kab/kota: Tel Aviv

  • Kenapa Pribumi di Teluk Harus Bersaing dengan Buruh Asing?

    Kenapa Pribumi di Teluk Harus Bersaing dengan Buruh Asing?

    Jakarta

    Sekitar dua tahun lalu, sebuah restoran cepat saji Subway di Uni Emirat Arab (UEA) tanpa sengaja memicu skandal nasional lewat sebuah iklan lowongan kerja. Iklan itu mengajak warga pribumi Emirat bekerja di restoran Subway untuk membuat sandwich.

    Tawaran kerja tersebut sontak dianggap sebagai “penghinaan,” “olok-olok,” dan “serangan terhadap warga lokal.” Jaksa UEA bahkan sampai mengumumkan penyelidikan atas apa yang mereka sebut sebagai “konten bermasalah.”

    Iklan pada Desember 2022 itu sebenarnya dipasang oleh sebuah perusahaan berbasis di Dubai, Kamal Osman Jamjoom Group, dengan niat membantu perusahaan mematuhi aturan baru UEA tentang kewajiban mempekerjakan persentase tertentu warga Emirat.

    Aturan baru yang dikenal sebagai “Emiratisasi,” pertama kali diperkenalkan pada 2022, menargetkan bahwa pada akhir 2026, tenaga kerja di perusahaan dengan 50 karyawan atau lebih harus terdiri dari 10% warga pribumi.

    Arab Saudi memiliki aturan serupa, bahkan memperketatnya dalam dua tahun terakhir. Misalnya, perusahaan dengan 100 karyawan kini wajib memiliki setidaknya 30% tenaga kerja pribumi Saudi.

    Skandal lowongan kerja Subway hanyalah satu contoh bagaimana rencana baru pengelolaan tenaga kerja di negara-negara Teluk menimbulkan gesekan, kata seorang peneliti universitas yang tinggal di UEA namun enggan disebutkan namanya karena berisiko jika mengkritik pemerintah.

    “Karena ini pekerjaan layanan dengan gaji rendah, jenis pekerjaan yang biasanya tidak dilakukan warga lokal, dan karena Emirat yang menganggur umumnya minimal memiliki gelar pendidikan tinggi, maka muncul reaksi keras,” jelas peneliti itu soal skandal Subway. “Reaksi itu ditujukan kepada perusahaan, bukan pemerintah, tapi sekaligus menjadi kritik tidak langsung terhadap kebijakan baru.”

    Kontrak sosial baru di Teluk?

    Seperti dicatat para pakar di Carnegie Endowment for International Peace dalam sebuah komentar, kebijakan ekonomi semacam ini “justru merongrong kontrak sosial yang sudah ada” di negara-negara Teluk.

    Di masa lalu, negara — dengan dana dari minyak — selalu menjadi penyedia utama pekerjaan, perumahan, dan berbagai tunjangan lain. Singkatnya, kontrak sosial menyebut negara mengurus rakyatnya sementara rakyat menerima model pemerintahan otoriter.

    Namun dengan harga minyak yang menurun, pergeseran global dari energi fosil, serta demografi muda yang terus membesar (dan tingkat pengangguran pemuda yang tinggi), kontrak sosial itu kini sulit dipertahankan oleh negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah.

    Sebagai respons, pemerintah Teluk semakin gencar mempromosikan sektor nonmigas dan non-pemerintah, mendorong warganya menjadi pengusaha, serta memangkas anggaran sektor publik.

    “Ada kegelisahan yang tumbuh ketika pemerintah berusaha menggeser warga dari pekerjaan sektor publik menuju pekerjaan sektor swasta yang lebih rentan, sekaligus memangkas tunjangan negara yang didanai minyak,” kata Frederic Schneider, peneliti senior non-residen di Middle East Council on Global Affairs (ME Council) yang berbasis di Qatar.

    Sebagai contoh, pada Januari lalu pemerintah Saudi meluncurkan skema “golden handshake” yang mendorong tenaga kerja beralih dari sektor publik menuju swasta dengan iming-iming insentif.

    Semua proyek ekonomi baru ini “juga diiringi wacana yang seakan menggambarkan pekerjaan pemerintah — pekerjaan yang dulu dijanjikan bagi orang tua dan kakek-nenek mereka sebagai bagian dari kontrak sosial — sebagai pilihan mudah, bahkan malas,” tambah peneliti berbasis di UEA itu kepada DW.

    Pekerja asing kini jadi ‘saingan’

    Dalam waktu bersamaan, negara-negara Teluk juga berupaya menjadi lebih menarik bagi tenaga kerja asing yang dibutuhkan sektor nonmigas, misalnya dengan mengubah aturan kepemilikan properti bagi warga asing, memberikan izin tinggal jangka panjang, serta melonggarkan sejumlah pembatasan sosial dan keagamaan.

    UEA memulai proses ini pada pertengahan 2000-an, sementara Arab Saudi baru memulainya belakangan, dengan skema visa pekerja terampil mulai pertengahan 2025 dan izin kepemilikan properti bagi asing mulai 2026.

    Saudi juga menerbitkan ultimatum pada 2021 yang menyatakan perusahaan asing tak akan mendapat kontrak pemerintah kecuali mereka memiliki kantor pusat di Saudi.

    Proyek transformasi ekonomi dari atas ini menimbulkan ketegangan sosial baru karena jelas memberikan “preferensi kepada tipe tertentu pekerja asing,” ujar peneliti berbasis di UEA tersebut. Dan karena warga Emirat serta Saudi didorong masuk sektor swasta, para pendatang baru semakin dipandang sebagai saingan di pasar tenaga kerja.

    Peneliti itu menambahkan, gesekan sosial dan budaya pun meningkat. Warga konservatif merasa terganggu dengan langkah-langkah yang lebih ramah pada orang asing. Misalnya perdebatan soal perubahan akhir pekan tradisional dari Jumat-Sabtu menjadi Sabtu-Minggu yang lebih internasional, meningkatnya perhatian pada hari raya non-Islam seperti Natal, serta bertambahnya prostitusi dan konsumsi alkohol yang dituding sebagai dampak dari keberadaan orang asing.

    “Dalam arti tertentu, pergeseran yang terjadi di UEA pada pertengahan 2000-an dipresentasikan sebagai ‘kejahatan yang perlu’,” kata peneliti sosiologi itu. “Misalnya, ide bahwa penjualan alkohol — yang secara tradisional dilarang di negara Islam — harus diizinkan agar orang asing mau tinggal di UEA.”

    “Di Arab Saudi, di mana pergeseran ini baru saja dimulai, hal-hal terlarang itu kini justru dipromosikan sebagai sesuatu yang esensial, demi menempatkan Saudi di peta dunia dan menjadikan Riyadh kota global yang menarik bagi turis dan investor asing,” jelasnya.

    Konflik Gaza perparah ketegangan

    Di UEA, ketegangan sosial semakin diperburuk oleh konflik di Gaza, kata Schneider dari ME Council. “Di UEA, masuknya bisnis Israel — termasuk sektor keamanan — dan turis lewat normalisasi hubungan berarti negara ini menampung bisnis dan individu yang terlibat langsung dalam genosida yang tengah berlangsung di Gaza.”

    Awal pekan ini (2/9), Asosiasi Internasional Cendekia Genosida menyatakan Israel melakukan pembersihan etnis di Jalur Gaza, meski pemerintah di Tel Aviv bersikeras membantah.

    Berbicara dengan warga negara Teluk, Schneider juga mencatat meningkatnya kekecewaan terhadap Barat secara umum, baik karena persepsi kemunafikan dan keterlibatan dalam konflik Gaza, maupun karena sekutu lama seperti AS kini dianggap kurang dapat diandalkan.

    “Bisnis asing semakin dipandang sebagai pihak yang merebut peluang dari warga lokal,” ujarnya. “Sebagai contoh, dana besar yang dihabiskan Arab Saudi untuk konsultan Barat dalam proyek Neom dan transformasi lainnya menimbulkan ketidakpuasan, baik dari kementerian dan lembaga pemerintah maupun dari konsultan lokal baru yang ingin ikut serta.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Fard

    (ita/ita)

  • Geger Penembakan di Halte Bus Yerusalem, 5 Orang Tewas

    Geger Penembakan di Halte Bus Yerusalem, 5 Orang Tewas

    Yerusalem

    Penembakan mematikan terjadi di sebuah halte bus yang ada di dekat persimpangan jalan di pinggiran Yerusalem yang dikuasai Israel pada Senin (8/9). Sedikitnya lima orang tewas dan belasan orang lainnya luka-luka dalam penembakan tersebut, dengan dua pelaku telah ditembak mati di lokasi kejadian.

    Layanan darurat dan ambulans Israel, Magen David Adom, dalam laporannya, seperti dilansir AFP dan Reuters, Senin (8/9/2025), mengidentifikasi kelima korban tewas sebagai seorang pria berusia 50 tahun, seorang wanita berusia 50-an tahun, dan tiga pria berusia 30-an tahun.

    Disebutkan juga bahwa sekitar 11 orang lainnya mengalami luka-luka. Enam korban luka di antaranya disebut berada dalam kondisi serius akibat luka tembak yang mereka derita.

    Motif di balik penembakan maut itu belum diketahui secara jelas.

    Kepolisian Israel, dalam pernyataannya, menyebut ada dua pelaku penyerangan yang tiba di lokasi dengan menggunakan mobil. Kedua pelaku, sebut Kepolisian Israel, melepaskan tembakan ke arah halte bus yang ada di Persimpangan Ramot.

    Dikatakan oleh Kepolisian Israel bahwa seorang petugas keamanan dan seorang warga sipil menembak mati kedua pelaku penyerangan tersebut.

    Beberapa senjata, amunisi dan pisau yang digunakan oleh para pelaku penyerangan ditemukan di lokasi kejadian. Kepolisian Israel menyebut para pelaku serangan sebagai “teroris”.

    Penembakan maut itu terjadi di persimpangan jalan yang ada di dalam wilayah Yerusalem, yang direbut Israel dalam perang tahun 1967 dan kemudian dianeksasi dalam langkah yang tidak diakui internasional.

    Sementara itu, kelompok Hamas, yang menguasai Jalur Gaza dan sedang berperang melawan Israel, memberikan pujian untuk para pelaku yang mereka sebut sebagai “pejuang perlawanan” Palestina. Kelompok Jihad Islam, sekutu Hamas, juga memuji penembakan di Yerusalem itu.

    Namun baik Hamas maupun Jihad Islam tidak mengklaim bertanggung jawab atas serangan mematikan tersebut.

    Kantor Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, dalam pernyataannya, menyebut sang PM sedang menggelar rapat membahas situasi tersebut dengan jajaran pejabat keamanan Tel Aviv.

    Lihat juga Video: Detik-detik Penembakan Staf KBRI di Peru

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Menhan Israel Ingatkan Hamas: Menyerah atau Dimusnahkan!

    Menhan Israel Ingatkan Hamas: Menyerah atau Dimusnahkan!

    Tel Aviv

    Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz, melontarkan peringatan terbaru untuk kelompok Hamas agar meletakkan senjata atau menghadapi kehancuran Jalur Gaza dan pemusnahan mereka sendiri.

    Peringatan ini disampaikan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyampaikan apa yang disebutnya sebagai “peringatan terakhir” untuk Hamas agar membebaskan para sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza.

    Katz dalam pernyataan terpisah via media sosial X, seperti dilansir AFP dan Hindustan Times, Senin (8/9/2025), juga melontarkan peringatan terakhir untuk kelompok yang berperang melawan militer Israel di Jalur Gaza selama nyaris dua tahun terakhir ini.

    “Ini adalah peringatan terakhir bagi para pembunuh dan pemerkosa Hamas di Gaza dan di hotel-hotel mewah di luar negeri: Bebaskan para sandera dan letakkan senjata kalian — atau Gaza akan dihancurkan dan kalian akan dimusnahkan,” kata Katz dalam peringatan untuk Hamas.

    Dalam pernyataannya, Katz juga mengatakan bahwa “badai dahsyat akan menghantam langit Kota Gaza dan atap-atap menara teror” jika Hamas tidak menyerah, tidak membebaskan sandera dan tidak meletakkan senjata mereka.

    “IDF (Angkatan Bersenjata Israel-red) melanjutkan operasi sesuai rencana — dan sedang bersiap untuk memperluas manuver guna mengalahkan Gaza secara telak,” tegas sang Menhan Israel.

    Sementara itu, Trump dalam “peringatan terakhir” yang disampaikannya pada Minggu (7/9) waktu setempat, mendesak Hamas untuk menyetujui kesepakatan pembebasan sandera dari Gaza. Trump mengatakan bahwa pihak Israel telah menerima persyaratan dalam kesepakatan tersebut.

    “Israel telah menerima persyaratan saya. Sudah saatnya bagi Hamas untuk juga menerimanya,” tulisnya dalam pernyataan via media sosial Truth Social.

    “Saya telah memperingatkan Hamas tentang konsekuensi jika tidak menerimanya. Ini peringatan terakhir saya,” tegas Trump.

    Dalam pernyataan yang dirilis setelah peringatan Trump tersebut, Hamas mengatakan bahwa mereka siap untuk “segera duduk di meja perundingan” menyusul apa yang mereka sebut sebagai “beberapa gagasan dari pihak Amerika yang bertujuan mencapai kesepakatan gencatan senjata”.

    “Gerakan Hamas menyambut baik setiap inisiatif yang mendukung upaya untuk mengakhiri agresi terhadap rakyat kami, dan menegaskan kesiapan untuk segera duduk di meja perundingan guna membahas pembebasan semua tahanan (sandera-red),” kata Hamas dalam pernyataannya.

    Sebagai imbalannya, menurut pernyataan kelompok yang didukung Iran itu, Hamas menginginkan “deklarasi yang jelas tentang berakhirnya perang, penarikan sepenuhnya dari Jalur Gaza, dan pembentukan komite Palestina independen untuk mengelola Jalur Gaza, yang akan segera memulai tugasnya”.

    Lihat Video: Serangan Udara Israel di Gaza Tewaskan 62 Orang

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Menhan Israel Ingatkan Hamas: Menyerah atau Dimusnahkan!

    Menhan Israel Ingatkan Hamas: Menyerah atau Dimusnahkan!

    Tel Aviv

    Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz, melontarkan peringatan terbaru untuk kelompok Hamas agar meletakkan senjata atau menghadapi kehancuran Jalur Gaza dan pemusnahan mereka sendiri.

    Peringatan ini disampaikan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyampaikan apa yang disebutnya sebagai “peringatan terakhir” untuk Hamas agar membebaskan para sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza.

    Katz dalam pernyataan terpisah via media sosial X, seperti dilansir AFP dan Hindustan Times, Senin (8/9/2025), juga melontarkan peringatan terakhir untuk kelompok yang berperang melawan militer Israel di Jalur Gaza selama nyaris dua tahun terakhir ini.

    “Ini adalah peringatan terakhir bagi para pembunuh dan pemerkosa Hamas di Gaza dan di hotel-hotel mewah di luar negeri: Bebaskan para sandera dan letakkan senjata kalian — atau Gaza akan dihancurkan dan kalian akan dimusnahkan,” kata Katz dalam peringatan untuk Hamas.

    Dalam pernyataannya, Katz juga mengatakan bahwa “badai dahsyat akan menghantam langit Kota Gaza dan atap-atap menara teror” jika Hamas tidak menyerah, tidak membebaskan sandera dan tidak meletakkan senjata mereka.

    “IDF (Angkatan Bersenjata Israel-red) melanjutkan operasi sesuai rencana — dan sedang bersiap untuk memperluas manuver guna mengalahkan Gaza secara telak,” tegas sang Menhan Israel.

    Sementara itu, Trump dalam “peringatan terakhir” yang disampaikannya pada Minggu (7/9) waktu setempat, mendesak Hamas untuk menyetujui kesepakatan pembebasan sandera dari Gaza. Trump mengatakan bahwa pihak Israel telah menerima persyaratan dalam kesepakatan tersebut.

    “Israel telah menerima persyaratan saya. Sudah saatnya bagi Hamas untuk juga menerimanya,” tulisnya dalam pernyataan via media sosial Truth Social.

    “Saya telah memperingatkan Hamas tentang konsekuensi jika tidak menerimanya. Ini peringatan terakhir saya,” tegas Trump.

    Dalam pernyataan yang dirilis setelah peringatan Trump tersebut, Hamas mengatakan bahwa mereka siap untuk “segera duduk di meja perundingan” menyusul apa yang mereka sebut sebagai “beberapa gagasan dari pihak Amerika yang bertujuan mencapai kesepakatan gencatan senjata”.

    “Gerakan Hamas menyambut baik setiap inisiatif yang mendukung upaya untuk mengakhiri agresi terhadap rakyat kami, dan menegaskan kesiapan untuk segera duduk di meja perundingan guna membahas pembebasan semua tahanan (sandera-red),” kata Hamas dalam pernyataannya.

    Sebagai imbalannya, menurut pernyataan kelompok yang didukung Iran itu, Hamas menginginkan “deklarasi yang jelas tentang berakhirnya perang, penarikan sepenuhnya dari Jalur Gaza, dan pembentukan komite Palestina independen untuk mengelola Jalur Gaza, yang akan segera memulai tugasnya”.

    Lihat Video: Serangan Udara Israel di Gaza Tewaskan 62 Orang

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Israel Tegaskan Akui Palestina Kesalahan Besar, Ancam Tindakan Sepihak

    Israel Tegaskan Akui Palestina Kesalahan Besar, Ancam Tindakan Sepihak

    Tel Aviv

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel Gideon Saar menyebut desakan internasional baru-baru ini untuk mengakui negara Palestina merupakan “kesalahan besar”. Saar memperingatkan bahwa pengakuan semacam itu dapat memicu tindakan sepihak dari Israel.

    Beberapa negara, termasuk Prancis dan Inggris, telah berjanji untuk secara resmi mengakui negara Palestina di sela-sela Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 yang dijadwalkan bulan ini.

    Hubungan antara Tel Aviv dan Paris semakin memburuk sejak Presiden Emmanuel Macron mengumumkan rencana negaranya untuk mengakui negara Palestina dan menjadi tuan rumah bersama Arab Saudi untuk konferensi membahas solusi dua negara di PBB pada Juli lalu.

    Perdana Menteri (PM) Inggris Keir Starmer, bulan lalu, mengatakan Inggris akan mengikuti jejak Prancis dengan mengakui negara Palestina jika Israel gagal menyetujui gencatan senjata dalam perang Gaza.

    Kritikan untuk Prancis dan negara-negara lainnya yang berencana mengakui negara Palestina, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Senin (8/9/2025), disampaikan oleh Saar dalam konferensi pers gabungan, pada Minggu (7/9), dengan Menlu Denmark Lars Lokee Rasmussen yang berkunjung ke Israel.

    “Negara-negara seperti Prancis dan Inggris yang mendorong apa yang mereka sebut pengakuan, telah melakukan kesalahan besar,” kata Saar dalam pernyataannya.

    Melanjutkan rencana tersebut, menurut Saar, akan “mempersulit tercapainya perdamaian”.

    “Hal itu akan mengganggu stabilitas kawasan. Hal itu juga akan mendorong Israel untuk mengambil keputusan sepihak,” sebutnya.

    Saar tidak menyebutkan lebih lanjut soal “keputusan sepihak” yang mungkin diambil Israel. Namun pernyataannya muncul setelah pemerintah Tel Aviv memberikan persetujuan untuk proyek permukiman baru, termasuk proyek E1 yang kontroversial, di Tepi Barat yang diduduki Israel sejak tahun 1967 silam.

    Proyek E1 yang merupakan proyek besar-besaran ini berlokasi di Yerusalem bagian timur, dan jika direalisasikan, akan membagi wilayah Tepi Barat menjadi dua.

    Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich menyebut proyek E1 akan “mengubur gagasan negara Palestina”. Smotrich yang tinggal di permukiman Yahudi di Tepi Barat, juga menyerukan agar Israel mencaplok sebagian besar wilayah Tepi Barat untuk “menghilangkan gagasan membagi tanah kami yang kecil dan mendirikan negara teroris di pusatnya dari agenda untuk selamanya”.

    Komunitas internasional telah memperingatkan bahwa proyek E1 akan mengancam kelangsungan negara Palestina di masa depan. Pada dasarnya, semua permukiman Israel di wilayah Tepi Barat dianggap ilegal menurut hukum internasional.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Trump Ultimatum Hamas: Bebaskan 20 Sandera Israel atau…

    Trump Ultimatum Hamas: Bebaskan 20 Sandera Israel atau…

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendesak kelompok Palestina Hamas untuk segera membebaskan 20 sandera yang masih ditahan di Gaza. Trump menegaskan, situasi akan berubah drastis jika para sandera dilepaskan.

    “Beri tahu Hamas untuk SEGERA mengembalikan semua 20 sandera (bukan 2, 5, atau 7!), dan keadaan akan berubah dengan cepat. INI AKAN BERAKHIR!” tulis Trump melalui akun Truth Social, dikutip Kamis (4/9/2025).

    Meski begitu, Trump tidak merinci langkah apa yang akan diambil maupun apa yang dimaksud dengan “akhir” jika Hamas membebaskan para sandera.

    Menurut otoritas Israel, sekitar 250 orang disandera Hamas setelah serangan 7 Oktober 2023. Dari jumlah itu, Tel Aviv memperkirakan 50 masih ditahan di Gaza, termasuk 20 orang yang diyakini masih hidup.

    Di sisi lain, kelompok hak asasi manusia menuduh Israel menahan lebih dari 10.800 warga Palestina di penjara dengan kondisi buruk, mulai dari penyiksaan, kelaparan, hingga pengabaian medis.

    Konflik Gaza juga menelan korban jiwa besar. Data otoritas kesehatan Gaza menyebut hampir 64.000 warga Palestina tewas sejak Oktober 2023.

    “Kondisi di Gaza sudah seperti neraka kemanusiaan, dengan kelaparan dan runtuhnya layanan kesehatan,” kata Direktur Eksekutif Human Rights Watch, Tirana Hassan, dalam laporan terbarunya, seperti dikutip Anadolu Agency.

    Sementara itu, Israel menghadapi tekanan hukum internasional. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November lalu menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang. Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ).

    Upaya internasional untuk mendorong gencatan senjata masih buntu setelah Israel membatalkan perjanjian pada Maret 2025.

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • UEA Layangkan Peringatan, Israel Ancam Houthi dengan Tulah

    UEA Layangkan Peringatan, Israel Ancam Houthi dengan Tulah

    Abu Dhabi

    Peringatan dari Uni Emirat Arab (UAE) muncul ketika Israel melanjutkan tahap awal serangan besar terbaru di Kota Gaza yang dilanda kelaparan. Serangan udara Israel di seluruh Jalur Gaza terkini hingga Rabu (03/09) menewaskan sedikitnya 31 orang, menurut rumah sakit setempat.

    Sementara itu, warga Israel melakukan demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri untuk memprotes pengerahan 60.000 tentara cadangan untuk operasi militer yang diperluas.

    Operasi ini telah memicu kecaman global dan membuat Israel semakin terisolasi. Para demonstran menuduh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperpanjang peperangan demi kepentingan politik pribadi, alih-alih menyepakati gencatan senjata dengan Hamas yang dapat membebaskan para sandera yang ditangkap dalam serangan 7 Oktober 2023.

    Peringatan langka dari UEA

    UEA adalah kekuatan pendorong di balik Abraham Accords tahun 2020 yang dimediasi oleh Presiden AS saat itu, Donald Trump. Melalui perjanjian ini, UEA dan tiga negara Arab lainnya menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

    Trump telah menyatakan harapannya untuk memperluas perjanjian tersebut dalam masa jabatan keduanya, dengan kemungkinan melibatkan kekuatan regional seperti Arab Saudi. Anwar Gargash, seorang diplomat senior UEA, menulis di platform X bahwa “aneksasi adalah garis merah.”

    Ia membagikan tautan berita Times of Israel yang mengutip ucapan diplomat UEA lainnya, Lana Nusseibeh, yang mengatakan bahwa aneksasi akan “sangat merusak visi dan semangat Abraham Accords, mengakhiri upaya integrasi regional, dan mengubah konsensus luas mengenai arah penyelesaian konflik — yakni dua negara yang hidup berdampingan dalam damai, kemakmuran, dan keamanan.”

    (Ed: Dalam konflik, “garis merah” bisa berupa wilayah, tindakan militer, kebijakan, atau pelanggaran hak yang tidak boleh dilanggar oleh pihak manapun. Melanggar “garis merah” biasanya dianggap sebagai eskalasi yang sangat serius.)

    Di lain pihak, Menteri Keuangan sayap kanan ekstrem Israel, Bezalel Smotrich, mengadakan konferensi pers pada hari Rabu (03/09) dan mempresentasikan peta yang menunjukkan rencana aneksasi atas sebagian besar wilayah Tepi Barat, menyisakan enam kota Palestina dengan otonomi terbatas, demikian menurut media lokal. Belum jelas apakah rencana ini didukung oleh Netanyahu.

    Warga Palestina dan sebagian besar komunitas internasional mengatakan bahwa aneksasi akan mengakhiri kemungkinan solusi dua negara, yang secara luas dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

    Warga Palestina terus mengungsi

    Serangan Israel di Kota Gaza menewaskan sedikitnya 15 orang, termasuk dua anak dan empat perempuan. Demikian informasi yang dihimpun AP dari Rumah Sakit Shifa dan Rumah Sakit Al-Quds, tempat jenazah dibawa. Menurut Rumah Sakit Nasser ada tambahan 16 orang tewas di Gaza selatan, termasuk 10 orang yang sedang mencari bantuan kemanusiaan.

    Israel menyatakan bahwa mereka hanya menargetkan kaum militan dan berupaya menghindari korban sipil. Israel menyalahkan kematian warga sipil pada Hamas karena para militan beroperasi di area padat penduduk. Israel menyatakan bahwa Kota Gaza —masih menjadi kubu Hamas, meskipun sudah dilakukan sejumlah serangan besar sejak awal perang.

    Kelompok Site Management Cluster mengatakan bahwa banyak keluarga terjebak karena biaya pindah yang sangat tinggi, kendala logistik, dan tidak adanya tempat tujuan. “Warga Palestina juga enggan berpindah karena takut tidak bisa kembali atau kelelahan akibat pengungsian berulang,” tulis laporan mereka.

    Korban tewas akibat perang dan kelaparan bertambah

    Ancaman ganda dari pertempuran dan kelaparan, menurut warga Palestina dan pekerja bantuan kemanusiaan, semakin parah dialami keluarga-keluarga di Kota Gaza. Banyak di antaranya telah mengungsi beberapa kali selama hampir dua tahun perang.

    Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan pada hari Rabu (03/09), lima orang dewasa dan satu anak meninggal akibat kekurangan gizi dalam 24 jam terakhir, sehingga total kematian akibat kelaparan mencapai 367 orang, termasuk 131 anak-anak sepanjang konflik.

    Para ahli menyalahkan operasi militer Israel yang terus berlangsung dan blokade sebagai penyebab utama krisis kelaparan. Netanyahu membantah adanya kelaparan di Gaza, meskipun ada kesaksian, data, dan temuan dari para ahli terkemuka yang menunjukkan sebaliknya.

    Kementerian itu juga melaporkan pada hari Selasa (02/09) bahwa total 63.633 warga Palestina telah tewas akibat serangan Israel sejak awal perang, termasuk lebih dari 2.300 orang yang sedang mencari bantuan.

    Kementerian ini merupakan bagian dari otoritas Hamas namun dijalankan oleh tenaga medis profesional. Mereka tidak membedakan antara warga sipil dan kombatan dalam laporannya, tetapi menyatakan bahwa sekitar setengah korban tewas adalah perempuan dan anak-anak.

    Lembaga-lembaga PBB dan banyak ahli independen menganggap angka dari kementerian ini sebagai perkiraan paling dapat diandalkan atas korban perang. Israel meragukan data tersebut, tetapi belum memberikan angka alternatifnya sendiri.

    Israel gerebek toko buku Palestina di Yerusalem

    Polisi Israel menangkap pemilik sebuah kafe dan toko buku Palestina yang terkenal di Yerusalem Timur. Tony Sabella, pemilik Kafe The Gateway di Kota Tua, dibawa ke kantor polisi terdekat dan masih ditahan beberapa jam kemudian, ujar pengacaranya, Nasser Odeh, seraya menambahkan bahwa polisi tidak memiliki surat perintah penangkapan.

    Polisi menyita lima buku, menurut Odeh, yang menyebut penangkapan ini sebagai bagian dari “upaya sistematis untuk membungkam produksi intelektual di kota ini.”

    Gateway adalah toko buku Palestina ketiga yang digerebek oleh pasukan Israel tahun ini. Kafe ini merupakan tempat favorit bagi diplomat, jurnalis, dan penulis di Yerusalem.

    Israel sebut Hamas rencanakan pembunuhan menteri kabinet sayap kanan

    Dalam perkembangan lain, badan intelijen dalam negeri Israel, Shin Bet, menyatakan bahwa pihaknya baru-baru ini menangkap sel Hamas di Tepi Barat yang dicurigai merencanakan pembunuhan terhadap Menteri Keamanan Nasional Israel yang berhaluan ekstrem kanan, Itamar Ben-Gvir.

    Shin Bet mengatakan para tersangka ditemukan memiliki drone yang mereka rencanakan untuk dipasangi bahan peledak. Tidak disebutkan berapa banyak orang yang ditangkap, dan tidak jelas sejauh mana rencana tersebut telah berjalan.

    Israel sebut akan timpakan 10 Tulah Mesir laksana di Alkitab

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, pada hari Kamis (04/09) bersumpah akan menimpakan 10 Tulah Mesir ala kisah di Alkitab kepada pemberontak Houthi di Yaman, setelah kelompok tersebut meningkatkan serangan rudal terhadap Israel.

    “Houthi kembali menembakkan rudal ke Israel. Tulah kegelapan, tulah anak sulung — kami akan menyempurnakan semua 10 tulah,” tulis Katz di platform X.

    Pernyataan tersebut merujuk pada 10 bencana yang, menurut Kitab Keluaran dalam Alkitab, dijatuhkan oleh Tuhan kepada Mesir untuk memaksa Firaun membebaskan bangsa Israel dari perbudakan.

    (Ed: yang dimaksud tidak persis sama seperti kisah Alkitab seperti karma banjir katak atau mengubah debu jadi nyamuk-nyamuk, melainkan ancaman kehancuran total progresif,— seperti yang dialami Mesir dalam cerita Alkitab.)

    Sebelumnya pada hari Kamis (04/09), militer Israel melaporkan bahwa sebuah rudal yang ditembakkan dari Yaman mendarat di luar wilayah Israel, sehari setelah dua rudal Houthi berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara Israel. Juru bicara militer Houthi, Yahya Saree, menyatakan bahwa pemberontak menargetkan Bandara Ben Gurion di Tel Aviv dengan rudal balistik.

    Kelompok Houthi yang didukung Iran telah bersumpah akan meningkatkan serangan terhadap Israel setelah perdana menteri mereka dan 11 pejabat senior lainnya tewas dalam serangan udara Israel pekan lalu. Sejak pecahnya perang di Gaza pada Oktober 2023, Houthi secara berkala meluncurkan serangan drone dan rudal ke arah Israel, dengan mengklaim bahwa serangan tersebut dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina.

    Sebagai balasan, Israel telah meluncurkan beberapa gelombang serangan udara ke wilayah Yaman, menargetkan pelabuhan, pembangkit listrik, dan Bandara Internasional di Sana’a — ibu kota yang dikuasai oleh Houthi.

    *Editor: Rizki Nugraha

    (nvc/nvc)

  • Kecam Rencana Akui Negara Palestina, Netanyahu Sebut PM Belgia ‘Lemah’

    Kecam Rencana Akui Negara Palestina, Netanyahu Sebut PM Belgia ‘Lemah’

    Tel Aviv

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengecam keputusan Belgia untuk mengakui negara Palestina bersama negara-negara Barat lainnya di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Netanyahu menyebut PM Belgia Bart de Wever sebagai “pemimpin lemah”.

    “Perdana Menteri Belgia de Wever adalah seorang pemimpin lemah yang berusaha memenuhi tuntutan terorisme Islam dengan mengorbankan Israel. Dia ingin memberi makan buaya teroris sebelum mereka melahap Belgia,” kata Netanyahu dalam pernyataan yang dirilis kantornya, seperti dilansir AFP, Kamis (4/9/2025).

    Kecaman Netanyahu itu disampaikan setelah otoritas Belgia mengumumkan rencananya untuk memberikan pengakuan resmi kepada negara Palestina di hadapan Majelis Umum PBB yang akan bersidang bulan ini.

    Pengumuman Belgia tersebut menyusul pengumuman serupa oleh Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Belgia Maxime Prevot, dalam pengumuman pada Selasa (2/9), mengatakan keputusan tersebut diambil “mengingat tragedi kemanusiaan” yang terjadi di Jalur Gaza. Dia juga menambahkan bahwa “sanksi tegas sedang dijatuhkan terhadap pemerintah Israel”.

    “Palestina akan diakui oleh Belgia di sidang PBB! Dan sanksi tegas sedang dijatuhkan terhadap pemerintah Israel,” tulis Prevot dalam pernyataan via media sosial X.

    “Menghadapi kekerasan yang dilakukan Israel yang melanggar hukum internasional, mengingat kewajiban internasionalnya, termasuk kewajiban untuk mencegah risiko genosida, Belgia harus mengambil keputusan tegas untuk meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Israel dan Hamas,” jelasnya.

    “Ini bukan tentang menghukum rakyat Israel, melainkan tentang memastikan bahwa pemerintahnya menghormati hukum internasional dan kemanusiaan serta mengambil tindakan untuk mencoba mengubah situasi di lapangan,” tegas Prevot dalam pernyataannya.

    Menanggapi semakin banyaknya negara Barat yang akan mengakui negara Palestina, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich, pada Rabu (3/9), menyerukan aneksasi sebagian besar wilayah Tepi Barat.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Pencaplokan Tepi Barat Jadi ‘Garis Merah’!

    Pencaplokan Tepi Barat Jadi ‘Garis Merah’!

    Abu Dhabi

    Uni Emirat Arab (UEA) melontarkan peringatan untuk Israel terkait langkah negara itu untuk mencaplok sebagian wilayah Tepi Barat. UEA, yang telah mengakui Israel, menegaskan bahwa pencaplokan Tepi Barat akan menjadi “garis merah”.

    Asisten menteri urusan politik pada Kementerian Luar Negeri UEA, Lana Nusseibeh, seperti dilansir AFP, Kamis (4/9/2025), menyebut pencaplokan Tepi Barat oleh Israel akan “sangat merusak” Perjanjian Abraham yang mendasari terjalinnya hubungan antara Abu Dhabi dan Tel Aviv pada tahun 2020 lalu.

    Bulan lalu, Israel menyetujui proyek permukiman besar di area Yerusalem bagian timur, yang memicu kritikan dan peringatan dari komunitas internasional bahwa langkah tersebut mengancam kelangsungan negara Palestina di masa depan.

    Pada Rabu (3/9), Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich menyerukan aneksasi sebagian besar wilayah Tepi Barat, setelah Belgia mengumumkan rencananya untuk mengakui negara Palestina — menyusul Prancis, Inggris, Kanada dan Australia.

    “Sejak awal, kami memandang perjanjian (Perjanjian Abraham-red) ini sebagai cara untuk memungkinkan dukungan berkelanjutan kami bagi rakyat Palestina dan aspirasi sah mereka untuk sebuah negara merdeka,” kata Nusseibeh dalam pernyataan yang dikirimkan kepada AFP.

    “Proposal untuk mencaplok sebagian wilayah Tepi Barat, yang dilaporkan sedang dibahas dalam pemerintahan Israel, merupakan bagian dari upaya yang, menurut seorang menteri Israel, akan ‘mengubur gagasan negara Palestina’,” sebutnya.

    UEA bersama Bahrain dan Maroko mengakui Israel berdasarkan Perjanjian Abraham selama masa jabatan pertama Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang menentang konsensus Arab bahwa tidak akan ada hubungan tanpa negara Palestina.

    “Aneksasi di Tepi Barat akan menjadi garis merah bagi UEA,” tegas Nusseibeh dalam pernyataannya.

    “Hal itu akan sangat merusak visi dan semangat perjanjian, mengakhiri upaya integrasi regional, dan akan mengubah konsensus bersama mengenai bagaimana seharusnya arah konflik ini — dua negara yang hidup berdampingan dalam damai, sejahtera, dan aman,” ucapnya.

    Permukiman Israel di Tepi Barat dianggap ilegal di bawah hukum internasional.

    “Kami menyerukan pemerintah Israel untuk menangguhkan rencana-rencana ini. Ekstremis, apa pun bentuknya, tidak boleh dibiarkan mendikte arah perkembangan kawasan ini,” cetus Nusseibeh.

    Tonton juga video “UEA Dituding Menjadi Dalang Serangan Drone di Port Sudan” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Trump Desak Hamas Segera Bebaskan 20 Sandera di Gaza!

    Trump Desak Hamas Segera Bebaskan 20 Sandera di Gaza!

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendesak kelompok Hamas untuk segera membebaskan 20 sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza. Trump memperingatkan bahwa “situasi akan berubah dengan cepat”.

    “Beritahu Hamas untuk SEGERA menyerahkan semua 20 sandera (Bukan 2, 5, atau 7!), dan situasi akan berubah dengan cepat. INI AKAN BERAKHIR!” tulis Trump dalam pernyataan terbaru via media sosial Truth Social, seperti dilansir Anadolu Agency, Kamis (4/9/2025).

    Trump tidak menjelaskan lebih detail soal langkah apa yang akan diambilnya jika para sandera dibebaskan. Trump juga tidak memberikan penjelasan lebih lanjut soal apa yang dimaksudnya soal “ini akan berakhir”.

    Sekitar 250 sandera diculik dan dibawa ke Jalur Gaza setelah serangan lintas perbatasan oleh Hamas dan militan aliansinya terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.

    Puluhan sandera di antaranya telah dibebaskan dalam kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran sandera dengan tahanan Palestina yang berlangsung di Jalur Gaza beberapa bulan lalu.

    Otoritas Tel Aviv memperkirakan saat ini masih ada sedikitnya 50 sandera di Jalur Gaza, termasuk 20 sandera yang diyakini masih dalam keadaan hidup.

    Upaya untuk mewujudkan kesepakatan terbaru mengenai gencatan senjata dan pembebasan sandera, yang dimediasi oleh Qatar dan Mesir, sejauh ini belum membuahkan hasil. Meskipun ada proposal baru yang diajukan mediator, namun Hamas dan Israel sama-sama bersikeras dengan tuntutan masing-masing.

    Perang yang berkecamuk di Jalur Gaza, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza yang dianggap kredibel oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah menewaskan nyaris 64.000 orang, sebagian besar warga sipil.

    Rentetan serangan Israel tanpa henti ke daerah kantong Palestina tersebut telah memicu kehancuran meluas dan memicu krisis kemanusiaan, yang diwarnai bencana kelaparan.

    Tonton juga video “Trump Desak Akhiri Perang di Gaza, Dorong Jalur Diplomatik” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)