Indonesia Sudah Diultimatum Arab Saudi, Segera “Booking” Area Arafah-Mina untuk Haji 2026
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia sudah mendapatkan ultimatum dari Arab Saudi terkait pembayaran uang muka untuk melakukan
booking
area Arafah dan Mina untuk ibadah haji tahun 2026.
Hal ini dikatakan Marwan dalam rapat kerja dengan DPD RI terkait Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Haji dan Umrah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (23/8/2025).
“Surat yang kami terima, Indonesia sudah diultimatum,” kata Marwan dalam rapat tersebut, Rabu.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini menuturkan, jika uang muka tidak dibayar pada Sabtu (23/8/2025) hari ini, Arab Saudi akan memberikan area yang selama ini dipakai Indonesia kepada negara lain.
“Kalau tidak memastikan area di Arafah di tanggal 23, hari ini ya, hari ini, tidak dipastikan tanggal 23, maka area yang selama ini dipakai oleh Indonesia bisa diberikan ke pihak lain,” tutur Marwan.
Lebih lanjut, Marwan menuturkan bahwa hal ini pula yang membuat Komisi VIII DPR RI menggelar rapat dengan BP Haji dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk memakai dana dari BPKH terlebih dahulu.
Hal ini sudah disetujui oleh lembaga-lembaga negara tersebut.
“Maka kemarin kami sudah mengadakan raker persetujuan untuk memakai uang muka dari BPKH,” ucap Marwan.
Alasan itu juga membuat Komisi VIII DPR RI dan pemerintah mengadakan rapat maraton pada akhir pekan ini sehingga RUU bisa disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada Selasa (26/8/2025) pekan depan.
“Waktu yang harus kami butuhkan dalam penyelenggaraan rapat-rapat DIM ini tidak terlalu panjang,” kata Marwan.
“Karena kalau panjang, sekarang kami kesulitan. Komisi VIII kesulitan, pemerintah kesulitan karena di Saudi proses perhajian sudah berlangsung. Untuk itu UU ini dibutuhkan segera untuk selesai,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Senayan
-
/data/photo/2023/06/30/649e40ba05af5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Indonesia Sudah Diultimatum Arab Saudi, Segera "Booking" Area Arafah-Mina untuk Haji 2026 Nasional
-
/data/photo/2024/09/19/66eb9b3263b94.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menguji Keadilan Tunjangan DPR Nasional 23 Agustus 2025
Menguji Keadilan Tunjangan DPR
Dosen Fakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta
“
Bangsa Mati di Tangan Politikus
” -M. Subhan S.D.
HIDUP
dalam kemewahan di tengah penderitaan. Mungkin itulah gambaran yang muncul di benak banyak rakyat Indonesia ketika mendengar kabar tunjangan dan fasilitas yang dinikmati oleh para Wakil Rakyat di Senayan, Jakarta.
Di satu sisi, jutaan rakyat masih berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar, bahkan sulit mendapatkan tempat tinggal yang layak, mencari pekerjaan, atau sekadar makan sehari-hari.
Namun, di sisi lain, pejabat negara yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat justru diselimuti segudang fasilitas yang dianggap tidak masuk akal.
Tambahan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan dengan total penghasilan sekitar Rp 100 jutaan per bulan, menjadi sorotan tajam yang membuat publik bertanya: apakah para wakil rakyat ini benar-benar mewakili penderitaan kita, ataukah mereka hanya mementingkan kesejahteraan pribadi?
Isu ini semakin memanas ketika Ketua DPR RI Puan Maharani memberikan klarifikasi. Ia membantah adanya kenaikan gaji yang fantastis tersebut, tapi membenarkan bahwa tunjangan kompensasi uang rumah diberikan karena para anggota Dewan tidak lagi mendapatkan rumah dinas.
Sebuah pernyataan yang, alih-alih meredam amarah, justru semakin memicu perdebatan publik tentang urgensi dan kewajaran tunjangan tersebut.
Para pihak yang pro (mungkin saja anggota DPR itu sendiri) terhadap tunjangan ini berargumen bahwa fasilitas tersebut adalah bentuk apresiasi negara atas tanggung jawab besar yang diemban oleh anggota Dewan.
Mereka adalah pejabat tinggi negara yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, untuk merumuskan undang-undang, mengawasi pemerintah, dan mengemban amanah rakyat.
Tunjangan ini juga dianggap sebagai kompensasi agar anggota Dewan dapat fokus bekerja tanpa perlu memikirkan kebutuhan finansial pribadi.
Pandangan ini juga seringkali menyebut bahwa tunjangan ini sah secara hukum karena telah diatur undang-undang.
Dengan demikian, apa yang diterima oleh para anggota Dewan adalah hak mereka yang dilindungi oleh hukum positif.
Alasan ini menjadi tameng yang kuat bagi DPR untuk menepis kritik publik, seolah-olah apapun yang legal sudah pasti etis dan adil.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, tentu diperlukan sistem penggajian dan tunjangan yang memadai untuk menjamin independensi lembaga legislatif dari intervensi eksternal, terutama dari pihak swasta yang berpotensi menyuap.
Namun, persoalan ini tidak sesederhana itu. Perlu ada kajian lebih mendalam untuk melihat isu ini, yang tidak hanya terpaku pada legalitas formal semata.
Ada asas-asas hukum dan etika publik yang seharusnya menjadi pedoman dalam menentukan kewajaran suatu kebijakan, apalagi yang menyangkut uang rakyat.
Di sinilah letak pertentangan utama antara legalitas dan moralitas. Adagium hukum Latin
fiat justitia ruat caelum
, yang berarti “tegakkan keadilan walau langit runtuh,” mengingatkan kita bahwa keadilan substantif jauh lebih penting daripada sekadar kepatuhan formal terhadap undang-undang.
Asas Keadilan (
Principle of Justice
) menjadi pilar pertama yang perlu dipertanyakan. Gaji yang fantastis, bahkan tunjangan untuk biaya sewa rumah saja, sangat kontras dengan realitas ekonomi masyarakat.
Ketika miliaran rupiah dari pajak rakyat dialokasikan untuk memfasilitasi gaya hidup mewah para pejabat, sementara di luar sana masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, lantas di mana letak keadilan sosial yang selalu digaungkan?
Pemberian tunjangan ini seolah-olah menciptakan kasta sosial antara para wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili.
Bahkan salah satu politisi sampai mengatakan “jangan samakan DPR dengan rakyat jelata”, pernyataan yang menusuk hati terdalam masyarakat Indonesia.
Kondisi ini secara etis tidak sesuai dengan semangat demokrasi di mana para pejabat seharusnya hidup berdampingan dengan rakyat, memahami, dan merasakan langsung penderitaan mereka.
Asas keadilan menuntut adanya kesetaraan dan proporsionalitas dalam alokasi sumber daya negara.
Selanjutnya, kita harus menguji dengan Asas Kemanfaatan (
Principle of Utility
). Tunjangan besar yang dikeluarkan dari kas negara haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi publik.
Pertanyaannya, apakah tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan benar-benar meningkatkan kinerja anggota Dewan?
Apakah tunjangan tersebut secara signifikan mendorong mereka untuk merumuskan undang-undang yang lebih berkualitas atau melakukan pengawasan lebih ketat?
Alih-alih menjadi pendorong kinerja, tunjangan dan fasilitas berlebihan justru berpotensi menjadi bumerang.
Rakyat melihatnya sebagai pemborosan dan penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap institusi DPR.
Hal ini berujung pada menurunnya partisipasi politik dan sikap apati masyarakat, yang sangat berbahaya bagi keberlanjutan demokrasi.
Ketidakwajaran tunjangan ini juga dapat dianalisis melalui Asas Kepatutan dan Kewajaran (
Principle of Appropriateness and Reasonableness
).
Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dengan keterbatasan anggaran, apakah pantas bagi para pejabat negara menerima tunjangan yang melebihi kebutuhan dasar?
Seberapa rasional pengeluaran puluhan juta rupiah per bulan hanya untuk biaya sewa rumah, ketika banyak masyarakat bahkan tidak memiliki tempat tinggal permanen?
Tunjangan perumahan hanyalah salah satu dari sekian banyak tunjangan yang diterima. Para anggota Dewan juga menikmati tunjangan komunikasi intensif, tunjangan alat kelengkapan, hingga tunjangan dana aspirasi.
Jika semua tunjangan ini dijumlahkan, total yang dikeluarkan negara untuk satu orang anggota Dewan dalam satu tahun mencapai angka miliaran rupiah, belum termasuk biaya perjalanan dinas dan fasilitas pendukung lainnya.
Pajak yang dibayarkan rakyat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A, harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tunjangan yang tidak proporsional ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan pajak rakyat, karena penggunaannya tidak efektif dan tidak memenuhi prinsip keadilan sosial.
Terdapat ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban rakyat membayar pajak dan pemanfaatannya oleh para wakilnya.
Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa secara luas menyoroti isu ini sebagai cerminan dari kegagalan para wakil rakyat untuk berempati.
Pandangan kontra ini menganggap bahwa tunjangan dan fasilitas berlebihan hanyalah bentuk legitimasi atas prinsip oligarki, di mana kekuasaan dan kekayaan hanya berputar di kalangan elite.
Isu ini menjadi salah satu pemicu utama rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
Lebih jauh, isu ini juga terkait erat dengan Asas Akuntabilitas Publik. Sebagai lembaga perwakilan, DPR memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap penggunaan anggaran kepada publik.
Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya berarti melaporkan angka-angka, tetapi juga menjelaskan dasar dan urgensi dari setiap pengeluaran.
Ketika tunjangan tidak dapat dijelaskan dengan rasionalitas yang memuaskan publik, maka asas akuntabilitas ini telah gagal ditegakkan.
Inilah ironi terbesar yang harus kita hadapi. Di tengah janji-janji kesejahteraan yang sering digaungkan, para Wakil Rakyat justru menikmati kemewahan yang jauh dari realitas kehidupan mayoritas masyarakat.
Mereka seolah hidup dalam gelembung yang terpisah dari penderitaan rakyat, mengabaikan fakta bahwa masih banyak anak kekurangan gizi, pembangunan infrastruktur yang belum merata, dan layanan publik yang masih jauh dari kata ideal.
Melihat praktik di beberapa negara lain, sistem penggajian dan tunjangan bagi legislator seringkali disesuaikan dengan standar hidup umum dan diawasi oleh komite independen.
Hal ini bertujuan mencegah potensi konflik kepentingan dan memastikan bahwa fasilitas yang diberikan benar-benar proporsional dengan kebutuhan dan tanggung jawab, bukan hanya didasarkan pada keinginan pribadi.
Maka secara tegas seluruh kalangan harus menyerukan agar DPR melakukan kajian ulang secara menyeluruh terhadap semua tunjangan dan fasilitas yang mereka terima.
Kajian ini harus dilakukan secara transparan, melibatkan partisipasi publik, dan didasarkan pada asas-asas hukum yang berpihak pada keadilan, kemanfaatan, dan kewajaran.
DPR harus membuktikan bahwa mereka benar-benar mewakili rakyat, bukan sekadar memanfaatkan pajak rakyat.
Sudah saatnya DPR kembali pada khittah-nya sebagai lembaga yang berjuang untuk rakyat, bukan untuk kemewahan pribadi.
Penggunaan anggaran negara harus dipertanggungjawabkan dengan penuh integritas dan keberpihakan pada kepentingan umum.
Tunjangan yang berlebihan bukan hanya masalah legalitas, tetapi juga masalah moralitas dan etika yang akan menentukan apakah DPR pantas disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat atau hanya perwakilan elite.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

DPR Sebut Tunjangan Rumah Rp50 Juta Ditentukan Kemenkeu Sejak 2024
Bisnis.com, JAKARTA — DPR menjelaskan bahwa tunjangan rumah bagi setiap anggota dewan sebesar Rp50 juta yang menuai polemik sebenarnya sudah berlaku sejak Oktober 2024. Anggarannya pun ditentukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Ketua Komisi XI DPR Misbakhun mengatakan bahwa sebelumnya seluruh anggota DPR mendapatkan fasilitas rumah dinas di Kalibata, Jakarta. Namun, pemerintah memutuskan fasilitas itu dialihkan menjadi tunjangan bulanan sebesar Rp50 juta.
Rumah dinas yang awalnya ditujukan bagi dinas anggota DPR itu adalah aset milik negara yang dikelola pemerintah.
“Itu keputusannya pemerintah. DPR tidak mendapatkan perumahan, itu keputusannya pemerintah karena itu fasilitas yang dimiliki oleh negara,” jelas Misbakhun saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Politisi Partai Golkar itu kemudian menyebut bahwa anggota DPR berasal dari Aceh sampai dengan Papua, dan tidak banyak yang memiliki rumah di Jakarta.
“Tentunya kan negara harus memfasilitasi karena mereka adalah pejabat negara. Ketika negara harus memfasilitasi, kemudian perumahannya ditarik, terus gimana? Disediakan fasilitas perumahan, tapi melalui tunjangan. Diminta mereka menyediakan sendiri,” tuturnya.
Menurut Misbakhun, tunjangan yang diberikan ke DPR selaku pejabat negara ditentukan dengan standar harga oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu. Hal itu termasuk dengan biaya perjalanan dinas.
“Itu kan satuan harga DPR naik pesawat apa, itu kan semuanya [yang] menentukan pemerintah. Kunjungan kerja tiga hari, berapa ribu ke Surabaya, ke Medan, ongkosnya kan beda. Itu semuanya, harganya, pemerintah yang menentukan, bukan kami,” ujarnya.
Perihal polemik besarnya tunjangan perumahan untuk anggota legislatif, Misbakhun menilai seharusnya pertanyaan itu disampaikan kepada pemerintah.
“Tanyakan sama pemerintah, kenapa satuan harganya begitu. Itu satuan harga yang membuat pemerintah,” tuturnya.
-

Panja Haji Sepakati Pembagian Kuota Jemaah Tingkat Kota Diatur Menteri
Jakarta –
Panja DPR RI dan pemerintah terkait Revisi Undang-Undang (UU) Haji menyepakati pembagian kuota jemaah haji reguler di setiap kabupaten atau kota ditetapkan oleh menteri. Hal ini berbeda dari aturan sebelumnya, di mana keputusan terkait kuota jemaah reguler di kabupaten/kota diatur oleh gubernur.
Hal ini tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) Revisi Undang-Undang (RUU) Haji pada Pasal 13 ayat (3). Putusan diambil dalam Rapat Panja DPR RI bersama pemerintah, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (22/8/2025).
Berikut bunyi pasalnya:
Pasal 13
(1) Menteri membagi kuota haji reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a menjadi kuota haji provinsi.(2) Pembagian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan:
a. proporsi jamaah penduduk muslim antarprovinsi, dan/atau
b. proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji antarprovinsi.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian dan penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketua Panja Haji, Singgih Januratmoko, meminta persetujuan anggota hingga perwakilan pemerintah terkait keputusan itu. Adapun sebelumnya gubernur dapat membagi dan menetapkan kuota haji dengan mempertimbangkan proporsi jumlah penduduk muslim hingga daftar tunggu jemaah haji di setiap daerah.
“Ketok ya,” ucap Singgih dalam rapat.
(dwr/jbr)
-

Jawaban Dirjen Bea Cukai soal Rencana Pengenaan Cukai MBDK Tahun Depan
Bisnis.com, JAKARTA — Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Djaka Budi Utama menyebut pemerintah akan merapatkan lebih lanjut soal kebijakan pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dalam RAPBN 2026.
Adapun, pemerintah dan DPR telah menyepakati pemberlakuan cukai MBDK tahun depan sejalan dengan kenaikan target penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai RAPBN 2026 sebesar Rp334,3 triliun.
“Udah, entar aja, belum,” ujar Djaka sambil bergegas menuju kendaraannya usai rapat bersama Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Kemudian, purnawirawan TNI berpangkat terakhir Letnan Jenderal itu lalu menyebut pihak pemerintah masih akan merapatkan lagi soal kesepakatan dengan DPR pada RAPBN 2026 itu.
“Ah nanti bakalan rapat-rapat lagi,” ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah dan DPR kembali menyepakati untuk penerapan kebijakan pengenaan cukai terhadap Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Hal itu disepakati oleh pemerintah dan DPR pada Rapat Pengambilan Keputusan Asumsi Dasar RAPBN TA 2026, Jumat (22/8/2025).
Dalam kesimpulan rapat pengambilan keputusan itu, Ketua Komisi XI Misbakhun menyebut pemberlakuan cukai MBDK harus diterapkan pada APBN 2026 sejalan dengan kenaikan target penerimaan kepabeanan dan cukai.
“Ekstensifikasi barang kena cukai antara lain melalui program penambahan objek cukai baru berupa minuman berpemanis dalam kemasan untuk diterapkan dalam APBN 2026 di mana pengenaan tarifnya harus dikonsultasikan dengan DPR,” ujarnya di Gedung DPR.
Untuk diketahui, target penerimaan kepabeanan dan cukai naik menjadi Rp334,3 triliun pada RAPBN 2026. Itu akan menopang target pendapatan negara sebesar Rp3.786,5 triliun.
Selain Bea Cukai, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun, PNBP Rp455 triliun dan Hibah Rp0,7 triliun.
Adapun pemerintah dan DPR menyepakati Asumsi Dasar Makro untuk RAPBN 2026 pada rapat pengambilan keputusan tentang RAPBN Tahun Anggaran (TA) 2026, Jumat (22/8/2025).
Rapat itu dihadiri oleh Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rohmat Pambudy, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Mahendra Siregar.
Kemudian, Misbakhun selaku Ketua Komisi XI DPR membacakan kesimpulan rapat panja yang meliputi asumsi dasar makro hingga postur APBN. Dia lalu bertanya ke Komisi XI DPR apabila menyetujui kesimpulan rapat sore itu, di mana anggota parlemen menyetujuinya.
Kemudian, pemerintah lalu juga menyetujui kesimpulan tersebut.
“Setuju pak,” terang Sri Mulyani.
“Dengan mengucapkan alhamdulillah apa yang menjadi kesimpulan rapat sore ini saya nyatakan disetujui,” terang Misbakhun.
-
/data/photo/2025/08/22/68a85defde51e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kementerian Era Prabowo Berpotensi Nambah Satu karena BP Haji, Wamensesneg: Tak Masalah Nasional 22 Agustus 2025
Kementerian Era Prabowo Berpotensi Nambah Satu karena BP Haji, Wamensesneg: Tak Masalah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Bambang Eko Suhariyanto mengaku tidak masalah jika jumlah kementerian di Kabinet Merah Putih bertambah satu karena perubahan Badan Penyelenggara (BP) Haji menjadi Kementerian Haji.
Adapun rencana perubahan ini sudah dibahas antara DPR RI dan pemerintah dalam rapat Panja membahas Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Saat ini, pemerintah dan DPR RI mengejar waktu agar RUU bisa disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna pada Selasa (26/8/2025) pekan depan.
“(Kementerian berpotensi) akan bertambah, badannya akan berkurang. Enggak masalah,” kata Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (22/8/2025).
Menurut Bambang, tidak ada Peraturan UU yang melarang pembentukan kementerian di tengah jalan.
Meski biasanya, kementerian dibentuk berdasarkan pertimbangan Presiden usai dilantik sebagai Kepala Negara.
“Tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang… Tapi itu kan sebenarnya sub-urusan, ya. Jadi kalau agama itu kan urusan pemerintahan yang absolut, ya. Jadi kita nggak bisa urusan haji itu menjadi urusan pemerintahan,” ucap Bambang.
Lebih lanjut ia menyampaikan, rencana perubahan BP Haji menjadi kementerian pun sudah diketahui Presiden Prabowo Subianto.
Terlebih, Kepala Negara sudah menerbitkan Surat Presiden (Surpres) yang diserahkan kepada pimpinan DPR RI beberapa hari lalu agar RUU Haji dan Umrah bisa segera dibahas bersama.
“Ini pastinya, kan ini kan ada surpres kan. Surpres itu surat Presiden. Jadi ketika kemudian Presiden menandatangani Surpres, itu beliau sudah paham apa yang kira-kira akan menjadi posisi pemerintah ketika berdiskusi dengan DPR itu,” tandas dia.
Sebagai informasi, RUU Haji dan Umrah telah disepakati menjadi RUU usul inisiatif DPR.
Keputusan ini diambil DPR RI dalam rapat paripurna yang digelar pada Kamis (24/7/2025).
Saat ini, pemerintah dan DPR RI tengah mengebut pembahasan DIM dengan target disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna pada Selasa (26/8/2025).
Salah satu poin pembahasannya adalah potensi perubahan nomenklatur BP Haji menjadi Kementerian Haji dan Umrah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/22/68a864ad19a21.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Anggota DPR Ungkap Indikasi Kuota Petugas Haji Daerah Diperjualbelikan: Numpang Haji, Tak Melayani Nasional 22 Agustus 2025
Anggota DPR Ungkap Indikasi Kuota Petugas Haji Daerah Diperjualbelikan: Numpang Haji, Tak Melayani
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abdul Wachid mengungkapkan, terdapat indikasi kuota petugas haji daerah diperjualbelikan.
Wachid mengatakan, para petugas haji daerah berangkat ke tanah suci menggunakan kuota haji reguler. Namun, mereka disorot karena banyak yang tidak bekerja sebagaimana mestinya.
“Banyak yang disoroti kayak petugas haji dari daerah, itu rata-rata mereka tidak kerja. Harusnya petugas itu kan melayani para jemaah,” kata Wachid saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Padahal, kata Wachid, keberangkatan para petugas haji ke tanah suci membuat antrean calon jemaah haji reguler semakin panjang.
Menurutnya, mereka tidak melayani jemaah dengan alasan sudah membayar.
“Alasannya karena dia membayar,” tutur Wachid.
Politikus Partai Gerindra itu membenarkan ketika dikonfirmasi apakah kuota petugas haji diperjualbelikan.
“Ya ada indikasi seperti itu. Indikasi diperjualbelikan ada,” tegas Wachid.
Ia menyebut, informasi para petugas haji tidak bekerja ia ketahui dari laporan masyarakat.
Wakil Kepala Badan Penyelenggara (BP) Haji Dahnil Anzar Simanjuntak bahkan menyebut, para petugas daerah itu hanya “menumpang” ibadah haji.
“Sampai wakil badan (BP Haji sebut), petugas tidak kerja, mereka numpang haji. Itu memang beliau menemui seperti itu,” ujar Wachid.
Pada penyelenggaraan haji sebelumnya, kewenangan menyeleksi petugas haji daerah ada pada gubernur atau bupati/wali kota, bukan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama.
“Daerah itu kabupaten, seperti kabupaten. Kabupaten kota lah ya,” tutur Wachid.
Menurut Wachid, keberadaan petugas haji daerah yang berangkat menggunakan kuota haji reguler itu perlu dibahas dalam perumusan Revisi Undang-Undang (RUU) Haji dan Umroh.
Sebab, jumlah mereka tidak sedikit, yakni sekitar 9.900 orang.
“Itu kan memang kalau disetujui seperti tahun-tahun yang lalu itu, itu mengurangi kuota haji reguler. Nah bisa menghambat termasuk daftar tunggu semakin lama,” kata Wachid.
Informasi petugas haji daerah hanya “numpang” ibadah haji sebelumnya diungkapkan Dahnil dalam saat ditemui di kantornya, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (11/6/2025).
“Ada juga kemudian petugas yang kita temukan itu nebeng-nebeng haji,” ujar Dahnil.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Sri Mulyani Pilih Diam Saat Ditanya Tunjangan Rumah Anggota DPR Rp 50 Juta
Jakarta –
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati ogah berkomentar soal tunjangan rumah bagi anggota DPR senilai Rp 50 juta per bulan. Tunjangan itu menjadi sorotan publik lantaran membuat penghasilan DPR tembus lebih dari Rp 100 juta/bulan.
Sri Mulyani melakukan rapat dua kali hari ini, Jumat (22/8/2025) dengan Komisi XI DPR. Saat ditemui usai rapat, Bendahara Negara ini enggan menanggapi pertanyaan para wartawan, termasuk soal tunjangan rumah DPR.
Saat keluar ruang rapat Sri Mulyani langsung berjalan menuju mobilnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sri Mulyani tak menjawab saat ditanya soal perhitungan tunjangan rumah DPR yang mencapai Rp 50 juta per bulan.
Sri Mulyani juga tutup mulut saat ditanya apakah Kementerian Keuangan sudah menyetujui adanya tunjangan tersebut tersebut. Namun, Salah seorang Tim protokoler Sri Mulyani menyebut akan menyampaikan penjelasan tersebut ke publik.
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyebut besaran tunjangan rumah DPR merupakan keputusan Sri Mulyani. Sementara anggota DPR RI hanya pihak yang menerima.
“Dan angka Rp 50 juta itu adalah angka dalam kapasitas mereka sebagai pejabat negara. Nah pejabat negara tentunya memiliki satuan harga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Satuan itu yang Menetapkan Menteri Keuangan, kita hanya menerima,” ujarnya di kompleks DPR RI Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (22/8/2025).
Misbakhun menyebut tunjangan perumahan diperlukan karena banyak anggota DPR RI yang datang dari daerah. Ketika berdinas di Jakarta, mereka membutuhkan tempat tinggal sehingga difasilitasi oleh negara.
“Rp 50 juta itu kan anggota DPR sudah tidak memiliki fasilitas perumahan. Banyak anggota-anggota DPR itu kan datang dari daerah. Aslinya mereka kalau bisa dicek ke KTP mereka, mereka ini kan orang daerah mereka harus punya tempat tinggal dalam rangka menjalankan tugas sebagai pejabat negara,” jelas Misbakhun.
Saat ini pejabat DPR RI tidak mendapat rumah dinas dan sudah dikembalikan ke Sekretariat negara. Sebagai pengganti fasilitas tersebut maka pejabat DPR RI kini memperoleh RP 50 juta per bulan.
“Sehingga ketika mereka tidak mendapatkan rumah dinas yang sudah dikembalikan kepada Setneg, maka yang menentukan penggantinya perbulannya itu Kementerian Keuangan. DPR itu cuman menerima saja, tentunya dengan standar dan kualifikasi sebagai pejabat negara. Karena DPR itu kan pejabat negara,” tutupnya.
(ily/hns)
/data/photo/2025/08/15/689ed02a7f64a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
