Rencana Israel untuk menguasai Kota Gaza di jantung daerah kantong Palestina telah menimbulkan kekhawatiran di luar negeri dan di dalam negeri, di mana puluhan ribu warga Israel pada hari Minggu (17 Agustus) mengadakan beberapa protes terbesar sejak perang dimulai, mendesak kesepakatan untuk mengakhiri pertempuran dan membebaskan 50 sandera yang tersisa yang ditawan di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Para pejabat Israel yakin 20 orang masih hidup. (GIL COHEN-MAGEN / AFP)
kab/kota: Tel Aviv
-

Politikus Lemah yang Khianati Israel!
Tel Aviv –
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengecam PM Australia Anthony Albanese yang disebutnya sebagai “politikus lemah” dan menuduhnya telah mengkhianati Israel. Kata-kata pedas ini dilontarkan saat kedua negara bersitegang setelah Canberra mengumumkan rencananya mengakui negara Palestina.
“Sejarah akan mengingat Albanese untuk siapa dia sebenarnya: Seorang politikus lemah yang mengkhianati Israel dan menelantarkan orang-orang Yahudi di Australia,” kata Netanyahu dalam pernyataan bernada keras via akun media sosial resmi kantor PM Israel, seperti dilansir AFP, Selasa (19/8/2025).
Kecaman semacam ini dilontarkan Netanyahu setelah Albanese, pekan lalu, mengumumkan rencana Australia untuk secara resmi mengakui negara Palestina di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang. Langkah Australia ini menyusul Prancis, Inggris dan Kanada.
Keputusan untuk mengakui negara Palestina, sebut Albanese, merupakan keputusan yang didasarkan pada komitmen yang diterima Australia dari Otoritas Palestina, termasuk bahwa kelompok Hamas tidak akan memiliki keterlibatan dalam pembentukan negara mana pun di masa mendatang.
“Australia akan mengakui negara Palestina dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-80 pada bulan September, untuk berkontribusi pada momentum internasional menuju solusi dua negara, gencatan senjata di Gaza, dan pembebasan para sandera,” tegas Albanese dalam konferensi pers pada 11 Agustus lalu di Canberra.
Israel dan Australia juga terlibat cekcok diplomatik terbaru soal pembatalan visa seorang anggota parlemen Israel bernama Simcha Rothman, yang partainya masuk dalam koalisi pemerintahan Netanyahu.
Pada Senin (18/8), pemerintah Australia membatalkan visa Rothman yang dijadwalkan untuk berbicara di berbagai acara yang diselenggarakan Asosiasi Yahudi Australia (AJA).
Tel Aviv membalas beberapa jam kemudian dengan Menteri Luar Negeri Gideon Saar mengumumkan Israel telah mencabut visa perwakilan Australia untuk Otoritas Palestina.
“Saya juga menginstruksikan Kedutaan Besar Israel di Canberra untuk memeriksa dengan saksama setiap permohonan visa resmi Australia untuk masuk ke Israel,” ucapnya.
“Hal ini menyusul keputusan Australia untuk mengakui ‘negara Palestina’ dan dengan latar belakang penolakan Australia yang tidak beralasan untuk memberikan visa kepada sejumlah tokoh Israel,” ujar Saar dalam penjelasannya.
Langkah Israel itu menuai kritikan tajam dari Menlu Australia Penny Wong yang, pada Selasa (19/8), menyebut pencabutan visa diplomat sebagai “reaksi yang tidak dapat dibenarkan” oleh Tel Aviv.
“Ketika dialog dan diplomasi semakin dibutuhkan, pemerintahan Netanyahu mengisolasi Israel dan melemahkan upaya internasional menuju perdamaian dan solusi dua negara,” kritiknya.
“Ini adalah reaksi yang tidak dapat dibenarkan, menyusul keputusan Australia untuk mengakui Palestina,” tegas Wong.
Halaman 2 dari 2
(nvc/ita)
-

Kami Berdoa Padamkan Api Perang
Gaza City –
Kelompok Hamas telah menyetujui proposal gencatan senjata terbaru untuk Jalur Gaza, setelah upaya diplomatik terbaru untuk mengakhiri perang yang berkecamuk selama lebih dari 22 bulan terakhir.
Mediator Mesir dan Qatar, yang didukung oleh Amerika Serikat (AS), telah berjuang keras untuk mengamankan gencatan senjata yang bertahan lama dalam konflik tersebut, yang telah memicu krisis kemanusiaan yang mengerikan di Jalur Gaza.
Setelah menerima proposal terbaru dari para mediator, seperti dilansir AFP, Selasa (19/8/2025), Hamas menyatakan siap untuk berunding.
“Gerakan ini telah menyampaikan tanggapannya, menyetujui proposal baru para mediator. Kami berdoa kepada Tuhan untuk memadamkan api perang ini dari rakyat kami,” kata pejabat senior Hamas, Bassem Naim, dalam pernyataan via Facebook.
Sebelumnya, seorang sumber Hamas mengatakan kepada AFP bahwa kelompok tersebut telah menerima proposal itu “tanpa meminta amandemen apa pun”.
Hamas dalam pernyataannya, seperti dilansir Reuters, mengatakan bahwa faksi-faksi Palestina lainnya juga telah memberitahu para mediator tentang persetujuan mereka terhadap proposal terbaru itu.
Mesir, dalam pernyataannya, mengatakan pihaknya dan Qatar juga telah mengirimkan proposal terbaru itu kepada Israel, sembari menambahkan bahwa “bola sekarang ada tangan mereka (Israel-red)”.
Otoritas Tel Aviv sejauh ini belum memberikan tanggapan langsung.
Sumber Palestina yang mengetahui perundingan gencatan senjata itu mengatakan bahwa para mediator “diharapkan akan mengumumkan bahwa kesepakatan telah dicapai dan menetapkan tanggal untuk dimulainya kembali perundingan”.
Disebutkan juga oleh sumber Palestina tersebut bahwa jaminan juga ditawarkan untuk memastikan implementasi dan mengupayakan solusi permanen.
Menurut laporan media pemerintah Mesir, Al-Qahera, kesepakatan terbaru itu mengatur soal gencatan senjata awal selama 60 hari, pembebasan sebagian sandera, pembebasan beberapa tahanan Palestina, dan ketentuan-ketentuan yang memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Ditambahkan sumber pejabat Mesir, yang enggan disebut namanya, seperti dilansir Reuters bahwa proposal yang diterima Hamas itu mencakup penangguhan operasi militer Israel selama 60 hari dan menguraikan kerangka kerja untuk kesepakatan komprehensif guna mengakhiri perang tersebut.
Proposal terbaru ini muncul lebih dari sepekan setelah kabinet keamanan Israel menyetujui rencana untuk menaklukkan Kota Gaza, kota terbesar di Jalur Gaza, dan kamp-kamp pengungsi yang ada di sekitarnya. Rencana Tel Aviv itu menuai kecaman internasional, serta ditentang di dalam Israel sendiri.
Namun di sisi lain, sejumlah pejabat Israel mengatakan bahwa rencana tersebut mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk dimulai, sehingga membuka peluang bagi gencatan senjata.
Halaman 2 dari 2
(nvc/ita)
-

Mesir Siap Gabung Pasukan Internasional di Gaza, Asalkan…
Kairo –
Mesir bersedia untuk bergabung dengan pasukan internasional yang berpotensi dikerahkan ke Jalur Gaza yang dilanda perang berkelanjutan. Kesediaan Kairo ini hanya berlaku jika didukung oleh resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan disertai “horison politik”.
Pernyataan Mesir itu disampaikan saat upaya mewujudkan gencatan senjata Gaza terus berlanjut di Kairo.
Mesir, seperti dilansir AFP, Selasa (19/8/2025), telah berulang kali menyerukan persatuan Palestina di bawah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) — kelompok yang mendominasi Otoritas Palestina (PA) dan mengecualikan kelompok Hamas menguasai di Jalur Gaza.
PA sempat memerintah Jalur Gaza sebelum kehilangan kekuasaan pada tahun 2007 dalam bentrokan kekerasan dengan Hamas.
“Tentu saja kami siap membantu, berkontribusi pada pasukan internasional mana pun yang akan dikerahkan ke Gaza dalam beberapa parameter tertentu,” kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Mesir Badr Abdelatty dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri (PM) Palestina Mohammad Mustafa pada Senin (18/8).
Konferensi pers bersama itu digelar di perlintasan perbatasan Rafah, yang menghubungkan Jalur Gaza dan Mesir.
“Pertama-tama, memiliki resolusi Dewan Keamanan (PBB), memiliki mandat yang jelas, dan tentu saja berada dalam horison politik. Tanpa horison politik, pengerahan pasukan apa pun ke sana akan sia-sia,” sebut Abdelatty dalam pernyataannya merujuk pada “parameter tertentu” yang disebutnya.
Abdelatty juga mengatakan bahwa kerangka politik akan memungkinkan pasukan internasional beroperasi lebih efektif dan mendukung Palestina “untuk mewujudkan negara Palestina mereka sendiri yang merdeka di tanah air mereka”.
Dalam konferensi pers yang sama, Mustafa mengatakan bahwa sebuah komite sementara akan mengelola Jalur Gaza setelah perang berakhir, dengan wewenang penuh berada di tangan pemerintah Palestina.
“Kita tidak menciptakan entitas politik baru di Gaza. Sebaliknya, kita mengaktifkan kembali institusi-institusi di Negara Palestina dan pemerintahannya di Gaza,” ucapnya.
Meskipun Hamas sebelumnya menyambut baik gagasan “komite sementara” untuk “mengawasi upaya bantuan, rekonstruksi dan pemerintahan”, namun tidak diketahui secara jelas apakah kelompok itu bersedia melepaskan kendali atas wilayah tersebut.
Awal bulan ini, PM Israel Benjamin Netanyahu dalam wawancara dengan media Amerika Fox News mengatakan bahwa Tel Aviv berencana untuk mengambil alih kendali penuh atas Jalur Gaza, tetapi tidak berniat untuk memerintahnya.
“Kami ingin menyerahkannya kepada Pasukan Arab yang akan memerintah dengan benar, tanpa mengancam kami, dan memberikan kehidupan yang baik bagi warga Gaza. Hal itu tidak mungkin dilakukan dengan Hamas,” kata Netanyahu pada saat itu.
Halaman 2 dari 2
(nvc/ita)
-

Penampakan Demo Besar-Besaran Guncang Tel Aviv Israel
“Kami di sini untuk menegaskan kepada pemerintah Israel bahwa ini mungkin menit-menit terakhir yang kita miliki untuk menyelamatkan para sandera yang ditahan di terowongan Hamas selama hampir 700 hari,” ujar Ofir Penso, seorang guru bahasa Arab berusia 50 tahun, kepada AFP, Senin (18/8/2025). (REUTERS/Amir Cohen)
-

Puluhan Ribu Warga Israel Turun ke Jalan Serukan Akhiri Perang Gaza
Jakarta –
Puluhan ribu warga Israel turun ke jalan-jalan di Tel Aviv untuk menyerukan diakhirinya perang di Gaza. Mereka memegang foto para sandera, mengibarkan bendera kuning, menabuh drum, dan meneriakkan yel-yel untuk membawa pulang warga Israel yang masih disandera di Gaza.
“Kami di sini untuk menegaskan kepada pemerintah Israel bahwa ini mungkin menit-menit terakhir yang kita miliki untuk menyelamatkan para sandera yang ditahan di terowongan Hamas selama hampir 700 hari,” ujar Ofir Penso, seorang guru bahasa Arab berusia 50 tahun, kepada AFP, Senin (18/8/2025).
Demonstrasi telah digelar secara rutin selama hampir 22 bulan perang setelah serangan kelompok Hamas pada tahun 2023. Namun, aksi protes pada hari Minggu (18/8) waktu setempat itu tampaknya menjadi salah satu yang terbesar sejauh ini.
Dari 251 orang yang disandera para militan Palestina pada Oktober 2023, 49 orang saat ini masih berada di Jalur Gaza, termasuk 27 orang yang menurut militer Israel telah tewas.
Dalam aksi demo ini, warga Israel berkumpul di Lapangan Sandera Tel Aviv yang menjadi titik fokus aksi.
“Pemerintah Israel tidak pernah menawarkan inisiatif yang tulus untuk kesepakatan komprehensif dan mengakhiri perang,” ujar Einav Tzangauker, yang putranya, Matan, ditawan di Gaza, di depan kerumunan orang.
“Kami menuntut kesepakatan yang komprehensif dan dapat dicapai serta diakhirinya perang. Kami menuntut apa yang menjadi hak kami — anak-anak kami,” imbuhnya.
“Seluruh negeri sedang berperang satu sama lain, citra kita di seluruh dunia telah berubah total, lebih buruk dari sebelumnya, dan sudah cukup,” ujar Nick, seorang pekerja teknologi berusia 31 tahun, kepada AFP, meminta untuk tidak menyebutkan nama belakangnya.
Para demonstran lainnya mengkhawatirkan nasib anak-anak mereka yang terdaftar di militer Israel yang telah dikirim ke Gaza, dan khawatir mereka akan segera dipanggil kembali untuk berperang.
“Kami berharap dan berdoa agar pemerintah kami mendengarkan kami,” kata Ella Kaufman yang memiliki dua putra yang bertugas sebagai perwira di militer Israel.
Halaman 2 dari 2
(ita/ita)




