kab/kota: Pyongyang

  • Ucapkan Selamat Tahun Baru, Kim Jong Un Sebut Putin ‘Sahabat Terkasih’

    Ucapkan Selamat Tahun Baru, Kim Jong Un Sebut Putin ‘Sahabat Terkasih’

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengucapkan selamat tahun baru untuk Presiden Rusia Vladimir Putin. Ucapan tahun baru itu juga memuji hubungan yang semakin kuat antara Pyongyang dan Moskow.

    Sebagaimana dilaporkan oleh Kantor Berita Pusat Korea (KCNA), dalam sebuah surat, Kim Jong Un menyampaikan ucapan selamat untuk ‘sahabat terkasihnya’ Putin, rakyat Rusia, dan personel militer Rusia.

    Kim mendoakan agar Putin lebih sukses dalam memimpin negaranya dan bertanggung jawab atas kemakmuran, kesejahteraan, serta kebahagiaan rakyat Rusia.

    Kim menyatakan kesediaannya untuk merancang dan mendorong proyek-proyek baru yang melibatkan kedua negara. Ia juga berharap Rusia bisa mencapai kemenangan besar di Ukraina.

    Mengutip NHK, hubungan di antara kedua negara memang meningkat signifikan sejak dimulainya perang Rusia vs Ukraina pada 2022 lalu.

    Pada Juni 2024 lalu, keduanya menandatangani pakta pertahanan bersama saat Putin mengunjungi Korea Utara untuk pertama kalinya dalam hampir seperempat abad.

    Sejak itu, Pyongyang mengirim lebih dari 10 ribu tentara untuk membantu pasukan Rusia di Ukraina.

    (asr/asr)

    [Gambas:Video CNN]

  • ‘Kamerad Terkasih’ di Pesan Tahun Baru Kim Jong Un untuk Putin

    ‘Kamerad Terkasih’ di Pesan Tahun Baru Kim Jong Un untuk Putin

    Jakarta

    Korea Utara dan Rusia kian mesra. Terbaru, Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un menggambarkan sosok Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai ‘sahabat dan kamerad Terkasih’.

    Dirangkum detikcom, Selasa (31/12/2024), sapaan akrab Kim Jong Un kepada Putin itu disampaikan saat tengah mengirimkan surat berisi pesan tahun baru.

    Surat itu juga berisikan pujian terhadap hubungan bilateral yang erat antara Pyongyang dan Moskow.

    Menurut laporan Korean Central News Agency (KCNA), pemimpin Korut itu mengirimkan “salam hangat dan harapan terbaik kepada rakyat Rusia yang bersaudara dan seluruh personel militer Rusia yang berani atas nama dirinya sendiri, rakyat Korea, dan seluruh personel Angkatan Bersenjata DPRK”.

    DPRK merupakan kependekan Republik Demokratik Rakyat Korea yang merupakan nama resmi Korut.

    Isi Surat Kim Jong Un hingga Balasan Putin

    Momen Putin menyopiri Kim Jong Un dengan limuwan mewah Aurus Senat yang menyusuri jalanan Pyongyang. Foto: KCNA/Reuters

    Dalam suratnya kepada Putin, sebut KCNA, Kim Jong Un juga menyatakan “kesediaannya untuk merancang dan mendorong proyek-proyek baru” setelah “perjalanan bermakna mereka pada tahun 2024”.

    Dalam salah satu poin yang diduga terkait perang di Ukraina, Kim Jong Un mengharapkan tahun 2025 akan menjadi tahun “ketika tentara dan rakyat Rusia mengalahkan neo-Nazisme dan meraih kemenangan besar”.

    Media pemerintah Korut melaporkan pada Jumat (27/12) lalu bahwa Putin telah mengirimkan pesan serupa kepada Kim Jong Un yang isinya memuji hubungan bilateral kedua negara.

    Korut dan Rusia, seperti dilansir AFP, Selasa (31/12/2024), telah memperdalam hubungan politik, militer, dan budaya sejak invasi dilancarkan Moskow ke Ukraina pada Februari 2022 lalu, dengan Kim Jong Un dan Putin berulang kali menyatakan kedekatan mereka secara pribadi.

    Kedua pemimpin menandatangani pakta pertahanan penting selama kunjungan bersejarah Putin ke Korut pada Juni lalu. Pakta tersebut mewajibkan kedua negara memberikan bantuan militer segera jika negara lainnya diserang dan pakta itu mulai berlaku bulan ini.

    Amerika Serikat (AS) dan sekutunya Korea Selatan (Korsel) menuduh Korut telah mengirimkan lebih dari 10.000 tentaranya untuk membantu Rusia dalam perang melawan Ukraina.

    Para pakar menyebut Kim Jong Un ingin mendapatkan teknologi canggih dari Moskow dan pengalaman bertempur bagi pasukannya sebagai imbalan atas pengiriman tentara tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (taa/fas)

  • Kim Jong Un Kirim Pesan Tahun Baru untuk Putin, Apa Isinya?

    Kim Jong Un Kirim Pesan Tahun Baru untuk Putin, Apa Isinya?

    Pyongyang

    Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un mengirimkan surat berisi pesan Tahun Baru untuk Presiden Rusia Vladimir Putin. Kim Jong Un menyebut Putin sebagai “sahabat terkasih” dalam suratnya, kemudian memuji hubungan bilateral yang erat antara Pyongyang dan Moskow.

    Korut dan Rusia, seperti dilansir AFP, Selasa (31/12/2024), telah memperdalam hubungan politik, militer, dan budaya sejak invasi dilancarkan Moskow ke Ukraina pada Februari 2022 lalu, dengan Kim Jong Un dan Putin berulang kali menyatakan kedekatan mereka secara pribadi.

    Kedua pemimpin menandatangani pakta pertahanan penting selama kunjungan bersejarah Putin ke Korut pada Juni lalu. Pakta tersebut mewajibkan kedua negara memberikan bantuan militer segera jika negara lainnya diserang dan pakta itu mulai berlaku bulan ini.

    Kim Jong Un dalam pesan terbarunya, menurut laporan Korean Central News Agency (KCNA), menggambarkan Putin sebagai “sahabat dan kamerad terkasih”.

    KCNA menyebut pemimpin Korut itu mengirimkan “salam hangat dan harapan terbaik kepada rakyat Rusia yang bersaudara dan seluruh personel militer Rusia yang berani atas nama dirinya sendiri, rakyat Korea, dan seluruh personel Angkatan Bersenjata DPRK”.

    DPRK merupakan kependekan Republik Demokratik Rakyat Korea yang merupakan nama resmi Korut.

    Dalam suratnya kepada Putin, sebut KCNA, Kim Jong Un juga menyatakan “kesediaannya untuk merancang dan mendorong proyek-proyek baru” setelah “perjalanan bermakna mereka pada tahun 2024”.

  • AS Klaim Seribu Tentara Korut Tewas di Medan Perang Rusia-Ukraina

    AS Klaim Seribu Tentara Korut Tewas di Medan Perang Rusia-Ukraina

    Jakarta, CNN Indonesia

    Amerika Serikat (AS) mengklaim banyak tentara Korea Utara (Korut) yang tewas di garis depan perang Rusia kontrak Ukraina. Menurut juru bicara Gedung Putih John Kirby, seribu tentara Korut tewas atau terluka dalam seminggu terakhir saja di wilayah Kursk, Rusia.

    Pada Jumat (27/12) Kirby mengatakan jumlah tersebut jauh melebihi angka yang diberikan pejabat AS sebelumnya.

    “Jelas bahwa para pemimpin militer Rusia dan Korea Utara memperlakukan pasukan ini sebagai pasukan yang bisa dikorbankan dan memerintahkan mereka untuk melakukan serangan yang sia-sia terhadap pertahanan Ukraina,” kata Kirby, seperti dilansir Reuters.

    Kirby menggambarkan serangan pasukan Korea Utara sebagai “serangan massal yang dilakukan dengan turun dari kuda”.

    Perwakilan Korea Utara untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York tidak segera menanggapi permintaan komentar, demikian pula perwakilan Rusia di PBB menolak berkomentar.

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, dalam pidato video malam harinya, mengatakan pasukan Korea Utara telah mengalami kerugian yang “sangat signifikan” dan dikirim ke medan perang dengan hanya perlindungan minimal dari pasukan Rusia.

    “Kami melihat bahwa baik militer Rusia maupun pengawas Korea Utara mereka tidak berkepentingan untuk memastikan kelangsungan hidup warga Korea Utara ini,” ujarnya.

    “Semuanya diatur sedemikian rupa sehingga mustahil bagi kami untuk menangkap mereka. Ada beberapa kejadian di mana mereka dieksekusi oleh pasukan mereka sendiri. Rusia mengirim mereka untuk melakukan penyerangan dengan perlindungan minimal,” sambung Zelenskyy.

    Ia mengatakan pasukan Ukraina berhasil menangkap beberapa tentara Korea Utara sebagai tawanan. “Tetapi mereka terluka parah dan tidak mungkin untuk menyelamatkan nyawa mereka,” ucapnya.

    “Warga Korea Utara seharusnya tidak kehilangan nyawa mereka dalam perang di Eropa, dan jika China tulus tidak ingin perang meluas, China perlu memberikan tekanan yang tepat pada Pyongyang,” kata Zelenskyy.

    Pada Senin (23/12) lalu, Zelenskyy mengatakan lebih dari 3.000 tentara Korea Utara telah tewas dan terluka di wilayah Kursk. Ia mengatakan bahwa ia mengutip data awal.

    Pada tanggal 17 Desember lalu, seorang pejabat militer AS mengatakan Korea Utara kehilangan beberapa ratus korban di wilayah Kursk.

    (wiw/wiw)

    [Gambas:Video CNN]

  • Tentara Korut yang Dikirim Bantu Rusia Tewas Saat Ditangkap Ukraina

    Tentara Korut yang Dikirim Bantu Rusia Tewas Saat Ditangkap Ukraina

    Jakarta, CNN Indonesia

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan beberapa tentara Korea Utara (Korut) yang dikirim membantu Rusia berperang melawan negaranya meninggal usai ditangkap.

    Zelensky lantas menuding Rusia memberikan perlindungan minimal terhadap tentara-tentara asal Korea Utara di medan perang.

    “Hari ini ada laporan tentang beberapa tentara dari Korea Utara. Tentara kami berhasil menangkap mereka. Namun, mereka terluka sangat parah dan tidak dapat disadarkan kembali,” kata Zelensky dalam pidato malam yang diunggah di media sosial, dikutip AFP, Sabtu (28/12).

    Zelensky tidak menyebutkan berapa banyak warga negara Korea Utara yang tewas setelah ditangkap oleh pasukan Ukraina.

    Menurutnya, warga Korea Utara rugi besar karena mengirim bantuan tentara ke Rusia. Pernyataan soal rugi tersebut berulang kali ia ucapkan.

    “Mereka (warga Korut) mengalami banyak kerugian. Banyak sekali. Dan kami melihat bahwa militer Rusia dan pengawas Korea Utara sama sekali tidak tertarik pada kelangsungan hidup orang-orang Korea ini,” katanya.

    “Rusia mengirim mereka untuk melakukan penyerangan sehingga mereka hanya memiliki perlindungan minimal,” tambahnya.

    Ia pun menekan China yang dinilai memiliki hubungan militer dan politik yang erat dengan Moskow dan Pyongyang, untuk menekan Korea Utara.

    “Jika China tulus dalam pernyataannya bahwa perang tidak boleh meluas, maka mereka perlu memberikan pengaruh yang sesuai pada Pyongyang,” pungkasnya.

    Kemarin, Badan mata-mata Korea Selatan mengatakan seorang tentara Korea Utara yang ditangkap saat berperang dalam perang Rusia melawan Ukraina telah meninggal karena luka-lukanya.

    Korea Utara mengirim ribuan tentara untuk membantu tentara Rusia bertempur melawan Ukraina di wilayah perbatasan Kursk barat. Kursk merupakan tempat Ukraina melancarkan serangan mendadak pada Agustus lalu.

    Zelensky menyebut itu sebagai eskalasi besar dalam perang yang telah berlangsung hampir tiga tahun.

    (pta/pta)

  • Korea Utara Akhirnya Pakai Kalender Masehi di 2025, Bukan Lagi Juche

    Korea Utara Akhirnya Pakai Kalender Masehi di 2025, Bukan Lagi Juche

    Jakarta, CNN Indonesia

    Korea Utara akhirnya bakal menggunakan kalender masehi untuk edisi 2025 menggantikan sistem penanggalan khas ‘juche’.

    Berdasarkan penanggalan sebelumnya, Korut memasuki Juche 114 pada 2025. Penanggalan itu berpatokan pada tahun lahir pendiri negara tersebut, Kim Il sung.

    Kim Il Sung merupakan kakek dari pemimpin Korut saat ini, Kim Jong Un.

    Belakangan, muncul kabar bahwa Kim Jong Un akan menghapus tanggalan Juche dan menggunakan kalender masehi yang lazim digunakan secara internasional.

    Langkah itu tampaknya merupakan salah satu cara Kim Jong Un untuk mengurangi pengkultusan mendiang sang ayah, Kim Jong Il, dan sang kakek di masa lalu.

    “Tahun ini, Korea Utara menghilangkan simbol-simbol pemujaan terhadap Kim Il Sung dan Kim Jong Il,” seorang keturunan Korut yang ada di China menerangkan kepada Radio Free Asia.

    Sistem penanggalan juche sendiri diambil dari nama ideologi yang ditanamkan Kim Il Sung. Juche berarti menentukan nasib sendiri tanpa bergantung dari pihak lain.

    Sementara itu, kalender resmi merupakan bagian dari propaganda penting di Korea Utara. Kalender-kalender itu dibagikan secara gratis kepada para warga di sana sebagai hadiah.

    Kalender-kalender itu pun kerap menampilkan gambar berupa pencapaian-pencapaian negara, kata-kata rasa hormat terhadap pemimpin, atau memamerkan kekuatan militer Korut.

    Kalender baru 2025 Korut dengan penanggalan masehi didominasi dengan gambar foto gedung-gedung pencakar langit yang gemerlapan dengan lampu di Pyongyang pada malam hari.

    Gambar itu tampaknya untuk mempropagandakan program 50 ribu rumah yang rencananya akan selesai pada akhir 2025.

    (bac/bac)

    [Gambas:Video CNN]

  • 3 Ribu Lebih Tentara Korea Utara Tewas dan Terluka di Kursk

    3 Ribu Lebih Tentara Korea Utara Tewas dan Terluka di Kursk

    Jakarta

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan lebih dari 3.000 tentara Korea Utara (Korut) tewas atau terluka dalam pertempuran melawan serangan Ukraina di wilayah Kursk, Rusia. Dia menegaskan tewasnya ribuan orang Korea Utara itu sebagai risiko dari membela Rusia.

    Dilansir AFP, Senin (23/12/2024), Pyongyang telah mengirimkan ribuan tentara untuk memperkuat militer Rusia, termasuk di wilayah perbatasan Kursk tempat Ukraina melakukan serangan mendadak di perbatasan pada bulan Agustus. Zelensky menyebut ribuan tentara Korea Utara tewas dan terluka.

    “Menurut data awal, jumlah tentara Korea Utara yang terbunuh dan terluka di wilayah Kursk telah melebihi 3.000,” kata Zelensky seperti dalam akun medsosnya.

    Dia mengaku telah menerima laporan dari Panglima Militer Ukraina, Oleksandr Syrsky, mengenai situasi di wilayah Kursk.

    “Risiko Korea Utara mengirimkan pasukan tambahan dan peralatan militer ke tentara Rusia,” imbuh dia.

    Zelensky mengatakan dunia perlu memahami bahwa meningkatnya kerja sama antara Moskow dan Pyongyang mengarah pada peningkatan proporsional dalam risiko destabilisasi di sekitar Semenanjung Korea dan di wilayah atau perairan tetangga.

    Sebelumnya, Korea Selatan melaporkan sekitar 1.100 tentara Korea Utara telah tewas atau terluka sejak memasuki pertempuran pada bulan Desember.

    (maa/jbr)

  • 1.100 Tentara Korea Utara Diduga Tewas saat Bantu Rusia dalam Perang Ukraina – Halaman all

    1.100 Tentara Korea Utara Diduga Tewas saat Bantu Rusia dalam Perang Ukraina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kepala Staf Gabungan Korea Selatan (JCS) mengatakan lebih dari 1.100 tentara Korea Utara tewas atau terluka dalam perang yang dilancarkan Rusia melawan Ukraina.

    “Kami memperkirakan sekitar 1.100 tentara Korea Utara yang baru-baru ini berpartisipasi dalam pertempuran dengan pasukan Ukraina tewas atau terluka,” kata JCS, Senin (23/12/2024).

    Komisi tersebut juga memantau persiapan Korea Utara yang diduga akan mengirim pasukan baru ke Rusia dalam bentuk bala bantuan atau menggantikan mereka yang saat ini bertempur di sana.

    “Kami khususnya tertarik pada kemungkinan penempatan tambahan tentara Korea Utara untuk membantu upaya perang Rusia. Pyongyang dilaporkan bersiap untuk rotasi atau penempatan tambahan tentara,” lanjutnya.

    Informasi yang dikumpulkan oleh intelijen Korea Selatan menunjukkan Korea Utara memproduksi dan mengirim drone dengan sistem penghancuran diri ke Rusia dan juga memasoknya dengan peluncur roket 240 milimeter dan meriam 170 mm.

    “Korea Utara berupaya mengembangkan kemampuan perang konvensionalnya dengan bantuan Rusia, berdasarkan pengalaman Rusia dalam pertempuran melawan pasukan Ukraina,” bunyi pernyataan JCS, dikutip dari CBS News.

    “Hal ini dapat menyebabkan peningkatan ancaman militer dari Utara terhadap kita,” lanjutnya.

    Negara-negara Barat melaporkan ribuan tentara Korea Utara telah dikirim ke Rusia dalam beberapa pekan terakhir untuk mendukung tentara Rusia.

    “Kami menyerukan Korea Utara untuk segera menghentikan bantuan apa pun kepada Rusia di perang ofensifnya terhadap Ukraina, termasuk penarikan tentaranya,” kata Menteri luar negeri Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam pernyataan bersama, Minggu.

    Sementara itu, Korea Utara mengecam Amerika Serikat (AS) dan sekutunya yang mengkritik dukungan Korea Utara untuk Rusia dalam melancarkan perangnya di Ukraina, seperti diberitakan The Moscow Times.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Rusia dan Ukraina

  • 1.000 Tentara Korut Jadi Korban dalam Perang Rusia-Ukraina

    1.000 Tentara Korut Jadi Korban dalam Perang Rusia-Ukraina

    Jakarta

    Lebih dari 1.000 tentara Korea Utara (Korut) tewas atau terluka dalam perang Rusia dengan Ukraina. Demikian disampaikan Kepala Staf Gabungan (JCS) Korea Selatan pada hari Senin (23/12).

    Angka baru tersebut disampaikan menyusul laporan oleh badan mata-mata Seoul kepada anggota parlemen minggu lalu, yang mengatakan sedikitnya 100 tentara Korea Utara telah tewas sejak memasuki pertempuran pada bulan Desember.

    Pyongyang telah mengirim ribuan tentara untuk memperkuat militer Rusia, termasuk ke wilayah perbatasan Kursk, tempat pasukan Ukraina merebut wilayah tersebut awal tahun ini.

    “Melalui berbagai sumber informasi dan intelijen, kami menilai bahwa pasukan Korea Utara yang baru-baru ini terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Ukraina telah menderita sekitar 1.100 korban,” kata JCS dalam sebuah pernyataan, dilansir kantor berita AFP, Senin (23/12/2024).

    “Kami khususnya tertarik pada kemungkinan pengerahan tambahan tentara Korea Utara untuk membantu upaya perang Rusia,” ujarnya.

    Pyongyang dilaporkan “bersiap untuk rotasi atau pengerahan tambahan tentara”, kata JCS.

    Intelijen juga menunjukkan bahwa Korea Utara yang bersenjata nuklir “memproduksi dan menyediakan drone-drone yang dapat menghancurkan diri sendiri” ke Rusia, untuk lebih membantu Moskow dalam perangnya melawan Ukraina, tambah JCS.

  • Mengapa Kim Jong-un Abaikan Cita-cita Penyatuan Korut dengan Korsel?

    Mengapa Kim Jong-un Abaikan Cita-cita Penyatuan Korut dengan Korsel?

    Jakarta

    Kim Jong-un mengumumkan pergeseran ideologis terbesar dalam 77 tahun sejarah Korea Utara. Reunifikasi dua negara di Semenanjung Korea merupakan tujuan utama Korea Utara yang didirikan Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un, pada tahun 1947.

    Cita-cita satu Korea, di bawah Kim Jong-un, sekarang sudah ditinggalkan sepenuhnya. Dan pengabaian ini bukan sekadar penurunan prioritas seperti yang sebelumnya terjadi.

    Dalam deklarasinya, Kim Jong-Un menyebut reunifikasi tidak lagi menjadi tujuan negara komunis itu. Dia mengatakan Korea Selatan telah menjadi “musuh utama”.

    Julukan ini sebelumnya hanya ditujukan terhadap Amerika Serikat.

    Kim Jong-un tidak berhenti di deklarasi itu saja.

    Dia membongkar badan dialog dan kerja sama antar-Korea, menghancurkan Gapura Reunifikasi yang menjadi simbol, serta menghancurkan jalan dan rel kereta api yang dirancang untuk menghubungkan kedua negara ketika mereka menjadi satu.

    BBC

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Istilah reunifikasi, atau tongil dalam bahasa Korea, juga dihapus dari surat kabar dan buku pelajaran sekolah.

    Kata itu bahkan dihapus dari satu stasiun kereta bawah tanah di Pyongyangnamanya diganti menjadi Moranbong.

    Semua ini terjadi di tengah ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan.

    Sebelumnya, meski fase konflik dan fase pemulihan hubungan terjadi silih berganti dalam beberapa dekade terakhir, kedua Korea tidak pernah sekalipun mempertanyakan tujuan suci reunifikasi.

    Jadi, ada apa di balik perubahan paradigma Kim yang radikal?

    Pentingnya reunifikasi

    Semenanjung Korea, dan rakyat Korea, telah terbagi menjadi Utara dan Selatan selama hampir delapan dekade.

    Barangkali 80 tahun terlihat seperti waktu yang lama.

    Akan tetapi, periode ini relatif sebentar jika dibandingkan dengan masa bersatunya wilayah Korea selama lebih dari 12 abad di bawah dinasti dan kekaisaran yang berbeda dari tahun 668 hingga 1945.

    Ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet memecah belah Korea setelah Perang Dunia II Utara yang komunis dan Selatan yang kapitalis pemisahan Korea dipandang sebagai anomali sejarah yang harus diperbaiki sesegera mungkin.

    Kim Il-sung, pendiri Korea Utara dan kakek dari pemimpin saat ini, mencoba melakukannya dengan kekerasan dan hampir berhasil ketika ia menginvasi Korea Selatan pada tahun 1950.

    Getty ImagesKim menghancurkan Gapura Reunifikasi yang dibangun di selatan Pyongyang pada tahun 2001.

    “Kim memberikan banyak tekanan kepada Stalin dan Mao untuk mengizinkannya menginvasi Korea Selatan hingga berhasil pada 1950, dengan tujuan utama untuk mencapai reunifikasi sesuai keinginannya dengan mengambil alih kendali atas Korea Selatan,” jelas akademisi Sung-Yoon Lee, profesor kajian Korea di Wilson Center di Washington DC, kepada BBC Mundo.

    Akan tetapi, Perang Korea (1950-1953) menewaskan lebih dari dua juta orang di kedua belah pihak. Hal ini kemudian mengkonsolidasikan pembagian Korea.

    Gencatan senjata yang mengakhiri konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan tidak pernah dilanjutkan dengan perjanjian damai.

    Secara teknis, Korea Utara dan Selatan masih dalam keadaan perang dan dipisahkan Zona Demiliterisasi (DMZ) yang hampir tidak dapat dilewati.

    Baca juga:

    Sejak itu, dua sistem yang tidak dapat didamaikan mempertahankan cita-cita yang sama: penyatuan kembali alias reunifikasi.

    Di Korea Selatan, Pasal 4 Konstitusi 1948 yang masih berlaku hingga saat ini menetapkan tujuan “penyatuan kembali bangsa di bawah prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi yang damai.”

    Di sisi lain, Korea Utara, mengusulkan “penyatuan kembali bangsa berdasarkan kemerdekaan, unifikasi damai dan persatuan nasional yang besar,” menurut Pasal 9 Konstitusi mereka.

    Konstitusi mereka juga menyebutkan “kemenangan sosialisme” sebagai tujuan.

    Penyatuan kembali secara damai atau dipaksakan?

    Akan tetapi, bagaimana caranya agar negara dan rakyat Korea dapat bersatu kembali?

    Di sinilah kedua negara berbeda pendapatmasing-masing ingin melakukan reunifikasi dengan caranya sendiri.

    Di Korea Selatan, dengan jumlah penduduk dua kali lipat lebih banyak dari Korea Utara dan PDB hampir 60 kali lebih besar menurut data pada 2023, pilihan yang paling banyak diminati dalam beberapa dekade terakhir adalah model Jerman: menyerap tetangganya di bawah sistem pasar bebas yang demokratis.

    Adapun Pyongyang secara tradisi berkeinginan untuk menerapkan sosialisme di seluruh semenanjung.

    Sejak 1980-an, mereka juga sempat mengajukan gagasan tentang negara konfederasi tunggal dengan dua sistem, seperti China dan Hong Kong.

    Getty Images Kim Il-sung menginvasi Korea Selatan dengan tujuan menyatukan semenanjung ini ke dalam sistem komunis di bawah komandonya.

    Penyatuan kembali secara damai dengan koeksistensi dua sistem merupakan tujuan yang dinyatakan dalam deklarasi bersama yang ditandatangani pada Juni 2000.

    Pemimpin Korea Utara saat itu, Kim Jong-il (ayah Kim Jong-un) dan Kim Dae-jung dari Korea Selatan menandatangani deklarasi bersejarah tersebut.

    Tahun demi tahun berlalu dan deklarasi menjelma menjadi surat mati.

    “Penyatuan secara paksa, tidak peduli berapa banyak nyawa yang hilang, selalu menjadi tujuan nasional tertinggi rezim Kim, dari Kim Il-sung hingga Kim Jong-un,” kata Profesor Lee.

    Getty Images Pemimpin Korea Selatan dan Utara saat itu, Kim Dae-jung dan Kim Jong-il, berjanji untuk menyatukan kembali semenanjung tersebut pada pertemuan bersejarah di tahun 2000.

    Cendekiawan dari Wilson Center ini meyakini bahwa, pada intinya, “metodologi prioritas Pyongyang selalu menjadi ‘model Vietnam’, yaitu memaksa Amerika Serikat untuk meninggalkan Korea Selatan melalui kombinasi kekuatan dan diplomasi.”

    Kim Jong-un telah menyerukan agar Konstitusi Korea Utara diamandemen untuk menghapus referensi tentang reunifikasi dan menyebut Korea Selatan sebagai “negara yang tidak bersahabat”.

    Hal ini menandai pergeseran ideologi yang mengejutkan di negara komunis tersebut sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dicari oleh pemimpin Korea Utara.

    Kami menganalisis berbagai hipotesis yang mencoba menjawabnya.

    Apa motif Kim?

    Kim mengaitkan pergeseran ideologinya dengan “provokasi” yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat.

    Beberapa bentuk “provokasi” yang dimaksud antara lain memperkuat kerja sama dengan Jepang, membentuk grup untuk melakukan koordinasi menanggapi serangan nuklir, atau memperluas Komando PBB.

    Akan tetapi, ketegangan di semenanjung Korea bahkan yang lebih serius sudah sering terjadi dalam beberapa dekade terakhir.

    Baru kali ini Korea Utara mempertimbangkan untuk meninggalkan cita-cita reunifikasi.

    Mengapa hal ini bisa terjadi?

    Getty Images Kim Jong-un mungkin mencoba mengacaukan stabilitas Korea Selatan tanpa meninggalkan ide unifikasi dengan paksaan, menurut beberapa ahli.

    Bagi Ellen Kim, peneliti senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington DC, “rezim Korea Utara tidak lagi menginginkan reunifikasi khususnya demi mempertahankan sistemnya sendiri.”

    “Mereka khawatir akan popularitas film, musik, dan serial televisi Korea Selatan di kalangan generasi muda di Korea Utara,” kata akademisi tersebut kepada BBC Mundo.

    Dia menjelaskan bahwa “dengan semakin banyaknya informasi yang dikirim ke Korea Utara dari luar, meningkatnya kesadaran publik akan kemakmuran ekonomi Korea Selatan dan seluruh dunia kemungkinan akan membuat kepemimpinan Kim Jong-un dipertanyakan.”

    “Cara yang paling efektif bagi rezim untuk membuat warga Korea Utara berbalik melawan Korea Selatan adalah dengan menjadikan Korea Selatan sebagai musuh utama,” paparnya.

    Getty ImagesAmerika Serikat saat ini memiliki 28.500 tentara yang dikerahkan di Korea Selatan, sekutu yang sering melakukan latihan militer bersama.

    Christopher Green, seorang konsultan untuk semenanjung Korea di lembaga wadah pemikir International Crisis Group (ICG), menyatakan pendapat yang sama: Kim Jong-un mencoba untuk mengekang “pengaruh budaya dan politik Korea Selatan yang semakin besar” terhadap penduduk Korea Utara.

    “Selama 30 tahun terakhir, budaya pop Korea Selatan sebagian besar K-pop, opera sabun dan film menerobos masuk ke Korea Utara dan menantang kontrol rezim atas aliran informasi.”

    “Pyongyang sudah berupaya menghalangi agar konten semacam itu tidak masuk ke perbatasannya, tetapi mereka tidak begitu berhasil,” jelasnya dalam sebuah kolom yang diterbitkan di situs web ICG.

    Baca juga:

    Green menggarisbawahi bahwa Kim sebelumnya sudah memperberat hukuman bagi yang menjual atau mengonsumsi konten asing sejak 2020.

    “Langkah baru Kim merupakan cerminan institusional dari tren yang telah berkembang selama beberapa tahun terakhir,” ujar pakar itu.

    Dia menambahkan bahwa langkah ini bertujuan untuk “melestarikan narasi yang melegitimasi rezim dan mempertahankan kontrol ideologis.”

    Getty ImagesHingga saat ini, Korea Utara mengibarkan bendera reunifikasi, lambang netral semenanjung Korea yang dirancang pada tahun 1990-an.

    Rezim Korea Utara “unggul tidak hanya dari segi provokasi yang diperhitungkan terhadap AS dan Korea Selatan, atau dalam mencuci otak penduduknya, tetapi juga dalam manipulasi psikologis rakyat Korea Selatan,” kata akademisi tersebut.

    Dia menambahkan bahwa “gagasan untuk meninggalkan reunifikasi damai menciptakan ketegangan politik dan sosial di Korea Selatan”.

    “Tidak ada alasan untuk percaya bahwa Kim Jong-un benar-benar putus asa dalam keinginannya merebut wilayah Korea Selatan dan rakyatnya secara paksa,” ujar Lee.

    Pakar ini juga percaya bahwa dengan memandang negara Korea Selatan sebagai “musuh”, pemimpin komunis itu berada dalam posisi yang lebih nyaman untuk membenarkan tindakan permusuhan.

    “Mulai dari menerbangkan balon berisi tinja ke arah Selatan hingga mengirim pasukan tempur ke Rusia untuk memerangi Ukraina, atau terus-menerus mengancam untuk ‘memusnahkan’ Korea Selatan,” ujarnya.

    Sebuah momen penting

    Bagaimanapun, pergeseran ideologi Kim terjadi pada saat yang krusial di panggung regional dan internasional.

    Korea Utara dan Rusia telah menunjukkan pemulihan hubungan terdekat mereka sejak Perang Dingin, dengan Pyongyang memasok senjata, sesuatu yang bertentangan dengan sanksi internasional yang juga disetujui Moskow pada saat itu, dan masuknya pasukannya ke dalam konflik di Ukraina.

    Getty ImagesHubungan antara Kim dan Putin berada dalam kondisi terbaiknya di tengah-tengah perang di Ukraina

    Ditambah lagi dengan ketidakpastian seputar pergantian pemerintahan di Washington setelah kemenangan Donald Trump pada November, yang pada masa jabatan sebelumnya menjadi presiden AS pertama yang bertemu dengan pemimpin Korea Utara.

    Di sisi lain, rezim Kim Jong-un, terus memperkuat teknologi dan persenjataan militernya dalam beberapa tahun terakhir dengan rudal dan hulu ledak nuklir yang semakin banyak, kuat, dan canggih.

    Menurut para ahli, semua ini adalah bagian dari strategi pemimpin Korea Utara untuk memperkuat posisinya di panggung internasional, mencari sekutu strategis yang memungkinkannya untuk melawan tekanan Barat dan memproyeksikan pengaruhnya di luar semenanjung Korea.

    Lihat juga Video ‘Bertemu Menhan Belousov, Kim Jong Un ‘Bersumpah’ Korut Selalu Dukung Rusia’:

    (haf/haf)