kab/kota: Tel Aviv

  • Keluarga Sandera Protes Rencana Israel Capok Gaza, Serukan Mogok Nasional

    Keluarga Sandera Protes Rencana Israel Capok Gaza, Serukan Mogok Nasional

    Jakarta

    Keluarga sandera Israel yang ditawan di Gaza menyerukan mogok nasional. Seruan itu sebagai bentuk protes atas keputusan kabinet keamanan Israel baru-baru ini untuk memperluas perang dan mengambil alih Kota Gaza.

    “Kami menutup negara ini untuk menyelamatkan tentara dan sandera,” kata keluarga para sandera di Tel Aviv, dilansir CNN, Senin (11/8/2025).

    Keluarga para sandera bergabung dengan Dewan 7 Oktober, yang mewakili keluarga tentara yang gugur pada awal perang. Para penyelenggara mengatakan inisiatif ini akan dimulai sebagai upaya akar rumput, terutama melalui perusahaan swasta dan warga negara yang akan mogok pada hari Minggu untuk menghentikan perekonomian.

    Dalam beberapa jam, Dewan 7 Oktober mengatakan “ratusan” perusahaan menyatakan akan berpartisipasi dalam pemogokan, serta “ribuan warga negara yang telah menyatakan akan mengambil cuti.”

    Serikat pekerja terbesar Israel, yang dikenal sebagai Histadrut, belum bergabung dalam rencana mogok ini. Keluarga para sandera tersebut diperkirakan akan bertemu dengan Ketua Histadrut, Arnon Bar-David, pada hari ini untuk meyakinkannya agar bergabung.

    Anat Angrest, ibu dari Matan, yang disandera di Gaza, memohon kepada para pemimpin industri ekonomi dan ketenagakerjaan, memperingatkan “keheningan kalian membunuh anak-anak kami.”

    “Saya tahu hati kalian bersama kami dan berduka – tetapi itu tidak cukup. Keheningan itu membunuh. Itulah sebabnya saya di sini hari ini untuk meminta sesuatu yang selama ini saya hindari – untuk meminta kepada para pemimpin industri: kalian punya kuasa,” kata Angrest.

    Histadrut sebelumnya telah menggelar aksi mogok umum untuk mendukung keluarga para sandera tahun lalu. Setelah pembunuhan enam sandera Israel oleh Hamas pada September 2024, serikat pekerja tersebut mengganggu sektor-sektor utama seperti transportasi, perbankan, layanan kesehatan, dan bergabung dalam protes dan demonstrasi yang meluas sepanjang hari.

    Namun, pemerintah Israel mengecam tindakan tersebut sebagai tindakan politis dan memutuskan untuk menghentikan aksi mogok tersebut melalui putusan pengadilan ketenagakerjaan.

    Meskipun Histadrut belum berkomentar secara terbuka tentang serangan tersebut, para pemimpin oposisi Israel telah mendukung dan menyambut inisiatif tersebut. Pemimpin oposisi, Yair Lapid, mengatakan, “Seruan keluarga para sandera untuk melakukan mogok umum dibenarkan dan tepat.”

    Ketua Partai Demokrat, Yair Golan, mengumumkan partainya akan bergabung dalam aksi mogok tersebut dan menyerukan “kepada seluruh warga negara Israel – siapa pun yang menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan dan tanggung jawab bersama – untuk mogok bersama kami, turun ke jalan, melawan, dan mengganggu.”

    Diketahui, Kabinet keamanan Israel telah memutuskan rencana kontroversial untuk memperluas perang dan mengambil alih Kota Gaza. Rencana tersebut telah memicu kritik keras dari keluarga 50 sandera yang tersisa di Gaza, 20 di antaranya diperkirakan masih hidup, dan memperingatkan bahwa langkah militer baru tersebut dapat membahayakan para sandera yang masih hidup dan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membela eskalasi tersebut dalam konferensi pers. Ia bersikeras bahwa rencana tersebut adalah cara terbaik.

    “Bertentangan dengan klaim palsu, ini adalah cara terbaik untuk mengakhiri perang dan cara terbaik untuk mengakhirinya dengan cepat,” ujar Netanyahu kepada para wartawan.

    Netanyahu menggambarkan Kota Gaza dan kamp-kamp pusat di daerah kantong tersebut sebagai “dua benteng tersisa” Hamas, yang menurutnya harus diserang Israel untuk “menyelesaikan tugas dan merampungkan kekalahan Hamas.”

    Halaman 2 dari 2

    (yld/idn)

  • Kecaman Bertubi-tubi Buat Israel yang Bertekad Caplok Gaza

    Kecaman Bertubi-tubi Buat Israel yang Bertekad Caplok Gaza

    Jakarta

    Sejumlah negara kembali mengecam keras rencana Israel yang akan mengambil langkah baru memperluas operasional militernya di Gaza. Sejumlah negara khawatir rencana baru Israel tersebut akan membuat situasi di Palestina semakin parah.

    Dirangkum detikcom, Senin (11/8/2025), berdasarkan rencana yang baru disetujui kabinet Israel untuk mengalahkan kelompok Hamas, pasukan Israel akan bersiap untuk menguasai Kota Gaza, sambil mendistribusikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk sipil di luar zona pertempuran.

    Namun, dilansir kantor berita AFP, Sabtu (9/8/2025), Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dalam sebuah unggahan di media sosial X, menegaskan “kami tidak akan menduduki Gaza — kami akan membebaskan Gaza dari Hamas”.

    Ia mengatakan bahwa demiliterisasi wilayah tersebut dan pembentukan “pemerintahan sipil yang damai… akan membantu membebaskan para sandera kami” dan mencegah ancaman di masa mendatang.

    Israel menduduki Gaza sejak tahun 1967, tetapi menarik pasukan dan para pemukimnya pada tahun 2005.

    Kantor Netanyahu mengatakan pada Jumat (8/8) waktu setempat, kabinet telah mengadopsi “lima prinsip”, yakni perlucutan senjata Hamas, pemulangan semua sandera, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, demiliterisasi Jalur Gaza, kontrol keamanan Israel atas Jalur Gaza, dan keberadaan pemerintahan sipil alternatif yang bukan Hamas atau Otoritas Palestina

    Meskipun kabinet keamanan Israel telah menyetujui rencana untuk mengambil alih Kota Gaza, belum ada jadwal pasti kapan operasi tersebut akan dimulai.

    Laporan dari media Israel mengindikasikan bahwa militer tidak akan segera bergerak ke Kota Gaza, dan penduduk akan diminta untuk mengungsi terlebih dahulu.

    Sejumlah negara seperti Indonesia, Inggris, China, Turki, Arab Saudi, hingga Jerman sebelumnya telah mengecam rencana Israel tersebut. Kini kecaman tersebut kembali datang dari berbagai pihak lainnya, seperti Rusia, bahkan warga Israel sendiri yang menggelar demonstrasi.

    Rusia Kecam Rencana Israel

    Rusia mengecam dan menolak rencana Israel untuk memperluas operasi militernya di Jalur Gaza. Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan rencana tersebut akan memperburuk situasi di Palestina.

    “Implementasi keputusan dan rencana semacam itu, yang memicu
    kecaman dan penolakan, berisiko memperburuk situasi yang sudah sangat dramatis di wilayah kantong Palestina tersebut, yang memiliki semua ciri bencana kemanusiaan,” kata kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan, dilansir Reuters, Minggu (10/8/2025).

    Dilansir Anadolu, Rusia menambahkan, jika rencana tersebut dijalankan Israel, maka kemungkinan penduduk sipil di Gaza tidak akan tersisa. Menurut Rusia semua penduduk dapat berpotensi jadi sasaran pengusiran paksa.

    “Diperkirakan dalam waktu dekat tidak akan ada satu pun warga sipil yang tersisa di wilayah tersebut. Semua penduduk akan menjadi sasaran pengusiran paksa. Pihak Israel tidak menyembunyikan niatnya untuk secara bertahap merebut dan menduduki seluruh sektor tersebut pada tahap-tahap selanjutnya,” demikian pernyataan tersebut.

    Kementerian Luar Negeri Rusia juga memperingatkan tindakan tersebut akan mempersulit upaya internasional untuk meredakan ketegangan di zona konflik, yang akan mengakibatkan konsekuensi negatif yang serius bagi seluruh Timur Tengah. Rusia mengingatkan pentingnya melakukan gencatan senjata di Gaza.

    Warga Israel Demo di Tel Aviv

    Ribuan orang turun ke jalan di Tel Aviv pada hari Sabtu untuk menuntut diakhirinya perang di Gaza. Demo ini berlangsung sehari setelah pemerintah Israel berjanji untuk memperluas konflik dan merebut Kota Gaza.

    Dilansir AFP, Minggu (10/8/2025), para demonstran melambaikan spanduk dan mengangkat foto-foto sandera yang masih ditahan di wilayah Palestina. Mereka mendesak pemerintah untuk menjamin pembebasan mereka.

    Para jurnalis AFP yang hadir di demonstrasi tersebut memperkirakan jumlah peserta mencapai puluhan ribu. Sementara sebuah kelompok yang mewakili keluarga para sandera mengatakan sebanyak 100.000 orang berpartisipasi.

    “Kami akan mengakhiri dengan pesan langsung kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu: jika Anda menyerbu sebagian wilayah Gaza dan para sandera dibunuh, kami akan mengejar Anda di alun-alun kota, dalam kampanye pemilu, dan di setiap waktu dan tempat,” ujar Shahar Mor Zahiro, kerabat seorang sandera yang dibunuh, kepada AFP.

    Arab Saudi Kecam Israel

    Pemerintah Arab Saudi menolak rencana Israel mengambil alih Gaza, Palestina. Arab Saudi mengutuk sekeras-kerasnya rencana itu.

    Dilansir kantor berita AFP, Sabtu (9/8/2025), Arab Saudi menolak rencana Israel untuk mengambil alih kota Gaza. Arab Saudi mengecam Israel karena kelaparan dan pembersihan etnis terhadap warga Palestina di wilayah yang diblokade tersebut.

    “Mengutuk dengan sekeras-kerasnya dan sekeras-kerasnya keputusan otoritas pendudukan Israel untuk menduduki Jalur Gaza,” pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab di akun X.

    Jerman Setop Ekspor Senjata ke Israel

    Pemerintah Jerman mengumumkan penghentian sementara semua izin ekspor senjata ke Israel. Penghentian ini dilakukan menyusul pernyataan Israel yang berencana menguasai jalur Gaza, Palestina.

    Dilansir kantor berita BBC, Jumat (8/8/2025), keputusan itu disampaikan langsung Kanselir Friedrich Merz. Hal itu sebagai reaksi Jerman terhadap rencana Israel untuk mengambil alih Kota Gaza.

    Merz mengatakan pemerintahnya tidak akan menyetujui ekspor peralatan militer apa pun ke Israel yang dapat digunakan di Gaza. Merz belum memerinci sampai kapan penghentian ekspor ini.

    “Dalam situasi ini, pemerintah Jerman tidak akan mengizinkan ekspor peralatan militer apa pun yang dapat digunakan di Jalur Gaza hingga pemberitahuan lebih lanjut,” kata Merz.

    Halaman 2 dari 4

    (yld/yld)

  • Warga Israel Demo di Tel Aviv Tuntut Akhiri Perang di Gaza-Bebaskan Sandera

    Warga Israel Demo di Tel Aviv Tuntut Akhiri Perang di Gaza-Bebaskan Sandera

    Tel Aviv

    Ribuan orang turun ke jalan di Tel Aviv pada hari Sabtu untuk menuntut diakhirinya perang di Gaza. Demo ini berlangsung sehari setelah pemerintah Israel berjanji untuk memperluas konflik dan merebut Kota Gaza.

    Dilansir AFP, Minggu (10/8/2025), para demonstran melambaikan spanduk dan mengangkat foto-foto sandera yang masih ditahan di wilayah Palestina. Mereka mendesak pemerintah untuk menjamin pembebasan mereka.

    Para jurnalis AFP yang hadir di demonstrasi tersebut memperkirakan jumlah peserta mencapai puluhan ribu. Sementara sebuah kelompok yang mewakili keluarga para sandera mengatakan sebanyak 100.000 orang berpartisipasi.

    Pihak berwenang tidak memberikan perkiraan resmi mengenai jumlah massa, meskipun jumlahnya jauh lebih besar daripada demonstrasi anti-perang lainnya baru-baru ini.

    “Kami akan mengakhiri dengan pesan langsung kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu: jika Anda menyerbu sebagian wilayah Gaza dan para sandera dibunuh, kami akan mengejar Anda di alun-alun kota, dalam kampanye pemilu, dan di setiap waktu dan tempat,” ujar Shahar Mor Zahiro, kerabat seorang sandera yang dibunuh, kepada AFP.

    Pada hari Jumat, kabinet keamanan Netanyahu menyetujui rencana operasi besar untuk merebut Kota Gaza, yang memicu gelombang kritik dari dalam dan luar negeri.

    Meskipun mendapat reaksi keras dan rumor perbedaan pendapat dari petinggi militer Israel, Netanyahu tetap teguh pada keputusan tersebut.

    Dalam sebuah unggahan di media sosial Jumat malam, Netanyahu mengatakan “kami tidak akan menduduki Gaza — kami akan membebaskan Gaza dari Hamas”.

    Perdana Menteri telah menghadapi protes rutin selama 22 bulan perang, dengan banyak demonstrasi yang menuntut pemerintah untuk mencapai kesepakatan setelah gencatan senjata sebelumnya mengakibatkan pertukaran sandera dengan tahanan Palestina yang ditahan Israel.

    Dari 251 sandera yang ditangkap selama serangan Hamas tahun 2023, 49 orang masih ditahan di Gaza, termasuk 27 orang yang menurut militer telah tewas.

    (lir/lir)

  • Israel Akan Caplok Kota Gaza, Apa yang Diketahui Sejauh Ini?

    Israel Akan Caplok Kota Gaza, Apa yang Diketahui Sejauh Ini?

    Jakarta

    Kabinet keamanan Israel menyetujui rencana untuk mengambil alih Kota Gaza. Keputusan ini dinilai sebagai eskalasi dalam perang di Gaza.

    Sebelum perang, Kota Gaza adalah kota terpadat di Jalur Gaza, tempat tinggal bagi ratusan ribu warga Palestina.

    Rencana ini menuai kecaman dari para pemimpin dunia. PBB juga memperingatkan bahwa hal tersebut akan menyebabkan “lebih banyak lagi pengungsian paksa” dan “lebih banyak pembunuhan”.

    Hamas pun mengancam akan melakukan “perlawanan sengit” terhadap langkah tersebut.

    Tidak hanya itu, rencana ini juga mendapat penolakan kuat di dalam negeri Israel, termasuk dari para pejabat militer dan keluarga sandera.

    Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada Fox News bahwa Israel berencana untuk menduduki seluruh Jalur Gaza dan pada akhirnya akan “menyerahkannya kepada pasukan Arab”.

    Meskipun banyak hal yang masih belum jelas, inilah informasi yang diketahui mengenai rencana baru tersebut.

    Apa rencana Netanyahu di Kota Gaza?

    “Demi memastikan keamanan kami, kami bermaksud untuk menyingkirkan Hamas dari sana, membebaskan penduduk Gaza, dan menyerahkannya kepada pemerintahan sipilyang bukan Hamas dan bukan pula siapa pun yang menganjurkan penghancuran Israel,” ujarnya.

    “Kami ingin membebaskan diri kami sendiri dan membebaskan rakyat Gaza dari teror mengerikan Hamas,” lanjutnya.

    Namun, Netanyahu juga mengatakan Israel “tidak ingin mempertahankannya”.

    “Kami ingin memiliki perimeter keamanan. Kami tidak ingin mengaturnya. Kami tidak ingin berada di sana sebagai badan pemerintahan,” tambahnya.

    Getty ImagesPM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan niatnya untuk menguasai seluruh Gaza, namun rencana yang disetujui saat ini secara spesifik berfokus pada Kota Gaza.

    Pada Jumat (08/08) pagi, setelah pertemuan kabinet keamanan Israel selama beberapa jam di Yerusalem, kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengeluarkan pernyataan yang menyetujui rencana untuk mengambil alih Kota Gaza.

    Rencana tersebut diadopsi melalui pemungutan suara mayoritas dan mencakup “lima prinsip untuk mengakhiri perang”:

    Pelucutan senjata Hamas.Pemulangan semua sandera, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.Demiliterisasi Jalur Gaza.Kontrol keamanan Israel atas Jalur Gaza.Keberadaan pemerintahan sipil alternatif yang bukan Hamas atau Otoritas Palestina.

    Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan bersiap untuk mengambil kendali atas Kota Gaza sambil tetap memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga sipil di luar zona tempur.

    Di akhir pernyataan, disebutkan bahwa “mayoritas mutlak menteri kabinet meyakini bahwa rencana alternatif yang diajukan ke kabinet tidak akan mencapai kekalahan Hamas atau pemulangan para sandera.”

    Kapan Israel akan mengambil alih Kota Gaza?

    Meskipun kabinet keamanan Israel telah menyetujui rencana untuk mengambil alih Kota Gaza, belum ada jadwal pasti kapan operasi tersebut akan dimulai.

    Laporan dari media Israel mengindikasikan bahwa militer tidak akan segera bergerak ke Kota Gaza dan penduduk akan diminta untuk mengungsi terlebih dahulu.

    Rencana ini disetujui meskipun ada “rencana alternatif” yang diajukan ke kabinet, yang menurut Israel tidak akan “mencapai kekalahan Hamas atau kembalinya para sandera.”

    Tidak jelas secara spesifik apa isi dari rencana alternatif ini atau siapa yang mengusulkannya, tetapi media Israel melaporkan bahwa itu adalah proposal yang lebih terbatas dari kepala staf militer.

    Mengenai pemerintahan pasca-pengambilalihan, Perdana Menteri Netanyahu menyatakan bahwa Israel tidak berniat untuk memerintah Gaza secara permanen.

    Ia ingin menyerahkan kendali kepada “pasukan Arab” yang tidak disebutkan secara spesifik.

    Menurut koresponden internasional BBC, Lyse Doucet, Netanyahu sengaja “tidak jelas” mengenai hal ini, seperti yang sering dilakukannya dengan rencana-rencana sebelumnya untuk wilayah tersebut.

    Kemungkinan, ia merujuk pada Yordania dan Mesir, yang telah menyatakan kesediaan untuk bekerja sama dengan Israel.

    Namun, kedua negara tersebut telah memperjelas bahwa mereka tidak akan masuk ke Gaza jika itu merupakan kelanjutan dari pendudukan Israel.

    Sejauh ini, tidak ada rincian lebih lanjut yang dibagikan mengenai batas waktu untuk pemerintahan Gaza pasca-pengambilalihan.

    Apa reaksi warga Palestina terhadap rencana Netanyahu?

    “Seolah-olah tidak ada lagi yang bisa ditempati sejak awal,” ujar Mahmoud al-Qurashli, warga Palestina, kepada kantor berita Reuters dari Kota Gaza.

    Menanggapi rencana Netanyahu untuk menguasai penuh wilayah tersebut, ia berkata: “Hampir seluruh Gaza telah terhimpit di bagian barat Kota Gaza, dan hanya itu yang tersisa.”

    “Saat ini, bagi rakyat, tidak ada lagi perbedaan apakah ia akan mendudukinya atau tidak.”

    Raed Abu Mohammed mengatakan bahwa mereka telah tinggal di tenda-tenda selama lima bulan, dan mereka sudah mulai beradaptasi.

    ReutersRaed Abu Mohammed bilang mereka hidup di Gaza di bawah pendudukan di udara, darat dan laut

    “Ya, ada penderitaan, ya, ada kematianya. Tapi kami masih berjuang untuk hidup, berjuang untuk hidup. Israel tidak membunuh Hamas. Israel membunuh warga sipil, anak-anak, perempuan.”

    “Tidak ada cara untuk bertahan hidup, tidak ada tanda-tanda kehidupan,” kata Ismail al-Shawish.

    Ia mengatakan kebutuhan dasar tidak ada, dan keadaan di Gaza “semakin buruk”.

    Dia menginginkan gencatan senjata, bukan pendudukan, demi “perdamaian dan keamanan”.

    Seorang jurnalis Palestina di Kota Gaza, Ghada Al Kurd, mengungkapkan ketakutannya terhadap rencana Israel untuk menduduki seluruh wilayah Gaza.

    Berbicara kepada program Radio 4 PM, Al Kurd mengatakan rencana tersebut membuat warga “tidak punya pilihan” dan “tidak ada tempat untuk pergi”.

    Menurut Al Kurd, rencana itu “tidak bisa dipercaya” karena akan memaksa mereka untuk mengungsi lagi ke tempat-tempat yang tidak diketahui.

    Ia juga menjelaskan bahwa sebagian besar wilayah Gaza telah “hancur total”, dan masyarakat kini “menderita kelaparan” serta terlalu lemah untuk berjalan.

    Saat ditanya apa yang akan ia lakukan jika diperintahkan untuk mengungsi, Al Kurd mengatakan “kami tidak punya pilihan” dan jika Israel menduduki Gaza, itu akan terjadi melalui operasi militer dan pengeboman.

    “Saya rasa kami harus pergi hanya untuk menyelamatkan hidup kami, tapi ke mana, bagaimana caranya?” tanyanya.

    Mengenai kehadiran Hamas di Kota Gaza, Al Kurd mengatakan ia tidak dapat menyangkal bahwa kelompok tersebut masih memiliki “pengaruh di lapangan”.

    Bagaimana respons di Israel terkait rencana mengambil alih Gaza?

    Keputusan kabinet keamanan Israel untuk mengambil alih Kota Gaza memicu reaksi publik yang sangat besar di Tel Aviv.

    Seorang jurnalis Israel melaporkan kepada BBC bahwa ada “ketidakpuasan besar” di negara itu, yang mendorong masyarakat untuk turun ke jalan di puluhan lokasi pada malam hari untuk memprotes pemerintah.

    Berbagai pihak menyuarakan kecaman, termasuk pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, yang menyebut keputusan itu sebagai “bencana”.

    Ia khawatir langkah ini akan menyebabkan lebih banyak kematian sandera dan tentara, serta “kehancuran politik”.

    ReutersMassa berkumpul untuk memprotes pemerintah di Tel Aviv

    Lapid juga mengatakan bahwa rencana tersebut “sangat bertentangan dengan pendapat para petinggi militer dan keamanan,” merujuk pada peringatan sebelumnya dari Kepala Staf Angkatan Darat, Letnan Jenderal Eyal Zamir, yang juga menentang langkah tersebut.

    Lapid menuduh Perdana Menteri Netanyahu menyerah pada tekanan dari menteri kabinet keamanan sayap kanan ekstrem, Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich.

    Koalisi Netanyahu bergantung pada dukungan para menteri ultranasionalis ini, yang sebelumnya mengancam akan keluar dari pemerintahan jika ada kesepakatan dengan Hamas.

    Selain itu, keluarga para sandera juga menggelar demonstrasi di luar markas militer dan kantor perdana menteri, menuntut agar rencana tersebut dibatalkan karena mereka menganggapnya sebagai “hukuman mati” bagi orang-orang yang mereka cintai.

    Laporan media Israel juga mengindikasikan adanya ketidaksepakatan antara Netanyahu dan petinggi militer.

    Kepala Staf pasukan pertahanan Israel (IDF), Letnan Jenderal Eyal Zamir, dikabarkan telah memperingatkan bahwa menduduki Gaza akan menjebak Israel dalam “lubang hitam” pemberontakan yang berkepanjangan dan meningkatkan risiko bagi para sandera.

    Secara keseluruhan, keputusan tersebut menghadapi penolakan kuat dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari publik, politisi oposisi, keluarga sandera, hingga sebagian petinggi militer.

    PM UK sebut eskalasi serangan Israel di Gaza adalah ‘salah’

    Perdana Menteri Kerajaan Bersatu (UK), Sir Keir Starmer, mengutuk keputusan kabinet keamanan Israel untuk “lebih meningkatkan serangan” di Gaza, menyebutnya “salah” dan mendesak pemerintah Israel agar segera mempertimbangkannya kembali.

    Menurut Starmer, tindakan ini “tidak akan mengakhiri konflik atau membantu pembebasan sandera. Ini hanya akan membawa lebih banyak pertumpahan darah.”

    Dia juga menyoroti kondisi krisis kemanusiaan di Gaza yang terus memburuk dan situasi para sandera yang ditahan oleh Hamas dalam “kondisi mengerikan dan tidak manusiawi.”

    PA MediaPerdana Menteri Kerajaan Bersatu (UK), Sir Keir Starmer, mengutuk keputusan kabinet keamanan Israel untuk “lebih meningkatkan serangan” di Gaza

    Starmer mengusulkan solusi yang terdiri dari gencatan senjata, peningkatan bantuan kemanusiaan, pembebasan semua sandera oleh Hamas, dan solusi melalui negosiasi.

    Ia juga menegaskan bahwa Hamas “tidak dapat berperan dalam masa depan Gaza dan harus pergi serta melucuti senjata.”

    Lebih lanjut, Starmer menyatakan bahwa Inggris dan sekutunya sedang menyusun rencana jangka panjang untuk perdamaian di kawasan itu melalui solusi dua negara, demi masa depan yang lebih baik bagi rakyat Palestina dan Israel.

    Namun, ia memperingatkan bahwa tanpa negosiasi yang tulus dari kedua belah pihak, harapan tersebut “akan sirna.”

    “Pesan kami tegas: solusi diplomatik mungkin tercapai, tetapi kedua pihak harus menjauhi jalur kehancuran.”

    Mana saja wilayah Gaza yang dikendalikan militer Israel?

    Berdasarkan laporan, rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang baru disetujui bertujuan agar pasukan Israel bergerak untuk mengambil alih Kota Gaza, yang berada di utara wilayah tersebut, untuk pertama kalinya selama konflik ini.

    Kota Gaza adalah rumah bagi satu juta penduduk dan dikelilingi oleh daratan yang telah berada di bawah kendali IDF atau menjadi sasaran perintah evakuasi.

    BBC

    Israel mengklaim telah mengendalikan 75% wilayah Gaza, sementara PBB memperkirakan sekitar 86% wilayah tersebut berada di zona militer atau di bawah perintah evakuasi.

    Meskipun Israel mengklaim menguasai sebagian besar wilayah Gaza, ada beberapa area di bagian selatan, terutama di sepanjang pantai Mediterania, yang tidak diduduki oleh pasukan Israel.

    Menurut PBB, area-area ini mencakup kamp-kamp pengungsi, tempat sebagian besar penduduk Gaza tinggal setelah rumah mereka hancur akibat serangan militer Israel.

    Berita ini akan terus diperbarui secara berkala

    (ita/ita)

  • Potret Demo Warga Israel Tolak Rencana Netanyahu Ambil Alih Total Gaza

    Potret Demo Warga Israel Tolak Rencana Netanyahu Ambil Alih Total Gaza

    Demonstran dan keluarga sandera yang diculik dalam serangan mematikan Hamas di Israel, berunjuk rasa menuntut pembebasan segera para sandera dan diakhirinya perang, di tengah kebakaran yang terjadi di Tel Aviv, Israel, Kamis (7/8/2025). (REUTERS/Ammar Awad)

  • Mengemuka Kisruh Pemerintah dan Militer Israel soal Gaza

    Mengemuka Kisruh Pemerintah dan Militer Israel soal Gaza

    Jakarta

    Baru-baru ini terkuak ada kisruh antara pemerintah dan militer Israel. Mereka ternyata ribut-ribut perihal rencana menguasai Jalur Gaza, Palestina.

    Dirangkum detikcom, Kamis (7/8/2025), Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menegaskan bahwa militer harus melaksanakan apa pun keputusan pemerintah terkait Jalur Gaza. Penegasan ini disampaikan Katz setelah mencuat laporan perselisihan internal mengenai prospek pendudukan sepenuhnya atas daerah kantong Palestina tersebut.

    Saat perang Gaza mendekati bulan ke-23, dilansir AFP, tanda-tanda keretakan dalam strategi Israel telah muncul dengan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu bersiap mengumumkan rencana baru. Sejauh ini belum ada keputusan yang diumumkan secara resmi oleh Netanyahu.

    Netanyahu, menurut laporan media lokal Israel, diperkirakan akan kembali menggelar rapat kabinet keamanannya pada Kamis (7/8) waktu setempat untuk menyelesaikan keputusan mengenai perluasan serangan di Jalur Gaza.

    Dia mengatakan bahwa Israel harus “menuntaskan” kekalahan kelompok Hamas untuk mengamankan pembebasan para sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023 yang memicu perang tanpa henti.

    Media lokal Israel, yang mengutip para pejabat setempat yang berbicara secara anonim, telah memperkirakan peningkatan operasi militer, termasuk di area-area padat penduduk yang menjadi tempat para sandera ditahan, seperti Gaza City dan kamp-kamp pengungsi.

    Pada Rabu (6/8), militer Israel merilis seruan evakuasi terbaru untuk sebagian Gaza City di bagian utara dan di Khan Younis di bagian selatan, dengan seorang juru bicara militer Tel Aviv mengatakan pasukan darat sedang bersiap untuk “memperluas cakupan operasi tempur”.

    Laporan sejumlah media lokal Israel sebelumnya menyebut Netanyahu dan kabinetnya mungkin memerintahkan pendudukan militer sepenuhnya terhadap Jalur Gaza, yang diduga memicu perselisihan dengan panglima militer Israel atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel (IDF), Letnan Jenderal Eyal Zamir.

    Dalam rapat membahas opsi kelanjutan perang Gaza pada Selasa (5/8), menurut laporan televisi Kan, Zamir memperingatkan bahwa pendudukan sepenuhnya atas Jalur Gaza akan seperti “masuk ke dalam jebakan”.

    Laporan televisi Israel lainnya, Channel 12, menyebut bahwa Zamir menyarankan alternatif untuk pendudukan penuh, seperti mengepung wilayah-wilayah tertentu yang diyakini menjadi tempat persembunyian Hamas dan melancarkan serangan.

    Merespons pemberitaan yang muncul, Katz dalam pernyataan via media sosial X mengatakan bahwa meskipun “merupakan hak dan kewajiban kepala staf untuk menyatakan posisinya dalam forum-forum yang tepat, namun militer terikat oleh setiap keputusan yang dibuat oleh pemerintah.

    “Setelah keputusan diambil oleh eselon politik, IDF akan melaksanakannya dengan tekad dan profesionalisme,” tegas Katz.

    Media lokal Israel, yang mengutip para pejabat setempat yang berbicara secara anonim, telah memperkirakan peningkatan operasi militer, termasuk di area-area padat penduduk yang menjadi tempat para sandera ditahan, seperti Gaza City dan kamp-kamp pengungsi.

    Pada Rabu (6/8), militer Israel merilis seruan evakuasi terbaru untuk sebagian Gaza City di bagian utara dan di Khan Younis di bagian selatan, dengan seorang juru bicara militer Tel Aviv mengatakan pasukan darat sedang bersiap untuk “memperluas cakupan operasi tempur”.

    Laporan sejumlah media lokal Israel sebelumnya menyebut Netanyahu dan kabinetnya mungkin memerintahkan pendudukan militer sepenuhnya terhadap Jalur Gaza, yang diduga memicu perselisihan dengan panglima militer Israel atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel (IDF), Letnan Jenderal Eyal Zamir.

    Dalam rapat membahas opsi kelanjutan perang Gaza pada Selasa (5/8), menurut laporan televisi Kan, Zamir memperingatkan bahwa pendudukan sepenuhnya atas Jalur Gaza akan seperti “masuk ke dalam jebakan”.

    Laporan televisi Israel lainnya, Channel 12, menyebut bahwa Zamir menyarankan alternatif untuk pendudukan penuh, seperti mengepung wilayah-wilayah tertentu yang diyakini menjadi tempat persembunyian Hamas dan melancarkan serangan.

    Merespons pemberitaan yang muncul, Katz dalam pernyataan via media sosial X mengatakan bahwa meskipun “merupakan hak dan kewajiban kepala staf untuk menyatakan posisinya dalam forum-forum yang tepat, namun militer terikat oleh setiap keputusan yang dibuat oleh pemerintah.

    “Setelah keputusan diambil oleh eselon politik, IDF akan melaksanakannya dengan tekad dan profesionalisme,” tegas Katz.

    Simak juga Video: Alasan Netanyahu Ingin Caplok Gaza: Demi Menjamin Keamanan Israel

    Halaman 2 dari 3

    (whn/fas)

  • Israel Perintahkan Militer Laksanakan Keputusan Pemerintah Soal Gaza

    Israel Perintahkan Militer Laksanakan Keputusan Pemerintah Soal Gaza

    Tel Aviv

    Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz, menegaskan bahwa militer harus melaksanakan apa pun keputusan pemerintah terkait Jalur Gaza. Penegasan ini disampaikan Katz setelah mencuat laporan perselisihan internal mengenai prospek pendudukan sepenuhnya atas daerah kantong Palestina tersebut.

    Saat perang Gaza mendekati bulan ke-23, seperti dilansir AFP, Kamis (7/8/2025), tanda-tanda keretakan dalam strategi Israel telah muncul dengan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu bersiap mengumumkan rencana baru. Sejauh ini belum ada keputusan yang diumumkan secara resmi oleh Netanyahu.

    Netanyahu, menurut laporan media lokal Israel, diperkirakan akan kembali menggelar rapat kabinet keamanannya pada Kamis (7/8) waktu setempat untuk menyelesaikan keputusan mengenai perluasan serangan di Jalur Gaza.

    Dia mengatakan bahwa Israel harus “menuntaskan” kekalahan kelompok Hamas untuk mengamankan pembebasan para sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023 yang memicu perang tanpa henti.

    Media lokal Israel, yang mengutip para pejabat setempat yang berbicara secara anonim, telah memperkirakan peningkatan operasi militer, termasuk di area-area padat penduduk yang menjadi tempat para sandera ditahan, seperti Gaza City dan kamp-kamp pengungsi.

    Pada Rabu (6/8), militer Israel merilis seruan evakuasi terbaru untuk sebagian Gaza City di bagian utara dan di Khan Younis di bagian selatan, dengan seorang juru bicara militer Tel Aviv mengatakan pasukan darat sedang bersiap untuk “memperluas cakupan operasi tempur”.

    Laporan sejumlah media lokal Israel sebelumnya menyebut Netanyahu dan kabinetnya mungkin memerintahkan pendudukan militer sepenuhnya terhadap Jalur Gaza, yang diduga memicu perselisihan dengan panglima militer Israel atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel (IDF), Letnan Jenderal Eyal Zamir.

    Tonton juga video “Momen Seorang Anak di Gaza Lari Menghindari Tembakan Israel” di sini:

    Dalam rapat membahas opsi kelanjutan perang Gaza pada Selasa (5/8), menurut laporan televisi Kan, Zamir memperingatkan bahwa pendudukan sepenuhnya atas Jalur Gaza akan seperti “masuk ke dalam jebakan”.

    Laporan televisi Israel lainnya, Channel 12, menyebut bahwa Zamir menyarankan alternatif untuk pendudukan penuh, seperti mengepung wilayah-wilayah tertentu yang diyakini menjadi tempat persembunyian Hamas dan melancarkan serangan.

    Merespons pemberitaan yang muncul, Katz dalam pernyataan via media sosial X mengatakan bahwa meskipun “merupakan hak dan kewajiban kepala staf untuk menyatakan posisinya dalam forum-forum yang tepat, namun militer terikat oleh setiap keputusan yang dibuat oleh pemerintah.

    “Setelah keputusan diambil oleh eselon politik, IDF akan melaksanakannya dengan tekad dan profesionalisme,” tegas Katz.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Hizbullah Tolak Lucuti Senjata, Tuduh Kabinet Lebanon Lakukan ‘Dosa Besar’

    Hizbullah Tolak Lucuti Senjata, Tuduh Kabinet Lebanon Lakukan ‘Dosa Besar’

    Beirut

    Kelompok Hizbullah menolak untuk melucuti persenjataan para petempurnya, seperti yang diputuskan oleh kabinet pemerintahan Lebanon pekan ini. Hizbullah menuduh pemerintah Lebanon telah melakukan “dosa besar” dengan mengambil keputusan semacam itu.

    Pemerintah Lebanon yang dipimpin Perdana Menteri (PM) Nawaf Salam, pada Selasa (5/8), mengambil keputusan untuk melaksanakan perlucutan senjata Hizbullah setelah menggelar rapat kabinet maraton selama enam jam.

    Salam menugaskan militer Lebanon untuk “menetapkan rencana implementasi guna membatasi persenjataan” bagi tentara dan pasukan negara sebelum akhir tahun ini. Rencana tersebut akan disampaikan kepada kabinet pada akhir Agustus untuk dibahas dan disetujui.

    Keputusan pemerintah Lebanon itu diambil setelah adanya tekanan besar dari Amerika Serikat (AS) untuk melucuti persenjataan Hizbullah, dan di tengah kekhawatiran Israel akan memperluas serangannya terhadap Lebanon.

    Hizbullah, seperti dilansir AFP, Kamis (7/8/2025), memberikan reaksi keras dengan menyebut keputusan pemerintah Lebanon itu sebagai “dosa besar” dan mengatakan bahwa kelompoknya akan menganggap keputusan itu “seolah-olah tidak ada”.

    “Pemerintahan Perdana Menteri Nawaf Salam telah melakukan dosa besar dengan mengambil keputusan untuk melucuti persenjataan Lebanon guna melawan musuh Israel,” sebut kelompok Hizbullah dalam tanggapan pertamanya terhadap keputusan pemerintah Lebanon tersebut.

    “Keputusan ini melemahkan kedaulatan Lebanon dan memberikan kebebasan kepada Israel untuk mengutak-atik keamanan, geografi, politik dan eksistensi masa depannya… Oleh karena itu, kami akan menganggap keputusan ini seolah-olah tidak ada,” tegas pernyataan Hizbullah tersebut.

    Hizbullah juga memandang keputusan tersebut sebagai “hasil dari perintah utusan AS” — merujuk pada Duta Besar AS untuk Turki dan Utusan Khusus AS untuk Suriah, Tom Barrack, yang mengajukan proposal kepada otoritas Lebanon yang isinya menyerukan perlucutan senjata Hizbullah dengan jangka waktu tertentu.

    “Keputusan itu sepenuhnya melayani kepentingan Israel dan membuat Lebanon rentan terhadap musuh Israel tanpa pencegahan apa pun,” ujar Hizbullah dalam pernyataannya.

    Perlucutan senjata itu menjadi bagian dari implementasi gencatan senjata yang disepakati pada November 2024 lalu, yang bertujuan mengakhiri pertempuran sengit antara Hizbullah dan Israel yang berlangsung berbulan-bulan.

    Dalam perjanjian gencatan senjata tersebut, pemerintah Lebanon, termasuk militer dan layanan keamanan dalam negeri, seharusnya menjadi satu-satunya kekuatan bersenjata di Lebanon.

    Selama gencatan senjata berlangsung, Israel terus melancarkan serangan terhadap Hizbullah dan target-target lainnya di wilayah Lebanon. Tel Aviv bahkan mengancam akan terus melancarkan serangan hingga Hizbullah dilucuti persenjataannya.

    Hizbullah, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa Israel harus menghentikan serangan-serangannya terlebih dahulu sebelum perdebatan domestik soal persenjataan kelompoknya dan strategi pertahanan baru dapat dilakukan.

    “Kami terbuka untuk berdialog, mengakhiri agresi Israel terhadap Lebanon, membebaskan wilayah, membebaskan para tahanan, berupaya membangun negara, dan membangun kembali apa yang telah dihancurkan oleh agresi brutal,” tegas kelompok yang didukung Iran tersebut.

    Hizbullah menambahkan bahwa pihaknya “siap untuk membahas strategi keamanan nasional”, tetapi tidak di bawah serangan Israel.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Geram, Eks PM Israel Bilang Netanyahu Jadikan Israel ‘Negara Kusta’

    Geram, Eks PM Israel Bilang Netanyahu Jadikan Israel ‘Negara Kusta’

    Tel Aviv

    Mantan Perdana Menteri (PM) Israel, Naftali Bennett, melontarkan kritikan terhadap PM Benjamin Netanyahu dan pemerintahannya. Bennett menyebut Netanyahu telah mengubah Israel menjadi “negara kusta” dan menyebut status Tel Aviv di Amerika Serikat (AS), sekutu terdekatnya, “tidak pernah seburuk ini”.

    Kecaman Bennett yang menjabat PM Israel untuk periode singkat tahun 2021-2022 itu, seperti dilansir The Times of Israel dan Middle East Eye, Rabu (6/8/2025), disampaikan setelah dia melakukan rangkaian kunjungan selama 10 hari ke AS, termasuk ke New York dan Washington DC.

    “Status Israel tidak pernah seburuk ini. Israel semakin dan semakin ditetapkan sebagai negara kusta di sini,” tulis Bennett dalam pernyataan panjang yang diposting ke akun media sosial X miliknya.

    Istilah “negara kusta” yang disebut Bennett itu diduga merujuk pada perumpamaan untuk negara yang terisolasi dari negara-negara lainnya.

    Dalam pernyataannya, Bennett berpendapat bahwa Israel telah kehilangan dukungan dari Partai Demokrat dan bahkan Partai Republik yang menaungi Presiden Donald Trump, yang selama bertahun-tahun merupakan pendukung kuat Tel Aviv di AS.

    “Meskipun beberapa anggota pemerintahan Trump yang masih bersimpati dengan Israel, terutama berkat Presiden Trump sendiri, banyak orang di sayap kanan di AS, termasuk gerakan MAGA (Make America Great Again), menjauhkan diri dari Israel,” sebutnya.

    “Bahkan mereka yang merupakan teman-teman kita pun kesulitan membela Israel,” kata Bennett dalam pernyataannya.

    “Kampanye ‘kelaparan’ di Gaza telah berkembang menjadi proporsi yang sangat besar, dan faktanya, bagi sebagian besar publik Amerika dan berbagai influencer, hal ini hampir menjadi kenyataan — Israel lebih dipandang sebagai beban bagi AS dan rakyat Amerika,” ujarnya.

    Bennett menyoroti soal peningkatan antisemitisme di AS yang membuat banyak orang menyalahkan orang Yahudi untuk masalah-masalah yang dihadapi AS.

    Dalam pernyataannya, Bennett menuduh pemerintahan Israel di bawah Netanyahu telah menimbulkan “kerusakan yang mengerikan” dan “masih belum memahami betapa besarnya bencana ini”.

    Dia juga menyalahkan para menteri radikal dalam kabinet Netanyahu, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang disebutnya “terus mengoceh dan memicu kerusakan yang tak terbayangkan dengan kutipan-kutipan yang menghancurkan”.

    “Apakah Anda benar-benar berpikir bahwa apa yang Anda katakan dalam wawancara di Israel tidak terdengar di luar negeri?!” tanya Bennett dalam pernyataannya.

    “Jika propaganda Netanyahu berhasil melawan musuh-musuh eksternal Israel bahkan hanya dengan sepersepuluh dari bakat, kecepatan, dan dedikasi yang mereka gunakan dalam mengoperasikan mesin propaganda melawan lawan-lawan politik mereka di dalam Israel, situasi kita akan luar biasa,” imbuhnya.

    Tonton juga video “Bisa-bisanya Netanyahu Bilang Tak Ada Kelaparan di Gaza” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Iran Eksekusi Mati Mata-mata Israel

    Iran Eksekusi Mati Mata-mata Israel

    Teheran

    Otoritas Iran mengeksekusi mati seorang pria yang dihukum karena menjadi mata-mata Israel. Teheran menuduh pria itu direkrut oleh badan intelijen Mossad dan telah membocorkan informasi soal ilmuwan nuklir Iran yang tewas dalam perang selama 12 hari dengan Israel pada Juni lalu.

    “Roozbeh Vadi… telah dieksekusi mati setelah proses peradilan dan konfirmasi hukumannya oleh Mahkamah Agung,” demikian laporan situs berita Mizan Online, yang dikelola oleh otoritas kehakiman Iran, seperti dilansir AFP, Rabu (6/8/2025).

    Eksekusi mati terhadap Vadi tersebut, menurut Mizan Online, dilakukan melalui hukuman gantung.

    Disebutkan Mizan Online dalam laporannya bahwa Vadi telah membocorkan informasi tentang seorang “ilmuwan nuklir yang dibunuh selama agresi rezim Zionis baru-baru ini”.

    Namun, tidak diketahui secara jelas soal kapan Vadi ditangkap dan kapan dia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Iran.

    Mizan Online melaporkan bahwa Vadi pernah bekerja di salah satu “organisasi kunci dan sensitif” Iran, dan bahwa akses yang dimilikinya memungkinkan dia untuk menyebarkan “informasi rahasia” setelah dia direkrut secara online oleh badan intelijen Israel, Mossad.

    Pada pertengahan Juni lalu, Israel melancarkan gelombang serangan besar-besaran terhadap Iran, dengan menargetkan fasilitas militer dan nuklir negara tersebut. Teheran membalas dengan serangan rudal dan drone terhadap target-target Tel Aviv.

    Tonton juga video “Iran Pantang Menyerah, Tegaskan Program Nuklir akan Berjalan Lagi” di sini:

    Rentetan serangan Israel pada saat itu berhasil menewaskan sejumlah komandan militer senior Iran, juga para ilmuwan nuklir dan ratusan orang lainnya termasuk warga sipil. Beberapa serangan Tel Aviv menghantam area permukiman di Iran, selain mengenai lokasi militer Teheran.

    Menurut laporan media lokal Iran, setidaknya selusin ilmuwan nuklir tewas akibat serangan-serangan Israel.

    Iran sejak perang itu bertekad mengadili orang-orang yang ditangkap karena dicurigai bekerja sama dengan Israel. Otoritas Teheran mengumumkan sejumlah penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai menjadi mata-mata Israel dan mengeksekusi mereka yang dihukum karena bekerja sama dengan Mossad.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)