apa yang disebutnya sebagai “aksi kriminal dan teroris” tersebut. Namun sejauh ini Huckabee belum berkomentar mengenai kematian Ayyad.

    Saat dimintai komentar soal kematian warga AS di Tepi Barat, juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan: “Kami dapat mengonfirmasi kematian seorang warga negara AS di kota Silwad di Tepi Barat.”

    Namun tidak disebutkan secara langsung nama Ayyad dalam pernyataan tersebut.

    “Kami mengutuk kekerasan kriminal oleh pihak mana pun di Tepi Barat,” tegas juru bicara yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut.

    Sementara itu, militer Israel saat dimintai tanggapan oleh AFP mengatakan bahwa “beberapa tersangka … membakar properti dan kendaraan-kendaraan di area Silwad”, namun pasukan Tel Aviv yang dikirimkan ke lokasi kejadian tidak dapat mengidentifikasi mereka.

    Disebutkan juga bahwa Kepolisian Israel telah meluncurkan penyelidikan terhadap insiden tersebut.

    Tepi Barat merupakan rumah bagi sekitar tiga juta warga Palestina, yang tinggal berdampingan dengan sekitar 500.000 pemukim Israel. Tindak kekerasan di wilayah Tepi Barat telah meningkat selama perang berkecamuk di Jalur Gaza, yang dipicu oleh serangan mengejutkan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Kaget Lihat Sandera Kurus Kering, Netanyahu Minta Bantuan Palang Merah

    Kaget Lihat Sandera Kurus Kering, Netanyahu Minta Bantuan Palang Merah

    Jakarta

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu meminta bantuan Komite Palang Merah Internasional (ICRC) untuk membantu para sandera di Gaza. Ini disampaikan Netanyahu menyusul munculnya video-video yang menunjukkan dua sandera Israel dalam kondisi kurus kering.

    Kantor Netanyahu mengatakan bahwa pemimpin negeri Yahudi itu telah berbicara dengan koordinator ICRC untuk wilayah Gaza, Julien Lerisson, dan “meminta keterlibatannya dalam menyediakan makanan bagi para sandera kami dan… perawatan medis segera”.

    Dilansir kantor berita AFP, Senin (4/8/2025), ICRC mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka “terkejut oleh video-video yang mengerikan itu” dan menegaskan kembali “seruannya untuk diberikan akses kepada para sandera”.

    Menanggapi hal ini, sayap bersenjata Hamas, Brigade Al-Qassam mengatakan akan mengizinkan badan tersebut mengakses para sandera, tetapi hanya jika “koridor kemanusiaan” untuk makanan dan bantuan dibuka di seluruh wilayah Jalur Gaza.

    Brigade Al-Qassam mengatakan mereka “tidak berniat membuat para sandera kelaparan”, tetapi mereka tidak akan menerima hak istimewa makanan khusus “di tengah kejahatan kelaparan dan pengepungan” di Gaza.

    Selama beberapa hari terakhir, Hamas dan sekutunya, Jihad Islam, telah merilis tiga video yang menunjukkan dua sandera yang ditawan dalam serangan 7 Oktober 2023 di Israel yang memicu perang di Gaza.

    Foto-foto Rom Braslavski dan Evyatar David, yang keduanya tampak lemah dan kekurangan gizi, telah memicu kembali seruan di Israel untuk gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera.

    Sebuah pernyataan dari kantor Netanyahu pada hari Sabtu lalu, menyatakan bahwa ia telah berbicara dengan keluarga kedua sandera dan “menyatakan keterkejutan yang mendalam atas video-video yang dirilis kelompok Hamas tersebut.

    Netanyahu “mengatakan kepada keluarga-keluarga tersebut bahwa upaya untuk memulangkan semua sandera kita sedang berlangsung”, imbuh pernyataan itu.

    Sebelumnya pada hari tersebut, puluhan ribu orang berunjuk rasa di pusat pesisir Tel Aviv untuk mendesak pemerintah Netanyahu agar membebaskan para sandera yang tersisa.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Bertemu Utusan AS di Tel Aviv, Keluarga Sandera Minta Perang Israel Disetop

    Bertemu Utusan AS di Tel Aviv, Keluarga Sandera Minta Perang Israel Disetop

    Jakarta

    Utusan Amerika Serikat (AS) Steve Witkoff bertemu keluarga sandera Israel yang masih ditawan di Gaza. Pertemuan di tengah kekhawatiran akan keselamatan para sandera yang meningkat hampir 22 bulan setelah perang dimulai, yang dipicu oleh serangan Hamas pada Oktober 2023.

    Dilansir AFP, Minggu (3/8/2025), Witkoff disambut tepuk tangan meriah dan permohonan bantuan dari ratusan pengunjuk rasa yang berkumpul di Tel Aviv, sebelum memasuki pertemuan tertutup dengan keluarga-keluarga tersebut.

    Forum Keluarga Sandera dan Hilang mengonfirmasi bahwa pertemuan tersebut sedang berlangsung dan video yang dibagikan daring menunjukkan Witkoff tiba di tengah teriakan keluarga-keluarga, “Bawa mereka pulang!” dan “Kami butuh bantuanmu.”

    Kunjungan tersebut dilakukan satu hari setelah Witkoff mengunjungi posko bantuan yang didukung AS di Gaza, untuk memeriksa upaya pengiriman makanan ke wilayah Palestina yang hancur.

    Yotam Cohen, saudara dari sandera Nimrod Cohen yang berusia 21 tahun, mengatakan kepada AFP: “Perang harus diakhiri. Pemerintah Israel tidak akan mengakhirinya dengan sukarela. Mereka menolak untuk melakukannya.”

    Dari 251 sandera yang disandera selama serangan Hamas, 49 masih ditahan di Gaza, termasuk 27 yang menurut militer Israel telah tewas.

    Setelah pertemuan tersebut, forum merilis pernyataan yang menyatakan bahwa Witkoff telah memberikan komitmen pribadi bahwa ia dan Presiden AS Donald Trump akan berupaya memulangkan para sandera yang tersisa.

    (rfs/rfs)

  • Proses Damai Menuju Negara Palestina Harus Segera Dimulai

    Proses Damai Menuju Negara Palestina Harus Segera Dimulai

    Jakarta

    Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul memperingatkan, Israel menghadapi risiko isolasi internasional jika kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza tidak segera membaik. Peringatan itu disampaikannya usai melakukan pembicaraan dengan para pemimpin Israel di Yerusalem.

    “Dalam banyak hal, proses perdamaian di Timur Tengah berada di persimpangan jalan, dan pada akhirnya seluruh kawasan,” ujar Wadephul, Kamis (25/7), merujuk pada perdebatan di Uni Eropa terkait wacana penjatuhan sanksi terhadap Israel, serta bertambahnya jumlah negara-negara Eropa yang siap mengakui negara Palestina.

    “Dengan adanya ancaman terbuka untuk menganeksasi Palestina dari sebagian elemen dalam pemerintahan Israel, semakin banyak negara — termasuk banyak di Eropa — kini bersiap untuk mengakui negara Palestina, bahkan tanpa didahului proses negosiasi,” kata Wadephul. “Karena itu, kawasan dan proses perdamaian Timur Tengah berada di titik kritis.”

    Pernyataan itu muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap arah kebijakan pemerintah Israel. Koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mencakup dua partai sayap kanan ekstrem yang menyerukan penaklukan penuh Gaza , dan pendirian kembali permukiman Yahudi di wilayah tersebut. Dua menteri senior Israel pada hari Kamis juga menyatakan dukungan, untuk menganeksasi Tepi Barat yang saat ini diduduki Israel.

    Teguran dari sekutu dekat

    Di Yerusalem, Wadephul bertemu dengan Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, serta Presiden Isaac Herzog.

    Terkait situasi kelaparan di Gaza, Wadephul menyatakan betapa “situasinya benar-benar tidak dapat diterima dan harus segera berubah.” Dia menekankan perlunya “perbaikan mendasar bagi warga sipil di Jalur Gaza.”

    Wadephul juga menyerukan gencatan senjata penuh, menilai jeda pertempuran harian tidak lagi memadai. “Sudah waktunya untuk mengakhiri perang ini,” tegasnya, dengan menyasar pernyataannya terutama kepada kelompok militan Palestina, Hamas.

    Menteri luar negeri Jerman yang baru menjabat pada Mei lalu itu, dijadwalkan bertemu Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Ramallah pada Jumat (1/8), guna membahas meningkatnya kekerasan oleh pemukim Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

    Sebelumnya, Wadephul mendesak Israel untuk membuka akses darat dan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Penyaluran bantuan dengan menggunakan truk , betapapun juga merupakan satu-satunya cara paling efektif untuk meringankan penderitaan di Gaza yang disebutnya “tak terbayangkan.”

    “Hanya melalui jalur darat bantuan dapat mencapai warga dalam jumlah yang cukup,” ujarnya. “Karena itu saya mendesak pemerintah Israel agar mengizinkan PBB dan organisasi bantuan internasional untuk mengakses wilayah tersebut secara aman, serta mendistribusikan bantuan secara aman dan efektif.”

    Wadephul tiba di Tel Aviv pada Kamis sore sebelum melanjutkan perjalanan ke Yerusalem.

    Kematian di Gaza capai ‘tingkat yang tak terbayangkan’

    Sebelum keberangkatannya, Wadephul menekankan bahwa Israel harus “segera memperbaiki situasi bencana di Jalur Gaza secara menyeluruh dan berkelanjutan.” Menurutnya, operasi militer teranyar telah menimbulkan kematian dan penderitaan pada “tingkat yang tak terbayangkan.”

    Menurut otoritas kesehatan Gaza, jumlah korban jiwa dalam perang hampir dua tahun antara Israel dan kelompok militan Hamas telah melampaui 60.000 jiwa minggu ini. Jumlah warga sipil yang meninggal karena kelaparan dan malnutrisi terus meningkat.

    Sementara itu, foto dan video anak-anak kelaparan yang berseliweran di dunia maya mengguncang opini publik global, dan memperkuat kritik terhadap Israel terkait blokade bantuan ke wilayah Palestina.

    Wadephul menegaskan bahwa Jerman akan tetap mendukung Israel untuk memastikan Hamas membebaskan para sandera yang tersisa, termasuk warga negara Jerman.

    Milisi Islam Palestina itu, menurutnya, harus dilucuti dan tak lagi dibiarkan berkuasa di wilayah Palestina. “Hamas tidak boleh lagi menjadi ancaman bagi Israel,” ujarnya.

    Namun di saat yang sama, dia juga memperingatkan Israel, untuk tidak terus meningkatkan eskalasi konflik. “Jerman juga akan dipaksa untuk merespons langkah-langkah sepihak,” terhadap keutuhan wilayah Palestina, tandasnya.

    “Jika langkah-langkah sepihak diambil, maka Jerman pun akan terdorong untuk merespons.”

    Belum ada pengakuan negara Palestina

    Wadephul menegaskan, saat ini Jerman belum mempertimbangkan untuk mengakui negara Palestina, dan bahwa solusi dua negara yang dinegosiasikan tetap menjadi satu-satunya jalan bagi kedua pihak untuk hidup dalam damai, aman, dan bermartabat. Menurutnya, bagi Jerman, “pengakuan negara Palestina lebih mungkin dilakukan di akhir proses perdamaian. Dan proses itu harus dimulai sekarang,” tambahnya, seperti dilansir kantor berita Jerman dpa.

    Kanselir Friedrich Merz menyatakan, arah pembicaraan yang sedang berlangsung dapat memengaruhi keputusan Jerman terkait kemungkinan mendukung sanksi terhadap Israel, mitra dekatnya.

    Berbeda dengan sejumlah negara lain, Jerman sejauh ini enggan menjatuhkan sanksi terhadap sekutunya itu. Namun Merz mengatakan bahwa pemerintah Jerman tetap membuka opsi untuk mengambil langkah terkait jika perlu.

    Komisi Eropa sejauh ini telah merekomendasikan untuk menutup sebagian akses bagi Israel untuk menerima program pendanaan riset Horizon Europe. Belum jelas, apakah Jerman akan mendukung langkah tersebut.

    Tekanan politik di dalam negeri

    Sebelum keberangkatan Wadephul ke Tel Aviv, Partai Sosial Demokrat (SPD) – mitra koalisi junior dalam pemerintahan Merz – mendesak pemerintah agar menekan Israel untuk mengizinkan pengiriman bantuan ke Gaza melalui jalur darat.

    Wakil ketua fraksi parlemen SPD, Siemtje Mller, mengatakan kepada stasiun ARD, harus ada “tekanan nyata” untuk mengakhiri penderitaan di Gaza. Mller, yang turut dalam rombongan Wadephul ke kawasan tersebut, juga menegaskan kembali posisi SPD bahwa pengiriman senjata yang digunakan untuk tindakan yang melanggar hukum internasional, seperti yang terjadi di Gaza, tidak boleh lagi diizinkan.

    Franziska Brantner, ketua bersama Partai Hijau yang kini berada di kursi oposisi, juga menyatakan keinginannya agar Wadephul mendorong “dengan seluruh kekuatannya” bantuan kemanusiaan ke Gaza, pembebasan para sandera, serta dimulainya proses politik untuk mengakhiri perang.

    Brantner menyebutkan, posisi Jerman yang kuat mendukung Israel, menjadi penghambat aksi kolektif di level Eropa, sebagaimana disampaikannya dalam wawancara dengan radio Jerman.

    Editor: Agus Setiawan

    Tonton juga video “Jerman Desak Israel Beri Bantuan ke Gaza” di sini:

    (ita/ita)

  • Utusan Trump ke Israel untuk Bahas Gencatan Senjata Gaza

    Utusan Trump ke Israel untuk Bahas Gencatan Senjata Gaza

    Jakarta

    Utusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Steve Witkoff akan tiba di Israel pada hari Kamis (31/7) waktu setempat, dalam upaya menyelamatkan perundingan gencatan senjata Gaza dan mengatasi krisis kemanusiaan di wilayah Palestina tersebut.

    Perundingan gencatan senjata tidak langsung antara Israel dan kelompok Hamas di Doha, Qatar berakhir dengan kebuntuan pekan lalu. Kedua belah pihak saling menyalahkan atas kebuntuan tersebut.

    Kunjungan Witkoff dilakukan di tengah meningkatnya tekanan internasional terkait Gaza, dengan jumlah warga Palestina yang tewas dalam hampir dua tahun perang, kini telah melampaui 60.000 jiwa. Utusan khusus AS untuk Timur Tengah itu akan mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

    Dilaporkan bahwa aksi-aksi protes rencananya akan digelar di Tel Aviv dan Yerusalem untuk menuntut pemerintah mengakhiri perang di Gaza.

    Netanyahu telah mengatakan ia tidak akan mengakhiri perang sampai Hamas tidak lagi menguasai wilayah tersebut dan meletakkan senjatanya. Hamas telah menolak seruan untuk melucuti senjatanya.

    Qatar dan Mesir, yang memediasi upaya gencatan senjata, mendukung deklarasi pada hari Selasa (29/7) lalu yang dipelopori oleh Prancis dan Arab Saudi, yang menguraikan langkah-langkah untuk solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina.

    Deklarasi tersebut menyatakan Hamas “harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan persenjataannya kepada Otoritas Palestina”.

    Deklarasi yang dikeluarkan dalam konferensi internasional di Markas PBB di New York tersebut, menandai kecaman pertama terhadap kelompok Hamas dari negara-negara Arab.

    “Dalam konteks mengakhiri perang di Gaza, Hamas harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan persenjataannya kepada Otoritas Palestina, dengan keterlibatan dan dukungan internasional, sejalan dengan tujuan Negara Palestina yang berdaulat dan merdeka,” demikian bunyi deklarasi tersebut.

    “Setelah gencatan senjata, sebuah komite administratif transisi harus segera dibentuk untuk beroperasi di Gaza di bawah naungan Otoritas Palestina,” bunyi deklarasi tersebut.

    “Kami mengutuk serangan yang dilakukan Hamas terhadap warga sipil pada 7 Oktober,” tambah deklarasi tersebut. “Kami juga mengutuk serangan Israel terhadap warga sipil di Gaza dan infrastruktur sipil, pengepungan, dan kelaparan, yang telah mengakibatkan bencana kemanusiaan yang dahsyat dan krisis perlindungan,” imbuh deklarasi tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Keras! Belanda Nyatakan Tak Sudi Terima 2 Menteri Israel Ini, Ada Apa?

    Keras! Belanda Nyatakan Tak Sudi Terima 2 Menteri Israel Ini, Ada Apa?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Belanda secara resmi menyatakan dua menteri senior Israel sebagai persona non grata alias orang yang tak diinginkan, menyusul tudingan bahwa mereka menghasut kekerasan terhadap warga Palestina dan menyerukan pembersihan etnis di Gaza.

    Hal ini jadi sebuah langkah diplomatik tegas yang menandai memburuknya hubungan antara Amsterdam dan Tel Aviv di tengah perang yang terus berkecamuk di wilayah tersebut.

    Dalam sebuah surat kepada parlemen yang dirilis Senin (28/7/2025) malam waktu setempat, sebagaimana dilansir AFP, Menteri Luar Negeri Belanda Caspar Veldkamp menyatakan bahwa Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir telah “berulang kali menghasut kekerasan pemukim terhadap warga Palestina, mempromosikan perluasan pemukiman ilegal, dan menyerukan pembersihan etnis di Gaza.”

    Deklarasi persona non grata ini menyusul upaya yang dilakukan Belanda pada bulan Juni lalu ketika mereka mendukung proposal Swedia di Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi terhadap kedua pejabat Israel tersebut. Namun, usulan itu gagal mendapat konsensus di antara negara-negara anggota UE.

    Menanggapi keputusan Belanda, Smotrich menyebut para pemimpin Eropa telah “menyerah pada kebohongan Islam radikal yang tengah mengambil alih” dan pada “antisemitisme yang kian meningkat.” Dalam pernyataan di platform X, ia menegaskan penolakannya terhadap tudingan tersebut.

    Sementara itu, Ben-Gvir juga mengeluarkan pernyataan keras. “Bahkan jika saya dilarang memasuki seluruh Eropa, saya akan terus bertindak untuk Israel,” tulisnya di X.

    Ia juga menuduh Eropa bersikap hipokrit. “Di tempat di mana terorisme ditoleransi dan para teroris diterima dengan tangan terbuka, seorang menteri Yahudi dari Israel dianggap tidak diinginkan, para teroris bebas, dan orang-orang Yahudi diboikot.”

    Dalam suratnya kepada parlemen, Menlu Veldkamp menegaskan bahwa tujuan utama Belanda adalah meringankan penderitaan penduduk di Gaza. Ia menyebut bahwa pengiriman bantuan melalui udara adalah metode yang mahal dan berisiko, sehingga pemerintahnya kini mencari alternatif melalui jalur darat.

    “Ini sebabnya Belanda juga mengambil langkah untuk mendukung lebih lanjut pengiriman bantuan melalui darat,” ujarnya.

    Adapun pengiriman bantuan udara ke Gaza kembali dilakukan pada Minggu lalu setelah Israel mengumumkan jeda kemanusiaan sementara di sejumlah wilayah Gaza yang dikepung. Namun, situasi di lapangan tetap sangat mengkhawatirkan.

    Sekitar 2,4 juta warga Palestina di Gaza kini menghadapi ancaman kelaparan dan malnutrisi parah. Lembaga pemantau pangan global yang didukung PBB, Integrated Food Security Phase Classification (IPC), pada Selasa menyatakan bahwa kelaparan kini sedang berlangsung di sebagian besar wilayah Gaza, dengan ambang batas bencana telah terlampaui dan lebih dari 20.000 anak telah dirawat karena malnutrisi akut sejak April.

    Sebagai tanggapan atas krisis tersebut, Veldkamp mengatakan Belanda akan mendorong penangguhan bagian perdagangan dalam EU-Israel Association Agreement jika Israel gagal memenuhi kewajiban kemanusiaannya.

    “Pemanggilan diplomatik ini juga akan digunakan untuk mengingatkan Israel agar mematuhi kewajibannya di bawah hukum humaniter internasional,” ujarnya.

    Perdana Menteri Belanda Dick Schoof juga telah menyampaikan sikap resmi pemerintah setelah berbicara melalui sambungan telepon dengan Presiden Israel Isaac Herzog.

    “Posisi pemerintah sangat jelas,” kata Schoof. “Warga Gaza harus segera mendapatkan akses yang tak terhalang, aman, dan langsung terhadap bantuan kemanusiaan.”

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Israel Tolak Gencatan Senjata Jika Hamas Masih Berkuasa di Gaza

    Israel Tolak Gencatan Senjata Jika Hamas Masih Berkuasa di Gaza

    Tel Aviv

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel, Gideon Saar, menolak apa yang disebutnya sebagai “kampanye yang terdistorsi” dari tekanan internasional untuk gencatan senjata Gaza dan pengakuan resmi untuk negara Palestina.

    Saar mengatakan kepada wartawan, seperti dilansir AFP, Selasa (29/7/2025), jika Israel menghentikan konflik saat Hamas masih berkuasa di Jalur Gaza dan masih menahan para sandera, maka itu akan menjadi “tragedi bagi Israel dan Palestina”.

    “Itu tidak akan terjadi, tidak peduli seberapa besar tekanan yang diberikan kepada Israel,” tegas Saar dalam pernyataannya.

    Israel menggencarkan operasi militer melawan Hamas di Jalur Gaza selama hampir 22 bulan terakhir, sejak serangan lintas perbatasan pada 7 Oktober 2023 dilancarkan oleh Hamas.

    Dalam beberapa pekan terakhir, tekanan internasional semakin meningkat untuk gencatan senjata agar badan-badan bantuan dapat membanjiri Jalur Gaza dengan bantuan pangan dan mencegah apa yang disebut oleh para pemantau yang didukung PBB sebagai kelaparan yang meluas.

    Namun, dalam konferensi pers di Yerusalem, Saar bersikeras menegaskan bahwa Hamas bertanggung jawab penuh atas konflik tersebut dan bahwa tekanan terhadap Israel hanya akan mendorong Hamas untuk mengambil sikap garis keras.

    “Ketika mereka menuntut diakhirinya perang ini, apa sebenarnya maksudnya? Mengakhiri perang saat Hamas tetap berkuasa di Gaza?” tanyanya.

    Saar juga menanggapi langkah-langkah beberapa negara, termasuk Prancis, untuk menghidupkan kembali upaya solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina.

    “Menteri Luar Negeri Prancis mengatakan di New York kemarin bahwa Eropa harus menekan Israel untuk menerima solusi dua negara,” ucapnya.

    “Mendirikan negara Palestina saat ini sama saja dengan mendirikan negara Hamas, negara jihadis. Itu tidak akan terjadi,” tegas Saar dalam pernyataannya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Gaza Hadapi Kelaparan Massal yang Dibuat dan Disengaja

    Gaza Hadapi Kelaparan Massal yang Dibuat dan Disengaja

    JAKARTA – Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan kelaparan massal di Jalur Gaza “dibuat dan disengaja.”

    Mereka mengatakan mekanisme distribusi bantuan yang didukung Israel dan AS, yang dikenal sebagai “Yayasan Kemanusiaan Gaza,” atau GHF, dibentuk untuk memuluskan “tujuan militer dan politik.”

    “Kelaparan massal yang disengaja dan terencana. Hari ini, lebih banyak anak meninggal, tubuh mereka kurus kering karena kelaparan,” demikian pernyataan tersebut dilansir ANTARA dari Anadolu, Sabtu, 26 Juli.

    Mereka menekankan “sistem distribusi (GHF) yang cacat tersebut tidak dirancang untuk mengatasi krisis kemanusiaan.”

    UNRWA menekankan sistem itu “melayani tujuan militer dan politik. Sistem ini kejam karena lebih banyak merenggut nyawa daripada menyelamatkan nyawa.”

    Badan tersebut menjelaskan di bawah sistem tersebut, Israel mengendalikan “semua aspek akses kemanusiaan, baik di luar maupun di dalam Gaza.”

    Sejak 27 Mei, Tel Aviv mulai melaksanakan rencana penyaluran bantuan melalui “Yayasan Kemanusiaan Gaza,” mekanisme yang didukung oleh Israel dan AS tetapi ditolak oleh PBB dan organisasi-organisasi kemanusiaan besar.

    UNRWA mencatat selama gencatan senjata sebelumnya pada 2025, yang dimulai pada Januari dan kemudian tidak diimplementasikan oleh Israel pada Maret, mereka “membalikkan kelaparan yang semakin dalam.”

    Badan tersebut menambahkan “saat ini, UNRWA sendiri memiliki 6.000 truk bantuan makanan dan medis yang tertahan di Mesir dan Yordania.”

    UNRWA telah berulang kali menyerukan pengaktifan kembali mekanisme distribusi bantuan yang diawasi PBB untuk membantu meringankan krisis kelaparan di Gaza.

    Sejak 2 Maret, Israel sudah tidak melaksanakan gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas serta menutup perlintasan Gaza, sehingga ratusan truk bantuan terdampar di perbatasan.

    Israel menolak seruan internasional untuk melaksanakan gencatan senjata dan terus melancarkan serangan brutal di Gaza sejak akhir 2023, sehingga menewaskan lebih dari 59.600 warga Palestina.

    Kematian akibat kelaparan melonjak dalam beberapa hari terakhir akibat blokade yang telah berlangsung selama berbulan-bulan dan buruknya distribusi bantuan yang dilakukan oleh lembaga bantuan GHF yang kontroversial.

    Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk PM Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

    Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di daerah kantong tersebut.