kab/kota: Sukabumi

  • Bermula dari WA Salah Transfer, Pasutri Sukabumi Diteror Tagihan Pinjol Padahal Tak Pernah Berutang

    Bermula dari WA Salah Transfer, Pasutri Sukabumi Diteror Tagihan Pinjol Padahal Tak Pernah Berutang

    Didampingi Ketua RW 09, Dendi dan Ayu segera melaporkan kejadian penipuan ini ke Polres Sukabumi Kota. Mereka menyertakan bukti percakapan dan rekening koran sebagai alat bukti.

    Untuk mencegah hal serupa, pasangan ini berencana mengganti seluruh nomor ponsel dan rekening tabungan mereka.

    “Kami berharap pelaku segera ditangkap, supaya tidak ada korban lain. Mau ganti semua tabungan, karena itu tabungan sekolah anak dan uang deposito, takutnya kena hack,” ungkapnya.

  • Kisah Kemiskinan di Sukabumi: 3 Keluarga Tinggal Satu Atap di Rumah Nyaris Roboh

    Kisah Kemiskinan di Sukabumi: 3 Keluarga Tinggal Satu Atap di Rumah Nyaris Roboh

    Liputan6.com, Sukabumi – Kisah pilu keluarga Ana (40) dan Mimin (36) menjadi cerminan 15 tahun perjuangan hidup di Kampung Ciamarayah, Desa Walangsari, Kabupaten Sukabumi. 

    Rumah sederhana berukuran 3×6 meter yang dihuni oleh enam orang dengan tiga kepala keluarga ini menjadi saksi bisu beratnya hidup. Ana, seorang kuli cangkul, bercerita bahwa penghasilan mingguannya sebesar Rp 120 ribu hanya cukup untuk makan. 

    Kondisi ini diperparah dengan keberadaan ibunya yang sudah lanjut usia dan tinggal bersamanya.

    “Kadang kerja cuma 2 hari, seminggu libur, jangankan untuk memperbaiki rumah, buat makan saja sudah pas-pasan,” ungkap Ana, Kamis (18/09/2025).

    Kondisi rumah yang memprihatinkan tak hanya mengancam fisik, tetapi juga psikis mereka. Atap bilik yang melengkung dan nyaris roboh seringkali menimbulkan ketakutan, terutama saat hujan deras.

    “Karena tak ada tempat, Istri dan anak paling kecil tidur di tengah rumah karena sieun (takut) kamar ambruk. Umi (Ibu Ana) tidur di kamar, Ina (anak Ana) sama anaknya tidur di kamar depan. Saya tidur di dapur,” cerita Ana, menggambarkan bagaimana keluarganya harus mencari posisi aman untuk tidur.

    Dapur rumah pun dalam kondisi tak layak, nyaris roboh akibat pondasi kayu yang miring dan anjlok setelah beberapa kali gempa. 

    Meskipun telah berulang kali mengajukan permohonan bantuan program rumah tidak layak huni (Rutilahu), Ana tak kunjung mendapatkan kabar.

    “Sudah beberapa kali di foto dimintai KK (Kartu Keluarga) terus KTP (Kartu Tanda Penduduk) tapi ya gitu, enggak ada kabar lanjutnya,” ungkapnya.

     

  • BKKBN Respons Kasus Viral Balita Muntah Cacing, Ada Larva di Paru-paru

    BKKBN Respons Kasus Viral Balita Muntah Cacing, Ada Larva di Paru-paru

    Jakarta

    Belum lama ini kembali viral balita yang terkena infeksi cacing, menyusul laporan kasus sebelumnya di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kali ini menimpa anak 1 tahun 8 bulan di Kabupaten Seluma, Bengkulu.

    Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN, ‘turun tangan’ memberikan bantuan nutrisi sejak awal September melalui program Genting (Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting).

    Dalam kunjungan lapangan Rabu (17/9/2024), anak tersebut dilaporkan berisiko stunting, dengan kondisi rumah tidak layak huni. Walhasil, rumah akan dibangun ulang dengan memperbaiki struktur rumah agar lebih sehat dan nyaman.

    Pemerintah juga disebut akan menyediakan jamban sesuai standar kesehatan untuk memastikan kebersihan lingkungan.

    “Kasus cacingan seperti ini harus segera diintervensi, karena berdampak langsung pada status gizi anak. Dengan nutrisi yang tepat, rumah yang sehat, serta fasilitas sanitasi memadai, diharapkan anak-anak Seluma dapat tumbuh optimal dan terhindar dari risiko stunting,” beber Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bengkulu, Zamhari, SH, MH, dalam keterangan tertulis, Kamis (18/9/2025).

    Program Genting sudah berjalan dan menyasar keluarga berisiko stunting di berbagai wilayah. Intervensi mencakup pemberian bantuan nutrisi, edukasi gizi, pendampingan keluarga, serta peningkatan kualitas lingkungan tempat tinggal.

    Pemerintah menegaskan komitmennya untuk terus hadir dalam upaya percepatan penurunan stunting di Bengkulu, khususnya di Kabupaten Seluma.

    (naf/kna)

  • Kisah Pilu Perempuan Sukabumi Jadi Korban TPPO di China, Ibunya Bertahan dengan Upah Rp 30.000
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        18 September 2025

    Kisah Pilu Perempuan Sukabumi Jadi Korban TPPO di China, Ibunya Bertahan dengan Upah Rp 30.000 Bandung 18 September 2025

    Kisah Pilu Perempuan Sukabumi Jadi Korban TPPO di China, Ibunya Bertahan dengan Upah Rp 30.000
    Editor
    SUKABUMI, KOMPAS.com
    – RR (23), perempuan asal Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) jaringan internasional.
    Saat ini, RR berada di Cina dan disebut disekap serta mengalami kekerasan seksual oleh pihak yang menahannya.
    Kuasa hukum keluarga, Rangga Surya Danuningrat, menyampaikan bahwa pelaku sempat meminta uang tebusan dalam jumlah besar untuk memulangkan RR.
    “Keluarga jelas tidak mampu. Sejak RR hilang, beban ekonomi makin berat karena dia sebenarnya tulang punggung keluarga,” ujar Rangga dikutip dari Tribun Jabar, Kamis (18/9/2025).
    RR merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya mengalami keterbelakangan mental, sementara kedua orangtuanya sudah lama berpisah. Sehari-hari, RR tinggal bersama ibunya dalam kondisi serba kekurangan.
    Sebelum berangkat ke luar negeri, RR pernah bekerja di sebuah perusahaan di Sukabumi dan membantu menopang kebutuhan keluarga.
    Namun setelah ia pergi, seluruh beban kembali ditanggung sang ibu.
    Ibunya kini bekerja sebagai buruh pabrik kue di Cikiray, Cisaat, dengan sistem borongan. Penghasilannya hanya sekitar Rp30 ribu–Rp40 ribu per hari.
    Yang lebih memprihatinkan, kondisi kesehatan sang ibu tidak stabil. Meski demikian, ia tetap berjalan kaki sejauh 3–4 kilometer setiap hari demi bekerja.
    “Dari rumah ke pabrik kue, ibunya jalan kaki bolak-balik. Sudah sakit-sakitan, tapi tetap dipaksa karena kalau tidak, keluarga tidak makan,” kata Rangga.
    Keluarga berharap pemerintah segera turun tangan untuk membantu pemulangan RR. Namun hingga kini, menurut Rangga, belum ada langkah konkret dari pihak berwenang.
    “Sampai sekarang belum ada. Kecuali kalau kondisi keluarganya diviralkan, mungkin baru ada bantuan,” tegasnya.
    Kuasa hukum memastikan pihak keluarga tidak tinggal diam. Mereka sudah menyiapkan laporan ke kepolisian serta berencana membawa kasus ini ke Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
    “Kami tidak akan diam. Kami akan laporkan ke berbagai pihak agar RR bisa segera dipulangkan,” pungkas Rangga.
    Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul BREAKING NEWS, Gadis Sukabumi Disekap di Cina, Bisa Pulang Kalau Bayar Rp 200 Juta
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • BKKBN Respons Kasus Viral Balita Muntah Cacing, Ada Larva di Paru-paru

    Peliknya Masalah Gizi Anak di Balik Viralnya Kasus Kecacingan di Indonesia

    Jakarta

    Kasus balita di Bengkulu yang mengeluarkan cacing dari mulut dan hidung baru-baru ini menyita perhatian publik. Balita bernama Khaira Nur Sabrina, usia 1 tahun 8 bulan, diketahui mengalami infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dengan kondisi gizi buruk, anemia, hingga adanya larva cacing di paru-paru.

    Sebelumnya, kasus serupa juga ditemukan di Sukabumi, Jawa Barat. Seorang balita, Raya, meninggal karena sepsis dan mengeluarkan cacing dari tubuhnya.

    Menanggapi hal ini, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono menekankan pentingnya faktor kebersihan (higiene) dan gizi dalam mencegah penyakit tersebut. Ia mengingatkan, edukasi harus digencarkan agar kejadian serupa tidak kembali terulang.

    Fenomena ini membuka mata bahwa kecacingan bukan hanya persoalan medis biasa, melainkan masalah gizi dan kesehatan masyarakat yang kompleks. Infeksi cacing dapat mengganggu penyerapan nutrisi, memicu anemia, hingga menghambat tumbuh kembang anak. Kasus-kasus tersebut sekaligus menjadi pengingat bahwa peran gizi seimbang, perilaku hidup bersih, serta akses layanan kesehatan yang baik merupakan pondasi utama dalam mencegah penyakit yang kerap luput dari perhatian ini.

    Kecacingan dan Kaitannya dengan Gizi Anak

    Cacingan terjadi akibat infeksi cacing parasit yang umumnya ditularkan melalui tanah atau makanan yang terkontaminasi. Tidak pakai alas kaki, tidak mencuci tangan dengan benar, dan buang air sembarangan adalah penyebab lainnya.

    Pada anak-anak, kondisi kecacingan bisa menimbulkan dampak serius. Cacing yang bersarang di usus menyerap nutrisi dari makanan yang seharusnya digunakan tubuh untuk tumbuh kembang. Akibatnya, anak bisa mengalami penurunan nafsu makan, anemia, kekurangan energi kronis, hingga gagal tumbuh (stunting). Jika tidak segera ditangani, bahkan kecacingan dapat menimbulkan infeksi yang berat seperti perdarahan saluran cerna, kerusakan organ vital tertentu, hingga kematian.

    Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2023, lebih dari 267 juta anak prasekolah di dunia berisiko mengalami infeksi cacing, dan sebagian besar berada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Infeksi ini tidak hanya menyebabkan gangguan fisik, tetapi juga bisa menurunkan konsentrasi dan prestasi belajar anak karena tubuh kekurangan zat gizi penting, terutama vitamin A, zat besi, dan protein.

    Dampak Cacingan pada Status Gizi

    Balita adalah kelompok usia yang paling rentan terhadap dampak gizi buruk akibat cacingan. Salah satu penelitian yang menemukan bahwa anak yang mengalami kecacingan memiliki risiko lebih tinggi mengalami underweight dan anemia dibandingkan anak yang tidak terinfeksi diterbitkan dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia pada tahun 2019.

    Studi dalam Jurnal Ilmu Biologi dan Pendidikan Biologi menemukan bahwa kecacingan juga dapat memperburuk defisiensi zat gizi makro dan zat gizi mikro, seperti vitamin A dan zinc, yang berperan penting dalam imunitas. Anak yang terinfeksi cacing lebih mudah terserang penyakit infeksi lain, sehingga terjadi gizi buruk yang dapat memperlemah daya tahan tubuh, cacing semakin berkembang, dan kesehatan anak kian memburuk.

    Pendapat Ahli: Masalah Gizi dan Pelayanan Kesehatan

    Prof dr Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), Direktur Pascasarjana Universitas YARSI sekaligus Adjunct Professor Griffith University, menilai kasus di Bengkulu mencerminkan tiga hal penting. Pertama, kecacingan masih banyak ditemukan pada anak Indonesia dan tergolong penyakit tropis yang terabaikan. Kedua, kondisi ini berkaitan erat dengan kekurangan gizi pada anak yang masih menjadi tantangan besar di masyarakat. Ketiga, penguatan layanan rumah sakit sangat diperlukan, terutama dalam kemampuan menangani kasus kecacingan berat.

    Pernyataan ini menegaskan bahwa persoalan kecacingan tidak bisa hanya diselesaikan dengan obat cacing massal, tetapi juga membutuhkan pendekatan menyeluruh yaitu mulai dari gizi, kebersihan lingkungan, hingga kapasitas fasilitas kesehatan.

    Peran Pemerintah, Tenaga Kesehatan, dan Masyarakat

    Pemerintah memiliki peran besar dalam program pencegahan kecacingan nasional, salah satunya dengan pemberian obat cacing secara massal dua kali setahun bagi anak usia sekolah. Namun, keberhasilan program ini bergantung pada konsistensi pelaksanaan dan cakupan yang merata, termasuk di daerah pedesaan dan terpencil.

    Tenaga kesehatan di lapangan perlu aktif memberikan edukasi gizi dan higiene kepada orang tua, guru, dan anak-anak. Misalnya, pentingnya mencuci tangan dengan sabun, memasak makanan hingga matang, dan minum air bersih. Selain itu, pemantauan status gizi anak melalui posyandu juga penting agar kasus gizi buruk akibat kecacingan bisa dideteksi lebih dini.

    Masyarakat sendiri memiliki peran dalam membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Sebagaimana yang terdapat di dalam Permenkes No. 15 Tahun 2017 PHBS dapat dilakukan melalui cuci tangan pakai sabun, menggunakan air bersih untuk rumah tangga, menjaga kebersihan dan keamanan makanan, menggunakan jamban sehat, mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat. Orang tua juga perlu memastikan anak-anak tidak bermain di tanah tanpa alas kaki, menjaga kebersihan kuku, serta menyediakan makanan bergizi seimbang di rumah. Partisipasi aktif masyarakat dapat memperkuat program pemerintah dan tenaga kesehatan dalam menurunkan angka kecacingan.

    Pencegahan dari Sisi Gizi

    Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dari sisi gizi dan kesehatan anak agar kasus serupa tidak terulang:

    1. Pemberian makanan bergizi seimbangSumber protein hewani (ikan, telur, daging ayam, hati) penting untuk pertumbuhan dan memperbaiki jaringan tubuh.Sayur dan buah kaya vitamin serta mineral untuk daya tahan tubuh.2. Pencegahan anemia dengan zat besiBalita perlu asupan zat besi dari daging merah, hati, atau suplemen sesuai anjuran tenaga kesehatan.Vitamin C dari buah segar membantu penyerapan zat besi lebih optimal.3. Sanitasi dan perilaku hidup bersihCuci tangan dengan sabun sebelum makan.Gunakan alas kaki saat bermain di luar.Jaga kebersihan rumah dan lingkungan dari kotoran hewan.4. Program pemberian obat cacing rutinWHO dan Kementerian Kesehatan RI menganjurkan anak usia 1-12 tahun diberi obat cacing setiap enam bulan sekali.

    Kesimpulan

    Kasus balita di Bengkulu yang mengalami kecacingan hingga cacing keluar dari mulut menjadi peringatan keras bahwa masalah ini masih nyata di Indonesia. Kecacingan tidak hanya merugikan kesehatan, tetapi juga berdampak pada status gizi, tumbuh kembang, dan masa depan anak.

    Upaya bersama diperlukan dari pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat untuk menanggulangi masalah yang tidak boleh dianggap sepele ini. Pencegahan melalui edukasi higiene, pemberian obat cacing rutin, serta pemenuhan gizi seimbang adalah kunci utama. Jika tidak ditangani serius, kecacingan akan terus menjadi lingkaran masalah yang mengancam generasi muda penerus bangsa.

    Halaman 2 dari 6

    Simak Video “Video: Dokter Ingatkan soal Tren Beli Obat Cacing Usai Kasus Balita Sukabumi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (mal/up)

  • Puluhan Siswa SMK di Sukabumi Mendadak Alami Mual dan Muntah, Diduga Keracunan Menu MBG

    Puluhan Siswa SMK di Sukabumi Mendadak Alami Mual dan Muntah, Diduga Keracunan Menu MBG

    Puluhan siswa yang terdampak mayoritas mengeluhkan pusing, mual, muntah, dan diare. Beruntung, tidak ada korban jiwa dan tidak ada siswa yang harus dirujuk ke rumah sakit. Semua siswa yang mengalami gejala ringan langsung ditangani di UKS sekolah.

    Agus menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap dapur penyedia program MBG. Kelalaian kecil, seperti sanitasi dalam mencuci peralatan, bisa berdampak besar.

    “Kami berharap kejadian ini tidak terulang kembali dan hasil uji laboratorium bisa segera keluar untuk memastikan penyebabnya,” terang dia.

  • Kondisi Balita di Bengkulu yang Muntah Cacing dari Mulut-Hidung

    Kondisi Balita di Bengkulu yang Muntah Cacing dari Mulut-Hidung

    Jakarta

    Balita yang mengalami cacingan terjadi lagi, kini di Seluma, Bengkulu. Balita tersebut diketahui berusia 1 tahun 8 bulan bernama Khaira Nur Sabrina, yang kini tengah menjalani perawatan intensif.

    Plt Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, Endriwan Mansyur menjelaskan balita yang dirujuk dari Rumah Sakit Seluma telah sampai di RSUD M Yunus Bengkulu. Bocah tersebut telah mendapat perawatan dari pihak rumah sakit.

    Endriwan menjelaskan, kondisi Khaira saat ini masih lemah. Tim medis RSUD M Yunus terus memberikan perawatan intensif untuk membantu pemulihan kesehatan sang balita.

    Ia menambahkan, tim medis juga memberikan makanan bergizi tinggi untuk memperbaiki kondisi pasien. Pasalnya, dari informasi yang dihimpun, selama ini balita tersebut hanya mengonsumsi makanan seadanya sehingga diduga mengalami kekurangan gizi.

    “Kita melakukan pengawasan ekstra pada pasien, untuk adanya dugaan larva di paru-paru berdasarkan radiologi akan kita cek kembali,” tutup Endriwan, dikutip dari detiksumbagsel, Rabu (17/9/2025).

    Sebelumnya, pihak Dinas kesehatan menduga cacing gelang yang bersarang di tubuh bocah tersebut berasal dari lingkungan rumah yang kotor dan tidak sehat.

    Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Seluma, Rudi Syawaludin mengatakan, setelah dilakukan pengecekan ke rumah pasien di Desa Sungai Petai ditemukan kondisi rumah yang tidak layak huni.

    “Saat ditemukan adanya pasien dengan gejala mengeluarkan cacing dari mulut dan hidung, kita langsung melakukan investigasi ke rumah dan lingkungan pasien,” kata Rudi.

    Rudi menjelaskan, kondisi rumah bocah tersebut cukup memprihatinkan, rumah hanya beralas tanah dan dinding papan yang sudah rusak. Bahkan banyak kotoran ayam di sekitar rumah.

    Di sisi lain, cacing gelang atau Ascaris lumbricoides merupakan jenis cacing yang paling banyak menginfeksi manusia, baik di Indonesia maupun di dunia. Dari seluruh populasi yang terinfeksi, hampir 80 persen adalah anak usia sekolah, yakni 5-10 tahun.

    Menurut Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Riyadi, SpA, Subsp IPT(K), MKes, tingginya angka kasus pada kelompok ini erat kaitannya dengan aktivitas anak.

    “Karena mereka mereka aktif bermain di tanah, aktif bermain di luar. Nah ini mungkin kemampuan mereka, edukasi mereka tentang perilaku hidup bersih dan sehat belum optimal, makanya kenapa anak usia sekolah yang paling banyak,” jelas dr Riyadi dalam agenda temu media IDAI, Jumat (22/8/2025).

    Kelompok kedua yang paling rentan adalah anak usia prasekolah, yakni 2-5 tahun. Pada usia ini, anak sudah mulai bisa berjalan dan bermain di luar rumah.

    “Bagaimana kita mengedukasi nih orang tua, karena anak-anak ini, apalagi usia 2-5 tahun sama sekali kalau dilihat, ada yang bergerak di tanah mikirnya, oh ada mainan baru, malah dia pegang” tambahnya.

    Lebih lanjut, dr Riyadi menyebutkan sekitar seperdelapan populasi dunia terinfeksi cacing gelang. Parasit ini sangat menyukai lingkungan yang hangat dan lembap, sehingga negara tropis seperti Indonesia menjadi tempat ideal bagi perkembangannya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Kemenkes soal Balita di Sukabumi Meninggal dengan Tubuh Penuh Cacing”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/kna)

  • Cerita Miris Imbas Jalan Rusak 20 Tahun Tak Kunjung Diaspal: Ibu Hamil Terpaksa Melahirkan di Jalan

    Cerita Miris Imbas Jalan Rusak 20 Tahun Tak Kunjung Diaspal: Ibu Hamil Terpaksa Melahirkan di Jalan

    Liputan6.com, Sukabumi – Selama lebih dari 20 tahun, warga Desa Sirnasara, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, harus berhadapan dengan masalah yang sama: kerusakan parah jalan kabupaten yang tak kunjung diperbaiki.

    Akibat jalan rusak itu, seorang ibu hamil terpaksa melahirkan di tengah jalan karena sudah keburu pembukaan sebelum sampai di rumah sakit. Guncangan keras akibat jalan rusak membuat kondisinya malah makin memburuk hingga persalinan tak dapat ditunda lagi.

    Kepala Desa Sirnasara, Okih Suryadi, membenarkan bahwa jalan ini sudah rusak parah selama lebih dari 20 tahun. 

    “Itu kerusakannya sudah 20 tahun lebih, sampai saat ini belum ada realisasinya,” ujar Okih, Rabu (17/9/2025).

    Okih mengungkapkan keprihatinan mendalam atas peristiwa yang menimpa warganya. Ia menjelaskan bahwa kurangnya akses transportasi yang layak, seperti ambulans desa, memperburuk situasi. 

    “Banyak orang yang sakit, yang melahirkan, yang melahirkan itu sampai melahirkan di tengah jalan. Saya khawatir sekali,” katanya.

    Menurut Okih, pemerintah desa tidak bisa menyediakan ambulans karena perhitungan biaya perbaikan jalan yang membentang hingga 70 kilometer di seluruh wilayah desa sangat besar. 

    Lubang-lubang besar dan tumpukan batu tajam menjadi pemandangan yang tak terhindarkan setiap hari, membuat para pengendara harus ekstra hati-hati.

    “Kan saya tidak punya ambulans, kenapa tidak punya ambulans karena saya perhitungan itu jalan desa itu 70 kilo meter (yang rusak harus diperbaiki),” ujarnya

    Saat musim kemarau, debu tebal beterbangan, mengganggu pernapasan warga dan mengurangi jarak pandang. Namun, kondisi justru jauh lebih buruk saat musim hujan. 

    Lubang-lubang besar yang dipenuhi air berubah menjadi kubangan lumpur, bahkan hampir menutupi seluruh badan jalan. Banyak warga yang harus menunda perjalanan atau mengambil risiko untuk melintasi jalan rusak ini. 

    Waktu tempuh yang seharusnya singkat, kini berlipat ganda karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan kendaraan melaju cepat.

  • Respons Wamenkes soal Kasus Balita Cacingan Muncul Lagi di Bengkulu

    Respons Wamenkes soal Kasus Balita Cacingan Muncul Lagi di Bengkulu

    Jakarta

    Kasus kecacingan kembali dilaporkan di Bengkulu. Terjadi pada balita 1 tahun 8 bulan di Seluma, Bengkulu. Cacing keluar dari mulut dan hidung anak tersebut, bahkan sudah teridentifikasi ‘bersarang’ di paru balita yang bernama Khaira.

    Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menekankan laporan kasus kecacingan yang bermunculan belakangan dikaitkan dengan faktor kebersihan di lingkup masyarakat, utamanya di daerah.

    Pihaknya menyebut akan meningkatkan edukasi di sejumlah wilayah dengan insiden kasus tinggi cacingan.

    “Yang penting adalah higienitas karena itu menyangkut dengan faktor hygiene yang harus kita sosialisasikan kepada masyarakat jadi masalah hygiene akan menjadi masalah penting,” beber dia saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/9/2025).

    Menurut Dante, maraknya kasus kecacingan juga menandakan masih adanya persoalan gizi di masyarakat. Pemerintah berupaya untuk meningkatkan promotif dan langkah preventif untuk mencegah kasus cacingan terus meluas.

    “Dan masalah gizi juga akan menjadi masalah penting karena kejadian terakhir itu meninggal kan tidak spesifik karena kecacingan saja, tapi ada masalah gizi,” pungkasnya.

    Hal ini sejalan dengan apa yang disoroti Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama. Prof Tjandra merinci sedikitnya tiga masalah yang terjadi di balik kecacingan pada anak Indonesia.

    “Kecacingan ini adalah tergolong penyakit tropik terabaikan, jadi kita yang abai. Kedua bahwa kasusnya juga berhubungan dengan kekurangan gizi pada anak Indonesia, artinya masalah gizi memang ada di tengah anak-anak sekitar kita,” beber dia, dalam kesempatan terpisah.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Dokter Ingatkan soal Tren Beli Obat Cacing Usai Kasus Balita Sukabumi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Balita Muntah Cacing Terjadi Lagi di RI, Eks Pejabat WHO Soroti Hal Ini

    Balita Muntah Cacing Terjadi Lagi di RI, Eks Pejabat WHO Soroti Hal Ini

    Jakarta

    Viral balita 1 tahun 8 bulan di Seluma, Bengkulu, dilaporkan cacingan. Cacing tersebut bahkan sudah keluar dari bagian mulut dan hidungnya, saat dirawat di rumah sakit.

    Balita bernama Khaira ini teridentifikasi mengeluarkan cacing gelang dan kini harus menjalani perawatan intensif. Larva cacing juga ditemukan berada di bagian paru Khaira. Kasus Khaira mengingatkan sejumlah orang pada insiden kematian balita di Sukabumi yang meninggal pasca ditemukan sekitar 1 kilogram cacing pada tubuhnya.

    Menurut Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama, kasus kecacingan semacam ini seharusnya sudah bisa diberantas di usia kemerdekaan Indonesia ke-80.

    Munculnya laporan kecacingan juga disebutnya tak hanya menggambarkan persoalan satu maupun dua kasus, tetapi menunjukkan potensi banyaknya kejadian serupa di sejumlah wilayah.

    “Perlu penanganan yang menyeluruh dari hulu sampai hilir, yang didasari dengan analisa mendalam tentang kenapa kasus kecacingan kok masih bermunculan di 80 tahun kemerdekaan bangsa kita ini,” tutur Prof Tjandra dalam keterangan tertulis, Rabu (17/9/2025).

    Prof Tjandra merinci sedikitnya tiga masalah yang terjadi di balik kecacingan pada anak Indonesia.

    “Kecacingan ini adalah tergolong penyakit tropik terabaikan, jadi kita yang abai. Kedua bahwa kasusnya juga berhubungan dengan kekurangan gizi pada anak Indonesia, artinya masalah gizi memang ada di tengah anak-anak sekitar kita,” beber dia.

    Selanjutnya, persoalan pelayanan rumah sakit dalam melakukan operasi atau pembedahan untuk cacing di perut. Artinya, menurut dia, diperlukan penguatan kemampuan pelayanan kesehatan rumah sakit untuk masalah kesehatan seperti kecacingan.

    “Berita media menyebutkan bahwa kasus pada anak di Bengkulu ini adalah karena cacing gelang, atau nama latinnya Ascaris lumbricoides. Disampaikan lima hal tentang cacing ini, sebagaimana tercantum dalam laman CDC Amerika Serikat.”

    Cacing gelang berukuran cukup besar. Pada cacing betina dewasa antara 20 hingga 35 cm, sementara cacing jantan dewasa antara 15 hingga 30 cm. Hal ini dinilai menyedihkan lantaran cacing dengan ukuran tersebut berada pada usia anak yang masih balita Indonesia.

    Sementara seekor cacing betina dapat menghasilkan sekitar 200 ribu telur per hari, yang dikeluarkan bersama feses.

    “Tentu kasihan sekali kalau anak-anak harus ada ratusan ribu telur cacing dalam tubuhnya.”

    “Kemudian menjadi larva dan lalu dalam tubuh si anak maka larva itu melalui sirkulasi sistemik dapat masuk ke paru-paru. Larva matang lebih lanjut di paru-paru sampai 10 hingga 14 hari,” sorotnya menyoal komplikasi yang bisa terjadi.

    (naf/kna)