kab/kota: Pyongyang

  • Rusia Pindahkan Meriam Koksan Korea Utara ke Krimea, Ukraina Selatan Terancam Serangan Jarak Jauh – Halaman all

    Rusia Pindahkan Meriam Koksan Korea Utara ke Krimea, Ukraina Selatan Terancam Serangan Jarak Jauh – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Rusia dilaporkan mulai memindahkan sistem artileri jarak jauh buatan Korea Utara ke wilayah Krimea yang dianeksasi.  

    Laporan ini diungkap oleh lembaga penyiaran Jerman, ZDF, dikutip Selasa (8/4/2025).

    Pemindahan ini menunjukkan meningkatnya keterlibatan militer Korea Utara dalam perang Rusia-Ukraina.  

    Menurut ZDF, sebuah video yang muncul secara daring pada Rabu (26/3/2025) memperlihatkan meriam self-propelled Koksan milik Korea Utara diangkut dengan kereta api melintasi wilayah utara Krimea.

    Sebelumnya, pasukan Korea Utara hanya diketahui beroperasi di wilayah Kursk, Rusia, tempat Rusia melancarkan serangan balasan sejak Agustus 2024.  

    Namun, setelah pasukan Ukraina dipukul mundur dari Kursk, Rusia diperkirakan dapat segera mengerahkan kontingen Korea Utara ke Krimea untuk menyerang pasukan Ukraina di selatan.

    Sistem artileri Koksan kaliber 170 mm dikenal sebagai salah satu artileri lapangan konvensional dengan jangkauan tembak terjauh di dunia.  

    Senjata ini mampu menjangkau target hingga 40 kilometer dengan peluru standar dan hingga 60 kilometer dengan amunisi berbantuan roket.

    Analis militer Barat memperingatkan bahwa jika artileri Koksan dikerahkan di wilayah Zaporizhzhia, senjata ini dapat digunakan untuk membombardir kota-kota utama seperti Kherson dan Zaporizhzhia, yang sebagian masih dikuasai Ukraina.

    Unit Koksan sebelumnya digunakan dalam serangan Rusia di Kursk, meski lima di antaranya berhasil dihancurkan oleh drone Ukraina.  

    Namun, menurut ZDF, Korea Utara diyakini telah memasok **hingga 200 unit** sistem artileri ini ke Rusia.

    Keterlibatan Korea Utara dalam perang dikonfirmasi pada akhir 2024.  

    Laporan intelijen saat itu menyebut bahwa sekitar 11.000 tentara Korea Utara telah dikirim untuk membantu Rusia.  

    Korea Selatan memperkirakan sekitar 5.000 dari mereka tewas atau terluka, dan pada awal 2025, Pyongyang mengirim 3.000 tentara tambahan.

    Selain personel militer, Korea Utara juga memasok Rusia dengan rudal balistik jarak pendek, sistem artileri gerak sendiri, dan lebih dari 200 peluncur roket ganda.

    Kemitraan Strategis Moskow-Pyongyang

    Kerja sama militer Rusia dan Korea Utara menguat setelah kunjungan Presiden Vladimir Putin ke Pyongyang pada musim panas 2024.  

    Dalam kunjungan itu, Putin dan Kim Jong-Un menandatangani perjanjian kemitraan strategis yang mencakup komitmen bantuan pertahanan bersama jika salah satu diserang.

    Pada 21 Maret 2025, kepala Dewan Keamanan Rusia, Sergei Shoigu, mengunjungi Pyongyang untuk bertemu Kim Jong Un.  

    Dalam pertemuan tersebut, Kim kembali menegaskan dukungan penuh terhadap Rusia dan komitmen Korea Utara terhadap pakta pertahanan bersama itu.

    Pejabat Barat memperingatkan bahwa meningkatnya aliansi militer ini tidak hanya akan memperpanjang konflik Ukraina, tetapi juga dapat melemahkan sanksi internasional yang diberlakukan terhadap kedua rezim.

    Kekuatan dan Sejarah Koksan

    Situs militer defense.ua menyebut Koksan sebagai sistem artileri yang unik karena kaliber 170 mm-nya yang tidak lazim.  

    Dua teori menjelaskan pilihan kaliber ini:  

    – Terinspirasi dari howitzer Jepang 150 mm era Perang Dunia II.  

    – Berdasarkan howitzer Jerman 170 mm yang pernah diserahkan Uni Soviet ke Korea Utara.

    Nama “Koksan” merujuk pada kota di Korea Utara tempat sistem ini pertama kali terdeteksi pada 1979.  

    Ada dua varian utama:  

    – M-1979 dipasang di atas sasis T-54 atau Type 59 milik China, tanpa tempat penyimpanan amunisi.  

    – M-1989 memiliki kompartemen untuk menyimpan 12 butir peluru.

    Koksan dirancang untuk serangan jarak jauh dan digunakan dalam baterai berisi 36 unit.  

    Kemampuannya menjangkau wilayah dalam Korea Selatan membuatnya menjadi salah satu aset strategis utama Pyongyang.

    Koksan sempat diuji dalam Perang Iran-Irak (1980–1988) dan terbukti efektif sebagai senjata penangkal baterai.

    Iran diketahui memiliki setidaknya 30 unit varian M-1979.  

    Saat ini, Koksan digunakan oleh Korea Utara, Rusia, dan Iran.

    Dengan kehadiran Koksan di Krimea, Rusia memperkuat barisan artilerinya yang sudah mencakup sistem kaliber besar seperti self-propelled Pion dan mortir berat Tyulpan  menambah tekanan terhadap Ukraina di medan tempur selatan.

    (Tribunnewc.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Kim Jong Un Uji Coba Senapan Sniper Baru Saat Kunjungi Pasukan Korut

    Kim Jong Un Uji Coba Senapan Sniper Baru Saat Kunjungi Pasukan Korut

    Pyongyang

    Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un menguji coba senapan sniper yang baru dikembangkan. Uji coba dilakukan saat dia memeriksa pasukan khusus untuk memperkuat kemampuan perang untuk menjamin kemenangan.

    Dilansir AFP, Sabtu (5/4/2025), unit-unit militer itu tersebut termasuk di antara ribuan pasukan yang menurut badan mata-mata Korea Selatan telah dikerahkan Pyongyang ke Rusia untuk mendukung perang Moskow melawan Ukraina.

    Kantor berita Korut, KCNA, melaporkan kunjungan itu dilakukan pada Jumat (4/4). Kim mengatakan kemampuan perang yang sebenarnya diperlukan untuk menjamin kemenangan di medan perang.

    “Ekspresi patriotisme dan kesetiaan yang paling jelas kepada negara,” menurut Kim.

    Gambar-gambar yang dirilis oleh media pemerintah Korut menunjukkan Kim mengintip melalui teropong senapan sniper yang menurut KCNA baru-baru ini dipasok ke unit operasi khusus. Gambar-gambar lain menunjukkan dia menunjuk ke sasaran, berjongkok di samping tentara yang mengenakan kamuflase tebal, dan tersenyum serta melambaikan tangan kepada pasukan.

    Kim mengawasi latihan menembak senapan otomatis dan latihan menembak senapan runduk. Kim juga secara pribadi menguji coba senjata tersebut.

    “Sangat puas atas kinerja dan kekuatan senapan runduk yang dikembangkan dengan cara kami sendiri,” demikian ucapan Kim dalam laporan KCNA.

    Lihat juga Video: Kim Jong Un Pantau Uji Coba Peluncuran Rudal Jelajah Strategis

    (haf/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Putin Genjot Rekrutmen, Tambah 160 Ribu Tentara Untuk Perkuat Pertahanan Negara   – Halaman all

    Putin Genjot Rekrutmen, Tambah 160 Ribu Tentara Untuk Perkuat Pertahanan Negara   – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Rusia Vladimir Putin kembali memerintahkan negaranya untuk merekrut 160.000 prajurit baru pada 15 Juli 2025.

    Jumlah tersebut meningkat dari rancangan sebelumnya, di mana wajib militer musim semi tahun lalu hanya memanggil 150.000 orang sementara di tahun 2022 hanya merekrut 134.500.

    Rekrutmen tambahan direncanakan Putin sejalan dengan upaya Moskow yang tengah memperluas jajaran militernya.

    Setelah sebelumnya Putin  memerintahkan untuk menambah jumlah tentaranya menjadi 1,5 juta prajurit aktif, peningkatan sekitar 180.000 tentara selama tiga tahun.

    Tak hanya itu, Rusia juga turut menyelenggarakan wajib militer dua kali setahun, dengan pria berusia 18-30 tahun memenuhi syarat diwajibkan mengikuti wajib militer.

    Kremlin dan Kementerian Pertahanan menegaskan bahwa pasukan yang mengikuti wajib militer tidak dikirim ke medan perang melainkan bertugas menjaga pertahanan negara.

    “Kampanye wajib militer yang akan datang sama sekali tidak terkait dengan operasi militer khusus di Ukraina,” kata Kementerian Pertahanan di media sosial, dikutip dari The Moscow Times.

    Putin Tawarkan Gaji Tinggi

    Untuk meningkatkan jumlah pasukan yang bertugas menjaga pertahanan negara, Putin menawarkan gaji tinggi dan bonus pendaftaran yang besar bagi ratusan ribu orang yang mendaftar sebagai tentara kontrak berbayar.

    Siapa pun yang menerima tawaran tersebut akan mendapat 5,2 juta rubel atau sekitar Rp 973 juta.

    Sementara mereka yang bersedia bergabung dalam pertempuran di Ukraina juga bisa menerima pembayaran tunai satu kali sebesar sekitar 5.690 dolar AS – 11.390 dolar AS jika terluka saat perang.

    Bagi keluarga prajurit yang tewas dalam pertempuran juga akan menerima biaya sebesar 34.150 dolar AS atau sekitar Rp 554 juta.

    Pengumuman itu dirilis usai Presiden Rusia Vladimir Putin memerintah militer untuk menambah jumlah pasukan.

    Rusia Disebut Krisis Pasukan

    Mencuatnya isu rekrutmen ini membuat sejumlah pihak berspekulasi jika Rusia kini tengah mengalami krisis pasukan.

    Pada awal tahun AS mengungkapkan bahwa Rusia  tengah mengalami krisis pasukan setelah lebih dari 700.000 tentara menjadi korban sejak memulai invasi ke Ukraina pada tahun 2022.

    Hal itu diungkap oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin melalui laman resmi Menhan AS.

    “Sejak 2022, Rusia telah menderita lebih dari 700.000 korban di Ukraina. Jumlah itu lebih banyak dari yang dialami Moskow dalam semua konfliknya sejak Perang Dunia II digabungkan,” imbuh Austin melansir Defense.gov.

    “Korban Rusia di Ukraina kini melebihi dua pertiga dari total kekuatan tentara Rusia pada awal perang yang dipilih Putin. Pada bulan November 2024 saja, Rusia kehilangan hampir 1.500 tentara per hari,” imbuhnya

    Senada dengan proyeksi AS, Angkatan Bersenjata Ukraina memperkirakan 707.540 tentara Rusia tewas atau terluka hingga November 2024. 
     
    Sementara Pemerintah Inggris melaporkan sekitar 700.000 tentara Rusia tewas atau terluka pada November 2024.

    Korut Bantu Kirim Pasukan Tambahan ke Rusia

    Lebih lanjut, untuk menggenjot kekuatan pasukan Putin di medan perang, Presiden Korea Utara (Korut) kembali mengirimkan 3.000 tentara tambahan ke Rusia.

    Dengan tambahan pasukan ini, total prajurit Korut yang berada di Rusia diperkirakan mencapai sekitar 11 ribu tentara.

    Adapun para pasukan Korsel itu diberangkatkan menuju Kurs dengan menggunakan kapal kargo dan pesawat militer Rusia, sebagaimana dikutip dari CNN International.

    “Bala bantuan yang dikirim pada bulan Januari dan Februari itu menambah sekitar 11.000 pasukan yang telah dikirim Korea Utara ke Rusia sejauh ini,” ujar laporan Kepala Staf Gabungan Korea Selatan.

    Tak hanya mengirim pasukan tambahan, Pyongyang juga memasok amunisi tambahan berupa rudal balistik jarak pendek.

    Serta sekitar 220 howitzer dan peluncur roket ganda 240 milimeter, yang diharapkan dapat memperkuat pertahanan Rusia di medan perang.

    (Tribunnews/Namira)

  • Putin Undang Korea Utara dan BRICS Gabung Perundingan Gencatan Senjata Ukraina – Halaman all

    Putin Undang Korea Utara dan BRICS Gabung Perundingan Gencatan Senjata Ukraina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM –  Presiden Rusia Vladimir Putin mengusulkan agar negara-negara sekutunya, termasuk Korea Utara dan anggota BRICS, turut serta dalam perundingan gencatan senjata untuk mengakhiri perang di Ukraina.

    Dalam pertemuan dengan prajurit di Murmansk, Rusia utara, Putin menyampaikan gagasan bahwa Ukraina dapat ditempatkan di bawah “pemerintahan sementara” sebagai bagian dari proses perdamaian.

    Menurut kantor berita negara Rusia, TASS, Putin mengusulkan pemilu baru di Ukraina serta penandatanganan perjanjian damai setelah negara itu berada di bawah administrasi internasional.

    “Pada prinsipnya, pemerintahan sementara dapat diperkenalkan di Ukraina di bawah naungan PBB, Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan mitra kami,” kata Putin.

    Ia menekankan bahwa langkah ini bertujuan untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis dan membentuk pemerintahan yang dipercaya rakyat sebelum memulai perundingan damai.

    Putin juga menekankan bahwa perundingan damai seharusnya tidak hanya melibatkan Rusia dan Amerika Serikat, tetapi juga negara-negara lain, termasuk China, India, Brasil, Afrika Selatan, serta Korea Utara.

    “Ini bukan hanya Amerika Serikat tetapi juga Republik Rakyat Tiongkok, India, Brasil, Afrika Selatan, semua negara BRICS, dan banyak lainnya, misalnya, termasuk Republik Rakyat Demokratik Korea,” kata Putin, dikutip dari Al Jazeera.

    Sementara itu, laporan dari militer Korea Selatan menyebutkan bahwa Pyongyang telah mengirim lebih dari 3.000 tentara baru untuk bergabung dengan pasukan Rusia di Ukraina, melampaui 11.000 tentara yang dikirim tahun sebelumnya.

    Putin juga menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dengan Eropa meskipun menilai bahwa negara-negara Eropa sering kali bertindak tidak konsisten terhadap Rusia.

    “Kami sudah terbiasa dengan hal itu. Saya harap kami tidak akan membuat kesalahan berdasarkan kepercayaan yang berlebihan kepada apa yang disebut mitra kami,” katanya, menurut TASS.

    Di sisi lain, Putin memuji Presiden AS Donald Trump, yang menurutnya “dengan tulus mengharapkan berakhirnya konflik ini.”

    Pernyataan Putin muncul setelah negosiasi terpisah di Riyadh, Arab Saudi, yang melibatkan pejabat Rusia, Ukraina, dan AS untuk membahas kemungkinan gencatan senjata.

    Menurut laporan AS, Kyiv dan Moskow telah sepakat untuk menghentikan serangan terhadap kapal-kapal di Laut Hitam.

    Namun, dalam beberapa hari berikutnya, kedua belah pihak saling menuduh tidak serius dalam pembicaraan damai.

    Ukraina menuduh Rusia melancarkan serangan drone terhadap kota Mykolaiv, yang oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky disebut sebagai “sinyal jelas bahwa Moskow tidak menginginkan perdamaian sejati.”

    Sebaliknya, Rusia menuduh Ukraina melakukan serangan drone terhadap fasilitas penyimpanan gas dan infrastruktur listrik di wilayah yang dikuasai Rusia, yang dianggap melanggar kesepakatan untuk tidak menyerang fasilitas energi masing-masing.

    Media Rusia melaporkan bahwa putaran kedua pembicaraan akan dilanjutkan di Riyadh pada pertengahan April.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • 7 Update Perang Rusia: Putin-Trump Mesra, Ukraina-AS Ketemu di Arab

    7 Update Perang Rusia: Putin-Trump Mesra, Ukraina-AS Ketemu di Arab

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perang antara Rusia dan Ukraina memasuki babak baru. Amerika Serikat (AS), yang berperan menjadi pengenah, telah melakukan pertemuan dengan Kyiv terkait gencatan senjata di Arab Saudi.

    Berikut update terbaru terkait perang Rusia-Ukraina, sebagaimana dihimpun CNBC Indonesia dari berbagai sumber pada Senin (24/3/2025).

    Pertemuan AS dan Ukraina di Arab Saudi

    Delegasi Ukraina dan AS dilaporkan telah melakukan pertemuan di Arab Saudi pada Minggu waktu setempat. Rapat tersebut dilakukan AS sebelum pertemuan dengan delegasi Rusia pada Senin (24/3/2025).

    Melansir Reuters, pejabat Ukraina menyebut negaranya dan AS membahas proposal untuk melindungi fasilitas energi dan infrastruktur penting. Ini dilakukan sebagai bagian dari dorongan diplomatik Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang selama tiga tahun.

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan delegasi negaranya dalam perundingan hari Minggu bekerja dengan “cara yang sepenuhnya konstruktif”.

    “Perbincangan ini cukup bermanfaat, pekerjaan delegasi terus berlanjut. Tetapi apa pun yang kita katakan kepada mitra kita hari ini, kita perlu membuat Putin memberikan perintah nyata untuk menghentikan serangan,” katanya dalam pernyataan yang disiarkan televisi.

    Delegasi Ukraina, yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Rustem Umerov, mengatakan tujuan dari kontak tersebut adalah membantu “membawa perdamaian yang adil lebih dekat dan memperkuat keamanan”. Meskipun Zelensky juga mengatakan perundingan tersebut pada dasarnya “teknis”.

    Serangan Ukraina Bakar Depot Minyak Rusia

    Sebuah kebakaran hebat yang terjadi di fasilitas penyimpanan minyak di Rusia selatan makin memburuk setelah produk minyak tumpah dari salah satu tangki yang terbakar. Otoritas Rusia mengungkapkan bahwa kebakaran ini kemungkinan besar memperlambat upaya pemadaman yang telah berlangsung selama beberapa hari di lokasi tersebut.

    Dilansir Newsweek, pejabat Rusia menyatakan bahwa kebakaran di depot minyak Kavkazskaya di wilayah Krasnodar dipicu oleh puing-puing yang jatuh akibat serangan drone Ukraina. Tim pemadam kebakaran setempat masih belum mampu mengendalikan api yang terus berkobar.

    Beberapa hari sebelumnya, drone Ukraina juga menyerang kilang minyak Tuapse, yang juga terletak di Krasnodar. Menargetkan infrastruktur minyak Rusia telah menjadi strategi utama Kyiv dalam upayanya untuk menghentikan aliran pendapatan dan sumber daya yang mendukung perang Moskow.

    Baik Rusia maupun Ukraina telah menyatakan kesepakatan prinsip mengenai gencatan senjata parsial yang dimediasi oleh AS untuk melindungi infrastruktur energi. Namun, detail perjanjian ini masih belum jelas.

    Ukraina mengeklaim bahwa serangan Rusia terhadap infrastruktur kritis di negaranya belum berhenti, sementara Kremlin mengatakan bahwa mereka telah menghentikan serangan terhadap fasilitas energi, tetapi masih menyerang target lainnya.

    Ukraina Tembak Jatuh 57 Pesawat Nirawak Rusia

    Angkatan udara Ukraina mengatakan 99 pesawat nirawak jenis Shahed diluncurkan dari Rusia selama serangan semalam.

    Dikatakan di Telegram bahwa 57 dari pesawat nirawak tersebut ditembak jatuh di seluruh negeri, sementara 36 pesawat nirawak tiruan tidak mencapai target mereka.

    Angkatan udara tidak merinci apa yang terjadi pada enam pesawat nirawak yang tersisa tetapi mengatakan serangan Rusia tersebut memengaruhi wilayah Kyiv, Kharkiv, Sumy, Kirovohrad, dan Zaporizhzhia.

    Kim Jong Un Dukung Serangan Rusia ke Ukraina

    Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menunjukkan kedekatannya dengan Rusia. Dia bahkan memberikan dukungan penuhnya kepada Moskow dalam sebuah pertemuan dengan seorang pejabat tinggi Rusia di Pyongyang, kata media pemerintah Korea Utara pada Sabtu (22/3/2025).

    Laporan AP News menyebut diktator Korea Utara tersebut mendukung penuh serangan yang dilancarkan Rusia ke Ukraina.

    Pertemuan antara Kim dan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Sergei Shoigu pada Jumat ini mengonfirmasi penilaian intelijen Korea Selatan pada akhir Februari yang menyebut Korea Utara kemungkinan telah mengirim pasukan untuk membantu Rusia dalam perang yang sedang berlangsung melawan Ukraina.

    Baik media pemerintah Rusia maupun Korea Utara mengatakan kedua pejabat tersebut membahas berbagai masalah termasuk dialog Moskow dengan pemerintahan Trump dan situasi keamanan di semenanjung Korea.

    Kantor Berita Pusat Korea Utara mengatakan bahwa selama pertemuan tersebut Kim mengatakan pemerintahnya akan “selalu mendukung Rusia dalam perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan nasional, integritas teritorial, dan kepentingan keamanan.”

    AS Mau Akui Krimea Bagian dari Rusia

    AS saat ini dilaporkan mempertimbangkan untuk mengakui bahwa Krimea adalah bagian dari Rusia. Hal ini terjadi saat Presiden AS Donald Trump terus mendorong diskusi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di tengah hubungan kedua negara yang sedang buruk akibat serangan Moskow ke Ukraina.

    Situs berita AS, Semafor, mengutip dua orang yang mengetahui masalah tersebut, mengatakan bahwa sejatinya Trump belum membuat keputusan apa pun. Walau begitu, diskusi tentang status Krimea sejalan dengan “banyak pilihan yang diajukan saat Trump mendorong diakhirinya perang.”

    Walau begitu, Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Brian Hughes mengatakan kepada Semafor bahwa Gedung Putih “tidak membuat komitmen semacam itu, dan kami tidak akan menegosiasikan kesepakatan (perdamaian) melalui media.”

    “Tujuannya tetap sama: menghentikan pembunuhan dan menemukan penyelesaian damai untuk konflik ini,” kata Hughes.

    Krimea, yang sebagian besar dihuni oleh etnis Rusia, memilih untuk meninggalkan Ukraina dan bergabung dengan Rusia pada tahun 2014, menyusul revolusi yang menggulingkan Presiden Ukraina Viktor Yanukovich. PBB terus memandang wilayah tersebut sebagai wilayah Ukraina.

    Trump Incar Harta Karun Langka Rusia

    Jurnalis pemenang Penghargaan Pulitzer Seymour Hersh melaporkan, mengutip seorang pejabat Gedung Putih, bahwa Presiden Donald Trump sedang memiliki tujuan untuk meningkatkan hubungan AS-Rusia melalui kerja sama ekonomi.

    Presiden Trump berusaha untuk mencabut sanksi yang diberlakukan sejak tahun 2014 dan 2022 dan “membentuk kemitraan dengan Putin yang bertujuan untuk mengubah Krimea menjadi resor internasional utama,” kata seorang sumber pada Hersh.

    Sumber resmi yang dikutip dalam laporan Hersh menambahkan bahwa “mereka mungkin melakukan hal yang sama di Donbass.”

    Jurnalis tersebut mencatat bahwa pendekatan Trump sangat berbeda dari pendekatan pemerintahan Joe Biden, dengan sumber anonimnya menggambarkan presiden saat ini sebagai ‘pemenang ekonomi’. Ketertarikan Trump pada aset energi dan sumber daya alam Rusia dilaporkan meliputi minyak, gas, dan logam tanah jarang yang belum ditambang.

    Sejak menjabat pada bulan Januari, Trump telah mengubah beberapa posisi kebijakan luar negerinya terkait Moskow. Setelah melakukan panggilan telepon dengan Putin pada bulan Februari, delegasi AS dan Rusia bertemu di Arab Saudi, dengan kedua belah pihak sepakat untuk memulihkan hubungan diplomatik dan menjajaki usaha patungan setelah konflik Ukraina terselesaikan.

    Rubel Rusia Menguat di Tengah Pembicaraan dengan AS

    Rubel Rusia menguat karena pembicaraan antara pejabat AS dan Rusia di Arab Saudi sedang berlangsung. Hingga pukul 09:30 GMT, mata uang Rusia naik satu persen terhadap dolar AS di pasar bebas.

    Terhadap yuan China, yang merupakan mata uang asing yang paling banyak diperdagangkan di Rusia, rubel naik 0,5% pada 11,41 di Bursa Efek Moskow.

    Sejak awal tahun, rubel menguat karena ekspektasi kesepakatan damai dengan Ukraina dan meredanya ketegangan dengan AS.

    (fab/fab)

  • Kala Kim Jong Un Terjun Langsung Awasi Peluncuran Rudal Terbaru

    Kala Kim Jong Un Terjun Langsung Awasi Peluncuran Rudal Terbaru

    Pyongyang

    Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un mengawasi langsung peluncuran rudal terbaru buatan negaranya. Rudal ini disebut sebagai bagian dari sistem antipesawat.

    Dilansir AFP, Jumat (21/3/2025), Kantor berita Korut, Korean Central News Agency (KCNA), melaporkan uji coba itu membuktikan ‘respons tempur cepat’ dari sistem rudal antipesawat terbaru.

    Laporan KCNA soal uji coba rudal ini dirilis sehari setelah Korea Selatan (Korsel) menyelesaikan latihan militer gabungan dengan Amerika Serikat (AS). Latihan gabungan itu dikenal sebagai ‘Freedom Shield’ dan digelar setiap tahun.

    Korut sudah lama marah dan mengecam latihan militer gabungan semacam itu. Korut menganggap AS dan Korsel sedang latihan untuk menginvasi wilayahnya.

    Kim Jong Un, menurut laporan KCNA, memuji sistem rudal antipesawat terbaru itu. Kim memuji militer Korut akan ‘dilengkapi dengan sistem senjata pertahanan utama lainnya dengan kemampuan tempur yang patut dipuji’. Namun, KCNA tidak melaporkan secara spesifik di lokasi mana uji coba itu digelar.

    Kecaman Korut Atas Latihan Militer Korsel-AS

    USS Carl Vinson yang dikerahkan AS untuk latihan dengan Korsel (Foto: Petty Officer 1st Class Arthurgwain L. Marquez/U.S. Navy via AP)

    Korut telah mengecam latihan bersama Korsel dengan AS. Korsel pun melaporkan Korut menembakkan ‘beberapa rudal balistik tak teridentifikasi’ dari wilayahnya setelah dimulainya latihan gabungan yang melibatkan tentara-tentara AS di wilayah Korsel.

    Dalam pernyataan terpisah pada Kamis (20/3) waktu setempat, seorang juru bicara Kementerian Pertahanan Korut, yang tidak disebut namanya, mengecam latihan militer gabungan AS-Korsel sebagai ‘tidak lebih dari sekadar latihan perang agresi’.

    Latihan ‘Freedom Shield’ terbaru menampilkan latihan kolaboratif yang difokuskan pada penanggulangan senjata pemusnah massal, khususnya yang menargetkan ancaman nuklir, kimia, biologi, dan radioaktif. Hubungan antara Korut dan Korsel berada pada salah satu titik terendah selama bertahun-tahun, dengan Pyongyang meluncurkan rentetan rudal balistik tahun lalu yang melanggar sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Adik perempuan Kim Jong Un, Kim Yo Jong, juga mengecam latihan militer AS-Korsel itu. Dia menganggapnya sebagai provokasi politik dan militer.

    “Segera setelah pemerintahan barunya muncul tahun ini, AS telah meningkatkan provokasi politik dan militer terhadap DPRK, ‘melanjutkan’ kebijakan permusuhan dari pemerintahan sebelumnya,” sebut Kim Yo Jong dalam pernyataannya seperti dilaporkan KCNA.

    DPRK merupakan singkatan dari nama resmi Korut, Republik Demokratik Rakyat Korea. Kim Yo Jong menyebut AS sedang melakukan konfrontasi.

    “Langkah keji AS untuk melakukan konfrontasi dengan DPRK semakin intensif pada Maret ini, dengan kemunculan Carl Vinson (Kapal Induk AS) di Semenanjung Korea,” kata Kim Yo Jong.

    Uji Coba Rudal untuk Nuklir

    Rudal buatan Korut (Foto: via REUTERS/KCNA)

    Korut juga menggelar uji coba rudal pada Februari lalu. Saat itu, Kim Jong Un memerintahkan militernya untuk mempersiapkan kemampuan nuklir.

    KCNA, sebagaimana dilansir Reuters pada Jumat (28/2), melaporkan uji coba rudal itu dimaksudkan untuk memperingatkan “musuh-musuh, yang secara serius melanggar lingkungan keamanan (negara) dan mendorong serta meningkatkan lingkungan konfrontasi”.

    KCNA melaporkan uji coba itu juga dirancang untuk menunjukkan ‘kesiapan berbagai cara operasi nuklir’. Kim Jong Un menyatakan sedang menyiapkan kemampuan menyerang yang kuat.

    “Apa yang dijamin oleh kemampuan menyerang yang kuat adalah kemampuan pencegahan dan pertahanan yang paling sempurna,” ucap Kim Jong Un saat mengawasi uji coba rudal itu, seperti dikutip KCNA.

    Dia mengatakan pasukan nuklir Korut harus secara permanen siap mempertahankan kedaulatan nasional. Dia mengatakan perisai nuklir dapat diandalkan untuk meningkatkan kemampuan tempur.

    “Merupakan misi dan tugas yang bertanggung jawab dari angkatan bersenjata nuklir DPRK untuk secara permanen mempertahankan kedaulatan dan keamanan nasional dengan perisai nuklir yang dapat diandalkan dengan meningkatkan kesiapan tempur dengan kekuatan nuklir dan kesiapan penuh untuk penggunaannya,” ujarnya.

    Lihat juga Video ‘Kim Jong Un Pantau Uji Coba Peluncuran Rudal Jelajah Strategis’:

    Halaman 2 dari 3

    (haf/lir)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kim Jong Un Ngamuk, Korut Rilis Warning Perang Nuklir Pertama di Dunia

    Kim Jong Un Ngamuk, Korut Rilis Warning Perang Nuklir Pertama di Dunia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketegangan di Semenanjung Korea kembali memuncak setelah Korea Utara mengeluarkan peringatan keras terkait potensi pecahnya “perang nuklir pertama di dunia” menyusul insiden pengeboman yang tidak disengaja oleh jet tempur Korea Selatan di sebuah desa perbatasan pekan lalu.

    Adapun hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan telah berada dalam kondisi yang semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, terus melakukan uji coba rudal balistik, sementara perjanjian militer antar-Korea yang ditandatangani pada 2018 telah runtuh tahun lalu.

    Selain itu, Pyongyang juga mengirimkan pasukan untuk mendukung Rusia dalam perang di Ukraina.

    Korea Utara berulang kali menyatakan bahwa latihan militer bersama antara Korea Selatan dan Amerika Serikat merupakan ancaman bagi kedaulatannya. Latihan militer tahunan yang sedang berlangsung, Freedom Edge, dianggap sebagai alasan bagi Pyongyang untuk terus memperluas program senjata nuklir dan rudal balistiknya yang telah dikenai sanksi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Insiden Pengeboman di Desa Perbatasan

    Insiden yang memicu ketegangan lebih lanjut terjadi pada Kamis lalu ketika dua jet tempur KF-16 milik Korea Selatan secara tidak sengaja menjatuhkan delapan bom sekitar lima mil sebelum mencapai target yang ditentukan.

    Akibat kesalahan tersebut, sebuah desa di perbatasan Korea Selatan terkena dampaknya, menyebabkan 31 orang luka-luka dan merusak lebih dari 150 rumah.

    Pejabat militer Korea Selatan menyalahkan kesalahan manusia dalam insiden ini. Salah satu pilot diketahui memasukkan koordinat serangan yang salah sebelum lepas landas, sementara alasan pilot kedua yang menjatuhkan muatannya terlalu dini masih dalam penyelidikan.

    Kejadian ini terjadi sekitar 15 mil di selatan Zona Demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan kedua Korea.

    Media resmi Korea Utara, Korean Central News Agency (KCNA), menanggapi insiden tersebut dengan tajam. Dalam pernyataan resminya, mereka menyoroti betapa dekatnya kejadian ini dengan pemicu konflik berskala besar.

    “Tidak perlu dijelaskan bagaimana situasi akan berkembang jika sebuah bom jatuh sedikit lebih jauh ke utara hingga melintasi perbatasan Republik Demokratik Rakyat Korea,” bunyi pernyataan KCNA, sebagaimana dilansir Newsweek, Kamis (13/3/2025).

    “Bukan hal yang berlebihan untuk membayangkan bahwa percikan yang tidak disengaja dapat menjadikan Semenanjung Korea, kawasan sekitarnya, dan seluruh dunia terjerumus ke dalam konflik bersenjata baru.”

    KCNA juga menghubungkan ledakan tersebut dengan latihan militer Freedom Edge yang tengah berlangsung, menuduh bahwa latihan tersebut “berbahaya” dan berpotensi “menyeret kawasan ini ke dalam perang nuklir pertama di dunia.”

    Respons Korsel

    Menanggapi insiden ini, Kepala Staf Gabungan Korea Selatan dalam pernyataan tertanggal 6 Maret menegaskan bahwa mereka dan Amerika Serikat telah mengidentifikasi berbagai ancaman realistis dari Korea Utara.

    “Republik Korea [Korea Selatan] dan Amerika Serikat telah mengidentifikasi ancaman nyata seperti strategi dan taktik militer Korea Utara, serta perubahan kekuatan yang berasal dari kerja sama militer Rusia-Korea Utara dan analisis berbagai konflik bersenjata. Semua ini akan tercermin dalam skenario [Freedom Shield] guna meningkatkan postur pertahanan gabungan dan kemampuan respons aliansi ROK-AS,” kata pernyataan tersebut.

    Pihak berwenang Korea Selatan juga telah meminta maaf atas insiden pemboman yang tidak disengaja ini dan berjanji akan memberikan kompensasi kepada warga yang terdampak.

    Sementara itu, latihan militer Freedom Edge 25 akan terus berlangsung hingga 20 Maret sesuai jadwal, meskipun latihan tembak langsung telah ditangguhkan untuk sementara waktu guna mengevaluasi kembali prosedur keselamatan.

    (luc/luc)

  • Ancaman ‘Perang Tak Disengaja’ dari Korut

    Ancaman ‘Perang Tak Disengaja’ dari Korut

    Pyongyang

    Latihan militer gabungan yang digelar Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan (Korsel) menarik perhatian Korea Utara (Korut). Korut mengutuk aksi ini dan memperingatkan soal ‘perang tak disengaja’.

    Peringatan ini disampaikan beberapa hari setelah jet tempur Angkatan Udara Korsel secara tidak sengaja menjatuhkan bom di area sipil hingga memicu puluhan korban luka dan menyebabkan kerusakan para rumah warga.

    “Ini adalah aksi provokatif berbahaya yang memicu situasi akut di Semenanjung Korea, yang dapat memicu konflik fisik antara kedua belah pihak melalui satu tembakan tidak disengaja,” kata Kementerian Luar Negeri Korut seperti dikutip media pemerintah Pyongyang dan dilansir AFP, Senin (10/3/2025).

    Latihan militer gabungan AS-Korsel yang diberi nama “Freedom Shield 2025” dimulai sejak Senin (10/3) waktu setempat. Latihan gabungan ini melibatkan “pelatihan langsung, virtual, dan berbasis lapangan”.

    Latihan militer gabungan ini akan berlangsung hingga 21 Maret mendatang.

    Bagaimana tanggapan Korut? Baca halaman selanjutnya.

    Pernyataan Keras Korut

    Foto: Rudal mengudara saat Korut menggelar uji coba peluncuran rudal jelajah strategis (KCNA via REUTERS Purchase Licensing Rights)

    Kementerian Luar Negeri Korut dalam pernyataannya menyebut latihan gabungan itu sebagai “latihan perang yang agresif dan konfrontatif”.

    Kerja sama militer antara Seoul dan Washington kerap mengundang kecaman dari Pyongyang, di mana pemerintah Korut menganggapnya sebagai persiapan untuk invasi terhadap wilayah mereka dan sering melakukan uji coba rudal sebagai respons.

    Latihan gabungan terbaru ini digelar beberapa hari setelah dua jet tempur Angkatan Udara Korsel secara tidak sengaja menjatuhkan delapan bom di sebuah desa setempat selama latihan gabungan secara terpisah dengan AS pada 6 Maret lalu.

    Badan Pemadam Kebakaran Nasional Korsel dalam laporannya menyebut 15 orang, termasuk warga sipil dan personel militer, mengalami luka-luka.

    Hubungan antara Pyongyang dan Seoul berada di titik terendah dalam beberapa tahun terakhir, dengan Korut meluncurkan serangkaian rudal balistik tahun lalu yang melanggar sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Kedua Korea secara teknis masih berperang sejak konflik mereka tahun 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai. AS menempatkan puluhan ribu tentaranya di wilayah Korsel, sebagian untuk melindungi Seoul dari Pyongyang.

    Korut Kirim Rudal

    Foto: Kapal induk AS USS Theodore Roosevelt berlabuh di Busan, Korsel (Song Kyung-Seok/Pool via REUTERS Purchase Licensing Rights)

    Usai aksi ‘provokatif’ tersebut, Korut meluncurkan sejumlah rudal balistik pada Senin (10/3) waktu setempat.

    Militer Korsel, seperti dilansir Reuters dan AFP, Senin (10/3/2025), mendeteksi rudal-rudal ditembakkan dari wilayah barat Korut menuju ke arah Laut Kuning.

    “Militer kami mendeteksi sekitar pukul 13.50 waktu setempat, beberapa rudal balistik tidak teridentifikasi yang ditembakkan dari Provinsi Hwanghae ke area Laut Barat,” sebut Kepala Staf Gabungan Militer Korsel (JCS) dalam laporannya, merujuk pada perairan yang juga disebut sebagai Laut Kuning.

    “Militer kami akan meningkatkan pengawasan dan mempertahankan postur kesiapan penuh di bawah kerja sama yang erat dengan Amerika Serikat,” imbuh JCS.

    Peluncuran rudal ini menjadi uji coba rudal balistik pertama yang dilaporkan sejak Presiden AS Donald Trump menjabat pada pertengahan Januari lalu.

    Halaman 2 dari 3

    (rdp/rdp)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Panas, Korut Luncurkan Rudal di Tengah Latihan Militer AS-Korsel

    Panas, Korut Luncurkan Rudal di Tengah Latihan Militer AS-Korsel

    Pyongyang

    Korea Utara (Korut) meluncurkan sejumlah rudal balistik pada Senin (10/3) waktu setempat. Peluncuran terbaru ini dilakukan Pyongyang beberapa jam setelah mengecam latihan militer gabungan yang digelar Korea Selatan (Korsel) dan sekutunya, Amerika Serikat (AS).

    Korut sebelumnya mengecam latihan gabungan itu sebagai “aksi provokatif berbahaya” yang berisiko memicu perang secara tidak sengaja.

    Militer Korsel, seperti dilansir Reuters dan AFP, Senin (10/3/2025), mendeteksi rudal-rudal ditembakkan dari wilayah barat Korut menuju ke arah Laut Kuning.

    “Militer kami mendeteksi sekitar pukul 13.50 waktu setempat, beberapa rudal balistik tidak teridentifikasi yang ditembakkan dari Provinsi Hwanghae ke area Laut Barat,” sebut Kepala Staf Gabungan Militer Korsel (JCS) dalam laporannya, merujuk pada perairan yang juga disebut sebagai Laut Kuning.

    “Militer kami akan meningkatkan pengawasan dan mempertahankan postur kesiapan penuh di bawah kerja sama yang erat dengan Amerika Serikat,” imbuh JCS.

    Peluncuran rudal ini menjadi uji coba rudal balistik pertama yang dilaporkan sejak Presiden AS Donald Trump menjabat pada pertengahan Januari lalu.

    Aktivitas Korut meluncurkan rudal ini bersamaan dengan digelarnya “Freedom Shield 2025”, atau latihan militer gabungan AS-Korsel yang dimulai sejak Senin (10/3) waktu setempat. Latihan gabungan yang melibatkan “pelatihan langsung, virtual, dan berbasis lapangan” ini akan berlangsung hingga 21 Maret mendatang.

    Lihat juga Video ‘Kim Jong Un Pantau Uji Coba Peluncuran Rudal Jelajah Strategis’:

    Beberapa jam sebelum melakukan peluncuran rudal, Kementerian Luar Negeri Korut mengecam latihan gabungan itu sebagai “aksi provokatif” dan memperingatkan bahaya memicu perang dengan “satu tembakan tidak disengaja”.

    Peringatan ini disampaikan beberapa hari setelah jet tempur Angkatan Udara Korsel secara tidak sengaja menjatuhkan bom di area sipil hingga memicu puluhan korban luka dan menyebabkan kerusakan para rumah warga.

    “Ini adalah aksi provokatif berbahaya yang memicu situ akut di Semenanjung Korea, yang dapat memicu konflik fisik antara kedua belah pihak melalui satu tembakan tidak disengaja,” kata Kementerian Luar Negeri Korut seperti dikutip media pemerintah Pyongyang.

    Kementerian Luar Negeri Korut dalam pernyataannya juga menyebut latihan gabungan itu sebagai “latihan perang yang agresif dan konfrontatif”.

    Lihat juga Video ‘Kim Jong Un Pantau Uji Coba Peluncuran Rudal Jelajah Strategis’:

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Jalan Hidup Presiden Korsel: Dimakzulkan, Dipenjara, Kini Bebas

    Jalan Hidup Presiden Korsel: Dimakzulkan, Dipenjara, Kini Bebas

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol telah menjadi sorotan dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini terjadi setelah ia secara sepihak menerapkan darurat militer di negara itu pada 3 Desember lalu.

    Tindakan ini pun membawanya dalam sebuah pemakzulan oleh parlemen. Setelah dimakzulkan, ia ditahan oleh otoritas Negeri Ginseng. Nasibnya mulai membaik setelah pada Jumat (7/3/2025) lalu setelah pengadilan membatalkan surat perintah penangkapannya.

    Berikut sederet perjalanan hidup Yoon, dari bawah hingga berkuasa, dan dari keterpurukan hingga bebas.

    Dari Nol hingga Berkuasa

    Yoon adalah pendatang baru dalam dunia politik saat ia memenangkan kursi kepresidenan. Ia menjadi terkenal secara nasional setelah mengajukan tuntutan kasus korupsi terhadap mantan Presiden Park Geun Hye yang dipermalukan pada tahun 2016.

    Pada tahun 2022, politikus kelahiran 1960 ini mengalahkan lawannya dari partai liberal Lee Jae Myung dengan selisih kurang dari 1% suara. Saat itu, Yoon dianggap sebagai tokoh yang dapat membawa perubahan besar bagi Korsel.

    “Mereka yang memilih Yoon percaya bahwa pemerintahan baru di bawah Yoon akan mengejar nilai-nilai seperti prinsip, transparansi, dan efisiensi,” kata Don S Lee, profesor madya administrasi publik di Universitas Sungkyunkwan.

    Selama memimpin, Yoon telah memperjuangkan sikap agresif terhadap Korea Utara (Korut). Ia bahkan meningkatkan kerjasama pertahanan dengan Amerika Serikat menuju level ‘basis nuklir’ sebagai upaya untuk menahan ambisi Pyongyang.

    Skandal dan kesalahan

    Yoon dikenal karena kesalahan-kesalahannya, yang tidak membantu peringkatnya. Selama kampanye 2022, ia harus menarik kembali komentarnya bahwa presiden otoriter Chun Doo Hwan, yang mengumumkan darurat militer dan bertanggung jawab atas pembantaian para pengunjuk rasa pada tahun 1980, telah ‘pandai berpolitik’.

    Kemudian pada tahun itu, ia kedapatan sedang berbicara menggunakan mikrofon sambil mengumpatkan kata ‘idiot’ di depan anggota parlemen AS. Rekaman itu dengan cepat menjadi viral di Korsel.

    Selain kesalahan, Yoon juga dilanda skandal. Sebagian besar skandal berpusat di sekitar istrinya, Kim Keon Hee, yang dituduh melakukan korupsi dan penyalahgunaan pengaruh, terutama dugaan menerima tas Dior dari seorang pendeta.

    Pada bulan November, Yoon meminta maaf atas nama istrinya sambil menolak seruan untuk melakukan penyelidikan atas aktivitasnya. Namun, ia menolak penyelidikan yang lebih luas, yang menjadi permintaan partai-partai oposisi.

    Meski begitu, popularitasnya sebagai presiden masih belum stabil. Pada awal November, peringkat persetujuannya anjlok hingga 17%, rekor terendah sejak ia menjabat.

    Terpojok di Depan Oposisi

    Pada bulan April, Partai Demokrat yang beroposisi memenangkan pemilihan parlemen dengan telak, sehingga menimbulkan kekalahan telak bagi Yoon dan Partai Kekuatan Rakyatnya.

    Dalam laporan BBC News, setelah kemenangan Partai Demokrat, pemerintahannya sejak saat itu tidak dapat meloloskan RUU yang mereka inginkan. Mereka malah dipaksa untuk memveto RUU yang disahkan oleh oposisi liberal.

    Ada satu momen di mana Partai Demokrat yang beroposisi memangkas 4,1 triliun won (Rp 46 triliun) dari anggaran yang diusulkan pemerintah Yoon sebesar 677,4 triliun won (Rp 7.600 triliun). Sayangnya, hal ini tidak dapat diveto oleh presiden.

    “Yoon diturunkan jabatannya menjadi presiden yang tidak berdaya dan terpaksa memveto rancangan undang-undang yang disahkan oposisi, sebuah taktik yang ia gunakan dengan frekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya.” kata Celeste Arrington, direktur Institut Studi Korea Universitas George Washington.

    Pada saat yang sama, pihak oposisi juga bergerak untuk memakzulkan anggota kabinet dan beberapa jaksa tinggi, termasuk kepala badan audit pemerintah, karena gagal menyelidiki Ibu Negara.

    Darurat militer

    Dalam pidatonya saat mencetuskan darurat militer, Yoon menceritakan upaya oposisi politik untuk melemahkan pemerintahannya. Ia kemudian mengumumkan darurat militer untuk ‘menghancurkan kekuatan anti-negara yang telah menimbulkan kekacauan’.

    Walau begitu, Parlemen Korsel, Majelis Nasional tetap mengambil posisi untuk menentang situasi darurat tersebut. Setelah 7 jam darurat militer berlangsung, Majelis Nasional, yang dihadiri 190 dari 300 anggotanya, menolak tindakan tersebut dan dengan demikian, deklarasi darurat militer Presiden Yoon dinyatakan tidak sah.

    Direktur Institut Studi Korea Universitas George Washington, Celeste Arrington, mengatakan bahwa Yoon memang telah mengalami pelemahan dalam pemerintahannya, dengan posisi oposisi yang lebih kuat

    “Yoon diturunkan jabatannya menjadi presiden yang tidak berdaya dan terpaksa memveto rancangan undang-undang yang disahkan oposisi, sebuah taktik yang ia gunakan dengan frekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya.” kata Arrington.

    Pada saat yang sama, pihak oposisi juga bergerak untuk memakzulkan anggota kabinet dan beberapa jaksa tinggi, termasuk kepala badan audit pemerintah, karena gagal menyelidiki Ibu Negara.

    Pemakzulan

    Yoon secara resmi dimakzulkan pada 14 Februari oleh Majelis Nasional. Dalam pantauan, tercatat semua anggota Majelis Nasional yang 300 orang ikut dalam pemungutan suara itu. Tercatat, ada 204 suara yang meminta Yoon diturunkan, sehingga presiden itu harus lengser dari jabatannya.

    Dengan ini, Yoon akan diskors sambil menunggu putusan dari hakim Mahkamah Konstitusi. Jika para hakim menyetujuinya, Yoon akan dimakzulkan dan pemilihan baru harus diadakan dalam waktu 60 hari.

    Penangkapan

    Pada tanggal 15 Januari, Yoon menjadi presiden pertama yang s yang ditangkap atas tuduhan pidana setelah memaksakan darurat militer secara sepihak pada 3 Desember lalu. Penangkapannya dilakukan Kantor Investigasi Korupsi Korsel (CIO), meski mendapatkan penghadangan dari pasukan pengawal presiden (PSS) dan militer mencegah lembaga tersebut menangkap figur 64 tahun itu.

    Batal Dipenjara

    Pada Jumat, 7 Maret lalu, Pengadilan Korea Selatan (Korsel) membatalkan surat perintah penangkapan Yoon. Hal ini kemudian membuka jalan bagi pembebasannya dari penjara pasca penangkapannya Januari lalu atas tuduhan pemberontakan atas penerapan darurat militer sementara.

    Pengadilan Distrik Pusat Seoul mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa putusannya didasarkan pada waktu dakwaan yang dikeluarkan setelah masa penahanan awal berakhir. Mereka juga mencatat ‘pertanyaan tentang legalitas’ proses investigasi yang melibatkan dua lembaga terpisah.

    Tim pembela juga berpendapat bahwa surat perintah yang dikeluarkan pada tanggal 19 Januari yang memperpanjang penahanan Yoon tidak sah karena permintaan yang diajukan oleh jaksa penuntut cacat secara prosedural.

    “Keputusan pengadilan untuk membatalkan penangkapan menunjukkan supremasi hukum negara ini masih berlaku,” kata pengacara Yoon dalam sebuah pernyataan.

    Meski begitu, Pengacara Yoon juga mengatakan bahwa ia mungkin tidak akan segera dibebaskan karena jaksa penuntut dapat mengajukan banding. Kantor kejaksaan tidak segera mengomentari putusan tersebut.

    (fab/fab)