kab/kota: Purbalingga

  • Amnesty International Indonesia Desak Polri Ungkap Pengintimidasi Band Sukatani

    Amnesty International Indonesia Desak Polri Ungkap Pengintimidasi Band Sukatani

    loading…

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid merespons penarikan lagu berjudul Bayar Bayar Bayar karya band Post-Punk atau New Wave asal Purbalingga Sukatani. Foto/Instagram Sukatani

    JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid merespons penarikan lagu berjudul Bayar Bayar Bayar karya band Post-Punk atau New Wave asal Purbalingga Sukatani . Dia mendesak Polri mengungkap siapa saja pihak-pihak yang mengintimidasi band Sukatani.

    Usman mengatakan, Amnesty menyesalkan kembali adanya peristiwa baru penarikan karya seni dari ruang publik. “Tanpa adanya tekanan, tidak mungkin kelompok musik Sukatani membuat video permohonan maaf yang ditujukan kepada Kapolri dan jajarannya,” kata Usman dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (22/2/2025).

    Dia menambahkan, Amnesty mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera mengambil tindakan koreksi atas dugaan adanya tekanan dalam bentuk apa pun kepada kelompok musik Sukatani. “Polri harus mengungkap siapa pihak-pihak yang diduga menekan Sukatani untuk membuat video permohonan maaf dan menarik lagu Bayar Bayar Bayar dari ruang publik,” jelasnya.

    Dia menuturkan, Polri harus menjamin kebebasan setiap warga negara dalam berkesenian dan memastikan bahwa Sukatani terbebas dari segala bentuk ancaman maupun intimidasi dalam menyuarakan kritik sosial lewat karya-karya mereka.

    Dia menjelaskan, musik dalam perspektif HAM adalah salah satu pilar penting bagi masyarakat dalam menyalurkan aspirasi mereka terhadap realita yang mereka alami. “Oleh karena hak untuk berkesenian adalah bagian yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia,” katanya.

    Dia melanjutkan, hak atas kebebasan berekspresi lewat karya seni dijamin dalam Pasal 19 Konvesi Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 dan dalam pasal 27 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dikatakan Usman, seni menjadi salah satu ruang publik yang akhir-akhir ini menjadi target represi dan pemberedelan oleh negara.

    “Desember lalu penarikan karya seni juga terjadi atas karya seni Lukis Yos Seprapto. Beberapa hari yang lalu, pertunjukan drama Wawancara Dengan Mulyono juga dilarang untuk dipentaskan,” jelasnya.

  • Wabup Purbalingga mendukung grup band Sukatani untuk berkesenian

    Wabup Purbalingga mendukung grup band Sukatani untuk berkesenian

    “Kalau kami pribadi untuk bersenimannya, untuk di bidang seninya tentunya kami mendukung. Tapi kalau terkait kritik dan lain-lainnya, kami tidak bisa sedalam itu ya karena itu hak masing-masing orang untuk mengkritisi instansi pemerintah,”

    Purwokerto (ANTARA) – Wakil Bupati (Wabup) Purbalingga Dimas Prasetyahani mendukung grup band bergenre punk asal Purbalingga, Sukatani, untuk berkesenian di bidang seni musik dan menyampaikan kritik asalkan kritikannya membangun.

    “Kalau kami pribadi untuk bersenimannya, untuk di bidang seninya tentunya kami mendukung. Tapi kalau terkait kritik dan lain-lainnya, kami tidak bisa sedalam itu ya karena itu hak masing-masing orang untuk mengkritisi instansi ataupun lembaga pemerintahan yang ada,” katanya usai menghadiri Upacara Peringatan Hari Jadi Ke-454 Kabupaten Banyumas di Alun-Alun Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu.

    Terkait dengan persoalan yang dihadapi grup band Sukatani atas lagu berjudul Bayar Bayar Bayar yang bernuansa kritik sosial, dia mengatakan sebenarnya kritik itu boleh saja diberikan namun sebagai anak muda harus tetap teguh dengan tata krama.

    Menurut dia, hal itu disebabkan budaya bangsa Indonesia merupakan budaya ketimuran yang perlu mengutamakan sopan santun, sehingga kritik tersebut betul-betul berefek positif dan membangun.

    Kendati demikian, dia mengakui dari sisi bahasa dan sebagainya, perspektif setiap orang pasti dalam menanggapi kritik tersebut berbeda-beda karena tidak menutup kemungkinan ada yang mengatakannya kasar atau tidak kasar dan sebagainya.

    “Tetapi menurut kami ya selama kritik itu membangun, ya sah-sah saja, sehingga jangan sampai membungkam masyarakat yang kritis terhadap kelembagaan maupun instansi yang ada di negara ini,” kata pria kelahiran 1995 itu menegaskan.

    Disinggung mengenai kemungkinan Pemerintah Kabupaten Purbalingga memberikan perlindungan kepada personel Sukatani yang merupakan warga setempat, dia mengatakan jika sekiranya ada yang mengancam atau mengintimidasi warga Purbalingga, pihaknya akan menyikapi dengan baik dan melindungi masyarakat Purbalingga.

    Terkait dengan vokalis Sukatani yang dikabarkan dipecat dari tempatnya mengajar di salah satu sekolah dasar Purbalingga, dia mengaku belum mendalami kabar tersebut.

    “Saya belum mendalami itu. Mungkin nanti saya dalami dulu ya, saya belum bisa berkomentar lebih banyak,” kata Wabup.

    Grup band punk asal Purbalingga, Sukatani, menyampaikan permintaan maaf kepada kepolisian melalui video di akun media sosial mereka terkait lagu mereka yang berjudul Bayar Bayar Bayar.

    Dalam unggahan media sosial band tersebut, dua personel band Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti alias Alectroguy dan Novi Citra Indriyati alias Twister Angel, menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Polri atas lirik lagu Bayar Bayar Bayar.

    Sebagai informasi, salah satu bagian lirik pada lagu tersebut adalah “mau bikin SIM, bayar polisi, ketilang di jalan, bayar polisi”.

    “Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami dengan judul Bayar Bayar Bayar yang liriknya bayar polisi, yang telah kami nyanyikan hingga menjadi viral. Lagu ini sebenarnya saya ciptakan untuk oknum kepolisian yang melanggar peraturan,” ucap Alectroguy.

    Alectroguy selaku gitaris band itu mengatakan bahwa saat ini lagu tersebut telah dicabut dari platform streaming lagu Spotify. Ia juga mengimbau kepada para pengguna platform media sosial untuk menghapus konten yang menggunakan lagu tersebut.

    “Dengan ini, saya mengimbau kepada semua pengguna platform media sosial yang telah memiliki lagu kami dengan judul Bayar Bayar Bayar, lirik lagu bayar polisi, agar menghapus dan menarik semua video yang menggunakan lagu kami karena apabila ada risiko di kemudian hari, sudah bukan tanggung jawab kami,” ujarnya.

    Pascapersoalan tersebut mencuat, di berbagai media tersiar kabar bahwa vokalis Sukatani, Novi Citra Indriyati alias Twister Angel yang berprofesi sebagai guru telah dipecat dari tempatnya mengajar.

    Pewarta: Sumarwoto
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

  • Twister Angel Vokalis Band Sukatani Dipecat sebagai Guru? FSGI: Save Novi Citra Indriyati

    Twister Angel Vokalis Band Sukatani Dipecat sebagai Guru? FSGI: Save Novi Citra Indriyati

    loading…

    Beredar kabar vokalis band Post-Punk atau New Wave asal Purbalingga Sukatani, Novi Citra Indriyati alias Twister Angel dipecat dari pekerjaannya sebagai guru di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT). Foto/Instagram Sukatani

    JAKARTA – Beredar kabar vokalis band Post-Punk atau New Wave asal Purbalingga Sukatani , Novi Citra Indriyati alias Twister Angel dipecat dari pekerjaannya sebagai guru di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) imbas lagu berjudul Bayar Bayar Bayar. Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia ( FSGI ) Retno Listyarti pun angkat bicara.

    Retno menjelaskan, ketentuan atau mekanisme pemecatan seorang guru diatur dalam peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2007 tentang Guru, dan Permendikbudristek Tentang Perlindungan Guru. “Kalau guru swasta juga digunakan UU Tenaga Kerja,” kata Retno kepada SindoNews, Sabtu (22/2/2025).

    Dia menegaskan bahwa guru juga warga negara yang dijamin hak-haknya oleh konstitusi RI untuk berekspresi, berpendapat, dan berkarya. Jadi, kata dia, jika benar Novi Citra Indriyati dipecat dari pekerjaan sebagai guru karena lagu berisi kritikan kepada kepolisian jelas sewenang-wenang dan diduga kuat melanggar peraturan perundangan yang ada.

    “Kalau benar pemecatan tersebut karena hak berekspresi dalam lagu Bayar Bayar Bayar, maka FSGI mengecam pemecatan tersebut dan menyerukan dukungan bagi pengembalian hak-hak Novi sebagai guru. Apalagi jika tugasnya sebagai guru dijalankan dengan baik dan profesional, sementara aktivitasnya berkarya dalam seminar sama sekali tidak mengganggu kinerja. #savenovicitraindriyati #fsgibersamanovicitraindriyani,” pungkasnya.

    Nama Novi Citra Indriyati berdasarkan data di laman GTK Kemdikbud tercatat sebagai guru Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) daerah Purwareja Klampok, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) sejak 25 Juli 2023. Akan tetapi, status Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Novi tidak aktif sejak Kamis, 13 Februari 2025.

    Sementara itu, pertanyaan SindoNews tentang kabar Novi Citra Indriyati dipecat sebagai guru belum dijawab akun Instagram Sukatani hingga berita ini ditulis sekitar pukul 11.46 WIB.

    (rca)

  • Sukatani Tarik Lagu ‘Bayar Bayar Bayar’, Pengamat: Represi Seni Ibarat Menyiram Bara dengan Bensin

    Sukatani Tarik Lagu ‘Bayar Bayar Bayar’, Pengamat: Represi Seni Ibarat Menyiram Bara dengan Bensin

    Surabaya (beritajatim.com) – Band punk-new wave Sukatani kembali menjadi sorotan setelah menarik lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” dari berbagai platform dan mengunggah video permintaan maaf kepada Kapolri. Keputusan ini menuai reaksi keras dari publik yang menilai tindakan tersebut terjadi akibat adanya tekanan.

    Pengamat Sosiologi Universitas Negeri Malang, Nora Ayudha, menanggapi fenomena ini dengan menekankan bahwa karya seni sering kali lahir sebagai bentuk respon terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi sosial, politik, dan budaya.

    “Seni itu sebenarnya cerminan kenyataan. Apa yang disuarakan Sukatani bisa jadi merupakan keresahan banyak orang. Lewat karyanya, Sukatani menjadi wakil bagi kegelisahan kondisi bangsa saat ini,” ujar Nora Ayudha, Sabtu (22/2/2025).

    Nora menambahkan bahwa tindakan represif terhadap karya seni justru dapat memperburuk situasi dan meningkatkan simpati publik terhadap pelaku seni yang dikekang.

    “Represi terhadap karya seni itu ibarat menyiram bara api dengan bensin. Nyala apinya makin membesar dan semakin menumbuhkan simpati banyak pihak. Tidak hanya komunitas musik, tapi pelaku seni dari berbagai disiplin,” jelas alumnus FISIP Universitas Airlangga Surabaya ini.

    Ia juga menyinggung sejarah pelarangan karya seni di masa lalu, khususnya pada era Orde Baru, yang justru meningkatkan popularitas karya tersebut di kemudian hari.

    “Sejarah mengajari kita misalnya, bahwa semakin direpresi suatu karya, maka pesan dari karya tersebut semakin terekspos. Seperti api yang berbalik menyerang empunya. Contoh paling sahih adalah karya-karya Tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer yang baru saja cetak ulang. Hal ini menunjukkan tingginya minat orang-orang mencari jawaban, kenapa karyanya diburu Orba dan dilarang peredarannya,” tuturnya.

    Menurut Nora, fenomena Sukatani telah menarik perhatian publik luas, tidak hanya dari komunitas punk tetapi juga dari kalangan yang lebih umum.

    “Siapa sekarang yang tidak kenal Sukatani? Beberapa waktu lalu hanya komunitas punk saja yang doyan dan mengapresiasi. Tetapi sekarang? Awam pun yang mungkin secara musikalitas tidak cocok dengan genre punk-wave, mendadak mengulik lagu-lagu band tersebut,” kata Nora.

    Di era digital saat ini, Nora menilai bahwa pembungkaman terhadap karya seni semakin sulit dilakukan dan justru berpotensi memperkaya ruang diskursus publik yang sehat.

    “Di era keterbukaan, pembungkaman tidak lagi relevan karena kanal informasi dan komunikasi terbuka teramat lebar. Jika dianggap kritik, sebenarnya ini tidak berlawanan dengan statement Kapolri, bahwa pengkritik dihadiahi gelar sahabat polri,” pungkasnya.

    Berikut adalah lirik lagu “Bayar Bayar Bayar” yang kini telah ditarik dari peredaran:

    Mau bikin SIM bayar polisi
    Ketilang di jalan bayar polisi
    Touring motor gede bayar polisi
    Angkot mau ngetem bayar polisi
    Aduh aduh ku tak punya uang
    Untuk bisa bayar polisi

    Mau bikin gigs bayar polisi
    Lapor barang hilang bayar polisi
    Masuk ke penjara bayar polisi
    Keluar penjara bayar polisi
    Aduh aduh ku tak punya uang
    Untuk bisa bayar polisi

    Mau korupsi bayar polisi
    Mau gusur rumah bayar polisi
    Mau babat hutan bayar polisi
    Mau jadi polisi bayar polisi
    Aduh aduh ku tak punya uang
    Untuk bisa bayar polisi

    Sukatani merupakan band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang dibentuk pada tahun 2022 oleh dua personel, Ovi alias Twister Angel dan Al alias Alectroguy. Band ini menarik perhatian publik setelah merilis album perdana “Gelap Gempita” pada 24 Juli 2023 yang berisi delapan lagu, salah satunya “Bayar Bayar Bayar” yang sempat viral.

    Sukatani dikenal memiliki identitas unik, dengan nama band yang ditulis dalam huruf Arab serta penampilan yang selalu menggunakan topeng. Selain itu, mereka memiliki kebiasaan membagikan hasil bumi seperti sayuran kepada penonton di atas panggung sebagai simbol dukungan terhadap perjuangan petani.

    Sejak debutnya, Sukatani telah tampil di berbagai festival besar seperti Synchronize dan Pestapora. Namun, misteri identitas mereka akhirnya terungkap setelah mereka mengunggah video permintaan maaf kepada Kapolri terkait viralnya lagu “Bayar Bayar Bayar”. [asg/beq]

  • Pendemo Indonesia Gelap Nyanyikan Lagu Bayar, Bayar, Bayar Milik Band Sukatani yang Dibungkam Polri

    Pendemo Indonesia Gelap Nyanyikan Lagu Bayar, Bayar, Bayar Milik Band Sukatani yang Dibungkam Polri

    JAKARTA – Pendemo Indonesia Gelap di kawasan Patung Kuda Monas, Jakarta Pusat, menyanyikan lagu Bayar, Bayar, Bayar ciptaan band punk Sukatani asal Purbalingga yang dibungkam Polri. Lagu tersebut diputar melalui mobil komando (Mokom), lalu massa aksi serentak bernyanyi.

    “Mau bikin SIM, ‘bayar polisi’, Ketilang di jalan, ‘bayar polisi’, Touring motor gede, ‘bayar polisi’,” saut massa aksi Indonesia Gelap yang ikut bernyanyi.

    Dalam aksi kali ini didominasi Koalisi Masyarakat Sipil menggunakan pakaian berwarna hitam dengan membawa sejumlah poster kritikan kepada pemerintah.

    Nyanyian lagu ini dihembuskan pascaviralnya pernyataan Sukatani yang mengunggah video permohonan maaf di akun Instagram resmi mereka (@sukatani.band).

    Dalam unggahan tersebut, personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti (Alectroguy) dan Novi Citra Indriyati (Twister Angel), menyatakan permohonan maaf kepada Kapolri dan Institusi Polri atas lagu mereka yang viral di media sosial.

    “Memohon maaf sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan Institusi Polri atas lagu ciptaan kami dengan judul lagu Bayar Bayar Bayar yang liriknya ‘Bayar Polisi’ yang telah kami nyanyikan sehingga viral di beberapa platform media sosial,” ungkap mereka dalam video tersebut.

    Mereka juga menjelaskan bahwa lagu “Bayar Bayar Bayar” mereka ciptakan sebagai bentuk kritik terhadap oknum polisi yang melanggar aturan.

    “Sebenarnya lagu itu saya ciptakan untuk oknum kepolisian yang melanggar peraturan,” kata Electroguy.

    Dalam klarifikasi tersebut, personel band Sukatani juga menyatakan bahwa mereka telah mencabut dan menarik lagu tersebut dari peredaran, termasuk dari platform streaming seperti Spotify.

    “Melalui pernyataan ini saya telah mencabut dan menarik lagu ciptaan kami yang berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’ lirik lagu ‘Bayar Polisi’,” jelas Alectroguy.

    Mereka juga mengimbau kepada pengguna media sosial yang telah mengunggah video dengan menggunakan lagu tersebut untuk segera menghapusnya.

    “Dengan ini saya mengimbau kepada semua pengguna akun media sosial yang telah memiliki lagu kami dengan judul ‘Bayar Bayar Bayar’, lirik lagu ‘bayar polisi’ agar menghapus dan menarik semua video menggunakan lagu tersebut,” jelas Electroguy.

    Electroguy juga mengimbau warganet untuk menghapus unggahan terkait lagu tersebut di sosial media.

    “Karena apabila ada risiko di kemudian hari, itu sudah bukan tanggung jawab kami dari band Sukatani,” imbuhnya.

    “Demikian pernyataan yang kami buat ini dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun kami buat secara sadar dan sukarela dan dapat saya pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa,” tutup pernyataan mereka.

  • Hasil Pemeriksaan Divpropam Polri Terhadap Anggota Polda Jateng soal Lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ – Halaman all

    Hasil Pemeriksaan Divpropam Polri Terhadap Anggota Polda Jateng soal Lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG – Aparat Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri memeriksa dua anggota Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah.

    Upaya pemeriksaan itu terkait penanganan viralnya lagu berjudul Bayar Bayar Bayar dari band Sukatani.

    Pada Kamis (20/2/2025), sejumlah anggota Siber Polda Jawa Tengah menemui band asal Purbalingga itu.

    Informasi pemeriksaan Divpropam Polri itu disampaikan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Artanto.

    “Iya, Divpropam Mabes Polri melalui Bidpropam Polda Jateng sudah memeriksa dua anggota Dit Siber Polda Jateng berkaitan dengan band Sukatani,” ujarnya pada Sabtu (22/2/2025).

    Menurut dia, pemeriksaan itu dilakukan di Mapolda Jawa Tengah, Kota Semarang, pada Jumat kemarin.

    Artanto menyebut pemeriksaan kepada dua anggota itu untuk memastikan transparansi dan profesionalitas anggota dalam melaksanakan tugasnya.

    Pemeriksaan itu juga sebagai bentuk pengawasan dan kontrol dari Propam.

    “Pada prinsipnya Propam melakukan klarifikasi terhadap dua anggota Siber yang menemui grup band Sukatani,” ungkapnya.

    Dia mengaku, hasil pemeriksaan dari Propam tersebut tidak ditemukan pelanggaran.

    “Hasilnya clear, mereka profesional sesuai tugas pokok dan tidak ada permasalahan,” katanya.

    Divpropam Mabes Polri menyebut Polri selalu terbuka terhadap kritik yang membangun.

    Kemudian memahami pentingnya kebebasan berekspresi dalam masyarakat demokratis.

    “Untuk memastikan profesionalisme dalam penanganan kasus ini, Biropaminal Divpropam telah melakukan pemeriksaan terhadap anggota Dit Ressiber Polda Jateng guna mengklarifikasi permasalahan tersebut. Langkah ini diambil untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam tubuh Polri,” tulis mereka dalam postingan X di akun @Divpropam.

     

  • Lagu Bayar Bayar Bayar Bukan Tindak Pidana dan Tak Bisa Dilarang

    Lagu Bayar Bayar Bayar Bukan Tindak Pidana dan Tak Bisa Dilarang

    loading…

    Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai lagu band Post-Punk atau New Wave asal Purbalingga Sukatani berjudul Bayar Bayar Bayar merupakan kritik sosial yang dilindungi oleh hukum. Foto/Instagram Sukatani

    JAKARTA – Institute for Criminal Justice Reform ( ICJR ) menilai lagu band Post-Punk atau New Wave asal Purbalingga Sukatani berjudul Bayar Bayar Bayar merupakan kritik sosial yang dilindungi oleh hukum. ICJR menyoroti dua alasan mendasar mengapa dugaan intimidasi terhadap Sukatani harus dilawan bersama.

    Pertama, ICJR menilai Sukatani menyatakan kebenaran yang bukan merupakan penghinaan, apalagi penghinaan tidak boleh untuk melindungi institusi. “Kedua, model tindakan klarifikasi, menyuruh minta maaf oleh polisi, tidak sesuai dengan batasan kewenangan polisi dalam hukum acara pidana,” kata Peneliti ICJR Nur Ansar dalam keterangan tertulisnya kepada SindoNews, Sabtu (22/2/2025).

    Dia melihat Sukatani, band yang lirik-lirik lagunya memuat kritik sosial terpaksa memberi klarifikasi dan meminta maaf kepada institusi Polisi melalui akun media sosialnya pada 20 Februari 2024. Dia menuturkan, lagu berjudul “bayar-bayar”, yang bercerita tentang pungutan ketika berurusan dengan polisi harus mereka tarik dari platform musik.

    Namun, lanjut dia, pasca Sukatani klarifikasi, lagu-lagunya justru makin dikenal dan diputar di berbagai tempat sebagai respons masyarakat atas tindakan Kepolisian. “Sebelum video klarifikasi mereka beredar, terdapat berita jika mereka hilang kontak dan dicegat di Banyuwangi sepulangnya dari Bali,” ujarnya.

    “Juga terdapat informasi kalau mereka sudah lama diincar, sejak tampil di acara Hellprint Bandung, hingga kabar pemecatan salah satu personelnya sebagai guru. Belum ada kronologi resmi dari Sukatani, tetapi dalam video klarifikasi, mereka meminta maaf dan menyebut tidak ada paksaan dari siapa pun,” sambungnya.

    Dia menegaskan, lirik lagu Sukatani yang ditarik dari platform musik ini adalah kritik sosial yang dilindungi oleh hukum. “Mereka tidak melanggar peraturan apa pun ketika mengkritik suatu fenomena sosial. Sebagai karya seni, ini harus dihargai. Jika memang ada ketersinggungan, seharusnya hal ini dimaknai sebagai masukan yang dapat menjadi bahan bakar untuk perbaikan institusi,” jelasnya.

    Lebih lanjut dia mengatakan, sebagai kritik maupun pernyataan kebenaran, isi lagu Sukatani bahkan tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk penghinaan secara personal maupun institusi polisi. Dia menambahkan, lembaga penegak hukum seperti pengadilan telah mengakui hal ini dalam berbagai putusan perkaranya.

  • 2
                    
                        Bayar, Bayar, Bayar: Kenapa Kenyataan Harus Dibungkam?
                        Nasional

    2 Bayar, Bayar, Bayar: Kenapa Kenyataan Harus Dibungkam? Nasional

    Bayar, Bayar, Bayar: Kenapa Kenyataan Harus Dibungkam?
    Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.
    Mau bikin SIM bayar polisi

    Ketilang di jalan bayar polisi

    Touring motor gede bayar polisi

    Angkot mau ngetem bayar polisi
    Aduh aduh ku tak punya uang

    Untuk bisa bayar polisi
    Mau bikin gigs bayar polisi

    Lapor barang hilang bayar polisi

    Masuk ke penjara bayar polisi

    Keluar penjara bayar polisi
    Aduh aduh ku tak punya uang

    Untuk bisa bayar polisi
    Mau korupsi bayar polisi

    Mau gusur rumah bayar polisi

    Mau babat hutan bayar polisi

    Mau jadi polisi bayar polisi
    Aduh aduh ku tak punya uang

    Untuk bisa bayar polisi –
    (Lirik lagu “Bayar Bayar Bayar” – duo
    Sukatani
    )
    DALAM
    beberapa hari terakhir ini, lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dinyanyikan duo Sukatani seperti menjadi “lagu perlawanan” di sejumlah aksi unjuk rasa mahasiswa bertajuk “
    Indonesia Gelap
    ” di sejumlah daerah di Tanah Air.
    Lagu “Bayar Bayar Bayar” kini selevel dengan lagu “Buruh Tani” yang ditulis aktivis 1996 Syafi’I Kemamang dan dipopulerkan Marjinal Band menjadi “lagu kebangsaan” bagi setiap aksi unjuk rasa.
    Para pengunjuk rasa di aksi demo Indonesa Gelap seperti menemukan “pembenaran” ketika lagu-lagu tersebut dinyanyikan.
    Apakah ada yang salah dengan lagu tersebut sehingga duo Sukatani, band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah itu sampai perlu menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dengan wajah tertekan?
    Ketika gelombang perlawanan terhadap dugaan aksi pembungkaman duo Sukatani yang dinilai memberagus ekspresi berkesenian, tiba-tiba Polda Jawa Tengah mengeluarkan klarifikasi.
    Humas Polda Jawa Tengah mengakui memang telah melakukan klarifikasi, tetapi membantah melakukan intervensi, alih-alih meminta personal duo Sukatani membuat video permintaan maaf (
    CNNIndonesia.com
    , 21 Februari 2025).
    Apa lancung, publik kadung lebih memercayai kalau Syifa Al Lutfi alias Alectroguy dan Novi Citra alias Twister Angel memang sengaja dibungkam oleh pihak-pihak yang “gerah” dengan lirik lagu tersebut.
    Viral dan trendingnya lagu “Bayar Bayar Bayar” tidak urung harus membuat Alectroguy dan Twister Angel harus menghentikan peredaran lagu tersebut di berbagai platform pemutar musik.
    Bahkan seperti mengingkari jati dirinya yang telah terbentuk selama ini, duo Sukatani itu terpaksa menampilkan paras muka aslinya di video permintaan maaf yang dibuat usai lagu ini ramai dipersoalkan.
    Sebelumnya seperti diakui Polda Jawa Tengah, penyidik Siber Polda Jawa Tengah pernah “ngobrol santai” dengan personel Sukatani untuk mengetahui maksud dan tujuan terkait pembuatan lagu “Bayar Bayar Bayar” itu.
    Pembungkaman lagu “Bayar Bayar Bayar” di era Asta Cita ini menjadi ke tiga kalinya ketika ekspresi seni dianggap bisa berpotensi mengganggu stabilitas keamanan.
    Tentu masih hangat dalam ingatan kita ketika pameran tunggal Yos Suprapto urung digelar di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta (19/12/2024), karena ada beberapa lukisannya dianggap “menyinggung” Presiden RI ke-7, Joko Widodo.
    Pameran bertema “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” batal digelar karena kurator Suwarno Wisetrotomo menilai, lima di antara 30 lukisan Yos Suprapto tidak sejalan dengan tema pameran.
    Selain itu, lima lukisan Yos mengandung pesan yang kelewat vulgar tentang praktik kekuasaan di era Jokowi.
    Sementara aksi pembungkaman ekspresi berkesenian ke dua, terjadi saat drama Teater Payung Hitam yang berjudul “Wawancara dengan Mulyono” batal dipentaskan di Ruang Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, 15 Januari 2025.
    Tidak hanya pertunjukan teater yang “dikhawatirkan” mengganggu stabilitas, tetapi juga poster digital dan baliho pementasan “Wawancara dengan Mulyono” pun membuat gerah kampus yang mendapat arahan dari aparat (
    Tempo.co
    , 21 Februari 2025).
    Andai saja polisi dan rezim yang berkuasa bisa lebih bijak memandang karya seni tanpa pretensi dari sudut pandang politik, mungkin akan lebih obyektif dalam bentindak. Seni merupakan suatu ekspresi dari seorang seniman.
    Seniman seperti personal Sukatani, Yos Suprapto serta aktivis Teater Payung Hitam perlu mengejawantahkan ekspresinya secara bebas untuk menciptakan karya seni yang lebih bermakna.
    Dengan kebebasan ini, mereka dapat mengeksplorasi ide dan menyuarakan pandangan mereka tanpa rasa takut.
    Dalam karya seni, kebebasan berekspresi seringkali menjadi tantangan dan sumber kontroversi, terutama jika karya seni tersebut menyangkut masalah sosial, politik atau dianggap menyinggung pihak tertentu terlebih pihak yang tengah berkuasa.
    Pemerintah, individu, atau kelompok dengan kepentingan tertentu mungkin tidak sepakat dengan apa yang disampaikan oleh seniman melalui karyanya dan berujung pada penyensoran dan pelarangan.
    Padahal karya seni lahir dari kecemasan, perasaan, olah pandang dan curahan para seniman melihat kondisi aktual dan faktual yang terjadi di masyarakat.
    Jika kita cermati larik demi larik lagu “Bayar Bayar Bayar” mungkin publik sudah mahfum dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
    Perilaku menyimpang oknum-oknum polisi bukanlah hal fiktif, tetapi memang benar-benar terjadi. Terlalu panjang untuk mengulas kebobrokan perilaku polisi dari pangkat terendah hingga tertinggi, penyimpangan memang benar-benar terjadi.
    Harus diingat kebebasan berekspresi dalam seni telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (2) dan (3), yang mengatur hak berpendapat dan kebebasan berekspresi.
    Menurut penulis, jika pelarangan demi pelarangan penyampaian karya seni semakin diterapkan polisi dan pemerintah, maka kebebasan di negeri ini akan kembali ke era kegelapan seperti di masa Orde Baru yang begitu “takut” dengan ekspresi seni.
    Polisi
    yang antiseni atau aparat pemerintah yang alergi dengan seni sebaiknya mengingat pesan Niccolo Machiavelli (1469 – 1527) dalam
    The Prince
    .
    Kebijakan buruk yang mengabaikan realita serta tidak memahami kebutuhan rakyat hanya akan menyebabkan kejatuhan negara. Pemimpin yang bertindak gegabah atau bodoh hanya akan menanti masa kehancurannya.
    Di tengah kepengapan hidup yang semakin terasa, di saat kesempatan kerja dan berusaha semakin tertutup, maka karya seni menjadi katarsis dari mereka yang memiliki akal sehat.
    Jika karya seni saja dibungkam dan diberangus, maka teriakan:
    Ndasmu
    ! akan terucap tanpa sadar dari mereka yang terpinggirkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polemik Lagu Band Sukatani, Peringatan Tajam untuk Polri

    Polemik Lagu Band Sukatani, Peringatan Tajam untuk Polri

    Polemik Lagu Band Sukatani, Peringatan Tajam untuk Polri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Lagu-lagu kerap menjadi cerminan kondisi sosial di masyarakat.
    Salah satunya yang kini tengah ramai dibicarakan adalah lirik lagu dari band Sukatani berjudul “Bayar Bayar Bayar”.
    Lirik lagu itu dianggap sebagai bentuk kritik tajam terhadap institusi Polri.
    Pada lagu itu, Sukatani menyelipkan bait-bait yang menyoroti ragam isu seperti penyalahgunaan wewenang, ketidakadilan hukum, serta harapan akan reformasi di tubuh Polri.
    Lagu ini dengan cepat mendapat perhatian publik, terutama di media sosial, di mana banyak warganet menilai bahwa lirik tersebut mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum.
    Namun, personel Sukatani justru muncul dengan video klarifikasi.
    Mereka menyatakan permohonan maaf kepada Polri dan menghapus lagu tersebut.
    Video klarifikasi itu mendapat perhatian publik karena ada kejanggalan di mana seakan dua personel membaca teks yang telah disiapkan.
    Hal ini semakin menimbulkan tanda tanya apakah Polri anti terhadap kritik.
    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengaku tidak masalah dengan lagu yang diciptakan oleh Sukatani.
    “Tidak ada masalah,” ujar Kapolri kepada
    Kompas.com,
    Jumat (21/2/2025).
    Listyo mengatakan, terdapat miskomunikasi terkait hal-hal yang berujung pada penghapusan lagu “Bayar, Bayar, Bayar” dan permintaan maaf Sukatani kepada dirinya.
    Kapolri tidak menjawab saat ditanya perihal miskomunikasi apa yang terjadi.
    Sigit hanya menyebut bahwa kini segalanya telah diluruskan.
    Listyo menegaskan, Polri tidak anti terhadap kritik.
    “Polri tidak anti-kritik. Kritik sebagai masukan untuk evaluasi. Dalam menerima kritik, tentunya kita harus legowo dan yang penting ada perbaikan,” ujar Listyo.
    “Dan kalau mungkin ada yang tidak sesuai dengan hal-hal yang bisa disampaikan, bisa diberikan penjelasan,” katanya lagi.
    Kapolri menjelaskan, pada prinsipnya, Polri terus berbenah untuk melakukan perbaikan.
    Menurut dia, jika ada anggota yang melanggar, maka mereka akan diberikan hukuman.
    Sebaliknya, untuk anggota baik dan berprestasi, maka pasti diberikan rewards.
    “Dan itu merupakan upaya dan komitmen Polri terus melakukan perbaikan dan evaluasi terhadap terhadap kekurangan. Dan tentunya itu menjadi upaya yang terus kami lakukan,” ujar Listyo.
    Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkap bahwa pemerintah selalu mendukung kebebasan berekspresi.
    Akan tetapi, menurutnya, kebebasan itu jangan sampai mengganggu orang lain.
    “Kan kita selalu mendukung kebebasan berekspresi. Tetapi tentu semua kita tahu kebebasan berekspresi itu jangan sampai mengganggu hak dari orang lain dan kebebasan yang lain,” ujar Fadli di Istana, Jakarta, Jumat.
    “Misalkan kalau di Indonesia itu kan SARA itu jadi salah satu yang jadi bagian batasan kita, dan tentu saja UU kita. Misalnya jangan sampai menyinggung suku, agama, ras, antar golongan, ya bahkan juga institusi-institusi yang bisa dirugikan. Kira-kira gitu,” sambung dia.
    Menurut Fadli, jika semangat dari lagu itu hanya untuk mengkritik, maka sebenarnya tidak masalah.
    Namun, dia kembali mengingatkan perihal batasan dalam kebebasan berekspresi.
    Mantan Komisioner Kompolnas, Poengky Indarty beranggapan, kebebasan berekspresi dalam bentuk seni tidak seharusnya dilarang.
    “Saya hanya mendengar potongan lagu di media sosial dan membaca liriknya di media massa,” kata Poengky, kepada
    Kompas.com,
    Jumat.
    “Saya menganggap hal tersebut sebagai luapan perasaan grup musik itu setelah melihat realitas di masyarakat,” ujar dia.
    Menurut dia, kritik terhadap aparat hukum merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap institusi Polri, terutama ketika ada dugaan penyimpangan tugas seperti pungli, suap, atau tindakan transaksional lainnya.
    Poengky menyebut Kapolri telah berulang kali menegaskan bahwa Polri tidak anti kritik. Bahkan, mereka yang mengkritik dengan keras justru disebut sebagai sahabat Polri.
    Ia berharap masyarakat tetap berani menyuarakan kritik, terutama terhadap praktik-praktik yang merugikan rakyat.
    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mendesak Kapolri untuk mengungkap pihak-pihak yang diduga mengintimidasi grup band Sukatani.
    Desakan ini muncul setelah band asal Purbalingga, Jawa Tengah, tersebut mengeluarkan video klarifikasi permohonan maaf, yang menurut Usman, mengindikasikan adanya dugaan intimidasi.
    “Amnesty mendesak Kapolri untuk segera mengambil tindakan koreksi atas dugaan adanya tekanan dalam bentuk apa pun kepada kelompok musik Sukatani,” kata Usman dalam keterangannya, Jumat.
    Usman juga meminta Polri untuk memastikan kebebasan setiap orang dalam berkarya.
    Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), musik dianggap sebagai salah satu pilar penting bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi terhadap realitas yang mereka alami.
    Polri pun diminta bisa menjamin kebebasan setiap warga negara dalam berkesenian.
    Terkhusus untuk Sukatani, Amnesty meminta Polri bisa memastikan bahwa band tersebut terbebas dari segala bentuk ancaman maupun intimidasi dalam menyuarakan kritik sosial lewat karya-karya mereka.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polda Jateng Akui Sempat Panggil Band Sukatani, Bolehkan Lagu Bayar Bayar Bayar Diedarkan Lagi

    Polda Jateng Akui Sempat Panggil Band Sukatani, Bolehkan Lagu Bayar Bayar Bayar Diedarkan Lagi

    PIKIRAN RAKYAT – Polda Jawa Tengah memberikan klarifikasi perihal permintaan maaf band Sukatani yang diduga mendapatkan intimidasi dari Polisi akibat lagu ‘Bayar Bayar Bayar’. Pasalnya, lirik lagu tersebut membahas kritik terhadap institusi tersebut.

    Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol. Artanto membenarkan tentang klarifikasi yang dilakukan oleh petugas Direktorat Siber Polda Jawa Tengah terhadap personel band tersebut.

    “Kami sempat melakukan klarifikasi terhadap band Sukatani. Hasil klarifikasi, kami menghargai kegiatan berekspresi dan berpendapat melalui seni,” katanya di Semarang, Jumat 21 Februari 2025.

    Menurut Artanto, Polisi tidak meminta band tersebut untuk melakukan klarifikasi maupun melakukan intimidasi. Dia menuturkan, petugas juga tidak melarang grup musik tersebut menampilkan lagunya saat tampil di atas panggung.

    Dia menegaskan, Polri terbuka terhadap kritik sebagai bukti kecintaan terhadap institusi ini. Polisi juga mengapresiasi kritik membangun kepada kepolisian.

    “Yang memberi kritik membangun yang sifatnya untuk perbaikan Polri akan menjadi teman bapak Kapolri,” ucap Artanto.

    Permintaan Maaf Sukatani

    Band punk asal Purbalingga, Sukatani, menyampaikan permintaan maaf kepada kepolisian melalui video di akun media sosial mereka terkait lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar”.

    Dalam unggahan media sosial band tersebut, dua personel band Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti alias Alectroguy dan Novi Citra Indriyati alias Twister Angel, menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Polri atas lirik lagu Bayar Bayar Bayar.

    Sebagai informasi, salah satu bagian lirik pada lagu tersebut adalah ‘mau bikin SIM, bayar polisi, ketilang di jalan, bayar polisi’.

    “Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami dengan judul Bayar Bayar Bayar yang liriknya bayar polisi, yang telah kami nyanyikan hingga menjadi viral. Lagu ini sebenarnya saya ciptakan untuk oknum kepolisian yang melanggar peraturan,” tutur Alectroguy.

    Alectroguy selaku gitaris band itu mengatakan bahwa saat ini lagu tersebut telah dicabut dari platform streaming lagu Spotify. Dia juga mengimbau kepada para pengguna platform media sosial untuk menghapus konten yang menggunakan lagu tersebut.

    “Dengan ini, saya mengimbau kepada semua pengguna platform media sosial yang telah memiliki lagu kami dengan judul Bayar Bayar Bayar, lirik lagu bayar polisi, agar menghapus dan menarik semua video yang menggunakan lagu kami karena apabila ada risiko di kemudian hari, sudah bukan tanggung jawab kami,” ujarnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News