kab/kota: Senayan

  • Daftar UMK 2026 Jika Naik 10,5%, Kota Ini Tertinggi Nyaris Rp 6,3 Juta

    Daftar UMK 2026 Jika Naik 10,5%, Kota Ini Tertinggi Nyaris Rp 6,3 Juta

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Partai Buruh sekaligus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan buruh menuntut kenaikan upah minimum pada 2026 sebesar 8,5-10,5%. Namun menurutnya, kenaikan upah minimum yang paling masuk akal adalah 10,5%.

    Kata dia setiap daerah mengalami pertumbuhan ekonomi yang berbeda. Ada daerah yang justru perekonomian tumbuh di atas nasional, sehingga kenaikan upah minimum bisa lebih tinggi.

    “Kenapa sampai 10,5%? Karena pertumbuhan ekonomi yang tadi saya jelaskan itu pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan di setiap provinsi, pertumbuhan ekonominya ada yang lebih tinggi dari nasional. Contoh, Maluku Utara, itu bisa 30%, 6 kali lipatnya, 5 sampai 6 kali lipat,” kata Said Iqbal.

    Pembahasan upah minimum 2026, termasuk upah minimum kabupaten/kota (UMK) tengah dibahas, di mana Dewan Pengupahan Nasional (DPN) diberi tenggat waktu hingga November 2025. Jika perhitungan kenaikan upah minimum sebesar 10,5% diketok dan diikuti masing-masing pemerintah provinsi (Pemprov) untuk menaikkan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) maka kenaikannya cukup signifikan.

    UMK 2026 didasarkan pada angka 10,5%, maka yang tertinggi bukanlah UMP DKI Jakarta, melainkan Kota Bekasi, di mana UMK-nya bisa mencapai Rp 6,29 juta jika kenaikannya mencapai 10,5%. Selain Kota Bekasi, berikutnya ada Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi yang masing-masing bisa mencapai Rp 6,19 juta dan Rp 6,14 juta. Sedangkan Jakarta berada diurutan ke-4 yang mencapai Rp 5,96 juta atau hampir Rp 6 juta.

    Foto: Ribuan buruh memadati Aula JCC Senayan, Jakarta, Kamis (30/10/2025), untuk mengikuti konsolidasi nasional serikat pekerja. Berbeda dari aksi demonstrasi pada umumnya yang digelar di jalanan, kali ini para buruh memilih melangsungkan aksinya di dalam ruangan. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
    Ribuan buruh memadati Aula JCC Senayan, Jakarta, Kamis (30/10/2025), untuk mengikuti konsolidasi nasional serikat pekerja. Berbeda dari aksi demonstrasi pada umumnya yang digelar di jalanan, kali ini para buruh memilih melangsungkan aksinya di dalam ruangan. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

    Berikut daftar UMK 2026 dari yang terbesar jika berdasarkan kenaikan 10,5%:

    Kota Bekasi Rp6.288.281
    Kab Karawang Rp6.187.550
    Kab Bekasi Rp6.142.159
    Kota Depok Rp5.741.272
    Kota Cilegon Rp5.666.533
    Kota Bogor Rp5.665.221
    Kota Tangerang Rp5.602.027
    Kabupaten Mimika Rp5.531.274
    Kota Batam Rp5.513.508
    Kota Tangerang Selatan Rp5.496.703
    Kota Surabaya Rp5.482.737
    Kabupaten Tangerang Rp5.415.734
    Kabupaten Bogor Rp5.389.318
    Kabupaten Gresik Rp5.385.917
    Kabupaten Sidoarjo Rp5.381.915
    Kabupaten Pasuruan Rp5.377.913
    Kabupaten Serang Rp5.367.375
    Kabupaten Mojokerto Rp5.365.909
    Kabupaten Purwakarta Rp5.295.438

    Sementara itu, beberapa daerah juga memiliki UMK terendah atau terkecil, di mana mayoritas berada di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Jika kenaikannya mencapai 10,5%, maka Kabupaten Banjarnegara di Jawa Tengah, yang menjadi UMK terendah di Indonesia, dapat menjadi Rp 2,39 juta jika kenaikannya mencapai 10,5%.

    Berikut daftar UMK 2026 dari yang terendah jika berdasarkan kenaikan 10,5%:

    Kabupaten Banjarnegara Rp2.398.375
    Kabupaten Wonogiri Rp2.409.549
    Kabupaten Sragen Rp2.411.331
    Kota Banjar Rp2.436.253
    Kabupaten Kuningan Rp2.441.518
    Kabupaten Pangandaran Rp2.455.005
    Kabupaten Ciamis Rp2.458.933
    Kabupaten Rembang Rp2.470.966
    Kabupaten Blora Rp2.473.465
    Kabupaten Brebes Rp2.474.980

    (chd/wur)

    [Gambas:Video CNBC]

  • DPD Minta Purbaya Cari Solusi Penguatan Fiskal Daerah

    DPD Minta Purbaya Cari Solusi Penguatan Fiskal Daerah

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komite IV DPD Ahmad Mawardi meminta Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan pelaksanaan Undang-Undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) benar-benar memperkuat kapasitas fiskal daerah.

    Ahmad menilai beleid tersebut masih menghadapi sejumlah hambatan fundamental, meski sudah lebih dari dua tahun berlaku. Padahal menurutnya, UU HKPD menjadi tonggak penting reformasi sistem fiskal nasional yang bertujuan menciptakan hubungan keuangan pusat-daerah yang lebih adil, efisien, dan akuntabel.

    Hanya saja, dia mencatat Pendapatan Asli Daerah (PAD) di banyak wilayah belum menunjukkan peningkatan signifikan, sementara ketergantungan terhadap transfer pusat masih tinggi.

    “Basis data wajib pajak lemah, kepatuhan rendah, dan infrastruktur digital belum merata,” ujar Ahmad dalam rapat kerja bersama Purbaya dan jajaran di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/11/2025).

    Dia juga menyoroti pengelolaan dividen BUMN oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang turut mempengaruhi alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) dan Transfer ke Daerah (TKD). Senator itu menilai efisiensi dan transparansi entitas tersebut perlu diperkuat agar hak daerah dari PNBP dapat tersalurkan secara proporsional.

    Selain itu, Ahmad menyoroti pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2025 yang mengatur pemberian pinjaman oleh pemerintah pusat kepada daerah sebagai turunan UU HKPD. Kebijakan ini, katanya, penting untuk memperkuat peran BUMD sebagai instrumen ekonomi daerah dan mendukung kemandirian fiskal.

    Ahmad juga meminta kejelasan mekanisme percepatan realisasi dana transfer ke daerah (TKD) yang masih tertahan di perbankan daerah, serta penyelesaian dana kurang bayar dana bagi hasil (DBH) tahun anggaran 2023–2024.

    Dia menekankan Pemda sangat memerlukan dana tersebut, terlebih terjadi pemangkasan TKD besar-besaran pada tahun depan. Adapun, TKD turun Rp226,9 triliun atau sekitar 24,7% dari Rp919,9 triliun (APBN 2025) menjadi Rp692,995 triliun (APBN 2026).

    “Ini juga menjadi aspirasi dari kepala daerah bagi kita. Ini [dana kurang bayar percepatan transfer TKD] merupakan utang pusat ke daerah dan bagaimana mekanisme ini, kapan bisa daerah menikmati ketika TKD daerah ini dikurangi,” ujarnya.

    Lebih lanjut, dia mengapresiasi kebijakan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mendorong kredit di daerah. Hanya saja, Ahmad menilai pertumbuhan kredit belum signifikan.

    “Kenapa tidak seperti itu, tidak seperti yang kita harapkan? Padahal kebijakan Pak Menteri sudah luar biasa,” tanyanya ke Purbaya sambil menutup pernyataannya.

  • Fraksi Golkar tampung aspirasi musisi soal reformasi royalti musik

    Fraksi Golkar tampung aspirasi musisi soal reformasi royalti musik

    “Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,”

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Golkar DPR RI menerima audiensi pengurus Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang dipimpin Armand Maulana dan Nazril Irham (Ariel NOAH) di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.

    Dalam audiensi tersebut, para musisi dari VISI menyampaikan keresahan mereka atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.

    Ketua Fraksi Golkar Muhammad Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

    “Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” kata Sarmuji dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

    Sarmuji menegaskan bahwa inti persoalan ini terletak pada transparansi tata kelola LMKN. Ia menilai perlunya aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.

    Ia menilai langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser, adalah sesuatu yang menggembirakan dan layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.

    Sarmuji menegaskan komitmen partainya untuk mengawal aspirasi para pencipta lagu. Menurutnya, tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit sehingga merugikan pencipta.

    Ia menegaskan agar sistem pembayaran royalti harus sederhana dan memberikan kemudahan. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya.

    Sarmuji menambahkan, dukungan Fraksi Golkar berpijak pada semangat menghadirkan sistem yang adil dan memudahkan semua pihak.

    “Sistemnya memang perlu diperbaiki, dan sistem itu harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha—pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain—mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” tegasnya.

    Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan agar keberadaan aturan tidak menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha.

    Dia berharap agar dunia usaha tidak merasa terbebani. Sistem yang sederhana dan jelas akan membuat semua pihak lebih taat sekaligus memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya.

    Sementara itu, Ketua Umum VISI Armand Maulana menjelaskan akar permasalahan yang menumpuk di dunia musik Indonesia.

    “Masalah ini bermula dari ketidaksempurnaan kerja, ketidakkompetenan, dan ketidaktransparanan LMK-LMK serta LMKN di masa lalu,” ujar vokalis grup band GIGI itu.

    Akibatnya, muncul berbagai persoalan seperti kasus Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.

    Atas dasar itu, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.

    “Performing rights itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” kata Armand.

    Menurutnya, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.

    “Sering kali seorang penyanyi diminta mendadak untuk menyanyikan lagu tertentu. Kalau tetap diwajibkan izin di muka, maka harus diberi tenggat waktu, misalnya tujuh hari setelah pertunjukan. Jangan sampai penyanyi, bahkan pelajar yang tampil di pensi, justru dikriminalisasi,” ujarnya.

    Armand menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yakni distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.

    “Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambahnya.

    Menanggapi wacana pembentukan lembaga baru khusus untuk konser, Armand menilai langkah itu tidak akan menyelesaikan masalah.

    “Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.

    Ia mengingatkan bahwa kemunculan banyak LMK baru justru bermula dari rasa ketidakadilan dan kurangnya representasi di sistem lama.

    VISI, lanjut Armand, memilih fokus pada reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.

    “Dengan teknologi saat ini, sangat mungkin dibuat sistem digital yang akurat dan transparan. Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.

    Wakil Ketua Umum VISI, Ariel NOAH, turut menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan untuk memihak satu kelompok, melainkan memperjuangkan keseimbangan hak antara pencipta, penyanyi, dan penyelenggara acara.

    “Kita ingin sistem yang adil dan transparan untuk semua pelaku musik. Kalau sistemnya jelas, semua pihak diuntungkan,” ujar Ariel.

    Fraksi Golkar berkomitmen menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

    “Kami akan formulasikan aspirasi VISI dengan aspirasi AKSI untuk disampaikan ke pemerintah,” kata Sarmuji.

    Pertemuan antara Fraksi Golkar dan VISI ini menjadi momentum penting bagi pembenahan tata kelola royalti di Indonesia. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kebangkitan industri musik, sinergi antara dunia politik dan komunitas musisi menjadi kunci agar keadilan royalti tidak hanya menjadi jargon, tetapi juga kenyataan yang dirasakan semua pelaku seni.

    Pertemuan ini juga dihadiri oleh Bendahara Fraksi Sari Yuliati, serta sejumlah pimpinan komisi dari Fraksi Golkar, antara lain Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi VII Lamhot Sinaga, dan Wakil Ketua Komisi XIII Dewi Asmara. Serta Vina Panduwinata dan Sammy Simorangkir yang turut tergabung dalam VISI.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI masih belum ideal.
    Dari total 580 anggota parlemen, hanya 127 di antaranya perempuan, tepatnya setara 21,9 persen.
    Angka itu masih terpaut cukup lebar dari ketentuan baru yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi Nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa minimal keterwakilan perempuan dalam seluruh AKD harus mencapai 30 persen.
    Mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), hingga Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), BKSAP, MKD, dan BURT.
    Pada akhirnya, putusan ini menjadi penegasan kembali komitmen terhadap politik hukum kesetaraan gender di parlemen.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Terpisah, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa putusan sudah sesuai dengan jumlah yang ada saat ini.
    “Jadi total sekarang kan 127 anggota perempuan dari total 580 anggota. Menurut saya ini menjadi penting, tidak dimaknai untuk bagaimana ini sekadar jumlah. Tapi, bagaimana partai itu betul-betul memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya,”
    “Pendidikan politik yang komprehensif dan mempersiapkan dari mulai sekolah partainya untuk merencanakan perwakilan perempuan itu memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya di bidang itu,” tambah dia.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.
    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Adapun dalam perbaikan bagian posita dan petitum, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Diantaranya, perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    “Oleh karena itu menurut saya bahwa penting kiranya kerja politik, karena yang di parlemen itu kan perpanjangan partai sebetulnya, bukan person. Tapi dia institusi kepartaian sehingga itu saja ini harapan saya bisa memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” lanjut Rieke.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen.
    Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    “Kemajuan yang patut diapresiasi, walau masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia,” lanjut Puan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, ada hambatan utama yang menyebabkan keterwakilan perempuan dalam AKD tak sampai 30 persen.
    “Hambatan utama keterwakilan perempuan di AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin,” kata Titi.
    Dia bilang, hal ini diperparah dengan aturan dalam perekrutan partai dan negosiasi politik di parlemen.
    Ditambah lagi, posisi strategis sering didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, dan bukan prinsip kesetaraan gender.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Di sisi lain, Titi melihat adanya pandangan bias gender dalam partai, yang menilai bahwa isu perempuan bukan prioritas utama. Ditambah lagi, anggota legislatif perempuan yang kebanyakan tidak mendapatkan dukungan dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    Titi menilai dalam upaya mendorong jumlah perempuan dalam AKD, pendidikan politik dalam kaderisasi partai dinilai penting. Pelatihan kepemimpinan dinilai mampu meningkatkan kapasitas dan jaringan politik perempuan dalam partai.

    “Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” lanjut Titi.
    Rieke menambahkan, pada dasarnya mempersiapkan kader-kader perempuan yang siap untuk menjadi calon legislatif bukanlah perkara yang mudah. Dia bilang, kaderisasi parpol terhadap anggota perempuan perlu dilakukan.
    “Memang tidak mudah untuk dari mulai keterpilihan proses dari pencalonan, penjaringan, penyaringan, kemudian penetapan sebagai calon di elektoral. Oleh karena itu menurut saya bahwa penting memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” kata Rieke.
    Rieke juga menilai, pendidikan politik yang komprehensif dapat mempersiapkan kader politik yang tidak hanya mampu bertugas di DPR, dan memiliki kemampuan pilitik yang memumpuni.
    “Partai (perlu) merencanakan perwakilan perempuan itu yang memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan, dipersiapkan untuk menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya,” lanjut dia.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul sekaligus mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M. Jamiluddin Ritonga menegaskan bahwa ke depannya setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg.
    “Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD. Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan,” kata Jamiluddin.
    “Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” lanjut Jamiluddin.
    Dia menegaskan bahwa partai adalah merupakan awal atau cikal – bakal kader politik perempuan tumbuh, memiliku kualitas untuk ditempatkan sebagai wakil rakyat di parlemen.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?

    Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?

    Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar agar setiap pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) memuat keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Pemenuhan angka atau memang mampu menghadirkan anggota DPR berkualitas?
    Alat Kelengkapan Dewan atau AKD terdiri dari komisi-komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
    Putusan MK itu diketok di sidang akhir uji materi untuk perkara nomor 169/PUU-XXII/2024, pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, terdapat perbaikan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Pada perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada
    Kompas.com
    , Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Senada, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka juga menyambut baik putusan MK terkait keterwakilan perempuan dalam AKD.
    “Saya mengapresiasi dan menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi terkait keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD),” ujar Rieke.
    Menurutnya, keputusan MK ini akan berdampak langsung pada penguatan partai politik dalam menyiapkan kader perempuan yang lebih siap dan berdaya saing.
    “Dan tentu saja ini berimplikasi pada bagaimana partai politik menyiapkan kader-kader perempuannya, semakin diperkuat begitu,” ujar dia.
    “Bukan hanya keterwakilan secara kuantitatif, tapi putusan MK ini juga penting dimaknai harus berimbas pada keterwakilan perempuan secara kualitatif,” tambah dia.
    Namun demikian, pemenuhan perempuan dalam AKD masih mengalami tantangan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Menurut Rieke hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Titi menambahkan, ada pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama.
    Sehingga anggota legislatif perempuan minim dukugan struktural dan politik dari partainya.
    “Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    “Minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” tegas Titi.
    Sebagai anggota DPR dari kaum perempuan, Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.

    Sementara itu, Titi Anggraini menilai putusan MK yang mewajibkan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD minimal 30 persen dan persebaran anggota legislatif perempuan di keanggotaan AKD secara proporsional adalah langkah konstitusional yang sangat progresif untuk memperbaiki ketimpangan tersebut.
    “Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal transformasi budaya politik agar parlemen menjadi ruang yang lebih inklusif dan representatif,” jelas Titi.
    “Tantangannya ke depan adalah memastikan implementasinya berjalan konsisten di semua lembaga perwakilan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Baik untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun MPR,” tegasnya.
    Berbicara soal kuantitas, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul yang juga mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M Jamiluddin Ritonga mengatakan pembagian porsi anggota legislatif bisa sesuai dengan amanat MK. Namun tentu hal itu harus merujuk pada jumlah legislator perempuan.
    “Secara kuantitas bila jumlah legislator perempuan dapat dibagi habis minimal 30 persen untuk setiap AKD DPR RI. Namun bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka Keputusan MK tersebut dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan,” ungkapnya.
    “Sebab, jumlah legislator perempuan tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” ungkap dia.
    Hal yang sama juga berlaku dari sisi kualitas. Jamiluddin menegaskan, bila kualitas (kompetensi) legislator perempuan mencerminkan semua AKD DPR RI, maka akan mudah mendistribusikan minimal 30 persen legislator perempuan ke setiap AKD.
    “Sebaliknya, bila kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen kiranya hanya pemaksaan. Sebab, akan banyak legislator perempuan ditempatkan di AKD yang tak sesuai kompetensinya,” kata dia.
    “Kalau hal itu terjadi, akan membuat legislatir perempuan tidak produktif. Setidaknya akan sulit bagi legislator perempuan untuk melaksanakan fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi secara maksimal,” tambahnya.
    Dia menegaskan bahwa Keputusan MK sangat baik untuk kesetaraan gender, namun tidak mudah untuk diimplementasikan.
    Karena itu, DPR harus mampu mensiasati Keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya.
    “Legislatif perempuan juga nyaman ditempatkan di AKD tertentu karena sesuai dengan kompetensinya,” ujar dia.
    Saat ini, tercatat ada 127 anggota perempuan dari total 580 anggota DPR RI, atau sekitar 21,97 persen. Rieke berharap, keberadaan perempuan tidak hanya sebatas angka, tetapi juga diikuti peningkatan kapasitas dan peran substantif di berbagai komisi.
    “Menurut saya ini penting tidak dimaknai sekadar jumlah. Partai harus memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya melalui pendidikan politik yang komprehensif,” tegas Rieke.
    Untuk memastikan keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif, Jamiluddin mengimbau agar partai mampu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg. Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD.
    “Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan. Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” ungkap Jamiluddin.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegasnya.
    Senada, Rieke juga menilai bahwa perempuan yang duduk di parlemen, baik di komisi ekonomi, sosial, maupun hukum, harus memahami konteks peran legislatif dalam sistem presidensial Indonesia.
    “Sehingga ketika seseorang ditempatkan, baik laki-laki maupun perempuan, dia sudah mengerti apa tugas dan kewajibannya sebagai wakil rakyat. Tidak bisa ini hanya dimaknai persoalan jenis kelamin perempuan harus ada di setiap komisi,” tegasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penjarahan Rumah Sri Mulyani hingga Sahroni Disebut Sudah Direncanakan

    Penjarahan Rumah Sri Mulyani hingga Sahroni Disebut Sudah Direncanakan

    Penjarahan Rumah Sri Mulyani hingga Sahroni Disebut Sudah Direncanakan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ahli kriminologi asal Universitas Indonesia (UI) Adrianus Eliasta Meliala mengatakan, penjarahan yang dilakukan terhadap rumah pejabat dan anggota DPR pada kerusuhan Agustus 2025 lalu sudah direncanakan atau ditarget.
    Adrianus meyakini penjarahan itu tidak dilakukan secara spontan.
    Hal tersebut disampaikan Adrianus saat diperiksa sebagai saksi ahli dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/11/2025).
    “Ahli sudah mendengar soal terjadinya penjarahan terhadap beberapa rumah pejabat, termasuk anggota DPR. Salah satu penyebabnya disebut-sebut adalah berita-berita hoaks yang sempat ahli saksikan. Menurut ahli, apa yang menyebabkan masyarakat seolah-olah melakukan pembenaran terhadap perilaku penjarahan tersebut?” tanya anggota MKD DPR Rano Alfath.
    “Dalam khazanah kepustakaan, kita pernah melihat situasi seperti ini, yang kita sebut sebagai
    limited looting
    atau penjarahan terbatas. Artinya, dari banyak rumah atau kantor, hanya beberapa yang menjadi sasaran spesifik. Fenomena ini kemudian berkembang menjadi
    targeted looting
    , yaitu penjarahan yang memang sudah direncanakan dan ditargetkan, bukan aksi yang spontan. Penjarahan ini direncanakan, atau dalam istilah lain disebut
    predestined
    ,” jawab Adrianus.
    Namun, saat ditanya apakah penjarahan itu ada kaitannya dengan video viral anggota DPR joget-joget, Adrianus mengaku perlu berhati-hati dalam menjawab.
    Sebab, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi penjarahan.
    Yang pasti, kata dia, satu hal yang diduga kuat menjadi pemicu penjarahan adalah masyarakat mengalami perasaan ketidakadilan.
    Adrianus membeberkan, perasaan ini muncul dan dirasakan oleh banyak kalangan, mulai dari masyarakat bawah hingga kelas menengah ke atas.
    “Video-video yang beredar memang sengaja dibuat untuk menciptakan dan memperkuat perasaan ketidakadilan ini. Setelah perasaan itu muncul, respons setiap orang berbeda-beda. Ada yang hanya berhenti pada perasaan saja, ada yang melampiaskannya dengan cara lain, tetapi ada juga yang melanjutkannya ke dalam tindakan kerusuhan atau penjarahan,” jelas Adrianus.
    Sementara itu, Adrianus kembali menegaskan bahwa aksi penjarahan yang dilakukan pada Agustus 2025 lalu sudah ditargetkan, bukan spontan.
    “Artinya, kejadian yang sekarang terjadi ini pasti tidak mungkin spontan, ya? Menurut gambaran ahli tadi, pasti ada satu rangkaian yang sudah tersusun,” kata Rano.
    “Untuk perbuatan seperti penjarahan dan kerusuhan yang terjadi pada bulan Agustus itu, ia masuk dalam kategori targeted dan
    selected looting.
    Dalam hal ini, perbuatan tersebut tidak pernah menjadi suatu hal yang bersifat spontan,” kata Adrianus.
    Diketahui, rumah sejumlah pejabat dan anggota DPR dijarah oleh massa.
    Misalnya, rumah mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
    Tidak hanya itu, sejumlah anggota DPR juga menjadi sasaran penjarahan, seperti Uya Kuya, Ahmad Sahroni, hingga Nafa Urbach.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Indonesia gelar International Sustainability Forum untuk percepatan transisi ekonomi berkelanjutan

    Indonesia gelar International Sustainability Forum untuk percepatan transisi ekonomi berkelanjutan

    Jumat, 10 Oktober 2025 12:17 WIB

    Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (kedua kanan) bersama Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani (kanan) mencoba berdialog dengan robot dalam pembukaan Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (10/10/2025). Forum bertema Investing for a Resilient, Sustainable and Prosperous World itu menghadirkan sekitar 250 pembicara serta diikuti lebih dari 100 pebisnis dan filantropis untuk mendorong kolaborasi global dalam mempercepat transisi ekonomi berkelanjutan melalui investasi. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

    Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (kedua kanan) bersama Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani (kedua kiri) meninjau stan pameran dalam pembukaan Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (10/10/2025). Forum bertema Investing for a Resilient, Sustainable and Prosperous World itu menghadirkan sekitar 250 pembicara serta diikuti lebih dari 100 pebisnis dan filantropis untuk mendorong kolaborasi global dalam mempercepat transisi ekonomi berkelanjutan melalui investasi. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Purbaya Siap Beri Pinjaman ke Pemda dengan Bunga Rendah: 0,5%

    Purbaya Siap Beri Pinjaman ke Pemda dengan Bunga Rendah: 0,5%

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku siap memberikan pinjaman bunga rendah di level 0,5% untuk pemerintah daerah (Pemda), sebagai implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38/2025.

    Lewat PP tersebut, pemerintah pusat kini dapat memberi pinjaman ke Pemda, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

    Purbaya menjelaskan selama ini pemerintah pusat sebenarnya sudah memberikan pinjaman ke Pemda lewat PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), yang merupakan BUMN di bawah Kementerian Keuangan. Dia pun mendorong PT SMI kembali menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam implementasi PP 38/2025.

    “SMI kan lebih profesional nilainya dibanding pemerintah. Pemerintah kan enggak bisa masuk ke sana untuk nilai level komersial dari investasinya, dari proyeknya. Kalau SMI kan lebih terlatih untuk itu,” ujar Purbaya dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/11/2025).

    Kendati demikian, selama ini bunga pinjaman PT SMI cukup tinggi sehingga kerap membebani keuangan Pemda. Purbaya pun meminta PT SMI menurunkan bunga pinjamannya ke level 0,5%.

    Dia mencatat PT SMI memiliki keuangan yang bagus. Selain itu, Purbaya siap menambahkan Rp3 triliun ke PT SMI agar bisa disalurkan ke Pemda pada kuartal IV/2025.

    “Jadi daerah enggak usah khawatir, kalau proyeknya bagus, dan SMI menerima, kita akan jalankan bunga yang lebih rendah dari yang sekarang, dia minta 0,5%, kita kasih 0,5%,” ungkapnya.

    Mantan ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu mengaku tidak ingin pemerintah pusat seakan sekadar ingin mencari untung dari pemerintah daerah. Oleh sebab itu, dia ingin bunga pinjaman ke Pemda ditetapkan rendah.

    “Untuk saya, uang pemerintah bukan untuk cari bunga, harusnya memaksimalkan pertumbuhan daerah supaya ekonomi daerah jalan,” tutupnya.

    Pemda Minta Bunga Rendah

    Sebelumnya, Pemda menilai pelaksanaan skema pinjaman pusat ke daerah (Pemda) seperti yang diatur dalam PP 38/2025 akan lebih bermanfaat apabila disertai dengan bunga penjaminan yang rendah, di bawah 3%.

    PP 38/2025 sendiri keluar di tengah pemangkasan transfer ke daerah (TKD) besar-besaran pada tahun depan. Adapun, TKD turun Rp226,9 triliun atau sekitar 24,7% dari Rp919,9 triliun (APBN 2025) menjadi Rp692,995 triliun (APBN 2026).

    Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu menilai PP 38/2025 memiliki dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, kebijakan ini membuka akses pembiayaan baru bagi proyek-proyek vital; di sisi lain, kebijakan itu berpotensi menambah beban fiskal terutama bagi daerah dengan kapasitas keuangan terbatas.

    “PP 38/2025 ini seperti tombak bermata dua buat daerah,” ujar Masinton kepada Bisnis, Rabu (29/10/2025).

    Wakil ketua umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) ini menjelaskan skema pinjaman langsung dari pemerintah pusat ke Pemda dapat menjadi alternatif pembiayaan strategis untuk mempercepat pelaksanaan proyek pembangunan. Apalagi, sambungnya, selama ini sektor infrastruktur dan pelayanan publik menghadapi keterbatasan akses pembiayaan komersial.

    Hanya saja, ketentuan dalam PP tersebut mengatur bahwa pengembalian pinjaman dilakukan melalui pemotongan dana transfer ke daerah seperti dana alokasi umum (DAU) atau dana bagi hasil (DBH) pada tahun-tahun berikutnya.

    Skema itu, menurut Masinton, perlu diwaspadai agar tidak memperberat kemampuan fiskal daerah terutama bagi pemerintah daerah dengan tingkat kemandirian keuangan yang masih rendah.

    “Beban pemerintah daerah bisa menjadi lebih berat dari kondisi saat ini,” wanti-wantinya.

    Dia mencontohkan, Kabupaten Tapanuli Tengah pernah memperoleh pinjaman dari PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) pada 2021 senilai Rp70 miliar dengan bunga 6,19% dan tenor delapan tahun. Hingga kini, sambungnya, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah masih membayar cicilan pokok utang sekitar Rp11 miliar per tahun.

    Oleh sebab itu, dia mendorong agar pemerintah pusat menetapkan bunga rendah agar tujuan PP 38/2025 untuk memperluas akses pembiayaan daerah dapat tercapai tanpa menimbulkan risiko fiskal yang berlebihan pada masa berikutnya.

    “Pemerintah daerah dan BUMD akan lebih terbantu apabila bunga pinjaman dari pemerintah pusat bisa ditekan lebih rendah di bawah 3%,” ungkap Masinton.

  • APBN Bertujuan Membuat Seluruh Rakyat Kaya, Mari Kita Kaya Bersama!

    APBN Bertujuan Membuat Seluruh Rakyat Kaya, Mari Kita Kaya Bersama!

    GELORA.CO – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa seluruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikucurkan pemerintah, termasuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki tujuan sama, yakni untuk membuat semua masyarakat Indonesia menjadi kaya.

    Hal ini sebagaimana disampaikan Purbaya dalam Rapat Kerja Komite IV DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Senin (3/11). 

    “Seluruh APBN, seluruh kegiatan pemerintah, DPR, DPD, tujuannya sama untuk membuat masyarakat kita semua jadi kaya. Jadi, saya selalu bilang, mari kita kaya bersama. Itu tujuan kita,” kata Purbaya. 

    “Kalau kaya sendiri, dia udah kaya. Dia udah kaya. Dia udah kaya. Tapi kan sebagian besar masyarakat kita nggak begitu,” tambahnya. 

    Dia juga menilai bahwa jika tujuannya hanya untuk memperkaya sendiri itu bukanlah tolak ukur keberhasilan pemerintah. Guna mewujudkan tujuan bersama itu, kata Purbaya, pihaknya harus memaksimalkan seluruh keuangan yang dimiliki negara. 

    Selain uang, Purbaya juga menyebut pemerintah harus bisa memanfaatkan kebijakan dan kekuatan ekonomi yang ada untuk memakmurkan masyarakat Indonesia. 

    “Itu bukan keberhasilan kita kalau kita cuma bikin kaya sebagian orang. Jadi, tujuan kita adalah memaksimalkan uang yang kita ada, policy yang kita ada, kekuatan ekonomi dan politik yang ada untuk memakmurkan masyarakat kita,” jelas Purbaya. 

    Dalam pertemuan perdana dengan DPD RI itu, Purbaya pun blak-blakan bahwa sebenarnya tujuan untuk memakmurkan masyarakat atau menjadi kaya bersama itu sudah ada sejak era Kemerdekaan dahulu. 

    Namun, mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini menilai bahwa pemerintah sebelumnya mungkin lupa soal tujuan itu. Sehingga, ia mengaku telah ditugaskan oleh Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai tujuan itu dengan sekaligus turut memperbaiki ekonomi RI. 

    “Mungkin dari sejak kemerdekaan juga kita semua tujuannya itu. Tapi jalannya pada lupa. Kadang-kadang jalannya nggak optimal. Jadi, saya ditugaskan oleh, ditugaskan aja,” ujar Purbaya. 

    “Aku ngaku aja kali ya. Sama Presiden untuk membawa ekonomi kita ke arah yang lebih baik lagi. Karena sebelumnya tanpa kita sadari, kita sempat mengalami keadaan yang amat membahayakan negara kita ya,” pungkasnya. (*)

  • Joget-joget Anggota Dewan Bikin Kesel Rakyat

    Joget-joget Anggota Dewan Bikin Kesel Rakyat

    GELORA.CO -Ahli Media Sosial (Medsos) Ismail Fahmi dihadirkan sebagai saksi dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR terkait perkara lima anggota DPR nonaktif buntut aksi unjuk rasa 25–31 Agustus 2025 lalu.

    Dalam kesaksiannya, Ismail menyoroti reaksi publik terhadap video sejumlah anggota DPR yang berjoget di tengah isu kenaikan gaji. 

    Menurutnya, kemarahan masyarakat bukan semata karena nominal kenaikan gaji, melainkan karena tindakan berjoget yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi rakyat.

    “Dalam kasus kemarin yang kita lihat itu masyarakat itu tersentuhnya di mana? Yang saya lihat joget-jogetnya itu bikin kesel banget, bukan soal angka (kenaikan gaji),” ujar Ismail di Ruang Sidang MKD DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 3 November 2025. 

    Ia menyebut, bagi masyarakat, kenaikan gaji anggota DPR, berapapun nominalnya, memiliki makna besar karena kondisi ekonomi rakyat sedang sulit.

    “Mau Rp1 juta kek, Rp3 juta. Rp3 juta buat saya kecil sekali, tapi buat masyarakat itu sudah kenaikan. Pada saat kami sulit Rp3 juta itu gede pak, tapi buat anggota DPR enggak besar, harusnya bisa lebih dari itu buat joget,” kata Ismail.

    Namun demikian, Founder Drone Emprit itu berpandangan bahwa persoalan utama bukan pada angka, tetapi pada emosi publik yang tersulut oleh simbol-simbol seperti joget tersebut.

    “Emosi ini harus diberesin. Pada saat klarifikasi diberesin emosi juga enggak? Apa yang masuk di masyarakat soal angkanya tadi atau joget-joget?” ucapnya.

    Atas dasar itu, menurut Ismail, klarifikasi dari pihak DPR ke publik seharusnya juga mempertimbangkan aspek emosional agar pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik.

    “Nah ini yang nempel di masyarakat, itu harus diluruskan. Misalnya ‘jogetnya itu bukan karena naik’ tetapi emosi dilawan dengan emosi, dengan faktual,” jelasnya.

    Ia mencontohkan, klarifikasi bisa disampaikan dengan menjelaskan konteks kejadian, misalnya bahwa ada anggota yang bernyanyi atau bersuka cita karena hal lain, bukan karena kenaikan gaji.

    “Jadi, ketika klarifikasi kita siapkan juga klarifikasi yang menyentuh emosi. Jadi instead of emosinya itu gara-gara naik gaji, kita balik emosinya karena menghargai, pasti masyarakat ada yang mendukung nanti,” demikian Ismail.

    Sejumlah saksi-ahli yang dihadirkan dalam sidang MKD DPR di antaranya Deputi Persidangan Setjen DPR Suprihartini; Koordinator Orkestra Letkol Suwarko; Ahli Media Sosial Ismail Fahmi; Ahli Kriminologi Prof Dr Adrianus Eliasta; Ahli Hukum Satya Adianto; Ahli Sosiologi Trubus Rahadiansyah; Ahli Analisis Perilaku Gustia Ayudewi; dan Wakil Koordinator Wartawan Parlemen Erwin Siregar