kab/kota: Tasikmalaya

  • Video: TKD Dipangkas, Daerah Cari Cara Bertahan Lewat Pinjaman

    Video: TKD Dipangkas, Daerah Cari Cara Bertahan Lewat Pinjaman

    Jakarta, CNBC Indonesia – Bupati Tasikmalaya Cecep Nurul Yakin mengungkapkan, lebih dari 86 persen pendapatan daerahnya masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Namun akibat pengurangan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 11 persen atau sekitar Rp320 miliar, Kabupaten Tasikmalaya terpaksa melakukan rasionalisasi anggaran pada tahun 2026.

    Cecep menjelaskan, kondisi ini membuat pemerintah daerah tidak dapat membangun infrastruktur baru, padahal Tasikmalaya merupakan daerah penyangga ketahanan pangan nasional dengan produksi beras mencapai lebih dari 600 ribu ton per tahun. Untuk menutup kekurangan anggaran, pemerintah daerah berencana mengajukan pinjaman ke Kementerian Keuangan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

    Saksikan dialog Dina Gurning bersama Bupati Tasikmalaya Cecep Nurul Yakin dalam Program Nation Hub CNBC Indonesia.

  • Video: Puluhan Pelajar di Tasikmalaya Keracunan MBG, Daging Ayam Disebut Bau

    Video: Puluhan Pelajar di Tasikmalaya Keracunan MBG, Daging Ayam Disebut Bau

    Jakarta

    Puluhan pelajar SMK Negeri Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, mengalami keracunan usai menyantap makanan bergizi gratis.

    Korban mengeluh mual, muntah, diare, hingga lemas setelah makan menu berisi ayam, nasi, tahu, dan mentimun. Diduga, daging ayam berbau tak sedap.

    Hingga Rabu (1/10) petang, jumlah korban mencapai 40 orang dan terus bertambah.

    Klik di sini untuk menonton video-video lainnya!

    (/)

  • Pupuk Indonesia pastikan stok pupuk bersubsidi untuk petani aman selama musim tanam 2025

    Pupuk Indonesia pastikan stok pupuk bersubsidi untuk petani aman selama musim tanam 2025

    Senin, 22 September 2025 19:45 WIB

    Pekerja mengangkut pupuk di gudang Lini III Pupuk Indonesia, Awipari, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (22/9/2025). Pupuk Indonesia memastikan stok pupuk bersubsidi untuk memenuhi kebutuhan petani pada musim tanam 2025 secara nasional dalam kondisi aman dengan ketersedian stok pupuk jenis urea, NPK Form biasa, NPK Kakao, ZA, dan organik mencapai 1.496.877 ton. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/tom.

    Pekerja mengangkut pupuk di gudang Lini III Pupuk Indonesia, Awipari, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (22/9/2025). Pupuk Indonesia memastikan stok pupuk bersubsidi untuk memenuhi kebutuhan petani pada musim tanam 2025 secara nasional dalam kondisi aman dengan ketersedian stok pupuk jenis urea, NPK Form biasa, NPK Kakao, ZA, dan organik mencapai 1.496.877 ton. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/tom.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Guru dan Wali Murid di Bandung Desak Dedi Mulyadi Alihkan Uang MBG untuk Orang Tua

    Guru dan Wali Murid di Bandung Desak Dedi Mulyadi Alihkan Uang MBG untuk Orang Tua

    Liputan6.com, Jakarta Guru dan orang tua siswa yang tergabung dalam Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) Jawa Barat dan Forum Aksi Guru Indonesia (Fagi) mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi makan bergizi gratis (MBG) secara menyeluruh. Hal itu menyusul maraknya kasus keracunan akibat makanan tersebut.

    Ketua Fortusis Jawa Barat Dwi Soebanto mengatakan, sejumlah kasus keracunan terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Bogor, Cianjur, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Sukabumi, hingga Kota Bandung, Cimahi dan Cirebon. Menurutnya, penyelenggaraan MBG saat ini menghadapi masalah serius.

    “Kami sebagai orang tua sangat khawatir dengan keselamatan anak-anak di sekolah. Menyimak maraknya keracunan MBG di Jawa Barat, kami mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut penyebabnya secara tuntas,” kata Dwi Soebanto di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Senin (29/09/2025).

    Dia mengatakan, Gubernur Jawa Barat seharusnya menghentikan sementara program MBG demi keselamatan para siswa. Menurutnya, untuk sementara ini alokasi dana MBG sebaiknya diberikan langsung kepada orang tua dengan pengawasan pihak sekolah.

    “Memohon kepada Gubernur Jawa Barat agar menghentikan sementara MBG dan untuk sementara mengalihkan uang MBG kepada orang tua siswa dengan pengawasan pihak sekolah,” ucap Dwi.

    Fortusis juga mengecam mengenai adanya kebijakan yang mewajibkan guru mencicipi makanan MBG sebelum diberikan kepada siswa. Kebijakan itu dinilai membahayakan dan di luar kewenangan guru.

    “Protes keras terhadap pejabat yang menginstruksikan kepada guru untuk mencicipi MBG oleh guru terlebih dahulu sebelum dimakan oleh siswa sehingga terjadi keracunan seorang guru SD di Kabupaten Cianjur. Guru tidak punya kewenangan bertindak sebagai test food,” kata dia.

    Dia berharap, program MBG lebih tetap sasaran seperti diberikan kepada siswa dari keluarga yang kurang mampu. Dengan begitu, anggaran tersebut bisa tetap melindungi hak anak dari keluarga miskin serta tidak membebani pemerintah.

    “Merekomendasikan MBG hanya di berikan kepada siswa dari kalangan keluarga tidak mampu karena siswa dari kalangan mampu sudah cukup pemberian gizi dari keluarga mereka, sehingga tidak terlalu membebankan anggaran kepada pemerintah dan tidak menggangu/mengambil dari alokasi anggaran pendidikan,” ujar Dwi.

    Dia menambahkan, Fortusis juga mendorong agar ke depan pengelolaan MBG bisa melibatkan kantin sekolah atau warung nasi di sekitar sekolah. Menurut mereka, langkah ini bisa sekaligus membantu perekonomian masyarakat kecil.

    “Merekomendasikan ke depan MBG dikelola oleh kantin sekolah atau warung nasi sekitar sekolah sehingga dapat membantu usaha mereka sebagai masyarakat kecil,” ucap dia.

  • Penyebab Keracunan MBG Dibeberkan Profesor Eks Direktur WHO

    Penyebab Keracunan MBG Dibeberkan Profesor Eks Direktur WHO

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menyoroti potensi masalah dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dapat berujung pada kasus keracunan massal.

    Ia menekankan bahwa insiden keracunan pangan sejatinya bisa terjadi di negara mana pun, bukan hanya terkait dengan program MBG di Indonesia.

    Menurut Tjandra, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengidentifikasi sedikitnya ada lima faktor yang dapat diuji di laboratorium untuk memastikan penyebab keracunan makanan.

    “Secara umum World Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan, dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini, ujar Tjandra dari keterangan tertulis, dikutip Senin (29/9/2025).

    Pria yang kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Adjunct Professor Griffith University itu mengatakan bila merujuk pada hasil lab pemeriksaan sampel MBG di Laboratorium Kesehatan Daerah di Jawa Barat, setidaknya ada dua penyebab keracunan makanan.

    Pertama, ialah ditemukannya bakteri yang mayoritasnya berupa Salmonella pada sampel makanan MBG. Tjandra mengatakan, menurut WHO kontaminasi bakteri Salmonela dihubungkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas dan telur.

    Kedua, ditemukan juga mayoritas bakteri berupa Bacillus cereus. Ia menyebut, bila merujuk data dari NSW Food Authority Australia, Bacillus cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan dihubungkan antara lain dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat.

    Di luar temuan itu, Tjandra mengatakan keracunan makanan setidaknya dipicu oleh lima hal, berdasarkan kajian WHO. Lima masalah ini kata dia sebetulnya juga bisa dideteksi di laboratorium untuk menilai pemicu keracunan makanan.

    “Dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” tuturnya.

    Masalah pertama, yang memicu keracunan makanan secara luas, kata Tjandra ialah ditemukannya Salmonela, Campylobacter dan Escherichia coli pada sampel makanan korban keracunan. Selain itu juga dapat ditemukan Listeria dan Vibrio cholerae.

    Kedua, adalah virus yang disebut WHO berjenis Novovirus dan virus Hepatitis A. Ketiga, ialah disebabkan keberadaan parasit seperti cacing trematoda dan cacing pita seperti Ekinokokus maenia Taenia.

    “Yang lebih jarang adalah cacing seperti Askaris, Kriptosporidium, Entamoeba histolytica dan Giardia yang masuk ke rantai penyediaan makanan melalui air dan tanah yang tercemar,” ujar Tjandra.

    Penyebab keempat yang biasanya memicu keracunan makanan ia sebut prion, meski kasusnya jarang. Prion adalah bahan infeksi yang terdiri dari protein, contohnya adalah Bovine spongiform encephalopathy (BSE).

    Penyebab ke lima, yang perlu diantisipasi ialah kemungkinan kontaminasi bahan kimia pada makan. Untuk bahan kimia maka WHO membaginya menjadi tiga bagian, yakni logam berat seperti timbal, kadmium, dan merkuri; polutan organik persisten (“Persistent organic pollutants – POPs”) seperti misalnya dioksin dan polychlorinated biphenyls -PCBs; serta berbagai bentuk toksin lain adalah mycotoxins, marine biotoxins, cyanogenic glycosides, aflatoxin dan ochratoxin.

    “Berbagai potensi yang di sebut WHO ini tentu patut jadi pertimbangan kita, walau tentu sama sekali tidak berarti bahwa keracunan makanan yang berhubungan dengan MBG sekarang ini adalah disebabkan lima hal itu. Penjelasan umum WHO ini disampaikan hanya sebagai bagian dari kewaspadaan kita saja,” kata Tjandra.

    Sebagaimana diketahui, Laboratorium Kesehatan Jawa Barat (Labkes Jabar) menerima ratusan sampel makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari 2025. Sampel tersebut berasal dari belasan kabupaten/kota di Jabar.

    Sampel yang dikirimkan merupakan makanan yang menjadi pemicu keracunan penerima MBG.

    Dilansir dari detikJabar, Kepala Labkes Jabar, Ryan Bayusantika Ristandi, mengatakan sampel makanan itu diterima melalui dinas kesehatan kabupaten/kota masing-masing.

    “Berdasarkan sampel yang masuk dari Januari-September, didapatkan sampel KLB keracunan makanan dari MBG sebanyak 163 sampel, dengan jumlah instansi pengirim sebanyak 11 dinas kesehatan kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat, antara lain Dinkes Kabupaten Bandung Barat, Dinkes Kabupaten Bandung, Dinkes Kota Bandung, Dinkes Kabupaten Cianjur, Dinkes Kabupaten Garut, Dinkes Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Dinkes Kota Cirebon, Dinkes Kota Cimahi, dan Dinkes Kabupaten Sukabumi,” kata Ryan kepada detikJabar.

    “Dengan frekuensi KLB MBG sebanyak 20 kali,” tambahnya.

    Ryan menyebut hasil pemeriksaan KLB MBG di laboratorium mikrobiologi menunjukkan 72% hasil negatif dan 23% hasil positif, antara lain Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Bacillus cereus.

    Untuk pemeriksaan laboratorium kimia, sebanyak 92% hasil negatif dan 8% hasil positif nitrit. Mayoritas, ada dua bakteri yang mengontaminasi makanan.

    “Dari parameter pemeriksaan keamanan pangan pada laboratorium mikrobiologi hasilnya berbeda-beda, secara frekuensi didominasi oleh bakteri Salmonella dan Bacillus cereus. Pada pemeriksaan laboratorium kimia paling banyak dari parameter nitrit,” ungkapnya.

    Ketika disinggung terkait faktor kebersihan air, peralatan memasak, dan higienitas pekerja Dapur MBG, Ryan menyebut ketiganya berpengaruh.

    “Ya, kebersihan air, peralatan, dan higienitas pekerja dapur (food handler) sangat berpengaruh terhadap terjadinya keracunan makanan, dan hal ini diatur jelas dalam regulasi,” tuturnya.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • 10
                    
                        Mendikdasmen Abdul Mu’ti Sebut Sebagian Besar Masyarakat-Sekolah Berharap MBG Tetap Dilaksanakan
                        Regional

    10 Mendikdasmen Abdul Mu’ti Sebut Sebagian Besar Masyarakat-Sekolah Berharap MBG Tetap Dilaksanakan Regional

    Mendikdasmen Abdul Mu’ti Sebut Sebagian Besar Masyarakat-Sekolah Berharap MBG Tetap Dilaksanakan
    Tim Redaksi
    MAJALENGKA, KOMPAS.com
    – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti angkat bicara terkait maraknya kasus keracunan menu Makan Bergizi Gratis (MBG).
    Abdul Mu’ti menyebut, persoalan tersebut tengah dievaluasi oleh Badan Gizi Nasional (BGN) bersama lintas kementerian agar tidak kembali terulang.
    “Pada prinsipnya kami tetap mendukung, dan sebagian besar masyarakat serta sekolah-sekolah juga mengharapkan MBG tetap dilaksanakan,” kata Abdul Mu’ti saat berkunjung ke Aula BKPSDM Majalengka, Jawa Barat, Minggu (28/9/2025).
    Ia menegaskan, MBG merupakan salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto untuk membangun generasi Indonesia yang sehat, kuat, dan unggul.
    Menurutnya, meski terdapat kendala di lapangan, program ini memiliki tujuan besar dalam memperbaiki gizi anak sekolah.
    Kemendikdasmen pun sebagai penerima manfaat terbesar, tentu sangat mendukung program ini untuk terus berjalan.
    Abdul Mu’ti mengakui kasus keracunan yang terjadi di sejumlah daerah menjadi perhatian serius pemerintah.
    Karena itu, evaluasi menyeluruh dilakukan untuk memastikan penyelenggaraan MBG ke depan lebih baik.
    Namun, ia belum dapat memaparkan detail hasil evaluasi karena rapat koordinasi lintas kementerian masih akan diagendakan beberapa waktu ke depan.
    “Nanti masih ada rapat-rapat koordinasi lintas kementerian bagaimana MBG ini lebih baik dan juga lebih bermanfaat,” katanya.
    Di Jawa Barat, kasus keracunan makanan MBG dilaporkan terjadi di beberapa daerah, seperti Cianjur, Bandung, Garut, dan Tasikmalaya.
    Pemerintah menargetkan evaluasi ini dapat menghasilkan sistem yang lebih aman sehingga program MBG bisa tetap berjalan sesuai tujuan awal, yakni meningkatkan gizi anak sekolah tanpa mengorbankan keselamatan penerima manfaat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hasil Lab Keluar, Eks Direktur WHO Ungkap Penyebab Keracunan di MBG

    Hasil Lab Keluar, Eks Direktur WHO Ungkap Penyebab Keracunan di MBG

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama buka suara ihwal sejumlah masalah yang berpotensi meyebabkan makanan bergizi gratis (MBG) menjadi pemicu keracunan massal.

    Meski begitu, Tjandra menegaskan, keracunan makanan tentu terjadi di berbagai belahan dunia, dan tidak hanya dihubungkan dengan program Makan Bergizi Gratis.

    “Secara umum World Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan, dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” kata Tjandra dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (27/9/2025).

    Pria yang kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Adjunct Professor Griffith University itu mengatakan bila merujuk pada hasil lab pemeriksaan sampel MBG di Laboratorium Kesehatan Daerah di Jawa Barat, setidaknya ada dua penyebab keracunan makanan.

    Pertama, ialah ditemukannya bakteri yang mayoritasnya berupa Salmonella pada sampel makanan MBG. Tjandra mengatakan, menurut WHO kontaminasi bakteri Salmonela dihubungkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas dan telur.

    Kedua, ditemukan juga mayoritas bakteri berupa Bacillus cereus. Ia menyebut, bila merujuk data dari NSW Food Authority Australia, Bacillus cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan dihubungkan antara lain dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat.

    Di luar temuan itu, Tjandra mengatakan keracunan makanan setidaknya dipicu oleh lima hal, berdasarkan kajian WHO. Lima masalah ini kata dia sebetulnya juga bisa dideteksi di laboratorium untuk menilai pemicu keracunan makanan.

    “Dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” tuturnya.

    Masalah pertama, yang memicu keracunan makanan secara luas, kata Tjandra ialah ditemukannya Salmonela, Campylobacter dan Escherichia coli pada sampel makanan korban keracunan. Selain itu juga dapat ditemukan Listeria dan Vibrio cholerae.

    Kedua, adalah virus yang disebut WHO berjenis Novovirus dan virus Hepatitis A. Ketiga, ialah disebabkan keberadaan parasit seperti cacing trematoda dan cacing pita seperti Ekinokokus maenia Taenia.

    “Yang lebih jarang adalah cacing seperti Askaris, Kriptosporidium, Entamoeba histolytica dan Giardia yang masuk ke rantai penyediaan makanan melalui air dan tanah yang tercemar,” ujar Tjandra.

    Penyebab keempat yang biasanya memicu keracunan makanan ia sebut prion, meski kasusnya jarang. Prion adalah bahan infeksi yang terdiri dari protein, contohnya adalah Bovine spongiform encephalopathy (BSE).

    Penyebab ke lima, yang perlu diantisipasi ialah kemungkinan kontaminasi bahan kimia pada makan. Untuk bahan kimia maka WHO membaginya menjadi tiga bagian, yakni logam berat seperti timbal, kadmium, dan merkuri; polutan organik persisten (“Persistent organic pollutants – POPs”) seperti misalnya dioksin dan polychlorinated biphenyls -PCBs; serta berbagai bentuk toksin lain adalah mycotoxins, marine biotoxins, cyanogenic glycosides, aflatoxin dan ochratoxin.

    “Berbagai potensi yang di sebut WHO ini tentu patut jadi pertimbangan kita, walau tentu sama sekali tidak berarti bahwa keracunan makanan yang berhubungan dengan MBG sekarang ini adalah disebabkan lima hal itu. Penjelasan umum WHO ini disampaikan hanya sebagai bagian dari kewaspadaan kita saja,” kata Tjandra.

    Sebagaimana diketahui, Laboratorium Kesehatan Jawa Barat (Labkes Jabar) menerima ratusan sampel makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari 2025. Sampel tersebut berasal dari belasan kabupaten/kota di Jabar.

    Sampel yang dikirimkan merupakan makanan yang menjadi pemicu keracunan penerima MBG.

    Dilansir dari detikJabar, Kepala Labkes Jabar, Ryan Bayusantika Ristandi, mengatakan sampel makanan itu diterima melalui dinas kesehatan kabupaten/kota masing-masing.

    “Berdasarkan sampel yang masuk dari Januari-September, didapatkan sampel KLB keracunan makanan dari MBG sebanyak 163 sampel, dengan jumlah instansi pengirim sebanyak 11 dinas kesehatan kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat, antara lain Dinkes Kabupaten Bandung Barat, Dinkes Kabupaten Bandung, Dinkes Kota Bandung, Dinkes Kabupaten Cianjur, Dinkes Kabupaten Garut, Dinkes Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Dinkes Kota Cirebon, Dinkes Kota Cimahi, dan Dinkes Kabupaten Sukabumi,” kata Ryan kepada detikJabar.

    “Dengan frekuensi KLB MBG sebanyak 20 kali,” tambahnya.

    Ryan menyebut hasil pemeriksaan KLB MBG di laboratorium mikrobiologi menunjukkan 72% hasil negatif dan 23% hasil positif, antara lain Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Bacillus cereus.

    Untuk pemeriksaan laboratorium kimia, sebanyak 92% hasil negatif dan 8% hasil positif nitrit. Mayoritas, ada dua bakteri yang mengontaminasi makanan.

    “Dari parameter pemeriksaan keamanan pangan pada laboratorium mikrobiologi hasilnya berbeda-beda, secara frekuensi didominasi oleh bakteri Salmonella dan Bacillus cereus. Pada pemeriksaan laboratorium kimia paling banyak dari parameter nitrit,” ungkapnya.

    Ketika disinggung terkait faktor kebersihan air, peralatan memasak, dan higienitas pekerja Dapur MBG, Ryan menyebut ketiganya berpengaruh.

    “Ya, kebersihan air, peralatan, dan higienitas pekerja dapur (food handler) sangat berpengaruh terhadap terjadinya keracunan makanan, dan hal ini diatur jelas dalam regulasi,” tuturnya.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        25 September 2025

    Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum Bandung 25 September 2025

    Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di wilayah Jawa Barat tidak hanya dialami oleh siswa, tetapi juga telah menyasar kelompok rentan, khususnya ibu menyusui.
    Program yang merupakan niatan baik dari pemerintah untuk rakyatnya ini malah berakibat pada keracunan massal yang jumlahnya tidak sedikit.
    Ironisnya, berdasarkan data Dinas Kesehatan Bandung Barat, sementara ini korban keracunan telah mencapai 1.333 orang dari tiga kejadian di Cipongkor dan Cihampelas.
    Korban keracunan akibat program MBG juga sempat terjadi di wilayah Kabupaten Bogor, Pelabuhan Ratu Sukabumi, Garut, hingga Tasikmalaya.
    Dosen Fakultas Hukum Unpad, Dr. Somawijaya, menelaah peristiwa keracunan massal ini dari kacamata hukum.
    Dikatakan, bila merujuk dari berbagai laporan serta temuan, pelaksanaan program MBG belakangan ini menuai sorotan tajam.
    Alih-alih membawa manfaat, pelaksanaan program justru diwarnai keracunan massal dengan jumlah korban yang tidak sedikit.
    Merujuk berbagai laporan dan temuan, lanjutnya, faktor-faktor yang diduga menjadi pemicu antara lain berupa kualitas bahan baku yang tidak terjamin, proses pengolahan yang tidak sesuai standar higienitas, lamanya penyimpanan dan distribusi sehingga makanan basi atau terkontaminasi, hingga lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap penyedia jasa katering atau dapur penyedia MBG.
    “Semua hal tersebut pada dasarnya merupakan bentuk kelalaian apabila dapat dibuktikan bahwa pihak penyedia atau pengawas tidak menjalankan kewajiban sesuai standar operasional (SOP),” ucap Soma dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/9/2025).
    Soma menyebut bahwa kelalaian atau culpa dapat diartikan sebagai sikap kurang hati-hati atau tidak cermat yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, sementara kesengajaan atau dolus dapat terjadi apabila terdapat pihak-pihak yang ternyata sudah mengetahui risiko tetapi tetap membiarkan atau bahkan menghendaki akibat yang membahayakan.
    “Pada kasus keracunan dalam program MBG, jika terbukti hanya ada unsur kurang hati-hati (misalnya penyimpanan yang tidak sesuai prosedur), pihak-pihak yang terlibat dalam program MBG, baik pihak yang mengolah, menyiapkan, dan hingga mengirim makanan ke sekolah serta pemerintah, dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas program serta akibat yang terjadi,” terangnya.
    Dalam perspektif hukum pidana, lanjut Soma, kasus keracunan massal akibat program MBG dapat dipandang sebagai suatu tindak pidana jika terbukti terdapat kesalahan berupa adanya kelalaian (culpa) atau bahkan kesengajaan (dolus) eventualis dari pihak penyedia makanan atau pihak yang bertanggung jawab dalam proses pengolahan dan distribusi.
    Misalnya, apabila dapur penyedia atau pihak distribusi mengetahui bahwa makanan sudah tidak layak konsumsi, atau tidak mematuhi standar keamanan pangan yang diwajibkan, tetapi tetap mendistribusikannya ke sekolah, tindakan tersebut dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum secara pidana.
    “Apabila dalam proses investigasi ditemukan bukti atau petunjuk yang dapat membuktikan adanya hubungan kausalitas dan relevansi antara pihak penanggung jawab program MBG maupun penyedia makanan dengan masyarakat/siswa yang terdampak akibat dugaan keracunan, hal tersebut dapat menjadi dasar untuk menuntut pertanggungjawaban hukum baik secara pidana maupun perdata,” ujarnya.
    Menurutnya, dalam ranah hukum pidana, aparat penegak hukum dapat menerapkan atau berlandaskan pada ketentuan Pasal 359–360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang sakit atau meninggal, serta pasal-pasal dalam Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur keamanan pangan.
    Adapun dalam perspektif hukum perdata, bukti hubungan kausalitas tersebut dapat menjadi dasar bagi para korban atau orang tua siswa untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) maupun pelanggaran kewajiban pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen.
    “Gugatan ini dapat dilakukan secara individu maupun secara kolektif (
    class action
    ) untuk menuntut penggantian kerugian materiil seperti biaya pengobatan serta kerugian immateriil berupa penderitaan dan trauma,” tuturnya.
    Menurutnya, pemerintah daerah selaku penyelenggara program juga dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terbukti lalai dalam melakukan pengawasan atau pemilihan penyedia makanan yang tidak memenuhi standar keamanan pangan.
    “Dengan demikian, adanya bukti serta petunjuk berupa kausalitas tidak hanya memperkuat pembuktian unsur kelalaian atau kesengajaan dalam proses pidana, tetapi juga menjadi landasan yuridis yang kuat bagi para korban untuk menuntut pemulihan hak dan memperoleh ganti rugi melalui mekanisme perdata,” ucapnya.
    Karena itu, ke depannya, kata Soma, program MBG harus dirancang dan dijalankan dengan dasar regulasi yang jelas serta standar operasional ketat pada setiap tahap, mulai dari pengadaan bahan, pengolahan, distribusi, hingga penyajian makanan.
    “Selain itu, pemerintah daerah selaku penyelenggara wajib membuat kontrak pengadaan yang akuntabel dengan penyedia makanan, memuat kewajiban menjaga mutu dan klausul ganti rugi bila terjadi keracunan, serta melakukan pengawasan rutin,” tuturnya.
    Ia berharap, pemerintah memfokuskan evaluasi pada pengetatan seleksi penyedia makanan, peningkatan sistem distribusi dan penyimpanan, pengawasan lapangan yang lebih intensif, transparansi hasil audit kepada publik, serta penyediaan mekanisme kompensasi atau asuransi bagi korban sebagai bentuk perlindungan hukum.
    “Dengan cara ini, diharapkan program MBG tetap dapat berjalan dan menjamin makanan-makanan yang disajikan telah tepat dan sesuai dengan visi dan misi awal diadakannya program MBG ini,” tuturnya.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polri Ikut Tangani Kasus Siswa Keracunan MBG

    Polri Ikut Tangani Kasus Siswa Keracunan MBG

    Bisnis.com, JAKARTA — Bareskrim Polri tengah memantau kasus keracunan makanan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG)  yang terjadi di Indonesia dan bersama-sama dengan Polda untuk menangani kasus ini.

    Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Polisi Helfi Assegaf menjelaskan kasus keracunan makanan MBG yang sempat viral di media sosial itu kini tengah ditangani oleh Polres dan Polda di setiap wilayah.

    Kendati demikian, Helfi menegaskan bahwa Bareskrim Polri tetap akan memberi atensi kepada Polres maupun Polda yang tengah menangani perkara tersebut.

    “Jadi untuk MBG yang keracunan itu akan ditangani oleh masing-masing Polres dan Polda. Kita akan melakukan atensi dari sisi penanganannya,” tutur Helfi di Bareskrim Polri, Kamis (25/9/2025).

    Helfi juga minta Polres dan Polda untuk melakukan pendalaman terhadap kasus keracunan makanan MBG tersebut mulai dari hulu hingga hilir, sehingga Kepolisian bisa mengetahui pasti penyebab banyak siswa yang keracunan makanan beberapa hari terakhir.

    “Jadi bagaimana proses keamanan dan pengamanan ketika makanan itu disajikan lalu bagaimana prosesnya dari hulu dan hilir,” katanya.

    Menurut Helfi, jika penyebab utama banyak siswa yang keracunan MBG itu diketahui secara pasti, maka Bareskrim Polri bakal melaporkan hal tersebut ke pemerintah pusat sekaligus memberikan rekomendasi.

    “Tentunya nanti kita akan memberikan rekomendasi juga ke pemerintah, utamanya kepada penyelenggara MBG itu sendiri,” ujarnya.

    Berdasarkan catatan Bisnis, ada beberapa wilayah pembagian MBG yang membuat para siswa mengalami keracunan:

    Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada 21 April 2025, sebanyak 78 siswa dari MAN 1 Cianjur dan SMP PGRI 1 Cianjur mengalami gejala keracunan seperti mual, muntah, diare, pusing.
    Kota Bogor, Jawa Barat, ratusan siswa dari TK sampai SMA, total 223 siswa dari sembilan sekolah dilaporkan telah keracunan setelah mengonsumsi paket MBG. Pemerintah daerah menetapkan kejadian ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). 
    Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, sekitar 64 siswa dari lima sekolah di wilayah Kecamatan Talang Ubi diduga keracunan setelah menyantap menu MBG.
    Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, terbaru, lebih dari 250 siswa dari tingkat SD hingga SMA dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengikuti program MBG. 
    Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, di SDN Parakansalak 2, sebanyak 24 siswa mengalami pusing, mual, dan muntah setelah menyantap MBG sekolah.  

    Ditambah beberapa daerah lainnya seperti di Sukoharjo (Jawa Tengah), Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Nunukan (Kalimantan Utara), terakhir di Jakarta Utara juga melaporkan insiden-insiden serupa yaitu puluhan siswa merasakan efek samping seperti mual, muntah, sakit perut setelah menyantap makanan MBG.  

  • 9
                    
                        Korban Keracunan MBG di Bandung Barat Tembus 842 Orang dalam 3 Hari!
                        Bandung

    9 Korban Keracunan MBG di Bandung Barat Tembus 842 Orang dalam 3 Hari! Bandung

    Korban Keracunan MBG di Bandung Barat Tembus 842 Orang dalam 3 Hari!
    Editor
    KOMPAS.com – 
    Korban keracunan makan bergizi gratis di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, tembus 842 orang.
    Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari tiga kejadian sejak Senin (22/9/2025) hingga Rabu (24/9/2025), yaitu di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas.
    “Total korban keracunan sebanyak 842 orang. Data terakhir pada pukul 16.24 WIB,” kata Plt Kepala Dinas Kesehatan Bandung Barat, Lia N Sukandar, saat ditemui di posko kesehatan di Kantor Kecamatan Cipongkor, Rabu malam.
    Lia menjelaskan, pada Senin lalu, keracunan massal pertama terjadi di Cipongkor dengan 393 korban, mulai dari siswa PAUD hingga SMK.
    Mereka diketahui menyantap menu MBG yang disiapkan dari dapur SPPG Cipari di wilayah Kecamatan Cipongkor.
    Kasus serupa kembali terjadi pada Rabu, baik di Cipongkor maupun di Cihampelas, dengan 449 korban tambahan.
    Terkait perbedaan data yang sempat muncul dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Lia mengatakan, hal itu disebabkan oleh adanya perhitungan awal secara kasar, yang kini telah diperbarui berdasarkan laporan Dinkes.
    Lia menyebutkan, jumlah korban pada kejadian kedua lebih banyak dibandingkan hari pertama.
    Meski begitu, penanganan dilakukan lebih cepat karena banyak bantuan datang dari berbagai pihak.
    Keterbatasan fasilitas sempat menjadi kendala, terutama pasokan oksigen di posko kesehatan.
    “Petugas sempat kewalahan karena oksigen habis, tetapi tidak berlangsung lama. Banyak pihak yang memasok tabung oksigen ke posko-posko,” kata Lia.
    Korban dengan gejala berat mengalami kejang, dehidrasi, hingga penurunan kesadaran.
    Situasi sempat kritis ketika RSUD Cililin penuh. Dinas Kesehatan Bandung Barat bahkan menutup sementara akses pasien baru pukul 15.00 WIB dan mengalihkan korban ke beberapa rumah sakit lain.
     
    Kepala Staf Presiden (KSP) M Qodari di Istana, Jakarta, Senin (22/9/2025), sempat menyebut dari 5.000 kasus keracunan MBG, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kasus keracunan terbanyak di Indonesia. 
    Adapun kasus keracunan bukan hanya terjadi di Bandung Barat saja. Peristiwa serupa juga sempat terjadi di Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Cianjur.
    Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berjanji segera melakukan evaluasi terhadap penyelenggara maupun vendor penyedia makanan.
    Pekan depan dia akan memanggil pengelola MBG di Jabar untuk meminta penjelasan.
    Menurut mantan Bupati Purwakarta ini, salah satu penyebab keracunan adalah ketidakseimbangan antara jumlah penerima layanan dengan tenaga yang tersedia, ditambah manajemen penyajian makanan yang kurang tepat.
    Dia menilai kasus keracunan ini disebabkan manajemen penyajian yang buruk.
    “Misalnya yang dilayani ribuan orang, tetapi yang melayani sedikit. Masaknya jam 1 malam, disajikan jam 12 siang. Jarak waktunya terlalu lama, ini yang harus dievaluasi. Kalau penyelenggara tidak mampu, ya diganti dengan yang lebih mampu,” kata Dedi saat ditemui di Balai Pakuan Bogor, Rabu (24/9/2025).
    Meski tidak ada korban meninggal akibat kasus keracunan MBG, Dedi menilai kejadian tersebut menimbulkan dampak psikologis bagi anak-anak.
    Mereka bisa kehilangan kepercayaan untuk mengonsumsi makanan MBG, padahal makanan bergizi tersebut penting untuk tumbuh kembang.
    Menanggapi wacana moratorium program MBG di Jabar, Dedi menilai langkah yang lebih penting adalah mengevaluasi penyelenggara terlebih dahulu.
    Ia menegaskan akan memastikan penyedia makanan benar-benar mampu dan kualitas makanan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
    “Yang harus dilihat, pertama penyelenggara mampu atau tidak. Kedua, makanan yang disajikan sesuai dengan harga atau tidak. Kalau ternyata tidak mampu dan kualitasnya menurun, ya harus dievaluasi,” ujarnya.
    (Penulis: Kontributor Bandung Barat Bagus Puji Panuntun, Kontributor Bogor Afdhalul Ikhsan)
     
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.